Jumaldi Alfi: Kopi dan Seni
Iqbal Suliansyah Senin, 3-2-2025 | - Dilihat: 499

Oleh: Iqbal Suliansyah
Mendengar nama Jumaldi Alfi tentu bukan hal yang asing, khususnya bagi pelaku seni atau sering disebut dengan seniman. Jumaldi Alfi bagi orang yang belum mengenalnya, merupakan perupa nusantara yang karyanya tidak hanya terkenal di dalam negeri bahkan luar negeri.
Untuk saya, sebenarnya nama tersebut masih sedikit asing. Saya pernah mendengar namanya dari tahun 2024 lalu, dan beberapa saat kemudian menjadi sering mendengar namanya saat nongkrong atau ngopi bersama teman-teman yang berbincang tentang beliau.
Meski belum pernah bertemu karena selama ini hanya membaca berita dan karyanya melalui berbagai media tidak terkecuali media sosial, tetapi saya tergelitik untuk menulis tentang beliau.
Saya memberanikan diri dengan membaca pemikiran Uda Alfi, sapaan akrabnya, melalui tulisan-tulisan pendek atau status di media Facebooknya. Sederhana tetapi bermakna, membuat saya ingin sekali berjumpa dan silaturahmi dengan beliau.
Seniman yang telah go nasional dan go internasional ini lahir di Sumatera Barat. Pernah menggelar pameran di Prancis, Belanda, Amerika, bahkan Tiongkok dan berbagai negara lain tak membuatnya merasa jumawa.
Saya mendengar keterangan itu dari teman-teman yang pernah berjumpa dengannya. Seperti tidak ada jarak, sangat dekat dan humble, katanya. Namun bukan itu saja yang menarik dari seorang Jumaldi Alfi.
Sebagai orang yang belum pernah bertemu, saya mencoba mengenal beliau dari informasi yang berseliweran di mana-mana. Selain dari teman-teman yang pernah sowan ke beliau tapi juga melalui podcast, pemberitaan, hingga status Uda Alfi di media sosial.
Pada akhir Desember 2024, Uda Alfi membuat status di Facebook: “Tempo hari waktu di Leiden, aku mampir di sebuah kafe, kafe kecil di pinggir sungai.walau kafenya kecil tapi aura dan suasana kafenya asyik sekali. Tidak ada pengunjung yang main hape dan buka laptop. Mereka, pengunjung kafe tampak enjoy menyesap kopi sambil ngborol satu sama lain. Suasana terasa hangat. Kalaupun ada pengunjung yang datang sendirian, dia tak juga main hape atau buka laptop tapi duduk membaca buku dengan secangkir kopi dan sepotong cake. Aku pingin bikin kafe dengan suasana seperti itu. Menyingkirkan sementara manusia dari dunia digital. No WiFi Only talk and no Rojali.”
Dari status itu, mendapat respon dari 527 akun, yaitu berupa 439 like, sisanya menyukai dan respon lainnya. 94 komentar beragam datang dari jamaah Facebook, yang sepertinya berasal dari teman, sahabat, atau penikmat karya-karya beliau.
Status itu menunjukkan hasratnya untuk membuka warung kopi yang berbeda dari warung kopi pada umumnya. Tidak ada WiFi, yang ada hanya diskusi. Menurut saya, hal ini juga menggambarkan kegelisahannya tentang seringnya orang-orang ngopi dan berkumpul tetapi sibuk dengan gadget-nya masing-masing, tidak berbincang satu sama lain dan mencari inspirasi.
Beberapa foto yang di-upload di media sosial Facebook Uda Alfi juga terlihat menyukai kopi, ditemani kuaci dan rokok. Sedikit berbeda dengan Instagram, karya-karya dan kegiatan seperti diskusi dan kelas seni tergambar jelas.
Menurut saya, Uda Alfi adalah sosok yang unik. Peraih banyak prestasi di antaranya Finalis Art Award tahun 2003 serta dinobatkan menjadi 20 perupa nasional yang masuk 500 perupa dunia yang karyanya laris manis di pasaran ini menunjukkan hal-hal biasa dan sederhana dalam keseharian serta imajinasinya.
Bedanya, dia tetap bersuara melalui karya. Hal ini setidaknya menginspirasi siapapun untuk tetap bersikap biasa dan tidak harus sombong dengan apa yang dimiliki. Melukis yang menjadi kesehariannya menyadarkan saya bahwa karyanya adalah bagian dari kekayaan intelektual yang mendorong tumbuhnya kesadaran akan pentingnya setiap orang memahami sejarah dan kebudayaan.
Secara visual hal itu menarik, tetapi tentu perlu dikaji lebih dalam. Karya dan lukisan-lukisan Jumaldi Alfi melalui papan tulis hitam memperkaya seni kontemporer di nusantara.
Keseriusan Jumaldi Alfi dalam berkarya juga terlihat dari didirikannya Sarang Building, yaitu galeri seni yang cukup luas di Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Keberadaan Sarang Building, menurut saya, menjadi semangat Jumaldi Alfi memberi ruang sebesar-besarnya kepada para seniman untuk mengekspresikan karyanya, berdiskusi, berkumpul, dan berbagi gagasan.
Tulisan ini selain sebagai apresiasi kepada karya-karyanya, juga sebagai harapan untuk bertemu langsung dengan Jumaldi Alfi, sambil menyeruput kopi, berbincang tentang seni, sejarah dan kebudayaan ditemani senja yang syahdu, bersama awan jingga meski kesunyian menemani semesta.
____
Iqbal Suliansyah, Alumni SKK II dan IV Maarif Institute
- Artikel Terpuler -
Jumaldi Alfi: Kopi dan Seni
Iqbal Suliansyah Senin, 3-2-2025 | - Dilihat: 499

Oleh: Iqbal Suliansyah
Mendengar nama Jumaldi Alfi tentu bukan hal yang asing, khususnya bagi pelaku seni atau sering disebut dengan seniman. Jumaldi Alfi bagi orang yang belum mengenalnya, merupakan perupa nusantara yang karyanya tidak hanya terkenal di dalam negeri bahkan luar negeri.
Untuk saya, sebenarnya nama tersebut masih sedikit asing. Saya pernah mendengar namanya dari tahun 2024 lalu, dan beberapa saat kemudian menjadi sering mendengar namanya saat nongkrong atau ngopi bersama teman-teman yang berbincang tentang beliau.
Meski belum pernah bertemu karena selama ini hanya membaca berita dan karyanya melalui berbagai media tidak terkecuali media sosial, tetapi saya tergelitik untuk menulis tentang beliau.
Saya memberanikan diri dengan membaca pemikiran Uda Alfi, sapaan akrabnya, melalui tulisan-tulisan pendek atau status di media Facebooknya. Sederhana tetapi bermakna, membuat saya ingin sekali berjumpa dan silaturahmi dengan beliau.
Seniman yang telah go nasional dan go internasional ini lahir di Sumatera Barat. Pernah menggelar pameran di Prancis, Belanda, Amerika, bahkan Tiongkok dan berbagai negara lain tak membuatnya merasa jumawa.
Saya mendengar keterangan itu dari teman-teman yang pernah berjumpa dengannya. Seperti tidak ada jarak, sangat dekat dan humble, katanya. Namun bukan itu saja yang menarik dari seorang Jumaldi Alfi.
Sebagai orang yang belum pernah bertemu, saya mencoba mengenal beliau dari informasi yang berseliweran di mana-mana. Selain dari teman-teman yang pernah sowan ke beliau tapi juga melalui podcast, pemberitaan, hingga status Uda Alfi di media sosial.
Pada akhir Desember 2024, Uda Alfi membuat status di Facebook: “Tempo hari waktu di Leiden, aku mampir di sebuah kafe, kafe kecil di pinggir sungai.walau kafenya kecil tapi aura dan suasana kafenya asyik sekali. Tidak ada pengunjung yang main hape dan buka laptop. Mereka, pengunjung kafe tampak enjoy menyesap kopi sambil ngborol satu sama lain. Suasana terasa hangat. Kalaupun ada pengunjung yang datang sendirian, dia tak juga main hape atau buka laptop tapi duduk membaca buku dengan secangkir kopi dan sepotong cake. Aku pingin bikin kafe dengan suasana seperti itu. Menyingkirkan sementara manusia dari dunia digital. No WiFi Only talk and no Rojali.”
Dari status itu, mendapat respon dari 527 akun, yaitu berupa 439 like, sisanya menyukai dan respon lainnya. 94 komentar beragam datang dari jamaah Facebook, yang sepertinya berasal dari teman, sahabat, atau penikmat karya-karya beliau.
Status itu menunjukkan hasratnya untuk membuka warung kopi yang berbeda dari warung kopi pada umumnya. Tidak ada WiFi, yang ada hanya diskusi. Menurut saya, hal ini juga menggambarkan kegelisahannya tentang seringnya orang-orang ngopi dan berkumpul tetapi sibuk dengan gadget-nya masing-masing, tidak berbincang satu sama lain dan mencari inspirasi.
Beberapa foto yang di-upload di media sosial Facebook Uda Alfi juga terlihat menyukai kopi, ditemani kuaci dan rokok. Sedikit berbeda dengan Instagram, karya-karya dan kegiatan seperti diskusi dan kelas seni tergambar jelas.
Menurut saya, Uda Alfi adalah sosok yang unik. Peraih banyak prestasi di antaranya Finalis Art Award tahun 2003 serta dinobatkan menjadi 20 perupa nasional yang masuk 500 perupa dunia yang karyanya laris manis di pasaran ini menunjukkan hal-hal biasa dan sederhana dalam keseharian serta imajinasinya.
Bedanya, dia tetap bersuara melalui karya. Hal ini setidaknya menginspirasi siapapun untuk tetap bersikap biasa dan tidak harus sombong dengan apa yang dimiliki. Melukis yang menjadi kesehariannya menyadarkan saya bahwa karyanya adalah bagian dari kekayaan intelektual yang mendorong tumbuhnya kesadaran akan pentingnya setiap orang memahami sejarah dan kebudayaan.
Secara visual hal itu menarik, tetapi tentu perlu dikaji lebih dalam. Karya dan lukisan-lukisan Jumaldi Alfi melalui papan tulis hitam memperkaya seni kontemporer di nusantara.
Keseriusan Jumaldi Alfi dalam berkarya juga terlihat dari didirikannya Sarang Building, yaitu galeri seni yang cukup luas di Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Keberadaan Sarang Building, menurut saya, menjadi semangat Jumaldi Alfi memberi ruang sebesar-besarnya kepada para seniman untuk mengekspresikan karyanya, berdiskusi, berkumpul, dan berbagi gagasan.
Tulisan ini selain sebagai apresiasi kepada karya-karyanya, juga sebagai harapan untuk bertemu langsung dengan Jumaldi Alfi, sambil menyeruput kopi, berbincang tentang seni, sejarah dan kebudayaan ditemani senja yang syahdu, bersama awan jingga meski kesunyian menemani semesta.
____
Iqbal Suliansyah, Alumni SKK II dan IV Maarif Institute
1 Komentar

2025-02-04 15:11:39
Leo sumpu
Is the best Uda alfi
1 Komentar
2025-02-04 15:11:39
Leo sumpu
Is the best Uda alfi
Tinggalkan Pesan