Menggugat Kekerasan di Pondok Pesantren
Nabhan Mudrik Alyaum Selasa, 24-1-2023 | - Dilihat: 8

Oleh: Nabhan Mudrik Alyaum
Beberapa waktu lalu, dunia pondok pesantren (ponpes) digegerkan dengan kekerasan di sebuah ponpes termasyhur di Ponorogo. Satu santri tewas akibat penganiayaan oleh senior. Korban dipukul dan ditendang dengan alasan belum mengembalikan peralatan kemah.
Baru-baru ini, terjadi peristiwa yang lebih tragis. Satu orang santri di Pasuruan dibakar oleh seniornya. Korban dibakar karena diduga melakukan pencurian uang. Setelah mengalami luka bakar 65% dan menjalani perawatan selama dua puluh hari, korban akhirnya tewas.
Tapi mari sejenak berhenti mengacungkan jari pada kasus-kasus lain. Kekerasan di ponpes adalah fenomena gunung es, lebih banyak yang tidak ketahuan daripada yang ketahuan. Almamater kita tercinta, Madrasah Mu’allimin, menjadi salah satu tempat di mana kekerasan tetap terjadi.
Membantah Dalih Penggunaan Kekerasan
Setidaknya ada tiga dalih kekerasan di ponpes. Pertama, kekerasan adalah jalan keluar mencari pelaku pelanggaran dan menyelesaikan masalah. Kedua, kekerasan adalah cara melatih mental. Ketiga, “kekerasan” yang dilakukan bukanlah kekerasan melainkan ketegasan.
Dalih-dalih tersebut sangat problematik dan jika kita berpikir jernih dapat dengan mudah membantah ketiga dalih tersebut. Pertama, kekerasan bukanlah jalan yang baik untuk menemukan pelaku pelanggaran. Pemukulan dan penganiayaan justru merupakan bentuk keputusasaan dan gambaran dari ketidakmampuan menemukan pelaku pelanggaran dengan cara-cara yang lembut serta manusiawi.
Jika kekerasan bukan merupakan jalan untuk menemukan pelaku pelanggaran, apalagi menyelesaikan masalah. Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah, sistem pendidikan ponpes sudah eksis ratusan tahun tetapi kasus-kasus pelanggaran tetap terjadi meski kekerasan terus dilakukan sebagai upaya penyelesaian masalah.
Lebih buruk lagi, kekerasan sangat mungkin menjadi upaya menghukum tanpa bukti. Padahal dalam ushul fikih maupun ilmu hukum berlaku prinsip: lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum. Dari sudut pandang agama maupun ilmu umum, kekerasan di ponpes tidak seharusnya ada.
Kedua, kekerasan adalah cara melatih mental. Ini juga salah kaprah, karena tidak ada hubungannya kekerasan dalam bentuk fisik, mental, maupun verbal dengan kekuatan mental. Ilmu psikologi bahkan justru membuktikan bahwa kekerasan menciptakan trauma, bukan mental yang kuat.
Penulis pun yakin kekerasan di pondok pesantren tidak akan membuat santri menjadi sekuat pegulat kelas internasional seperti Ronda Rousey atau Dwayne “The Rock” Johnson. Dua nama tersebut yang secara fisik kuat dan bahkan pekerjaan sehari-harinya adalah memukul dan dipukul, ternyata pernah mengidap depresi. Karena memang tidak ada hubungannya kekerasan dan kekuatan mental. Yang jelas, setelah santri dipukuli, badannya akan sakit dan mental terguncang.
Ketiga, kekerasan yang dilakukan bukanlah “kekerasan” melainkan “ketegasan”. Dengan kata lain, memaki-maki, menampar, memukul, dan menendang pelanggar aturan adalah bentuk ketegasan dan bukan kekerasan. Ini merupakan dalih selanjutnya yang juga bermuatan sesat pikir.
Siapa pun pemangku kebijakan dapat dianggap tegas jika membuat aturan yang jelas, pencegahan akan terjadinya pelanggaran, pengawasan yang baik, dan hukuman sesuai dengan aturan yang ada. Hari ini, banyak terjadi aturan yang tidak jelas, pengawasan yang baru digembar-gemborkan saat pelanggaran terjadi, dan hukuman yang banyak melenceng dari aturan. Maka, itu bukan kekerasan.
Definisi mana pun yang digunakan, jika itu melibatkan pukulan, tendangan, tamparan, bahkan makian merupakan kekerasan. Menyebut penindakan menggunakan fisik sebagai “ketegasan” justru menggambarkan penegakan aturan yang tidak tegas. Itulah kekerasan, terjadi saat sistem yang ada gagal mengatur dan akal pikiran tidak digunakan secara maksimal untuk mencari alternatif menemukan pelanggar aturan serta menyelesaikan masalah.
Menggugat Kekerasan di Pondok Pesantren
Sebelum kembali membahas pada inti permasalahan, mari sejenak merenungkan posisi pondok pesantren. Ponpes merupakan institusi pendidikan khas Indonesia yang selalu digembar-gemborkan memadukan ilmu agama dan sains. Juga dicirikan dengan kemuliaan akhlak para santri dan lulusannya.
Dari gelar tersebut saja sudah jelas bahwa kekerasan sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh institusi pondok pesantren. Apakah menyakiti manusia lain diajarkan dalam ilmu agama? Apakah sains mengajarkan kekerasan untuk menyelesaikan masalah? Apakah akhlak mulia ditunjukkan dengan perilaku keras terhadap sesama manusia? Tidak.
Kita semua sudah tahu jawabannya, tetapi ragu-ragu untuk menyampaikan. Karena kekerasan sudah sangat mengakar di ponpes. Ada ponpes yang baik pendidikan bahasanya, ada ponpes yang baik pendidikan agamanya, ada ponpes yang memadukan ilmu agama dan sains, ada pula ponpes yang unggul dalam kepemimpinan. Tapi di nyaris semua ponpes (untuk tidak menyebut semua), diakui atau tidak, kekerasan terjadi dan tidak pernah ada upaya serius dan berkelanjutan memberantas kekerasan.
Hal ini juga berlaku bagi penulis sendiri. Ide tulisan ini sudah muncul sejak dua tahun lalu, tapi terlalu ragu untuk menuliskannya. Karena penulis mengalami sendiri bahwa budaya kekerasan terus dirawat atau minimal dibiarkan, hingga kemudian dianggap wajar.
Perlu keterlibatan semua pihak untuk menggugat kekerasan di ponpes. Pertama, dimulai dari mengakui bahwa budaya kekerasan itu ada dan tidak wajar. Kedua, secara individu untuk mengutuk setiap pihak yang melakukan kekarasan dengan dalih apapun. Ketiga, memunculkan keberanian kolektif untuk mengatakan bahwa kekerasan di pesantren adalah salah. Bahwa kekerasan adalah gambaran nyata ketiadaan sistem yang mumpuni dan penghinaan bagi akal pikiran manusia pesantren yang cerdas serta akhlak yang luhur.
Selanjutnya, perlu terobosan secara kolektif untuk memberantas kekerasan di pondok pesantren.
_____
Artikel selanjutnya dapat dibaca dalam link berikut: Mengakhiri Kekerasan di Pondok Pesantren
- Artikel Teropuler -
Menggugat Kekerasan di Pondok Pesantren
Nabhan Mudrik Alyaum Selasa, 24-1-2023 | - Dilihat: 8

Oleh: Nabhan Mudrik Alyaum
Beberapa waktu lalu, dunia pondok pesantren (ponpes) digegerkan dengan kekerasan di sebuah ponpes termasyhur di Ponorogo. Satu santri tewas akibat penganiayaan oleh senior. Korban dipukul dan ditendang dengan alasan belum mengembalikan peralatan kemah.
Baru-baru ini, terjadi peristiwa yang lebih tragis. Satu orang santri di Pasuruan dibakar oleh seniornya. Korban dibakar karena diduga melakukan pencurian uang. Setelah mengalami luka bakar 65% dan menjalani perawatan selama dua puluh hari, korban akhirnya tewas.
Tapi mari sejenak berhenti mengacungkan jari pada kasus-kasus lain. Kekerasan di ponpes adalah fenomena gunung es, lebih banyak yang tidak ketahuan daripada yang ketahuan. Almamater kita tercinta, Madrasah Mu’allimin, menjadi salah satu tempat di mana kekerasan tetap terjadi.
Membantah Dalih Penggunaan Kekerasan
Setidaknya ada tiga dalih kekerasan di ponpes. Pertama, kekerasan adalah jalan keluar mencari pelaku pelanggaran dan menyelesaikan masalah. Kedua, kekerasan adalah cara melatih mental. Ketiga, “kekerasan” yang dilakukan bukanlah kekerasan melainkan ketegasan.
Dalih-dalih tersebut sangat problematik dan jika kita berpikir jernih dapat dengan mudah membantah ketiga dalih tersebut. Pertama, kekerasan bukanlah jalan yang baik untuk menemukan pelaku pelanggaran. Pemukulan dan penganiayaan justru merupakan bentuk keputusasaan dan gambaran dari ketidakmampuan menemukan pelaku pelanggaran dengan cara-cara yang lembut serta manusiawi.
Jika kekerasan bukan merupakan jalan untuk menemukan pelaku pelanggaran, apalagi menyelesaikan masalah. Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah, sistem pendidikan ponpes sudah eksis ratusan tahun tetapi kasus-kasus pelanggaran tetap terjadi meski kekerasan terus dilakukan sebagai upaya penyelesaian masalah.
Lebih buruk lagi, kekerasan sangat mungkin menjadi upaya menghukum tanpa bukti. Padahal dalam ushul fikih maupun ilmu hukum berlaku prinsip: lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum. Dari sudut pandang agama maupun ilmu umum, kekerasan di ponpes tidak seharusnya ada.
Kedua, kekerasan adalah cara melatih mental. Ini juga salah kaprah, karena tidak ada hubungannya kekerasan dalam bentuk fisik, mental, maupun verbal dengan kekuatan mental. Ilmu psikologi bahkan justru membuktikan bahwa kekerasan menciptakan trauma, bukan mental yang kuat.
Penulis pun yakin kekerasan di pondok pesantren tidak akan membuat santri menjadi sekuat pegulat kelas internasional seperti Ronda Rousey atau Dwayne “The Rock” Johnson. Dua nama tersebut yang secara fisik kuat dan bahkan pekerjaan sehari-harinya adalah memukul dan dipukul, ternyata pernah mengidap depresi. Karena memang tidak ada hubungannya kekerasan dan kekuatan mental. Yang jelas, setelah santri dipukuli, badannya akan sakit dan mental terguncang.
Ketiga, kekerasan yang dilakukan bukanlah “kekerasan” melainkan “ketegasan”. Dengan kata lain, memaki-maki, menampar, memukul, dan menendang pelanggar aturan adalah bentuk ketegasan dan bukan kekerasan. Ini merupakan dalih selanjutnya yang juga bermuatan sesat pikir.
Siapa pun pemangku kebijakan dapat dianggap tegas jika membuat aturan yang jelas, pencegahan akan terjadinya pelanggaran, pengawasan yang baik, dan hukuman sesuai dengan aturan yang ada. Hari ini, banyak terjadi aturan yang tidak jelas, pengawasan yang baru digembar-gemborkan saat pelanggaran terjadi, dan hukuman yang banyak melenceng dari aturan. Maka, itu bukan kekerasan.
Definisi mana pun yang digunakan, jika itu melibatkan pukulan, tendangan, tamparan, bahkan makian merupakan kekerasan. Menyebut penindakan menggunakan fisik sebagai “ketegasan” justru menggambarkan penegakan aturan yang tidak tegas. Itulah kekerasan, terjadi saat sistem yang ada gagal mengatur dan akal pikiran tidak digunakan secara maksimal untuk mencari alternatif menemukan pelanggar aturan serta menyelesaikan masalah.
Menggugat Kekerasan di Pondok Pesantren
Sebelum kembali membahas pada inti permasalahan, mari sejenak merenungkan posisi pondok pesantren. Ponpes merupakan institusi pendidikan khas Indonesia yang selalu digembar-gemborkan memadukan ilmu agama dan sains. Juga dicirikan dengan kemuliaan akhlak para santri dan lulusannya.
Dari gelar tersebut saja sudah jelas bahwa kekerasan sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh institusi pondok pesantren. Apakah menyakiti manusia lain diajarkan dalam ilmu agama? Apakah sains mengajarkan kekerasan untuk menyelesaikan masalah? Apakah akhlak mulia ditunjukkan dengan perilaku keras terhadap sesama manusia? Tidak.
Kita semua sudah tahu jawabannya, tetapi ragu-ragu untuk menyampaikan. Karena kekerasan sudah sangat mengakar di ponpes. Ada ponpes yang baik pendidikan bahasanya, ada ponpes yang baik pendidikan agamanya, ada ponpes yang memadukan ilmu agama dan sains, ada pula ponpes yang unggul dalam kepemimpinan. Tapi di nyaris semua ponpes (untuk tidak menyebut semua), diakui atau tidak, kekerasan terjadi dan tidak pernah ada upaya serius dan berkelanjutan memberantas kekerasan.
Hal ini juga berlaku bagi penulis sendiri. Ide tulisan ini sudah muncul sejak dua tahun lalu, tapi terlalu ragu untuk menuliskannya. Karena penulis mengalami sendiri bahwa budaya kekerasan terus dirawat atau minimal dibiarkan, hingga kemudian dianggap wajar.
Perlu keterlibatan semua pihak untuk menggugat kekerasan di ponpes. Pertama, dimulai dari mengakui bahwa budaya kekerasan itu ada dan tidak wajar. Kedua, secara individu untuk mengutuk setiap pihak yang melakukan kekarasan dengan dalih apapun. Ketiga, memunculkan keberanian kolektif untuk mengatakan bahwa kekerasan di pesantren adalah salah. Bahwa kekerasan adalah gambaran nyata ketiadaan sistem yang mumpuni dan penghinaan bagi akal pikiran manusia pesantren yang cerdas serta akhlak yang luhur.
Selanjutnya, perlu terobosan secara kolektif untuk memberantas kekerasan di pondok pesantren.
_____
Artikel selanjutnya dapat dibaca dalam link berikut: Mengakhiri Kekerasan di Pondok Pesantren
1 Komentar

2023-01-24 13:52:57
Okta
Tulisan yg objektif, reflektif, dan keren!
1 Komentar
2023-01-24 13:52:57
Okta
Tulisan yg objektif, reflektif, dan keren!
Tinggalkan Pesan