• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Ulama Jomblo: Antara Warisan Ideologi dan Biologi

Musyfiqur Rozi Jum'at, 12-8-2022 | - Dilihat: 50

banner

Oleh: Musyfiqur Rozi

  • Buku              : Ulama Jomblo (rela tidak beristri demi ilmu)
  • Penulis          : Abdul Fattah Abu Guddah
  • Penerjemah  : Yayan Mushthafa
  • Penerbit        : Penerbit Kalam
  • ISBN             : 978-602-35746-8-5
  • Terbitan        : Maret, 2020
  • Peresensi     : Musyfiqur Rozi

 

Fahruddin Faiz dalam menyampaikan prolog dari buku ini merasa malu dan tidak pantas. Selain beliau sudah menikah, ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Fahrudin Faiz masih dangkal. Jauh dari kata dekat ketimbang ulama-ulama yang disebutkan dalam buku ini.

Menikah adalah sesuatu yang memang dianjurkan dalam agama. Manusia yang memiliki hawa nafsu dan agar tidak jatuh zina, maka agama memberi wadah untuk menyalurkan hasrat atau nafsu yang dimiliki manusia. Dengan menikah, manusia bisa meneruskan keturunan yang shaleh, mempelajari islam dari para leluhur dan menyampaikannya pada generasi berikutnya.

Mafhum diketahui bahwa pernikahan adalah urusan fundamental dan kebutuhan pokok hidup manusia. bahkan ada salah satu hadits menyatakan dengan tegas bahwa menikah adalah bagian dari kesunnahanku, barang siapa tidak suka sunnahku, maka tidak termasuk dari kelompokku.

Pertanyaan sedernhana yang muncul di benak kita adalah apakah para ulama yang notabane-nya adalah penerus Nabi tidak senang dengan sesuatu yang sngat dianjurkan oleh Nabi. seolah-olah, ini bertentangan dengan posisi mereka yang disebut dengan ulama.

Kehadiran buku ulama jomblo yang diterjemah dari kitab al-ulama’ aluddzab alladzina atsaru al-ilma la al-zawaj karya Abdul Fattah Abul Ghaddab memaparkan sekelumit kisah dan alasan para ulama tidak menikah.

Pilihan untuk membujang atau tidak menikah bukan sembarang pilihan, mereka bukan tidak paham mengenai hukum menikah yang sangat dianjurkan oleh agama. Akan tetapi, mereka lebih memilih memendam keinginan duniawi demi ilmu pengetahuan.

Sebelum membahasa para tokoh, penulis menyebutkan manfaat dan mudharat dalam pernikahan. Jomblo seumur hidup adalah pilihan bukan nasib. Mereka memilih untuk diri mereka sendiri dengan kecerdasan mata hati. Keutamaan mencari ilmu, menurut mereka, lebih unggul ketimbang kebaikan pernikahan. Mereka memprioritaskan perintah satu dari pada perintah lainnya.

Para ulama membujang disebabkan karena kerinduan dan kecintaannya yang dalam terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mengumpulkan, menyebarkan serta membukukan ilmu agar ilmu tersebut semakin berkembang biak menempati posisi ruh dan jasad. Kedua, terlepas dari kebaikan dan keutamaannya, para ulama menilai bahwa pernikahan mengurangi waktu merka untuk mencari yang luhur dan mulia.

Mereka juga beranggapan bahwa pernikahan adalah batu sandungan yang dapat menghambat laju mereka dalam mencari ilmu. Mereka lebih memprioritaskan keuatamaan yang universal ketimbang urusan pribadi.

Dalam kitabnya, al-Hafidz al-Katib al-Baghdadi menganjurkan bagi para penuntut ilmu untuk menjomblo sebisa mungkin, agar kesibukan kewajiban-hak suami-istri dan mencari nafkah tidak memotong proses kesempurnaan mencari ilmu.”

Misal, dari 24 jam sehari-semalam, sebagaimana yang disebutkan oleh Abu al-Hasan bin al-Ithar, Imam Nawawi menghabiskan waktu belajar dua jam pelajaran kitab al-wasit, satu jam kitab muhaddzab, satu jam pelajaran kitab al-jam’u baina al-shahihain, satu pelajaran kitab shahih muslim, satu pelajaran al-luma’, satu jam tashrif, satu jam ushul fiqih, satu jam perlajaran tentang ulum al-hadits dan satu jam ilmu ushul al-din atau akidah.

Maka, dapat dipahami bahwa imam Nawawi benar-benar tidak sempat untuk memikirkan pernikahan sama sekali karena kecintaan dan keinginannya untuk terus belajar.

Ada banyak tokoh yang diceritakan dalam buku ini ulama yang memilih membujang sampai akhir hayatnya. Imam Nawawi, Ibnu Taymiyah, Syekikh Basyir al-Ghazzi (ulama fiqih), ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari (mufassir) al-Sijzi (ahli astronomi) adalah sederet ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya. Sejarah mencatat bahwa mereka benar-benar sibuk mencari ilmu, menulis dan menyebar luaskannya.

Para ulama lebih memilih untuk mewarisakan ideologi ketimbang warisan biologi. Meski sama-sama meninggalkan pahala, namun para ulama lebih condong dan cenderung mengutamakan warisan ideologi ketimbang warisan biologi. mereka lebih mengedepankan warisan teladan, keluhuran akhlak dan karya yang bisa dinikmati para generasi berikunya.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Ulama Jomblo: Antara Warisan Ideologi dan Biologi

Musyfiqur Rozi Jum'at, 12-8-2022 | - Dilihat: 50

banner

Oleh: Musyfiqur Rozi

  • Buku              : Ulama Jomblo (rela tidak beristri demi ilmu)
  • Penulis          : Abdul Fattah Abu Guddah
  • Penerjemah  : Yayan Mushthafa
  • Penerbit        : Penerbit Kalam
  • ISBN             : 978-602-35746-8-5
  • Terbitan        : Maret, 2020
  • Peresensi     : Musyfiqur Rozi

 

Fahruddin Faiz dalam menyampaikan prolog dari buku ini merasa malu dan tidak pantas. Selain beliau sudah menikah, ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Fahrudin Faiz masih dangkal. Jauh dari kata dekat ketimbang ulama-ulama yang disebutkan dalam buku ini.

Menikah adalah sesuatu yang memang dianjurkan dalam agama. Manusia yang memiliki hawa nafsu dan agar tidak jatuh zina, maka agama memberi wadah untuk menyalurkan hasrat atau nafsu yang dimiliki manusia. Dengan menikah, manusia bisa meneruskan keturunan yang shaleh, mempelajari islam dari para leluhur dan menyampaikannya pada generasi berikutnya.

Mafhum diketahui bahwa pernikahan adalah urusan fundamental dan kebutuhan pokok hidup manusia. bahkan ada salah satu hadits menyatakan dengan tegas bahwa menikah adalah bagian dari kesunnahanku, barang siapa tidak suka sunnahku, maka tidak termasuk dari kelompokku.

Pertanyaan sedernhana yang muncul di benak kita adalah apakah para ulama yang notabane-nya adalah penerus Nabi tidak senang dengan sesuatu yang sngat dianjurkan oleh Nabi. seolah-olah, ini bertentangan dengan posisi mereka yang disebut dengan ulama.

Kehadiran buku ulama jomblo yang diterjemah dari kitab al-ulama’ aluddzab alladzina atsaru al-ilma la al-zawaj karya Abdul Fattah Abul Ghaddab memaparkan sekelumit kisah dan alasan para ulama tidak menikah.

Pilihan untuk membujang atau tidak menikah bukan sembarang pilihan, mereka bukan tidak paham mengenai hukum menikah yang sangat dianjurkan oleh agama. Akan tetapi, mereka lebih memilih memendam keinginan duniawi demi ilmu pengetahuan.

Sebelum membahasa para tokoh, penulis menyebutkan manfaat dan mudharat dalam pernikahan. Jomblo seumur hidup adalah pilihan bukan nasib. Mereka memilih untuk diri mereka sendiri dengan kecerdasan mata hati. Keutamaan mencari ilmu, menurut mereka, lebih unggul ketimbang kebaikan pernikahan. Mereka memprioritaskan perintah satu dari pada perintah lainnya.

Para ulama membujang disebabkan karena kerinduan dan kecintaannya yang dalam terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mengumpulkan, menyebarkan serta membukukan ilmu agar ilmu tersebut semakin berkembang biak menempati posisi ruh dan jasad. Kedua, terlepas dari kebaikan dan keutamaannya, para ulama menilai bahwa pernikahan mengurangi waktu merka untuk mencari yang luhur dan mulia.

Mereka juga beranggapan bahwa pernikahan adalah batu sandungan yang dapat menghambat laju mereka dalam mencari ilmu. Mereka lebih memprioritaskan keuatamaan yang universal ketimbang urusan pribadi.

Dalam kitabnya, al-Hafidz al-Katib al-Baghdadi menganjurkan bagi para penuntut ilmu untuk menjomblo sebisa mungkin, agar kesibukan kewajiban-hak suami-istri dan mencari nafkah tidak memotong proses kesempurnaan mencari ilmu.”

Misal, dari 24 jam sehari-semalam, sebagaimana yang disebutkan oleh Abu al-Hasan bin al-Ithar, Imam Nawawi menghabiskan waktu belajar dua jam pelajaran kitab al-wasit, satu jam kitab muhaddzab, satu jam pelajaran kitab al-jam’u baina al-shahihain, satu pelajaran kitab shahih muslim, satu pelajaran al-luma’, satu jam tashrif, satu jam ushul fiqih, satu jam perlajaran tentang ulum al-hadits dan satu jam ilmu ushul al-din atau akidah.

Maka, dapat dipahami bahwa imam Nawawi benar-benar tidak sempat untuk memikirkan pernikahan sama sekali karena kecintaan dan keinginannya untuk terus belajar.

Ada banyak tokoh yang diceritakan dalam buku ini ulama yang memilih membujang sampai akhir hayatnya. Imam Nawawi, Ibnu Taymiyah, Syekikh Basyir al-Ghazzi (ulama fiqih), ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari (mufassir) al-Sijzi (ahli astronomi) adalah sederet ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya. Sejarah mencatat bahwa mereka benar-benar sibuk mencari ilmu, menulis dan menyebar luaskannya.

Para ulama lebih memilih untuk mewarisakan ideologi ketimbang warisan biologi. Meski sama-sama meninggalkan pahala, namun para ulama lebih condong dan cenderung mengutamakan warisan ideologi ketimbang warisan biologi. mereka lebih mengedepankan warisan teladan, keluhuran akhlak dan karya yang bisa dinikmati para generasi berikunya.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech