Tradisi Wisuda Haji Adat Sulawesi
Faiz Fahrezi Jum'at, 21-7-2023 | - Dilihat: 104
Oleh: Faiz Fahrezi
Musim haji telah usai. Para jamaah kembali ke tanah air masing-masing. Layaknya terlahir kembali ke dunia ini untuk yang kedua kalinya, mereka pulang setelah dipanggil langsung oleh Allah menjadi tamu di rumah-Nya. Keluarga pun turut menyambut bahagia, sanak kerabat bersaksi bahwa saudara mereka telah berhaji.
Doa-doa dilangitkan, air mata mengalir haru. Terlebih, di negeri tertentu, Menunggu antrian haji tidaklah sesingkat itu. Beberapa mendaftar haji di kala rambut tengah hitam legam, berangkat tatkala kulit telah menguning keriput. Perjuangan yang patut dirayakan setelah berbagai pengorbanan.
Kesempatan berhaji jelas merupakan kesempatan langka. Impian setiap muslim. Betapa banyak muslim di luar sana memiliki harta berlebih, keluangan, keleluasaan, dan kesehatan prima, tapi tak pernah mendapat giliran untuk melaksanakan ibadah haji. Seperti ada saja hambatan. Ada saja penghalang.
Betapa banyak pula mereka yang seakan tak punya harapan, malah mendapat panggilan menjadi tamu di baitullah. Hal tersebut tak lain karena berhaji ke ka'bah merupakan panggilan ilahi. Tuhan mengundang hamba-hambanya tanpa perantara dan penghubung. Semua atas rencana tuhan.
Musim Haji 2023: Tawa Lega Bersama
Sidang pembaca yang budiman, satu hal yang patut disepakati, musim haji tahun ini penuh dengan cerita-cerita menarik dan banyak mengundang gelak tawa. Mbah Bunidin, jamaah haji asli Madura yang telah tua renta, tersesat di Tanah Suci Makkah dan ngotot hendak pulang ke rumah, setelah lupa bahwa dirinya sedang berada di Arab Saudi. Diduga sang kakek sudah pikun karena terus berujar hendak pulang ke kampung halamannya di Madura, Jawa Timur.
Selain Mbah Bunidin, Nenek Salami juga tak lepas dari perhatian setelah belakangan ramai di media sosial. Dalam video yang diunggah pada beberapa platform media sosial, Nenek Salami menolak untuk berangkat ke Tanah Suci dan meminta agar dipulangkan ke kediamannya di Kediri, Jawa Timur.
Petugas Haji sempat dibuat kewalahan oleh tingkah Nenek Salami, yang meminta pulang dan batal berangkat karena teringat selamatan ke tujuh hari anak bungsunya yang meninggal. Keluarga terkait pun meminta kepada Kementerian Agama Kabupaten Kediri agar keberangkatan Nenek Salami ditunda sampai tahun depan.
Adam, jamaah haji berikutnya asal Britania Raya turut masuk dalam radar sorotan. Bagaimana tidak, ia berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan berjalan kaki. Berbekal alas kaki selop dan pakaian seadanya, pun tak lupa tekad kuat hendak bertamu ke baitullah, ia akhirnya tiba setelah menempuh perjalanan selama delapan bulan. Sesampainya di sana, tak terukur betapa besar rasa syukur Adam dan kelegaan hatinya setelah melewati seluruh rangkaian perjalanan.
Saking kesalnya dengan syaitan, Adam tak hanya melemparkan kerikil dalam ritual lontar jumrah, ia juga ikut melemparkan sandal miliknya seraya berseru lantang seakan hendak menantang syaitan. Nampak jamaah yang berdiri di sampingnya paham akan perasaan rindu dan haru yang telah ia simpan bertahun-tahun lamanya.
Banyak lagi kasus-kasus seperti yang penulis paparkan sebelumnya. Mereka berjalan dengan iman. Negeri demi negeri dilalui, tentu lelah tak terasa, sadar bahwa ujung penantian mereka adalah ka'bah, sebuah bangunan berbentuk kubus yang menjadi magnet setiap muslim dan selayaknya mereka kunjungi setidaknya sekali seumur hidup. Berat rasanya meninggalkan Makkah. Buncahan cinta yang tak terhingga, harus rela berpisah guna kembali ke tanah air masing-masing. Hati mereka tertinggal di sana, tak terkecuali bagi jamaah haji kaum Sulawesi, yang punya cara tersendiri demi kembali ke tanah tumpah darah mereka.
Mewah Megah Mappatoppo'
Masyarakat Bugis Makassar punya tradisi unik dalam menyambut sanak saudara mereka yang baru saja melaksanakan haji. Tradisi ini belakangan viral dan mendapat sambutan beragam dari para netizen. sebagian memilih bersikap dewasa, sebagian lain masih saja kekanak-kanakan dan saling mendakwa satu sama lain.
Sebagai putra daerah, penulis merasa bertanggung jawab dan berusaha mempelajari tradisi yang sebenarnya sudah lama kami ketahui, namun belum sempat kami dalami dan pelajari, untuk kemudian kami jelaskan semampu dan sebisa mungkin. Risih rasanya menyimak komentar-komentar masyarakat awam yang tidak mengerti apa-apa namun berlagak angkuh. Besar mulut, besar kepala. Sikap yang demikian tidak semestinya tumbuh dalam pribadi masing-masing kita. Selain berbahaya dan dapat merenggangkan persaudaraan, angkuh juga merupakan sifat khusus bagi tuhan, dzat Maha Sombong.
Budaya mappatoppo' merupakan simbol dengan meletakkan peci sorban bagi laki-laki dan cipo-cipo kudung bagi jamaah perempuan. Hal tersebut ibarat wisuda sarjana bagi para mahasiswa yang telah menuntaskan jenjang studi. Para mahasiswa akan disimboli dengan baju toga, topi sarjana, dan atribut-atribut wisuda lainnya. Harapannya, yang meletakkan peci atau kudung tersebut adalah tokoh agama maupun orang yang dituakan di kalangan jamaah. Sama saja bukan?
Pelaksanaan Mappatoppo', bisa saja dilaksanakan di Mina maupun di penginapan di Makkah, setelah kembali dari Mina.
Tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan, pelataran bandara akan terlihat lebih padat. Segerombolan penumpang pesawat yang baru saja turun tampak sumringah. Sembari menggotong barang bawaan masing-masing, menebar senyum kepada sanak saudara. Hey, jamaah haji rupanya!
Jamaah akan berpakaian sebaik mungkin. Jamaah pria dengan tsawb dan khefiyyah meniru penampilan dan keramahan warga Saudi. Jamaah wanita pun tak mau kalah, mereka tampak mengenakan pakaian kaya warna, manik di sana sini, kudung seindah mungkin. Segala macam perhiasan milik pribadi dikenakan melingkari leher, menutupi pergelangan, memenuhi jari jemari. Bahkan, ada yang rela mengeluarkan biaya yang cukup besar hanya untuk membeli emas asli Arab Saudi. Perona pipi, bedak, gincu pun tak lupa dibubuhkan menghiasi wajah cantik nan rupawan.
Kemeriahan tak sampai di situ. Tiba di kampung halaman, mereka disambut dengan penuh suka cita. Jamuan makan diadakan sebagai bentuk syukur dapat bersua kembali bersama keluarga tercinta setelah pulang berhaji. Pagelaran dan tausiah-tausiah meramaikan suasana kampung, membangkitkan ukhuwah dan menjalin silaturahmi. Kampung serasa hidup kembali.
Banyak penulis dapati berupa kesan dan pendapat buruk soal budaya ini, sebagaimana berikut:
"Lebih suka jamaah haji pulang dari tanah suci pakai baju biasa apalagi pakai baju putih or hitam," tulis @Juwanti.
"“ini pulang haji? apa pulang kondangan buk,” komentar @UtiGu.
"Haji yang pingin diakui," tambah @Ina.
Islam Memahami Tradisi Simbolik
Kemudian, bagaimana pandangan syariat islam soal budaya Mappatoppo? Dr. Wachyudi Muchsin, SH dalam narasi singkatnya menjelaskan bahwa ajaran islam tidak dapat dipungkiri sarat dengan berbagai simbol. Ambil contoh ibadah haji. Ihram sebagai simbol kain kafan, tawaf sebagai simbol aktifitas manusia di dunia yang sesibuk apapun, tidak boleh terlepas dan lalai dari zikir mengingat Allah, melempar jumroh sebagai simbol perlawanan kepada kejahatan dan syaitan, juga kakbah sebagai simbol persatuan.
Upacara Mappatoppo pun sama. Ia merupakan ritual yang dilangsungkan oleh masyarakat Bugis-Makassar setelah berhaji untuk mendapatkan gelar haji sebagai simbol penyempurna rukun islam.
Ada juga doa dalam bentuk simbol. Masyarakat Bugis-Makassar biasa menyebutnya "Sennung-sennungeng". Tatkala musim kemarau, Rasulullah mengajak umatnya agar melaksanakan salat istisqa, yang dalam pelaksanaannya, setelah Rasulullah mengakhiri khutbah, beliau membalik surban, sebagai simbol "Ya Allah, balikkanlah kondisi ini". Inilah contoh "Tafaaul" Rasulullah, berdoa dengan simbol.
Hal yang sama terjadi dalam banyak ritual masyarakat Bugis-Makassar yang mengandung tafaaul, seperti Mappacci dalam pernikahan, Mappateppe (prosesi pemindahan rumah), Mappadendang (pesta tani), serta Sigajang Laleng Lipa (adu badik dua orang yang saling berseteru dalam satu sarung).
Bagaimanapun juga, upacara Mappatoppo hanyalah sebuah ritual belaka yang diciptakan oleh manusia. Belum dapat dipastikan kapan pertama kali ritual ini dilaksanakan. Selebihnya, jamaah yang baru saja pulang berhaji semestinya berharap agar seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci diridhoi dan diterima di sisi Allah SWT.
Ikhlas dalam beramal, serta tidak berharap gelar-gelar duniawi yang dapat menggeser status niat baik seseorang. Karena dalam pelaksanaannya, masih banyak kekurangan yang kami rasa tidak tepat dan perlu diluruskan. Kebanyakan ibu-ibu paruh baya mengenakan pakaian upacaranya, sedangkan telinganya belum tertutupi oleh kudung cipo-ciponya. Leher pun masih nampak. Boleh melestarikan tradisi, asal tidak berbenturan dengan syariat. Wallahu a’lam
- Artikel Terpuler -
Tradisi Wisuda Haji Adat Sulawesi
Faiz Fahrezi Jum'at, 21-7-2023 | - Dilihat: 104
Oleh: Faiz Fahrezi
Musim haji telah usai. Para jamaah kembali ke tanah air masing-masing. Layaknya terlahir kembali ke dunia ini untuk yang kedua kalinya, mereka pulang setelah dipanggil langsung oleh Allah menjadi tamu di rumah-Nya. Keluarga pun turut menyambut bahagia, sanak kerabat bersaksi bahwa saudara mereka telah berhaji.
Doa-doa dilangitkan, air mata mengalir haru. Terlebih, di negeri tertentu, Menunggu antrian haji tidaklah sesingkat itu. Beberapa mendaftar haji di kala rambut tengah hitam legam, berangkat tatkala kulit telah menguning keriput. Perjuangan yang patut dirayakan setelah berbagai pengorbanan.
Kesempatan berhaji jelas merupakan kesempatan langka. Impian setiap muslim. Betapa banyak muslim di luar sana memiliki harta berlebih, keluangan, keleluasaan, dan kesehatan prima, tapi tak pernah mendapat giliran untuk melaksanakan ibadah haji. Seperti ada saja hambatan. Ada saja penghalang.
Betapa banyak pula mereka yang seakan tak punya harapan, malah mendapat panggilan menjadi tamu di baitullah. Hal tersebut tak lain karena berhaji ke ka'bah merupakan panggilan ilahi. Tuhan mengundang hamba-hambanya tanpa perantara dan penghubung. Semua atas rencana tuhan.
Musim Haji 2023: Tawa Lega Bersama
Sidang pembaca yang budiman, satu hal yang patut disepakati, musim haji tahun ini penuh dengan cerita-cerita menarik dan banyak mengundang gelak tawa. Mbah Bunidin, jamaah haji asli Madura yang telah tua renta, tersesat di Tanah Suci Makkah dan ngotot hendak pulang ke rumah, setelah lupa bahwa dirinya sedang berada di Arab Saudi. Diduga sang kakek sudah pikun karena terus berujar hendak pulang ke kampung halamannya di Madura, Jawa Timur.
Selain Mbah Bunidin, Nenek Salami juga tak lepas dari perhatian setelah belakangan ramai di media sosial. Dalam video yang diunggah pada beberapa platform media sosial, Nenek Salami menolak untuk berangkat ke Tanah Suci dan meminta agar dipulangkan ke kediamannya di Kediri, Jawa Timur.
Petugas Haji sempat dibuat kewalahan oleh tingkah Nenek Salami, yang meminta pulang dan batal berangkat karena teringat selamatan ke tujuh hari anak bungsunya yang meninggal. Keluarga terkait pun meminta kepada Kementerian Agama Kabupaten Kediri agar keberangkatan Nenek Salami ditunda sampai tahun depan.
Adam, jamaah haji berikutnya asal Britania Raya turut masuk dalam radar sorotan. Bagaimana tidak, ia berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan berjalan kaki. Berbekal alas kaki selop dan pakaian seadanya, pun tak lupa tekad kuat hendak bertamu ke baitullah, ia akhirnya tiba setelah menempuh perjalanan selama delapan bulan. Sesampainya di sana, tak terukur betapa besar rasa syukur Adam dan kelegaan hatinya setelah melewati seluruh rangkaian perjalanan.
Saking kesalnya dengan syaitan, Adam tak hanya melemparkan kerikil dalam ritual lontar jumrah, ia juga ikut melemparkan sandal miliknya seraya berseru lantang seakan hendak menantang syaitan. Nampak jamaah yang berdiri di sampingnya paham akan perasaan rindu dan haru yang telah ia simpan bertahun-tahun lamanya.
Banyak lagi kasus-kasus seperti yang penulis paparkan sebelumnya. Mereka berjalan dengan iman. Negeri demi negeri dilalui, tentu lelah tak terasa, sadar bahwa ujung penantian mereka adalah ka'bah, sebuah bangunan berbentuk kubus yang menjadi magnet setiap muslim dan selayaknya mereka kunjungi setidaknya sekali seumur hidup. Berat rasanya meninggalkan Makkah. Buncahan cinta yang tak terhingga, harus rela berpisah guna kembali ke tanah air masing-masing. Hati mereka tertinggal di sana, tak terkecuali bagi jamaah haji kaum Sulawesi, yang punya cara tersendiri demi kembali ke tanah tumpah darah mereka.
Mewah Megah Mappatoppo'
Masyarakat Bugis Makassar punya tradisi unik dalam menyambut sanak saudara mereka yang baru saja melaksanakan haji. Tradisi ini belakangan viral dan mendapat sambutan beragam dari para netizen. sebagian memilih bersikap dewasa, sebagian lain masih saja kekanak-kanakan dan saling mendakwa satu sama lain.
Sebagai putra daerah, penulis merasa bertanggung jawab dan berusaha mempelajari tradisi yang sebenarnya sudah lama kami ketahui, namun belum sempat kami dalami dan pelajari, untuk kemudian kami jelaskan semampu dan sebisa mungkin. Risih rasanya menyimak komentar-komentar masyarakat awam yang tidak mengerti apa-apa namun berlagak angkuh. Besar mulut, besar kepala. Sikap yang demikian tidak semestinya tumbuh dalam pribadi masing-masing kita. Selain berbahaya dan dapat merenggangkan persaudaraan, angkuh juga merupakan sifat khusus bagi tuhan, dzat Maha Sombong.
Budaya mappatoppo' merupakan simbol dengan meletakkan peci sorban bagi laki-laki dan cipo-cipo kudung bagi jamaah perempuan. Hal tersebut ibarat wisuda sarjana bagi para mahasiswa yang telah menuntaskan jenjang studi. Para mahasiswa akan disimboli dengan baju toga, topi sarjana, dan atribut-atribut wisuda lainnya. Harapannya, yang meletakkan peci atau kudung tersebut adalah tokoh agama maupun orang yang dituakan di kalangan jamaah. Sama saja bukan?
Pelaksanaan Mappatoppo', bisa saja dilaksanakan di Mina maupun di penginapan di Makkah, setelah kembali dari Mina.
Tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan, pelataran bandara akan terlihat lebih padat. Segerombolan penumpang pesawat yang baru saja turun tampak sumringah. Sembari menggotong barang bawaan masing-masing, menebar senyum kepada sanak saudara. Hey, jamaah haji rupanya!
Jamaah akan berpakaian sebaik mungkin. Jamaah pria dengan tsawb dan khefiyyah meniru penampilan dan keramahan warga Saudi. Jamaah wanita pun tak mau kalah, mereka tampak mengenakan pakaian kaya warna, manik di sana sini, kudung seindah mungkin. Segala macam perhiasan milik pribadi dikenakan melingkari leher, menutupi pergelangan, memenuhi jari jemari. Bahkan, ada yang rela mengeluarkan biaya yang cukup besar hanya untuk membeli emas asli Arab Saudi. Perona pipi, bedak, gincu pun tak lupa dibubuhkan menghiasi wajah cantik nan rupawan.
Kemeriahan tak sampai di situ. Tiba di kampung halaman, mereka disambut dengan penuh suka cita. Jamuan makan diadakan sebagai bentuk syukur dapat bersua kembali bersama keluarga tercinta setelah pulang berhaji. Pagelaran dan tausiah-tausiah meramaikan suasana kampung, membangkitkan ukhuwah dan menjalin silaturahmi. Kampung serasa hidup kembali.
Banyak penulis dapati berupa kesan dan pendapat buruk soal budaya ini, sebagaimana berikut:
"Lebih suka jamaah haji pulang dari tanah suci pakai baju biasa apalagi pakai baju putih or hitam," tulis @Juwanti.
"“ini pulang haji? apa pulang kondangan buk,” komentar @UtiGu.
"Haji yang pingin diakui," tambah @Ina.
Islam Memahami Tradisi Simbolik
Kemudian, bagaimana pandangan syariat islam soal budaya Mappatoppo? Dr. Wachyudi Muchsin, SH dalam narasi singkatnya menjelaskan bahwa ajaran islam tidak dapat dipungkiri sarat dengan berbagai simbol. Ambil contoh ibadah haji. Ihram sebagai simbol kain kafan, tawaf sebagai simbol aktifitas manusia di dunia yang sesibuk apapun, tidak boleh terlepas dan lalai dari zikir mengingat Allah, melempar jumroh sebagai simbol perlawanan kepada kejahatan dan syaitan, juga kakbah sebagai simbol persatuan.
Upacara Mappatoppo pun sama. Ia merupakan ritual yang dilangsungkan oleh masyarakat Bugis-Makassar setelah berhaji untuk mendapatkan gelar haji sebagai simbol penyempurna rukun islam.
Ada juga doa dalam bentuk simbol. Masyarakat Bugis-Makassar biasa menyebutnya "Sennung-sennungeng". Tatkala musim kemarau, Rasulullah mengajak umatnya agar melaksanakan salat istisqa, yang dalam pelaksanaannya, setelah Rasulullah mengakhiri khutbah, beliau membalik surban, sebagai simbol "Ya Allah, balikkanlah kondisi ini". Inilah contoh "Tafaaul" Rasulullah, berdoa dengan simbol.
Hal yang sama terjadi dalam banyak ritual masyarakat Bugis-Makassar yang mengandung tafaaul, seperti Mappacci dalam pernikahan, Mappateppe (prosesi pemindahan rumah), Mappadendang (pesta tani), serta Sigajang Laleng Lipa (adu badik dua orang yang saling berseteru dalam satu sarung).
Bagaimanapun juga, upacara Mappatoppo hanyalah sebuah ritual belaka yang diciptakan oleh manusia. Belum dapat dipastikan kapan pertama kali ritual ini dilaksanakan. Selebihnya, jamaah yang baru saja pulang berhaji semestinya berharap agar seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci diridhoi dan diterima di sisi Allah SWT.
Ikhlas dalam beramal, serta tidak berharap gelar-gelar duniawi yang dapat menggeser status niat baik seseorang. Karena dalam pelaksanaannya, masih banyak kekurangan yang kami rasa tidak tepat dan perlu diluruskan. Kebanyakan ibu-ibu paruh baya mengenakan pakaian upacaranya, sedangkan telinganya belum tertutupi oleh kudung cipo-ciponya. Leher pun masih nampak. Boleh melestarikan tradisi, asal tidak berbenturan dengan syariat. Wallahu a’lam
4 Komentar
2023-07-21 13:52:12
Ira Thahir
Masya Allah... tulisan yang memberi penyegaran bagi saya
2024-12-01 23:15:16
Xllswz
eriacta wretch - forzest coach forzest due
2024-12-07 14:31:05
Gxttsh
buy indinavir cheap - cheap fincar generic purchase voltaren gel online cheap
2024-12-09 02:32:54
Dzqhgv
valif pills announce - valif pills sam order sinemet 20mg pill
4 Komentar
2023-07-21 13:52:12
Ira Thahir
Masya Allah... tulisan yang memberi penyegaran bagi saya
2024-12-01 23:15:16
Xllswz
eriacta wretch - forzest coach forzest due
2024-12-07 14:31:05
Gxttsh
buy indinavir cheap - cheap fincar generic purchase voltaren gel online cheap
2024-12-09 02:32:54
Dzqhgv
valif pills announce - valif pills sam order sinemet 20mg pill
Tinggalkan Pesan