• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Tasbih Putih

Sucipto Jumantara Sabtu, 11-12-2021 | - Dilihat: 91

banner

Oleh: Sucipto Jumantara

Perempuan itu sudah semakin tua. Sesungguh ia ingin bercerita kepada ibu-ibu yang biasa berjamaah bersama. Namun ia pendam perasaannya. Ia urungkan niatnya.

“Bu, kapan mulai tinggal di rumah Mas Rohman?”

Tak disangkanya, rupanya jamaah ibu-ibu sudah mendengar kalau Rohman menginginkannya tinggal di rumahnya yang berada di luar kota.   

“Itulah yang saya pikirkan sekarang.” Katanya kemudian.

“Alhamdulilah, Ibu mempunyai anak berbakti seperti Mas Rohman. Tidak seperti anak-anak dan menantu saya. Seumur-umur tidak bakal membahagiakan orang tua.” Ujar seorang ibu.

Perempuan tua itu lebih banyak diam. Menasihati dirinya sendiri.

“Kenapa juga aku malah kurang bersyukur?” Kataya dalam hati.

Anaknya sudah dengan suka rela mengajaknya tinggal bersama di rumahnya. Tidak semua orang tua bisa merasakan bakti sang anak seperti dirinya.      

Perempuan yang selalu membawa tasbih putih itu telah ditinggal suaminya lima tahun lalu. Kini ia menikmati kehidupan di masa senja. Sendiri.

Untuk mengisi hari-harinya, dia memelihara kucing dengan begitu sayang. Ia  paling sulit diajak pergi jauh, apalagi hingga ke luar kota. Karena selalu kepikiran kucing-kucingnya ada di rumah.

Setelah ditawari anaknya untuk tinggal bersamanya, ia mulai tak tenang. Selalu alasannya sama.

“Kasihan kucing-kucingku. Tak ada yang merawat.” Katanya beralasan.

***

Rohman mulai tak sabar. Tanpa sepengetahuan ibunya, kucing-kucing itu satu persatu ia bawa pergi jauh secara diam-diam. Ibunya marah besar. Rohman pun akhirnya mengalah dan mencari kucing lagi untuk dipelihara ibunya. Iapun belum berhasil memboyong ibunya.

Di lain waktu Rohman berusaha merayu lagi dan lagi agar ibunya mau ikut tinggal dengan keluarganya. Rohman selalu khawatir dengan keadaan ibunya kalau tinggalnya sendirian dan berjauhan dengan dirinya.

Sudah berbulan-bulan Rohman merayu sang ibu, tapi tak berhasil juga. Alasannya hanya karena kucing.

Rohman datang lagi untuk menjemput. Setelah sekian kali dibujuk, akhirnya ibunya bersedia tinggal di rumah anak barepnya itu. Rohman menjemput ibunya sekaligus kucing-kucing yang dipeliharanya.

Setelah beberapa hari ia sudah tinggal satu atap di rumah Rohman, ada perasaan rindu suasana yang selama ini mewarnai kehidupannya di desa terutama jamaah yang sering bersamanya pergi ke mushola.

Namun, meski tidak di rumah sendiri, ia tetaplah seperti yang dikenal orang-orang desa. Ia istiqomah dalam ibadah dan satu kebiasaan yang tak pernah dia tinggalkan, setiap hari dia pasti membaca Al-Qur’an terutama selepas shubuh. Selain itu ia akan berzikir dengan tasbih yang senantiasa digenggamnya.

Suatu hari ia merenung karena teringat suaminya. Hanyut dalam lamunan. Terngiang percakapan di waktu malam hari, sesaat setelah bertahajud berdua dengan sang suami.

“Syukurlah Bu. Anak-anak kita sudah mapan. Dulu si Rohman, susah payah kerja sambil kuliah. Kini dia bisa jadi pegawai negeri. Istrinya taat beragama. Usaha dagangnya pun makin lancar. Anaknya juga sudah besar-besar dan rajin beribadah. Yang penting sekarang kita banyak berdoa saja Bu, semoga kelak kita menghadap Allah dalam keadaan husnul khatimah. Jatahku hidup tak akan lama lagi. Nanti kalau aku sudah tidak ada, Ibu tinggal saja sama Rohman, ya!” kata suami yang masih dikenangnya.

Ia meneteskan air mata. Apa yang dipesankan oleh suaminya dulu, sekarang sedang dijalaninya.

“Nek! Nenek kenapa menangis?” tanya seorang cucunya.

“Nggak, ini Nenek cuma capek membaca Al-Qur’an saja kok.”

Dia tak ingin terlihat sedih di hadapan anak dan cucu-cunya. Keluarga Rohman sangat berbakti padanya. Hanya saja ia sering berpikir, ia merepotkan anak, menantu dan juga cucunya. Ia merasa tidak nyaman. Apalagi akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Ia tidak ingin menjadi beban anak cucu.

Ia ceritakan kegundahannya itu. Kepada malam dan kepada tasbih yang setia dalam genggamannya.

Perempuan itu dihantui pikirannya sendiri. Jangan-jangan nanti kalau anaknya sudah tidak sabar, ia akan dititipkan di panti jompo.

Suatu malam ia mengigau.

“Tidak, tidak! Lebih baik aku kembali saja ke rumah sendiri di desa!”

Rohman menengok ke kamar ibunya.

“Ada apa, Bu?” Tanya Rohman.

“Kamu nggak akan menitipkan ibumu ke panti jompo kan?” Pinta ibunya.

“Kenapa berpikir seperti itu, Bu?” tanya Rohman

“Aku sudah ngrepoti kamu dan anak istrimu. Aku sudah semakin tua. Tidak enak juga sama orang tua istrimu.”

“Kami semua sayang sama Ibu. Kami akan selalu merawat Ibu.” Kata Rohman sembari memijit-mijit tangan ibunya.

“Iya Bu, Ibu tidak usah berpikir yang macam-macam.” Istri Rohman turut menenangkannya sambil tersenyum penuh pengertian.

Perempuan itu menjadi lebih suka melamun, sehabis membaca Al-Qur’an atau selepas berzikir di waktu siang dan malam.

Usianya semakin menua. Sering lupa menaruh tasbih kesukaanya. Cucunya yang sering membantu menemukan kembali tasbih setiap kali ia lupa tempat menaruhnya.

Penglihatannya mulai tak jelas lagi. Membaca Al-Qur’an sudah mulai susah. Suara perempuan tua yang sedang mengaji tak lagi menghiasi hari-hari. Kini hanya zikir dengan tasbih di tangan menjadi bagian tersendiri dari keluarga Rohman.

Karena ibunya sering lupa menaruh tasbih, maka Rohman dan anak-anaknya ramai-ramai memberikan hadiah tasbih yang baru. Tetapi rupanya ia tak suka dibelikan tasbih yang baru. Tasbih yang dibawanya itu, sebenarnya tak ada istimewanya menurut anak dan cucu-cucunya. Namun baginya tasbih itu sungguh berarti. Entah mengapa.

Ia mulai susah diajak bicara. Apalagi kalau ia lupa dimana meletakkan tasbihnya maka seisi rumah tak bisa tidur. Ikut mencari sampai ketemu.

***

“Rohman, bawa saja aku ke panti jompo!” Kata perempuan itu mengejutkan anaknya.

Rohman kaget bukan kepalang mendengar permintaan ibunya yang tak pernah disangkanya itu. Belum lama ibunya mengigau karena tak ingin dibawa ke panti jompo, sekarang malah ia minta dibawa ke sana.

Suatu malam zikir perempuan tua itu tak terdengar seperti biasanya. Rohman menengok ke kamar ibunya. Tidak ada. Rohman mencari di kamar mandi. Tidak ada juga. Ia mencari di tempat wudhu. Tidak dijumpainya.

“Kemana?” Rohman terus bertanya-tanya dalam hati.

Lama Rohman mencari-cari di seluruh ruangan rumahnya. Tak ditemuinya ibunya. Di depan rumah sesuatu tersorot lampu. Memantulkan cahaya putih. Itu tasbih sang ibu.

“Ibu?”

Rohman memungut tasbih itu, sambil memanggil ibunya. Tak ada suara yang menyahut. Rohman  kembali ke dalam rumah.

“Ibu, tidak ada. Ayo kita cari!” ajaknya kepada istrinya.

Tetiba seorang lelaki mengetuk pintu mengagetkan keduanya.

“Pak Rohman, ini tadi ibu lupa jalan pulang ke rumah.” Seorang laki-laki  setengah baya memapah.

“Ya Allah, Ibu. Ibu kemana saja?” Rohman merangkul dan membimbing perempuan tua itu masuk ke dalam kamar.

“Aku mencari tasbihku, hilang entah dimana. Aku lama mencari sampai sekarang nggak ketemu tasbih itu.”

“Tasbihnya sudah saya temukan di depan rumah. Lain kali Ibu kalau mau nyari tasbih jangan sendirian. Ya sudah, Ibu sekarang istirahat saja!” kata Rohman.

Rohman dan istrinya mengantar ibunya ke kamar. Perempuan itu tidak cepat-cepat tidur. Tasbih berputar-putar di jari-jari tangannya. Ia berzikir. Kalimat toyibah menggema malam itu.

Seisi rumah sudah terlelap. Kecuali perempuan itu. Sudah dini hari. Suara gemericik air dari arah belakang rumah membangunkan Rohman.

“Ibu pasti sedang wudhu.” Kata Rohman dalam hati.

Rohman pun tersenyum bahagia. Bersyukur mempunyai ibu yang selalu menghidupkan malam-malamnya dengan salat tahajud.

Rasa syukur membanjiri semua sudut lubuk hatinya. Mendadak teringat masa kecilnya. Dulu sering dimarahi bapak dan ibunya jika tidak segera menunaikan salat wajib. Ibunya mengajarinya mengaji dan melaksanakan gerakan salat dengan sabar. Bapaknya melatihnya belajar azan di mushola desa. Rohman tersenyum sambil melihat langit-langit kamar yang menjadi layar kisah masa kecilnya.  

Suara air gemericik itu tak ada henti-hentinya. Teringat bapaknya yang dulu sering mengajaknya salat berjamaah dengan sang ibu. Sekarang bapaknya sudah tiada. Ibu selalu salat tahajud sendiri di pengujung malam.

Malam itu rasanya dingin sekali, namun Rohman tiba-tiba ingin salat tahajud bersama ibunya. Gemericik air itu seakan memanggilnya untuk bergegas bangkit dari tempat tidur. Dia ingin segera bermunajat bersama sang ibu. Rohman melihat istrinya, lalu ia bangunkan, dia ajak serta salat malam. 

Rohman dan istrinya lantas membangunkan anak-anaknya. Semuanya telah bangun pada dini hari itu. Tak ada yang sulit untuk bangkit. Spontan mereka menyusun rencana. Rohman ingin membahagiakan ibunya  dengan salat tahajud berjamaah bersama anak dan istrinya. Mereka tersenyum. Mereka ingin membuat kejutan. Perlahan mendekat ke gemericik air, tempat berwudhu.   

Mereka terperangah. Hanya ada tasbih putih yang tergeletak tersiram air yang terus menerus mengucur deras.

Perempuan tua itu terlihat di tempat salat. Di atas sajadah putih hitam bergambar ka’bah. Ia bersujud dalam buaian malam. Bersujud nan panjang. Tenang tanpa suara.

 _____

Penulis kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Yogyakarta mengajar di Universitas Ahmad Dahlan. Beberapa cerpen dan puisinya dimuat di media cetak dan online.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb

Tasbih Putih

Sucipto Jumantara Sabtu, 11-12-2021 | - Dilihat: 91

banner

Oleh: Sucipto Jumantara

Perempuan itu sudah semakin tua. Sesungguh ia ingin bercerita kepada ibu-ibu yang biasa berjamaah bersama. Namun ia pendam perasaannya. Ia urungkan niatnya.

“Bu, kapan mulai tinggal di rumah Mas Rohman?”

Tak disangkanya, rupanya jamaah ibu-ibu sudah mendengar kalau Rohman menginginkannya tinggal di rumahnya yang berada di luar kota.   

“Itulah yang saya pikirkan sekarang.” Katanya kemudian.

“Alhamdulilah, Ibu mempunyai anak berbakti seperti Mas Rohman. Tidak seperti anak-anak dan menantu saya. Seumur-umur tidak bakal membahagiakan orang tua.” Ujar seorang ibu.

Perempuan tua itu lebih banyak diam. Menasihati dirinya sendiri.

“Kenapa juga aku malah kurang bersyukur?” Kataya dalam hati.

Anaknya sudah dengan suka rela mengajaknya tinggal bersama di rumahnya. Tidak semua orang tua bisa merasakan bakti sang anak seperti dirinya.      

Perempuan yang selalu membawa tasbih putih itu telah ditinggal suaminya lima tahun lalu. Kini ia menikmati kehidupan di masa senja. Sendiri.

Untuk mengisi hari-harinya, dia memelihara kucing dengan begitu sayang. Ia  paling sulit diajak pergi jauh, apalagi hingga ke luar kota. Karena selalu kepikiran kucing-kucingnya ada di rumah.

Setelah ditawari anaknya untuk tinggal bersamanya, ia mulai tak tenang. Selalu alasannya sama.

“Kasihan kucing-kucingku. Tak ada yang merawat.” Katanya beralasan.

***

Rohman mulai tak sabar. Tanpa sepengetahuan ibunya, kucing-kucing itu satu persatu ia bawa pergi jauh secara diam-diam. Ibunya marah besar. Rohman pun akhirnya mengalah dan mencari kucing lagi untuk dipelihara ibunya. Iapun belum berhasil memboyong ibunya.

Di lain waktu Rohman berusaha merayu lagi dan lagi agar ibunya mau ikut tinggal dengan keluarganya. Rohman selalu khawatir dengan keadaan ibunya kalau tinggalnya sendirian dan berjauhan dengan dirinya.

Sudah berbulan-bulan Rohman merayu sang ibu, tapi tak berhasil juga. Alasannya hanya karena kucing.

Rohman datang lagi untuk menjemput. Setelah sekian kali dibujuk, akhirnya ibunya bersedia tinggal di rumah anak barepnya itu. Rohman menjemput ibunya sekaligus kucing-kucing yang dipeliharanya.

Setelah beberapa hari ia sudah tinggal satu atap di rumah Rohman, ada perasaan rindu suasana yang selama ini mewarnai kehidupannya di desa terutama jamaah yang sering bersamanya pergi ke mushola.

Namun, meski tidak di rumah sendiri, ia tetaplah seperti yang dikenal orang-orang desa. Ia istiqomah dalam ibadah dan satu kebiasaan yang tak pernah dia tinggalkan, setiap hari dia pasti membaca Al-Qur’an terutama selepas shubuh. Selain itu ia akan berzikir dengan tasbih yang senantiasa digenggamnya.

Suatu hari ia merenung karena teringat suaminya. Hanyut dalam lamunan. Terngiang percakapan di waktu malam hari, sesaat setelah bertahajud berdua dengan sang suami.

“Syukurlah Bu. Anak-anak kita sudah mapan. Dulu si Rohman, susah payah kerja sambil kuliah. Kini dia bisa jadi pegawai negeri. Istrinya taat beragama. Usaha dagangnya pun makin lancar. Anaknya juga sudah besar-besar dan rajin beribadah. Yang penting sekarang kita banyak berdoa saja Bu, semoga kelak kita menghadap Allah dalam keadaan husnul khatimah. Jatahku hidup tak akan lama lagi. Nanti kalau aku sudah tidak ada, Ibu tinggal saja sama Rohman, ya!” kata suami yang masih dikenangnya.

Ia meneteskan air mata. Apa yang dipesankan oleh suaminya dulu, sekarang sedang dijalaninya.

“Nek! Nenek kenapa menangis?” tanya seorang cucunya.

“Nggak, ini Nenek cuma capek membaca Al-Qur’an saja kok.”

Dia tak ingin terlihat sedih di hadapan anak dan cucu-cunya. Keluarga Rohman sangat berbakti padanya. Hanya saja ia sering berpikir, ia merepotkan anak, menantu dan juga cucunya. Ia merasa tidak nyaman. Apalagi akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Ia tidak ingin menjadi beban anak cucu.

Ia ceritakan kegundahannya itu. Kepada malam dan kepada tasbih yang setia dalam genggamannya.

Perempuan itu dihantui pikirannya sendiri. Jangan-jangan nanti kalau anaknya sudah tidak sabar, ia akan dititipkan di panti jompo.

Suatu malam ia mengigau.

“Tidak, tidak! Lebih baik aku kembali saja ke rumah sendiri di desa!”

Rohman menengok ke kamar ibunya.

“Ada apa, Bu?” Tanya Rohman.

“Kamu nggak akan menitipkan ibumu ke panti jompo kan?” Pinta ibunya.

“Kenapa berpikir seperti itu, Bu?” tanya Rohman

“Aku sudah ngrepoti kamu dan anak istrimu. Aku sudah semakin tua. Tidak enak juga sama orang tua istrimu.”

“Kami semua sayang sama Ibu. Kami akan selalu merawat Ibu.” Kata Rohman sembari memijit-mijit tangan ibunya.

“Iya Bu, Ibu tidak usah berpikir yang macam-macam.” Istri Rohman turut menenangkannya sambil tersenyum penuh pengertian.

Perempuan itu menjadi lebih suka melamun, sehabis membaca Al-Qur’an atau selepas berzikir di waktu siang dan malam.

Usianya semakin menua. Sering lupa menaruh tasbih kesukaanya. Cucunya yang sering membantu menemukan kembali tasbih setiap kali ia lupa tempat menaruhnya.

Penglihatannya mulai tak jelas lagi. Membaca Al-Qur’an sudah mulai susah. Suara perempuan tua yang sedang mengaji tak lagi menghiasi hari-hari. Kini hanya zikir dengan tasbih di tangan menjadi bagian tersendiri dari keluarga Rohman.

Karena ibunya sering lupa menaruh tasbih, maka Rohman dan anak-anaknya ramai-ramai memberikan hadiah tasbih yang baru. Tetapi rupanya ia tak suka dibelikan tasbih yang baru. Tasbih yang dibawanya itu, sebenarnya tak ada istimewanya menurut anak dan cucu-cucunya. Namun baginya tasbih itu sungguh berarti. Entah mengapa.

Ia mulai susah diajak bicara. Apalagi kalau ia lupa dimana meletakkan tasbihnya maka seisi rumah tak bisa tidur. Ikut mencari sampai ketemu.

***

“Rohman, bawa saja aku ke panti jompo!” Kata perempuan itu mengejutkan anaknya.

Rohman kaget bukan kepalang mendengar permintaan ibunya yang tak pernah disangkanya itu. Belum lama ibunya mengigau karena tak ingin dibawa ke panti jompo, sekarang malah ia minta dibawa ke sana.

Suatu malam zikir perempuan tua itu tak terdengar seperti biasanya. Rohman menengok ke kamar ibunya. Tidak ada. Rohman mencari di kamar mandi. Tidak ada juga. Ia mencari di tempat wudhu. Tidak dijumpainya.

“Kemana?” Rohman terus bertanya-tanya dalam hati.

Lama Rohman mencari-cari di seluruh ruangan rumahnya. Tak ditemuinya ibunya. Di depan rumah sesuatu tersorot lampu. Memantulkan cahaya putih. Itu tasbih sang ibu.

“Ibu?”

Rohman memungut tasbih itu, sambil memanggil ibunya. Tak ada suara yang menyahut. Rohman  kembali ke dalam rumah.

“Ibu, tidak ada. Ayo kita cari!” ajaknya kepada istrinya.

Tetiba seorang lelaki mengetuk pintu mengagetkan keduanya.

“Pak Rohman, ini tadi ibu lupa jalan pulang ke rumah.” Seorang laki-laki  setengah baya memapah.

“Ya Allah, Ibu. Ibu kemana saja?” Rohman merangkul dan membimbing perempuan tua itu masuk ke dalam kamar.

“Aku mencari tasbihku, hilang entah dimana. Aku lama mencari sampai sekarang nggak ketemu tasbih itu.”

“Tasbihnya sudah saya temukan di depan rumah. Lain kali Ibu kalau mau nyari tasbih jangan sendirian. Ya sudah, Ibu sekarang istirahat saja!” kata Rohman.

Rohman dan istrinya mengantar ibunya ke kamar. Perempuan itu tidak cepat-cepat tidur. Tasbih berputar-putar di jari-jari tangannya. Ia berzikir. Kalimat toyibah menggema malam itu.

Seisi rumah sudah terlelap. Kecuali perempuan itu. Sudah dini hari. Suara gemericik air dari arah belakang rumah membangunkan Rohman.

“Ibu pasti sedang wudhu.” Kata Rohman dalam hati.

Rohman pun tersenyum bahagia. Bersyukur mempunyai ibu yang selalu menghidupkan malam-malamnya dengan salat tahajud.

Rasa syukur membanjiri semua sudut lubuk hatinya. Mendadak teringat masa kecilnya. Dulu sering dimarahi bapak dan ibunya jika tidak segera menunaikan salat wajib. Ibunya mengajarinya mengaji dan melaksanakan gerakan salat dengan sabar. Bapaknya melatihnya belajar azan di mushola desa. Rohman tersenyum sambil melihat langit-langit kamar yang menjadi layar kisah masa kecilnya.  

Suara air gemericik itu tak ada henti-hentinya. Teringat bapaknya yang dulu sering mengajaknya salat berjamaah dengan sang ibu. Sekarang bapaknya sudah tiada. Ibu selalu salat tahajud sendiri di pengujung malam.

Malam itu rasanya dingin sekali, namun Rohman tiba-tiba ingin salat tahajud bersama ibunya. Gemericik air itu seakan memanggilnya untuk bergegas bangkit dari tempat tidur. Dia ingin segera bermunajat bersama sang ibu. Rohman melihat istrinya, lalu ia bangunkan, dia ajak serta salat malam. 

Rohman dan istrinya lantas membangunkan anak-anaknya. Semuanya telah bangun pada dini hari itu. Tak ada yang sulit untuk bangkit. Spontan mereka menyusun rencana. Rohman ingin membahagiakan ibunya  dengan salat tahajud berjamaah bersama anak dan istrinya. Mereka tersenyum. Mereka ingin membuat kejutan. Perlahan mendekat ke gemericik air, tempat berwudhu.   

Mereka terperangah. Hanya ada tasbih putih yang tergeletak tersiram air yang terus menerus mengucur deras.

Perempuan tua itu terlihat di tempat salat. Di atas sajadah putih hitam bergambar ka’bah. Ia bersujud dalam buaian malam. Bersujud nan panjang. Tenang tanpa suara.

 _____

Penulis kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Yogyakarta mengajar di Universitas Ahmad Dahlan. Beberapa cerpen dan puisinya dimuat di media cetak dan online.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech