• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Mengakhiri Kekerasan di Pondok Pesantren

Nabhan Mudrik Alyaum Rabu, 25-1-2023 | - Dilihat: 93

banner

Oleh: Nabhan Mudrik Alyaum

Pekan lalu, penulis berkesempatan mengisi materi pada Upgrading dan Evaluasi Tengah Periode PR IPM Muallimin. Penulis menjadi salah satu panelis bersama dengan Ahmad Hawari Jundullah (Ketua Umum PR IPM Muallimin 2013/2014) dan Syahrul Ramadhan (Ketua PR IPM Muallimin 2011/2012). Pada kesempatan tersebut penulis sangat sepakat dengan Kak Syahrul, yang menyebutkan kekerasan adalah gambaran ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang lembut.

Sebenarnya, wali santri saat ini menginginkan kekerasan tidak lagi ada di dalam ponpes. Hal ini bukan berarti wali santri rewel atau over-protektif. Tetapi lebih kepada pengetahuan aturan hukum yang lebih baik dan nilai-nilai kemanusiaan yang saat ini makin disadari oleh masyarakat luas. Lagipula, siapa, sih yang tega anak atau kerabatnya dipukuli—apalagi jika belum terbukti bersalah?

Selain itu, penyelenggara pendidikan ponpes juga tidak lagi menginginkan kekerasan terjadi tetapi ragu untuk menyampaikan. Atau mungkin berani menyampaikan tetapi tidak memiliki opsi-opsi yang jelas untuk mengakhiri kekerasan di ponpes.

Pihak-pihak lain di luar ponpes juga banyak yang menginginkan berakhirnya kekerasan. Namun, kalangan santri yang dianggap bagian elit dari masyarakat dan memiliki dunia sendiri membuat ponpes seakan tidak tersentuh. Maka perubahan harus dimulai dari dalam. Terobosan harus dimulai dari pemangku kebijakan di dalam pondok pesantren, baik guru dan tenaga kependidikan, maupun santri senior yang juga menjadi pelaksana kebijakan, misalnya IPM/OSIS.

Belajar Lebih Jauh Tentang Perubahan Perilaku

Salah satu asumsi dasar yang mendasari penegakan hukum di ponpes adalah santri sudah cukup dewasa dan sadar dengan perilakunya dan karenanya patut dihukum. Asumsi ini menjadi awal penegakan hukum tanpa pandang bulu di ponpes, yang pada pelaksanaannya sangat berpotensi menjadi kekerasan. Padahal asumsi dasar ini salah.

Ilmu psikologi dan neurosains terbaru menyatakan bahwa bagian otak manusia yang paling akhir berkembang adalah pre frontal cortex. Bagian ini terletak di otak sisi depan dan baru berkembang sempurna saat manusia berusia sekitar 25 tahun. Lobus pre frontal cortex terkait dengan pengambilan keputusan, perencanaan, spontanitas, konsekuensi, pemecahan masalah, empati, serta perilaku sosial dan seksual.

Dengan kata lain, sangat mungkin santri yang masih berada di usia remaja melakukan kesalahan tanpa tahu bahwa apa yang dilakukan adalah salah, atau tanpa berpikir panjang soal konsekuensi dari perbuatannya. Kasus-kasus pencurian, merokok, tidak masuk asrama tepat waktu, memanjat pagar, dan pelanggaran-pelanggaran mungkin saja dilakukan karena santri belum memahami arti tanggung jawab.

Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah mengusahakan perubahan perilaku santri ke arah yang baik. Perubahan dapat dilakukan dengan secara langsung memunculkan kebiasaan baik, menggantikan kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik, ataupun memberi wadah penyaluran energi anak muda ke arah yang positif. Misalnya melalui ekstra kurikuler yang lebih beragam dan dibina secara serius.

Sebenarnya, upaya melatih kebiasaan baik sudah ada dengan rutinitas yang setiap hari dibiasakan. Tetapi hal-hal tersebut belum tentu dilakukan dengan metode yang tepat dan sistematis. Metode-metode perubahan ke arah yang lebih baik seperti Theory of Change dan Social Behaviour Change dapat dipelajari secara mendalam lalu diterapkan untuk perubahan perilaku. Prinsip-prinsip dalam buku Atomic Habits juga tidak kalah menarik untuk memunculkan kebiasaan baik.

Membangun Sistem yang Baik

Selama mengenyam pendidikan di Muallimin, selain pelanggaran aturan seperti pencurian dan kasus-kasus lain, ada beberapa lingkaran setan. Di antaranya tidur di kelas, mencontek, perselisihan antar angkatan, sampai kebersihan asrama. Hal ini pernah saya sampaikan sebagai “wasiat” pada adik-adik kelas saat mewakili angkatan di pidato terakhir upacara hari Sabtu, sebelum ujian nasional.

Lingkaran setan tersebut terus terjadi lantaran tidak ada sistem yang dibangun dengan jelas dari hulu hingga ke hilir. Juga tidak ada penanggungjawab secara jelas aturan-aturan tersebut. Maka, membangun sistem yang baik perlu dilakukan. Terlebih Muallimin sebagai ponpes memiliki potensi sebagai laboratorium sosial di mana kehidupan santri selama 24 jam cenderung tertata dibanding remaja seusia yang tinggal di rumah.

Sistem dan aturan yang ada perlu ditinjau ulang, yang sudah tepat dipertahankan, dan yang kurang tepat diganti dengan aturan yang lebih relevan. Disiplin dalam pengawasan dan penegakan juga perlu diterapkan. Dalam hal penegakan aturan, saya selalu melihat Madrasah Muallimaat—saudara kembar Madrasah Muallimin—selangkah di depan dibanding Muallimin, karena Muallimaat terasa lebih telaten dalam pengawasan dan pelaksanaan regulasi.

Khusus pada kasus kekerasan, perlu aturan yang jelas kriteria kekerasan dan hukumannya. Selanjutnya juga perlu penanggung jawab yang jelas. Apakah IPM sebagai perwakilan santri, atau mujanib, atau musyrif, atau BK dan pimpinan madrasah. Penanggung jawab yang jelas akan membantu dalam penegakan dan tidak saling lempar tanggung jawab jika suatu saat terjadi pelanggaran. Tidak lupa, evaluasi penyelenggaraan regulasi juga perlu dilakukan, bahkan bila perlu melibatkan pihak eksternal ponpes.

Pelaporan Kekerasan

Kunci terakhir dari pemberantasan kekerasan adalah pelaporan. Saat ini, jika pelaporan dilakukan sikap yang umumnya muncul adalah pengabaian. Atau menganggap sepele pelaporan kekerasan dengan mewajarkan kekerasan. Padahal, pengabaian dan menganggap sepele laporan-lah yang membuat kekerasan di dalam pesantren selama ini langgeng. Tidak jarang sampai dibawa ke ranah hukum dan pada akhirnya mencoreng nama ponpes di hadapan publik.

Maka, pelaporan kekerasan perlu diperhatikan secara serius. Pertama, dengan memastikan pelaporan aman dari ancaman. Kedua, memastikan laporan ditindaklanjuti dengan baik. Ketiga, memastikan setelah ada laporan kasus juga dilakukan tindaklanjut untuk mencegah kasus tersebut terulang.

Pelaporan kekerasan yang lebih baik juga menjadi harapan kekerasan di ponpes tidak lagi menjadi fenomena gunung es. Ini juga menjadi bagian dari kesungguhan kita memberantas kekerasan di ponpes.

Akhirnya, dua tulisan ini merupakan upaya individu penulis menggambarkan keresahan dan menawarkan solusi. Penulis dengan terbuka juga mengajak para pembaca sekalian memberikan pendapat dan opsi-opsi terobosan lain untuk mengakhiri budaya kekerasan di pondok pesantren.

Tentu saja upaya individu harus menjadi upaya kolektif jika benar kita menginginkan budaya kekerasan di ponpes berakhir. Saat ini, bukan soal siap atau tidak siap, juga bukan soal mampu atau tidak, tetapi soal mau atau tidak.

_____

Artikel sebelumnya bisa dibaca dalam link berikut: Menggugat Kekerasan di Pondok Pesantren

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb

Mengakhiri Kekerasan di Pondok Pesantren

Nabhan Mudrik Alyaum Rabu, 25-1-2023 | - Dilihat: 93

banner

Oleh: Nabhan Mudrik Alyaum

Pekan lalu, penulis berkesempatan mengisi materi pada Upgrading dan Evaluasi Tengah Periode PR IPM Muallimin. Penulis menjadi salah satu panelis bersama dengan Ahmad Hawari Jundullah (Ketua Umum PR IPM Muallimin 2013/2014) dan Syahrul Ramadhan (Ketua PR IPM Muallimin 2011/2012). Pada kesempatan tersebut penulis sangat sepakat dengan Kak Syahrul, yang menyebutkan kekerasan adalah gambaran ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang lembut.

Sebenarnya, wali santri saat ini menginginkan kekerasan tidak lagi ada di dalam ponpes. Hal ini bukan berarti wali santri rewel atau over-protektif. Tetapi lebih kepada pengetahuan aturan hukum yang lebih baik dan nilai-nilai kemanusiaan yang saat ini makin disadari oleh masyarakat luas. Lagipula, siapa, sih yang tega anak atau kerabatnya dipukuli—apalagi jika belum terbukti bersalah?

Selain itu, penyelenggara pendidikan ponpes juga tidak lagi menginginkan kekerasan terjadi tetapi ragu untuk menyampaikan. Atau mungkin berani menyampaikan tetapi tidak memiliki opsi-opsi yang jelas untuk mengakhiri kekerasan di ponpes.

Pihak-pihak lain di luar ponpes juga banyak yang menginginkan berakhirnya kekerasan. Namun, kalangan santri yang dianggap bagian elit dari masyarakat dan memiliki dunia sendiri membuat ponpes seakan tidak tersentuh. Maka perubahan harus dimulai dari dalam. Terobosan harus dimulai dari pemangku kebijakan di dalam pondok pesantren, baik guru dan tenaga kependidikan, maupun santri senior yang juga menjadi pelaksana kebijakan, misalnya IPM/OSIS.

Belajar Lebih Jauh Tentang Perubahan Perilaku

Salah satu asumsi dasar yang mendasari penegakan hukum di ponpes adalah santri sudah cukup dewasa dan sadar dengan perilakunya dan karenanya patut dihukum. Asumsi ini menjadi awal penegakan hukum tanpa pandang bulu di ponpes, yang pada pelaksanaannya sangat berpotensi menjadi kekerasan. Padahal asumsi dasar ini salah.

Ilmu psikologi dan neurosains terbaru menyatakan bahwa bagian otak manusia yang paling akhir berkembang adalah pre frontal cortex. Bagian ini terletak di otak sisi depan dan baru berkembang sempurna saat manusia berusia sekitar 25 tahun. Lobus pre frontal cortex terkait dengan pengambilan keputusan, perencanaan, spontanitas, konsekuensi, pemecahan masalah, empati, serta perilaku sosial dan seksual.

Dengan kata lain, sangat mungkin santri yang masih berada di usia remaja melakukan kesalahan tanpa tahu bahwa apa yang dilakukan adalah salah, atau tanpa berpikir panjang soal konsekuensi dari perbuatannya. Kasus-kasus pencurian, merokok, tidak masuk asrama tepat waktu, memanjat pagar, dan pelanggaran-pelanggaran mungkin saja dilakukan karena santri belum memahami arti tanggung jawab.

Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah mengusahakan perubahan perilaku santri ke arah yang baik. Perubahan dapat dilakukan dengan secara langsung memunculkan kebiasaan baik, menggantikan kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik, ataupun memberi wadah penyaluran energi anak muda ke arah yang positif. Misalnya melalui ekstra kurikuler yang lebih beragam dan dibina secara serius.

Sebenarnya, upaya melatih kebiasaan baik sudah ada dengan rutinitas yang setiap hari dibiasakan. Tetapi hal-hal tersebut belum tentu dilakukan dengan metode yang tepat dan sistematis. Metode-metode perubahan ke arah yang lebih baik seperti Theory of Change dan Social Behaviour Change dapat dipelajari secara mendalam lalu diterapkan untuk perubahan perilaku. Prinsip-prinsip dalam buku Atomic Habits juga tidak kalah menarik untuk memunculkan kebiasaan baik.

Membangun Sistem yang Baik

Selama mengenyam pendidikan di Muallimin, selain pelanggaran aturan seperti pencurian dan kasus-kasus lain, ada beberapa lingkaran setan. Di antaranya tidur di kelas, mencontek, perselisihan antar angkatan, sampai kebersihan asrama. Hal ini pernah saya sampaikan sebagai “wasiat” pada adik-adik kelas saat mewakili angkatan di pidato terakhir upacara hari Sabtu, sebelum ujian nasional.

Lingkaran setan tersebut terus terjadi lantaran tidak ada sistem yang dibangun dengan jelas dari hulu hingga ke hilir. Juga tidak ada penanggungjawab secara jelas aturan-aturan tersebut. Maka, membangun sistem yang baik perlu dilakukan. Terlebih Muallimin sebagai ponpes memiliki potensi sebagai laboratorium sosial di mana kehidupan santri selama 24 jam cenderung tertata dibanding remaja seusia yang tinggal di rumah.

Sistem dan aturan yang ada perlu ditinjau ulang, yang sudah tepat dipertahankan, dan yang kurang tepat diganti dengan aturan yang lebih relevan. Disiplin dalam pengawasan dan penegakan juga perlu diterapkan. Dalam hal penegakan aturan, saya selalu melihat Madrasah Muallimaat—saudara kembar Madrasah Muallimin—selangkah di depan dibanding Muallimin, karena Muallimaat terasa lebih telaten dalam pengawasan dan pelaksanaan regulasi.

Khusus pada kasus kekerasan, perlu aturan yang jelas kriteria kekerasan dan hukumannya. Selanjutnya juga perlu penanggung jawab yang jelas. Apakah IPM sebagai perwakilan santri, atau mujanib, atau musyrif, atau BK dan pimpinan madrasah. Penanggung jawab yang jelas akan membantu dalam penegakan dan tidak saling lempar tanggung jawab jika suatu saat terjadi pelanggaran. Tidak lupa, evaluasi penyelenggaraan regulasi juga perlu dilakukan, bahkan bila perlu melibatkan pihak eksternal ponpes.

Pelaporan Kekerasan

Kunci terakhir dari pemberantasan kekerasan adalah pelaporan. Saat ini, jika pelaporan dilakukan sikap yang umumnya muncul adalah pengabaian. Atau menganggap sepele pelaporan kekerasan dengan mewajarkan kekerasan. Padahal, pengabaian dan menganggap sepele laporan-lah yang membuat kekerasan di dalam pesantren selama ini langgeng. Tidak jarang sampai dibawa ke ranah hukum dan pada akhirnya mencoreng nama ponpes di hadapan publik.

Maka, pelaporan kekerasan perlu diperhatikan secara serius. Pertama, dengan memastikan pelaporan aman dari ancaman. Kedua, memastikan laporan ditindaklanjuti dengan baik. Ketiga, memastikan setelah ada laporan kasus juga dilakukan tindaklanjut untuk mencegah kasus tersebut terulang.

Pelaporan kekerasan yang lebih baik juga menjadi harapan kekerasan di ponpes tidak lagi menjadi fenomena gunung es. Ini juga menjadi bagian dari kesungguhan kita memberantas kekerasan di ponpes.

Akhirnya, dua tulisan ini merupakan upaya individu penulis menggambarkan keresahan dan menawarkan solusi. Penulis dengan terbuka juga mengajak para pembaca sekalian memberikan pendapat dan opsi-opsi terobosan lain untuk mengakhiri budaya kekerasan di pondok pesantren.

Tentu saja upaya individu harus menjadi upaya kolektif jika benar kita menginginkan budaya kekerasan di ponpes berakhir. Saat ini, bukan soal siap atau tidak siap, juga bukan soal mampu atau tidak, tetapi soal mau atau tidak.

_____

Artikel sebelumnya bisa dibaca dalam link berikut: Menggugat Kekerasan di Pondok Pesantren

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech