Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin Ahad, 15-5-2022 | - Dilihat: 1034

Oleh: Muhammad Iqbal Kholidin
Manusia sering kali merasakan perasaan yang abstrak dan sulit untuk dipahami. Perasaan yang sering hadir dan melingkupi hidup manusia dikenal sebagai cinta. Perasaan berbentuk cinta telah dirasakan ribuan tahun lamanya oleh manusia, sehingga, manusia pun seringkali mengabadikan perasaan cinta dalam berbagai media penyampaian seperti puisi, syair, lagu, dan berbagai bentuk lainnya.
Jika mendengar pepatah orangtua, cinta pada dasarnya berangkat dari perasaan mengenal sampai pada tingkatan yang tidak bisa di definisikan. Sudjiwo Tedjo seorang seniman melalui perkatannya menyebutkan bahwa cinta yang sejati akan sulit untuk di definisikan namun bisa untuk dirasakan dan dia bersifat abadi.
Lantas akan timbul pertanyaan mengapa manusia bercinta dan saling mencintai satu sama lainnya? Jika memang cinta itu ada, mengapa justru timbul sebuah patah hati?
Seringkali sebenarnya manusia bingung untuk merasakan sebuah perasaan cinta pada dirinya. Seringkali kita terjebak pada hiperbola perasaan tertarik pada individu lain hingga kita menduga itu sebagai sebuah rasa cinta.
Manusia dalam perjalanan cintanya seringkali menemui pemahaman yang ambigu, apakah suatu bahasa cinta yang masuk pada benak otak adalah sebenar-benarnya sebuah rasa cinta yang abadi dan nyata?
Ya, manusia seringkali terjebak pada persepsi subjektif semata. Dengan definisi sepihak yang dilakukan, sudah langsung berani mengungkapkan bahwa dia mencintai seseorang dan menyatakan rasa sayang.
Inilah yang menjadi permasalahan ketika manusia justru selalu terjebak di pertanyaan memutar tanpa bertemu dengan jawaban sesungguhnya. Mungkin, manusia sebetulnya memang terjebak, namun bukan pada perasaan cinta, namun terjebak pada kebenaran bahwa manusia memang belum selesai dikatakan telah mencinta jika hanya mencintai hanya pada entitas makhluk saja. Dampak dari hal tersebut adalah perasaan sakit hati dan kecewa setelah sudah cinta sebatas hanya pada makhluk saja.
Dalam catatan manis tentang cinta, telah terpatri sebuah nama filsuf dan penyair yang terkenal, ialah Jalaluddin Rumi. Merujuk pada buku karya Sri Muryanto berjudul Belajar Makrifat Syeh Siti Jennar, Al Hallaj dan Jalaluddin Rumi, maka kita akan menemukan bagaimana Rumi mendefinisikan cinta.
Bagi Rumi, Cinta adalah suatu hal yang asing dengan bahasa yang asing pula sehingga cinta sebagai bahasa asing tersebut tidak dapat untuk diucapkan ataupun didengar, cinta hanya bisa dirasakan dan disampaikan.
Dalam memahami perkataan tersebut, Rumi menulis adanya tingkatan cinta yang membuat manusia mampu mendefinisikan kembali tentang cinta, baik dari dasar hingga penentuan tujuan cinta itu sendiri.
Dalam tingkatan cinta pertama ala Rumi, cinta bertujuan kepada hal-hal yang merupakan ciptaan dari Allah, baik berupa materiil. Inilah dasar dari bagaimana seorang manusia mencintai suatu hal. Dan ini juga yang paling sering manusia lakukan, mencintai dan patah hati pada tingkatan pertama.
Tingkatan kedua adalah bentuk cinta terhadap isi dunia melalui praktik ibadah ataupun ritual secara formal. Hal ini juga dikenal sebagai menjalankan syariat sesuai pedoman yang berlaku. Malalui hal tersebut, manusia berupaya melakukan upaya transisi dari mencintai hanya pada bentuk ciptaan kepada mencintai pada aturan Tuhan.
Tingkatan ketiga merupakan tingkatan cinta kepada Allah dengan penghayatan secara personal dan spiritual. Seorang manusia pada tingkatan ini akan merasakan penghayatan dan kedekatan secara langsung dengan Tuhannya, sehingga cinta tersebut dirasa sempurna baik secara derajat hakikat ataupun makrifat.
Inilah sesungguhnya bagaimana cinta tak lagi didefinisikan secara bahasa melalui perkataan semata, namun cinta merupakan bagaimana mencintai sang pencipta hakiki dengan seutuhnya.
Jalaluddin Rumi dalam hidupnya dapat dikatakan sudah melampau jauh hingga tingkatan tertinggi, bercinta tanpa bisa dijelaskan secara logika namun telah Bersatu pada Tuhannya. Lantas sebagai manusia bagaimana kita bisa melakukan upaya cinta sesungguhnya?
Sebagai manusia perlu kita ubah persepsi dan tujuan kita untuk mencintai sesuatu hal yang ada di dunia yang fana. Kita pahami bahwa sesuatu hal yang bersifat duniawi bersifat tidak abadi, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan cinta kepada sosok materi dapat berlangsung selamanya? Itulah mungkin penjelasan mengapa mencintai duniawi akan berujung patah hati, karena memang tidak bersifat abadi.
Jika manusia menginginkan bentuk cinta abadi, mencintai dengan utuh dan menyeluruh maka coba cintai Allah dengan pendekatan personal dan spiritual. Pepatah lama mengatakan pula bahwa jika menginginkan cinta dari seorang ciptaan, coba cintai dulu penciptanya. Dan merujuk pada konsep cinta Rumi, mungkin memang benar inilah kebenarannya.
Oleh karena itulah, mari mencoba untuk merubah pandangan dan tujuan tentang cinta dan mari menuju cinta yang murni tanpa patah hati. Karena terjebak pada kalut untuk mencintai seorang makhluk telah banyak membuat kita lalai pada hidup, terjebak pada lingkaran palsu tentang kebahagiaan dan sakit hati berkepanjangan.
- Artikel Terpuler -
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin Ahad, 15-5-2022 | - Dilihat: 1034

Oleh: Muhammad Iqbal Kholidin
Manusia sering kali merasakan perasaan yang abstrak dan sulit untuk dipahami. Perasaan yang sering hadir dan melingkupi hidup manusia dikenal sebagai cinta. Perasaan berbentuk cinta telah dirasakan ribuan tahun lamanya oleh manusia, sehingga, manusia pun seringkali mengabadikan perasaan cinta dalam berbagai media penyampaian seperti puisi, syair, lagu, dan berbagai bentuk lainnya.
Jika mendengar pepatah orangtua, cinta pada dasarnya berangkat dari perasaan mengenal sampai pada tingkatan yang tidak bisa di definisikan. Sudjiwo Tedjo seorang seniman melalui perkatannya menyebutkan bahwa cinta yang sejati akan sulit untuk di definisikan namun bisa untuk dirasakan dan dia bersifat abadi.
Lantas akan timbul pertanyaan mengapa manusia bercinta dan saling mencintai satu sama lainnya? Jika memang cinta itu ada, mengapa justru timbul sebuah patah hati?
Seringkali sebenarnya manusia bingung untuk merasakan sebuah perasaan cinta pada dirinya. Seringkali kita terjebak pada hiperbola perasaan tertarik pada individu lain hingga kita menduga itu sebagai sebuah rasa cinta.
Manusia dalam perjalanan cintanya seringkali menemui pemahaman yang ambigu, apakah suatu bahasa cinta yang masuk pada benak otak adalah sebenar-benarnya sebuah rasa cinta yang abadi dan nyata?
Ya, manusia seringkali terjebak pada persepsi subjektif semata. Dengan definisi sepihak yang dilakukan, sudah langsung berani mengungkapkan bahwa dia mencintai seseorang dan menyatakan rasa sayang.
Inilah yang menjadi permasalahan ketika manusia justru selalu terjebak di pertanyaan memutar tanpa bertemu dengan jawaban sesungguhnya. Mungkin, manusia sebetulnya memang terjebak, namun bukan pada perasaan cinta, namun terjebak pada kebenaran bahwa manusia memang belum selesai dikatakan telah mencinta jika hanya mencintai hanya pada entitas makhluk saja. Dampak dari hal tersebut adalah perasaan sakit hati dan kecewa setelah sudah cinta sebatas hanya pada makhluk saja.
Dalam catatan manis tentang cinta, telah terpatri sebuah nama filsuf dan penyair yang terkenal, ialah Jalaluddin Rumi. Merujuk pada buku karya Sri Muryanto berjudul Belajar Makrifat Syeh Siti Jennar, Al Hallaj dan Jalaluddin Rumi, maka kita akan menemukan bagaimana Rumi mendefinisikan cinta.
Bagi Rumi, Cinta adalah suatu hal yang asing dengan bahasa yang asing pula sehingga cinta sebagai bahasa asing tersebut tidak dapat untuk diucapkan ataupun didengar, cinta hanya bisa dirasakan dan disampaikan.
Dalam memahami perkataan tersebut, Rumi menulis adanya tingkatan cinta yang membuat manusia mampu mendefinisikan kembali tentang cinta, baik dari dasar hingga penentuan tujuan cinta itu sendiri.
Dalam tingkatan cinta pertama ala Rumi, cinta bertujuan kepada hal-hal yang merupakan ciptaan dari Allah, baik berupa materiil. Inilah dasar dari bagaimana seorang manusia mencintai suatu hal. Dan ini juga yang paling sering manusia lakukan, mencintai dan patah hati pada tingkatan pertama.
Tingkatan kedua adalah bentuk cinta terhadap isi dunia melalui praktik ibadah ataupun ritual secara formal. Hal ini juga dikenal sebagai menjalankan syariat sesuai pedoman yang berlaku. Malalui hal tersebut, manusia berupaya melakukan upaya transisi dari mencintai hanya pada bentuk ciptaan kepada mencintai pada aturan Tuhan.
Tingkatan ketiga merupakan tingkatan cinta kepada Allah dengan penghayatan secara personal dan spiritual. Seorang manusia pada tingkatan ini akan merasakan penghayatan dan kedekatan secara langsung dengan Tuhannya, sehingga cinta tersebut dirasa sempurna baik secara derajat hakikat ataupun makrifat.
Inilah sesungguhnya bagaimana cinta tak lagi didefinisikan secara bahasa melalui perkataan semata, namun cinta merupakan bagaimana mencintai sang pencipta hakiki dengan seutuhnya.
Jalaluddin Rumi dalam hidupnya dapat dikatakan sudah melampau jauh hingga tingkatan tertinggi, bercinta tanpa bisa dijelaskan secara logika namun telah Bersatu pada Tuhannya. Lantas sebagai manusia bagaimana kita bisa melakukan upaya cinta sesungguhnya?
Sebagai manusia perlu kita ubah persepsi dan tujuan kita untuk mencintai sesuatu hal yang ada di dunia yang fana. Kita pahami bahwa sesuatu hal yang bersifat duniawi bersifat tidak abadi, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan cinta kepada sosok materi dapat berlangsung selamanya? Itulah mungkin penjelasan mengapa mencintai duniawi akan berujung patah hati, karena memang tidak bersifat abadi.
Jika manusia menginginkan bentuk cinta abadi, mencintai dengan utuh dan menyeluruh maka coba cintai Allah dengan pendekatan personal dan spiritual. Pepatah lama mengatakan pula bahwa jika menginginkan cinta dari seorang ciptaan, coba cintai dulu penciptanya. Dan merujuk pada konsep cinta Rumi, mungkin memang benar inilah kebenarannya.
Oleh karena itulah, mari mencoba untuk merubah pandangan dan tujuan tentang cinta dan mari menuju cinta yang murni tanpa patah hati. Karena terjebak pada kalut untuk mencintai seorang makhluk telah banyak membuat kita lalai pada hidup, terjebak pada lingkaran palsu tentang kebahagiaan dan sakit hati berkepanjangan.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan