Trilogi Kesetaraan Gender Perspektif Quraish Shihab
Musyfiqur Rozi Senin, 1-8-2022 | - Dilihat: 49

Oleh: Musyfiqur Rozi
Al-Qur’an hadir dalam rangka menegakkan misi rahmat bagi alam semesta berserta penghuninya, tanpa ada diskriminasi jenis kelamin, warna kulit, etnis, dan ikatan primodial lainnya. sebab, salah satu misinya adalah membebaskan manusia dari berbagai deskriminasi dan penindasan. Hubungan antar relasi merupakan aktualisasi sosial untuk saling melengkapi. Namun, dalam historis-empiris yang terjadi justru cenderung kerap sebaliknya, paradoks.
Kita tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan sesuai kondisi kultural masyarakat Arab yang menganut patriarki, yakni dominasi kaum laki-kali dan cenderung mengabaikan kaum perempuan. Agama Islam datang dan mengangkat derajat perempuan. Keberadaan mereka diakui, persaksiannya diterima meski dengan dua orang. Namun, hal ini tidak sepenuhnya meredam dan mengurai permasalahan yang ada.
Status perempuan di berbagai masyarakat Muslim pada umumnya mengalami ragam ketidakadilan, marginalisasi, subordinasi, streotip, kekerasan, dan beban kerja. Mirisnya, ketimpangan peran sosial tersebut berkembang dan dipertahankan dengan dalih ajaran agama. Seakan, agama sebagai tameng untuk melestarikan kondisi di mana kaum Hawa tidak dianggap sebagai manusia yang setara dengan lelaki.
Dalam sejumlah tafsir, terdapat beberapa penjelasan yang cenderung memarjinalkan kaum Hawa. hal ini menunjukkan bahwa penafsiran keagamaan memiliki peran krusial dalam melegitimasi dominasi kaum Adam atas perempuan. penafsiran penafsiran tersebut selanjutnya dijadikan rujukan memformulasikan entitas keagamaan yang murni dan ideal.
Isu gender memiliki porsi besar dalam keluarga sangat mendominasi dalam menafsirkan buang meminggirkan perempuan. Karena itu, perlu membangun mindset gender mainstreaming untuk menempatkan porsi penafsiran yang seimbang.
Salah satu mufassir indonesia, M. Quraish Shihab, menyebutkan trilogi kesetaraan gender dalam bukunya. Beliau menilai bahwa perlu ada kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Pertama, manusia hidup dalam ketersalingan (mubadalah). Pada dasarnya, perilaku antara lelaki dan perempuan terbentuk dalam bergaul. Ketersalingan, keterikatan antar keduanya memberikan ruang lingkup yang seimbang. Varian ketersalingan ada banyak, mulai dari ranah domestik-publik, saling suppoort dalam karir maupun lingkungan hidup.
Paham ini harus terlepas dari sifat stereotip tertentu yang cendung mengesampingkan perempuan. Pelabelan ini didukung nash dan kisah-kisah peminggiran terhadap perempuan. Pelabelan ini sangat merugikan perempuan. Tidak semua urusan bisa dilakukan lelaki seorang diri. Di balik kesuksesan lelaki, ada peran perempuan yang mungkin saja bekerja di balik layar. Perannya tidak nampak namun sentral.
Kedua, kesetaraan (al-musawwah). Konsep ini harus meruntut dari konsep pertama tadi. Artinya, ketika konsep pertama dapat diimplemetasikan, maka selanjutnya akan terwujud kesetaraan antar gender. Pelabelan terhadap perempuan yang hanya berkutat dalam ruang lingkup domestik akan muncul. Dengan spirit kerja sama, gotong royong, antar lelaki dan perempuan bisa berkolaborasi untuk menyelesaikan tugas dari masing keduanya, baik domestik maupun publik.
Terakhir, kesempurnaan (Takamul). Tahap ini adaah puncak dari dua prinsip sebelumnya. Kesetaraan antar keduanya akan menumbuhkan atau membentuk kesempurnaan dengan sendirinya. Sangat mustahil takamul tercapai jika hanya berpangku pada salah satu keduanya. Keduanya saling melengkapi kekurangan antar satu dangan lainnya.
- Artikel Terpuler -
Trilogi Kesetaraan Gender Perspektif Quraish Shihab
Musyfiqur Rozi Senin, 1-8-2022 | - Dilihat: 49

Oleh: Musyfiqur Rozi
Al-Qur’an hadir dalam rangka menegakkan misi rahmat bagi alam semesta berserta penghuninya, tanpa ada diskriminasi jenis kelamin, warna kulit, etnis, dan ikatan primodial lainnya. sebab, salah satu misinya adalah membebaskan manusia dari berbagai deskriminasi dan penindasan. Hubungan antar relasi merupakan aktualisasi sosial untuk saling melengkapi. Namun, dalam historis-empiris yang terjadi justru cenderung kerap sebaliknya, paradoks.
Kita tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan sesuai kondisi kultural masyarakat Arab yang menganut patriarki, yakni dominasi kaum laki-kali dan cenderung mengabaikan kaum perempuan. Agama Islam datang dan mengangkat derajat perempuan. Keberadaan mereka diakui, persaksiannya diterima meski dengan dua orang. Namun, hal ini tidak sepenuhnya meredam dan mengurai permasalahan yang ada.
Status perempuan di berbagai masyarakat Muslim pada umumnya mengalami ragam ketidakadilan, marginalisasi, subordinasi, streotip, kekerasan, dan beban kerja. Mirisnya, ketimpangan peran sosial tersebut berkembang dan dipertahankan dengan dalih ajaran agama. Seakan, agama sebagai tameng untuk melestarikan kondisi di mana kaum Hawa tidak dianggap sebagai manusia yang setara dengan lelaki.
Dalam sejumlah tafsir, terdapat beberapa penjelasan yang cenderung memarjinalkan kaum Hawa. hal ini menunjukkan bahwa penafsiran keagamaan memiliki peran krusial dalam melegitimasi dominasi kaum Adam atas perempuan. penafsiran penafsiran tersebut selanjutnya dijadikan rujukan memformulasikan entitas keagamaan yang murni dan ideal.
Isu gender memiliki porsi besar dalam keluarga sangat mendominasi dalam menafsirkan buang meminggirkan perempuan. Karena itu, perlu membangun mindset gender mainstreaming untuk menempatkan porsi penafsiran yang seimbang.
Salah satu mufassir indonesia, M. Quraish Shihab, menyebutkan trilogi kesetaraan gender dalam bukunya. Beliau menilai bahwa perlu ada kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Pertama, manusia hidup dalam ketersalingan (mubadalah). Pada dasarnya, perilaku antara lelaki dan perempuan terbentuk dalam bergaul. Ketersalingan, keterikatan antar keduanya memberikan ruang lingkup yang seimbang. Varian ketersalingan ada banyak, mulai dari ranah domestik-publik, saling suppoort dalam karir maupun lingkungan hidup.
Paham ini harus terlepas dari sifat stereotip tertentu yang cendung mengesampingkan perempuan. Pelabelan ini didukung nash dan kisah-kisah peminggiran terhadap perempuan. Pelabelan ini sangat merugikan perempuan. Tidak semua urusan bisa dilakukan lelaki seorang diri. Di balik kesuksesan lelaki, ada peran perempuan yang mungkin saja bekerja di balik layar. Perannya tidak nampak namun sentral.
Kedua, kesetaraan (al-musawwah). Konsep ini harus meruntut dari konsep pertama tadi. Artinya, ketika konsep pertama dapat diimplemetasikan, maka selanjutnya akan terwujud kesetaraan antar gender. Pelabelan terhadap perempuan yang hanya berkutat dalam ruang lingkup domestik akan muncul. Dengan spirit kerja sama, gotong royong, antar lelaki dan perempuan bisa berkolaborasi untuk menyelesaikan tugas dari masing keduanya, baik domestik maupun publik.
Terakhir, kesempurnaan (Takamul). Tahap ini adaah puncak dari dua prinsip sebelumnya. Kesetaraan antar keduanya akan menumbuhkan atau membentuk kesempurnaan dengan sendirinya. Sangat mustahil takamul tercapai jika hanya berpangku pada salah satu keduanya. Keduanya saling melengkapi kekurangan antar satu dangan lainnya.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan