Teknologi dan Budaya Massa
Akmal Basyir Senin, 26-12-2022 | - Dilihat: 40

Oleh: Akmal Basyir
Teknologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai segala sesuatu yang dapat atau untuk mencapai tujuan manusia. Ada karena fungsi, lahir melalui intelektus manusia, dan atas apa yang dirasa perlu. Adorno mencoba mengartikan teknologi yaitu tidak pernah objektif, ia selalu terpapar dalam subjek. Menjadi bagian dari konsekuensi natural atau bisa disebut manusia dijauhkan dari prodak produksinya sendiri. Sepertinya kita terjebak dalam lingkaran setan yang kita tidak bisa lepas darinya. Situasi tersebut artinya adalah antara penciptaan yang terlalu cepat sehingga teknologi mendukungnya atau sebenarnya sebaliknya.
Budaya Populer
Menurut William kata “pop” diambil dari kata “popular”. Terhadap istilah ini William memberikan empat makna yakni: pertama, banyak disukai orang. Kedua, jenis kerjaan rendahan. Ketiga, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang lain. Keempat, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu “budaya” dan “popular”.
Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa yang akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audiens pop menciptakan makna mereka sendiri melalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya diskursif mereka sendiri.
Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh audiens pop pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan pop terpusat pada bagaimana dia digunakan. Argumen-argumen ini menunjukkan adanya pengulangan pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan memalingkan orang pada komoditas yang mengabdi kepada kepentingannya dan lebih suka mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri menjadi kebudayaan pop yang mengabdi kepada kepentingannya (dalam Chris Barker, 2004).
Ciri-ciri budaya popular diantaranya sebagai berikut:
- Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang perpotensi menjadi budaya popular;
- Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia menjadi tren akhirnya diikuti banyak penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre music yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunya sederhana dan mudah diingat;
- Adaptabilitas, sebuah budaya popular mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren;
- Durabilitas, sebuah budaya popular akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya popular yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan seperti merek coca-cola yang sudah berpuluh-puluh tahun;
- Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya popular berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industry yang mendukungnya.
Menurut Ben Agger pemikiran tentang budaya popular dapat dikelompokkan menjadi yaitu:
- Budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari;
- Kebudayaan popular menghancurkan kebudayaan tradisional;
- Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi kapitalis Karl Marx;
- Kebudayaan popular merupakan budaya yang menetes dari atas. (Burhan Bungin, 2009:100)
Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, olahraga, kesehatan dan sebagai macamnya. Menurut Ben Agger sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat.
Budaya Massa
Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, tertandarisasi dalam system pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengedepankan pada kepentingan pemuasan nafsu. Budaya massa memiliki beberapa karakter (dalam Burhan Bungin, 2009:77-78) yaitu sebagai berikut:
- Nontradisonal, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya popular. Acara infotainment, seperti standup comedy, penghuni terakhir, dan lai sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini;
- Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namun apabila elite terlibat dalam proses ini maka itu adalah bagian dari basis mass aitu sendiri;
- Budaya massa juga memproduksi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukkan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan;
- Budaya massa sangat erat hubungannya dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa.
Kemudian budaya massa sendiri dibentuk berdasarkan tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo yang singkat. Maka si pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat tak sempat lagi berpikir dan dengan cepat menyelesaikan karyanya. Mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya karena massa budaya begitu latahnya menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris, sehingga media berlomba mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Teknologi yang menghasilkan budaya massa dan budaya popular yang diproduksi secara massif tanpa dilihat lebih dalam manfaatnya, seringkali menjadi bencana bagi umat manusia. Kita dihadapkan dengan situasi yang cepat berubah, bersifat komsumtif, dan tidak tahu kebenarannya. Imperium citra atau nama baik yang dibangun kerapkali berbeda dengan realitas sosial masyarakat. Inilah kondisi yang dimana manusia dijadikan subjek oleh manusia yang lain.
Peran Akademisi dan Intelektual
Pencerahan selalu bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan membangun kedaulatannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya bisa memuhdakan manusia dalam kehidupan. Bukan malah menimbulkan masalah baru.
Meminjam istilah Ali Syariati, tentang peran intelektual sebagai raushan fikr (pemikir yang tercerahkan). Seharusnya akademisi dan intelektual, dalam perilakunya, tidak hanya mementingkan diri sendiri dan abai terhadap orang lain. Tidak buta dalam menjawab persoalan zaman dan membangun kesadaran banyak pihak. Peran akademisi dan intelektual organik seharusnya mampu merubah keadaan yang timpang.
- Artikel Terpuler -
Teknologi dan Budaya Massa
Akmal Basyir Senin, 26-12-2022 | - Dilihat: 40

Oleh: Akmal Basyir
Teknologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai segala sesuatu yang dapat atau untuk mencapai tujuan manusia. Ada karena fungsi, lahir melalui intelektus manusia, dan atas apa yang dirasa perlu. Adorno mencoba mengartikan teknologi yaitu tidak pernah objektif, ia selalu terpapar dalam subjek. Menjadi bagian dari konsekuensi natural atau bisa disebut manusia dijauhkan dari prodak produksinya sendiri. Sepertinya kita terjebak dalam lingkaran setan yang kita tidak bisa lepas darinya. Situasi tersebut artinya adalah antara penciptaan yang terlalu cepat sehingga teknologi mendukungnya atau sebenarnya sebaliknya.
Budaya Populer
Menurut William kata “pop” diambil dari kata “popular”. Terhadap istilah ini William memberikan empat makna yakni: pertama, banyak disukai orang. Kedua, jenis kerjaan rendahan. Ketiga, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang lain. Keempat, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu “budaya” dan “popular”.
Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa yang akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audiens pop menciptakan makna mereka sendiri melalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya diskursif mereka sendiri.
Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh audiens pop pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan pop terpusat pada bagaimana dia digunakan. Argumen-argumen ini menunjukkan adanya pengulangan pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan memalingkan orang pada komoditas yang mengabdi kepada kepentingannya dan lebih suka mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri menjadi kebudayaan pop yang mengabdi kepada kepentingannya (dalam Chris Barker, 2004).
Ciri-ciri budaya popular diantaranya sebagai berikut:
- Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang perpotensi menjadi budaya popular;
- Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia menjadi tren akhirnya diikuti banyak penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre music yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunya sederhana dan mudah diingat;
- Adaptabilitas, sebuah budaya popular mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren;
- Durabilitas, sebuah budaya popular akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya popular yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan seperti merek coca-cola yang sudah berpuluh-puluh tahun;
- Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya popular berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industry yang mendukungnya.
Menurut Ben Agger pemikiran tentang budaya popular dapat dikelompokkan menjadi yaitu:
- Budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari;
- Kebudayaan popular menghancurkan kebudayaan tradisional;
- Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi kapitalis Karl Marx;
- Kebudayaan popular merupakan budaya yang menetes dari atas. (Burhan Bungin, 2009:100)
Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, olahraga, kesehatan dan sebagai macamnya. Menurut Ben Agger sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat.
Budaya Massa
Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, tertandarisasi dalam system pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengedepankan pada kepentingan pemuasan nafsu. Budaya massa memiliki beberapa karakter (dalam Burhan Bungin, 2009:77-78) yaitu sebagai berikut:
- Nontradisonal, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya popular. Acara infotainment, seperti standup comedy, penghuni terakhir, dan lai sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini;
- Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namun apabila elite terlibat dalam proses ini maka itu adalah bagian dari basis mass aitu sendiri;
- Budaya massa juga memproduksi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukkan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan;
- Budaya massa sangat erat hubungannya dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa.
Kemudian budaya massa sendiri dibentuk berdasarkan tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo yang singkat. Maka si pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat tak sempat lagi berpikir dan dengan cepat menyelesaikan karyanya. Mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya karena massa budaya begitu latahnya menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris, sehingga media berlomba mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Teknologi yang menghasilkan budaya massa dan budaya popular yang diproduksi secara massif tanpa dilihat lebih dalam manfaatnya, seringkali menjadi bencana bagi umat manusia. Kita dihadapkan dengan situasi yang cepat berubah, bersifat komsumtif, dan tidak tahu kebenarannya. Imperium citra atau nama baik yang dibangun kerapkali berbeda dengan realitas sosial masyarakat. Inilah kondisi yang dimana manusia dijadikan subjek oleh manusia yang lain.
Peran Akademisi dan Intelektual
Pencerahan selalu bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan membangun kedaulatannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya bisa memuhdakan manusia dalam kehidupan. Bukan malah menimbulkan masalah baru.
Meminjam istilah Ali Syariati, tentang peran intelektual sebagai raushan fikr (pemikir yang tercerahkan). Seharusnya akademisi dan intelektual, dalam perilakunya, tidak hanya mementingkan diri sendiri dan abai terhadap orang lain. Tidak buta dalam menjawab persoalan zaman dan membangun kesadaran banyak pihak. Peran akademisi dan intelektual organik seharusnya mampu merubah keadaan yang timpang.
1 Komentar

2022-12-26 17:16:02
Fuad
Bagus dan ilmiah.terus kembangkan bos
1 Komentar
2022-12-26 17:16:02
Fuad
Bagus dan ilmiah.terus kembangkan bos
Tinggalkan Pesan