• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

UNESCO Soroti Pentingnya Solidaritas Global dalam Visi Pendidikan 2050

Maarif Institute Sabtu, 12-3-2022 | - Dilihat: 14

banner

Oleh: Maarif Institute

MAARIF Institute, Jakarta, 11 Maret 2022 – MAARIF Institute for Culture and Humanity bersama dengan Institut Leimena, dan didukung oleh Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP2 PP Muhamadiyah, RBC Institute A Malik Fadjar, serta Templeton Religion Trust, kembali menyelenggarakan Webinar Internasional yang mengangkat tema “Visi Pendidikan UNESCO dan Peran Madrasah dalam Mengokohkan Solidaritas Kemanusiaan” pada Kamis, 11 Maret 2022 malam, yang merupakan rangkaian dari program “Literasi Keagamaan Lintas Budaya.”

Saat ini UNESCO tengah menyoroti pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050, dengan diterbitkannya dokumen visi pendidikan 2050 “Reimagining Our Futures Together” yang diluncurkan pada 10 November 2021 lalu.

Pendidikan disadari harus mampu bertransformasi seiring dengan tantangan umat manusia yang semakin kompleks, utamanya dimasa pandemi Covid-19. Tidak ada kekuatan transformatif yang lebih kuat daripada pendidikan. Dimana pendidikan dimaksudkan untuk memajukan hak dan martabat manusia, mendasarkan pada persamaan hak dan keadilan sosial, penghormatan terhadap keragaman budaya, dan solidaritas internasional serta tanggung jawab bersama.

Hal ini merupakan aspek fundamental, yang mengharuskan kita  untuk melihat kembali tatanan pendidikan di dunia yang terus-menerus berubah. Sehingga pendidikan adalah kunci utama pendidikan global dalam pembangunan berkelanjutan.

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali, mengingatkan bahwa pendidikan madrasah harus dirancang dengan prinsip profesionalisme, mendalam, saling terhubung, kerja sama, kesetaraan, dan inklusi.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menambahkan salah satu kunci untuk menghadapi tantangan global ke depan seperti digambarkan UNESCO adalah solidaritas kemanusiaan yang kokoh, saling memahami, dan menghormati, serta bekerja sama dengan orang yang berbeda.

Dalam pidato kuncinya, Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), menyampaikan “UNESCO telah menempatkan pendidikan sebagai kunci dalam kemajuan sebuah bangsa, di samping kesehatan. Keduanya, kesehatan dan pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling menguatkan.”

Selanjutnya Muhadjir Effendy mengatakan PBB melalui UNESCO telah mencanangkan 4 pilar pendidikan yaitu learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan berupa lembaga pendidikan tradisional berbasis agama. Pondok pesantren muncul sebagai pendidikan berbasis agama Islam di kantong-kantong perjuangan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah.

“Indonesia dengan realita kehidupan aneka ragam, termasuk agama, adalah ciri atau karakter bangsa. Di situ dituntut kesediaan toleransi, saling menghargai, dan tenggang rasa. Maka muatan berkaitan semangat inklusif yang diprakarsai lembaga pendidikan keagamaan termasuk madrasah, menjadi sangat penting,” kata Muhadjir kepada lebih dari 1.100 peserta webinar.

Sementara itu, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, Ismunandar, mengatakan visi pendidikan 2050 menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global. Ismunandar mencontohkan ancaman kepada bumi karena eksploitasi kebutuhan dan gaya hidup manusia.

“Saat ini dibutuhkan 1,6 bumi atau hampir 2 bumi untuk memenuhi jejak karbon manusia,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah turunnya demokrasi dan bangkitnya supremacism dan chauvinism. Di samping itu, kesenjangan digital menghambat akses kepada pendidikan terutama saat pandemi, serta munculnya kecerdasan digital yang diprediksi bisa menghilangkan banyak pekerjaan di dunia.

“Semua ini kuncinya adalah bagaimana solidaritas global. Sudah disadari banyak problem kehidupan manusia yang membutuhkan solusi bersama-sama seluruh penduduk bumi,” lanjut Ismunandar.

Ismunandar mengatakan visi pendidikan 2050 mendorong semua pihak menyusun kontrak sosial baru terdiri dari nilai dasar, desain pembelajaran, serta aktivitas dan pelaku. Ini adalah dokumen ketiga setelah Learning to be: the world of education today and tomorrow (1972) dan Learning: the treasure within (1966). Penyusunan dokumen melibatkan sekitar 1 juta orang terutama lewat konsultasi daring dan disusun sebelum pandemi Covid-19.

Madrasah Model Solidaritas

Konsultan Filantropi dan Pengembangan Museum Islam Kota New York, Amerika Serikat (AS), Randa Kuziez, berpendapat madrasah bisa menjadi model penting dalam solidaritas global. Sebagai contoh, sekolah-sekolah Islam di AS memungkinkan anak-anak maju secara akademik dan pengetahuan tradisi keislaman. Keberadaan sekolah-sekolah Islam itu meningkatkan solidaritas manusia yang bersumber dari Al-Quran.

 “Al-Quran menyatakan Tuhan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Lita'arafu. Ayat ini sangat penting dipahami masyarakat, bahwa tanggung jawab kita membangun solidaritas dengan semua orang,” kata Kuziez, yang merupakan warga AS keturunan Suriah.

Menurutnya, konsep "ummah" juga menunjukkan solidaritas antar manusia dan komunitas global. “Saya sangat senang dapat menggalang dana untuk membangun museum Islam di jantung kota New York. Ini bisa menjadi peluang orang-orang untuk belajar khazanah sejarah Islam dan bagaimana kita bisa membangun solidaritas manusia,” kata Kuziez.

Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Amin Abdullah mengatakan dokumen UNESCO tentang visi pendidikan 2050 semakin menegaskan pentingnya empati dan simpati dengan siapa pun yang berbeda untuk membangun kolaborasi. Namun, dia menyadari tidak semua penganut agama siap menghadapi kenyataan sosial baru atau pergeseran mendasar dalam hubungan sosial, kultural, dan keagamaan.

Senior Research Fellow University of Washington, Chris Seiple, berusaha mengembangkan visi pendidikan 2050 UNESCO lewat pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang mencakup tiga kompetensi untuk berkolaborasi dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.

Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur, M. Rifqi Rosyidi, mengingatkan agar upaya madrasah dalam memperbaiki kualitas manusia lewat pemantapan akidah/tauhid tidak melulu dikaitkan dengan gerakan radikalisme dan terorisme. “Landasan teologi yang kuat dan benar mampu menghadirkan pribadi-pribadi sangat inklusif. Umar bin Khatab dikenal sebagai figur yang tegas dalam masalah akidah, tapi tindakannya sangat inklusif,” ujarnya.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

UNESCO Soroti Pentingnya Solidaritas Global dalam Visi Pendidikan 2050

Maarif Institute Sabtu, 12-3-2022 | - Dilihat: 14

banner

Oleh: Maarif Institute

MAARIF Institute, Jakarta, 11 Maret 2022 – MAARIF Institute for Culture and Humanity bersama dengan Institut Leimena, dan didukung oleh Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP2 PP Muhamadiyah, RBC Institute A Malik Fadjar, serta Templeton Religion Trust, kembali menyelenggarakan Webinar Internasional yang mengangkat tema “Visi Pendidikan UNESCO dan Peran Madrasah dalam Mengokohkan Solidaritas Kemanusiaan” pada Kamis, 11 Maret 2022 malam, yang merupakan rangkaian dari program “Literasi Keagamaan Lintas Budaya.”

Saat ini UNESCO tengah menyoroti pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050, dengan diterbitkannya dokumen visi pendidikan 2050 “Reimagining Our Futures Together” yang diluncurkan pada 10 November 2021 lalu.

Pendidikan disadari harus mampu bertransformasi seiring dengan tantangan umat manusia yang semakin kompleks, utamanya dimasa pandemi Covid-19. Tidak ada kekuatan transformatif yang lebih kuat daripada pendidikan. Dimana pendidikan dimaksudkan untuk memajukan hak dan martabat manusia, mendasarkan pada persamaan hak dan keadilan sosial, penghormatan terhadap keragaman budaya, dan solidaritas internasional serta tanggung jawab bersama.

Hal ini merupakan aspek fundamental, yang mengharuskan kita  untuk melihat kembali tatanan pendidikan di dunia yang terus-menerus berubah. Sehingga pendidikan adalah kunci utama pendidikan global dalam pembangunan berkelanjutan.

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali, mengingatkan bahwa pendidikan madrasah harus dirancang dengan prinsip profesionalisme, mendalam, saling terhubung, kerja sama, kesetaraan, dan inklusi.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menambahkan salah satu kunci untuk menghadapi tantangan global ke depan seperti digambarkan UNESCO adalah solidaritas kemanusiaan yang kokoh, saling memahami, dan menghormati, serta bekerja sama dengan orang yang berbeda.

Dalam pidato kuncinya, Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), menyampaikan “UNESCO telah menempatkan pendidikan sebagai kunci dalam kemajuan sebuah bangsa, di samping kesehatan. Keduanya, kesehatan dan pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling menguatkan.”

Selanjutnya Muhadjir Effendy mengatakan PBB melalui UNESCO telah mencanangkan 4 pilar pendidikan yaitu learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan berupa lembaga pendidikan tradisional berbasis agama. Pondok pesantren muncul sebagai pendidikan berbasis agama Islam di kantong-kantong perjuangan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah.

“Indonesia dengan realita kehidupan aneka ragam, termasuk agama, adalah ciri atau karakter bangsa. Di situ dituntut kesediaan toleransi, saling menghargai, dan tenggang rasa. Maka muatan berkaitan semangat inklusif yang diprakarsai lembaga pendidikan keagamaan termasuk madrasah, menjadi sangat penting,” kata Muhadjir kepada lebih dari 1.100 peserta webinar.

Sementara itu, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, Ismunandar, mengatakan visi pendidikan 2050 menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global. Ismunandar mencontohkan ancaman kepada bumi karena eksploitasi kebutuhan dan gaya hidup manusia.

“Saat ini dibutuhkan 1,6 bumi atau hampir 2 bumi untuk memenuhi jejak karbon manusia,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah turunnya demokrasi dan bangkitnya supremacism dan chauvinism. Di samping itu, kesenjangan digital menghambat akses kepada pendidikan terutama saat pandemi, serta munculnya kecerdasan digital yang diprediksi bisa menghilangkan banyak pekerjaan di dunia.

“Semua ini kuncinya adalah bagaimana solidaritas global. Sudah disadari banyak problem kehidupan manusia yang membutuhkan solusi bersama-sama seluruh penduduk bumi,” lanjut Ismunandar.

Ismunandar mengatakan visi pendidikan 2050 mendorong semua pihak menyusun kontrak sosial baru terdiri dari nilai dasar, desain pembelajaran, serta aktivitas dan pelaku. Ini adalah dokumen ketiga setelah Learning to be: the world of education today and tomorrow (1972) dan Learning: the treasure within (1966). Penyusunan dokumen melibatkan sekitar 1 juta orang terutama lewat konsultasi daring dan disusun sebelum pandemi Covid-19.

Madrasah Model Solidaritas

Konsultan Filantropi dan Pengembangan Museum Islam Kota New York, Amerika Serikat (AS), Randa Kuziez, berpendapat madrasah bisa menjadi model penting dalam solidaritas global. Sebagai contoh, sekolah-sekolah Islam di AS memungkinkan anak-anak maju secara akademik dan pengetahuan tradisi keislaman. Keberadaan sekolah-sekolah Islam itu meningkatkan solidaritas manusia yang bersumber dari Al-Quran.

 “Al-Quran menyatakan Tuhan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Lita'arafu. Ayat ini sangat penting dipahami masyarakat, bahwa tanggung jawab kita membangun solidaritas dengan semua orang,” kata Kuziez, yang merupakan warga AS keturunan Suriah.

Menurutnya, konsep "ummah" juga menunjukkan solidaritas antar manusia dan komunitas global. “Saya sangat senang dapat menggalang dana untuk membangun museum Islam di jantung kota New York. Ini bisa menjadi peluang orang-orang untuk belajar khazanah sejarah Islam dan bagaimana kita bisa membangun solidaritas manusia,” kata Kuziez.

Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Amin Abdullah mengatakan dokumen UNESCO tentang visi pendidikan 2050 semakin menegaskan pentingnya empati dan simpati dengan siapa pun yang berbeda untuk membangun kolaborasi. Namun, dia menyadari tidak semua penganut agama siap menghadapi kenyataan sosial baru atau pergeseran mendasar dalam hubungan sosial, kultural, dan keagamaan.

Senior Research Fellow University of Washington, Chris Seiple, berusaha mengembangkan visi pendidikan 2050 UNESCO lewat pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang mencakup tiga kompetensi untuk berkolaborasi dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.

Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur, M. Rifqi Rosyidi, mengingatkan agar upaya madrasah dalam memperbaiki kualitas manusia lewat pemantapan akidah/tauhid tidak melulu dikaitkan dengan gerakan radikalisme dan terorisme. “Landasan teologi yang kuat dan benar mampu menghadirkan pribadi-pribadi sangat inklusif. Umar bin Khatab dikenal sebagai figur yang tegas dalam masalah akidah, tapi tindakannya sangat inklusif,” ujarnya.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech