Tajdid dan Pendidikan Agama di Masa (pasca-) Wabah
Chairunnisa Kamis, 25-11-2021 | - Dilihat: 149

Oleh: Chairunnisa
Wabah Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, sejak akhir 2019 terus berlangsung hingga kini, November 2021. Kita patut bersyukur karena tren wabah di Indonesia terus melandai setelah dua kali gelombang wabah menghantam. Gelombang pertama terjadi pada kisaran Januari-Februari 2021, sementara itu gelombang kedua memuncak pada bulan Juli 2021.
Gejala wabah di Indonesia saat ini memang terus melandai, tapi kita harus tetap waspada karena di saat yang sama di Eropa justru menunjukkan gejala sebaliknya. Gelombang wabah di belahan bumi Eropa terus meninggi. Alih-alih segera ada solusi cepat, kenaikan gelombang wabah di Eropa justru diperparah dengan gelombang demo anti lockdown dan wajib vaksinasi.
Kita tentu berharap wabah segera berlalu, namun tanpa kesadaran kolektif, ilmu yang memadai, dan tindakan konkret, harapan pasti hanya pepesan kosong. Pada akhirnya situasi dan kondisi memaksa masyarakat untuk hidup dengan berbagai budaya baru. Bagi masyarakat yang memiliki karakter tajdid (pembaharuan) dengan dasar pendidikan yang interdisipliner, adaptasi adalah bagian dari kehidupan mereka.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menjadi salah satu kekuatan besar yang dimiliki bangsa ini dalam penanganan wabah Covid-19. Selain penanganan dalam aspek kesehatan, Muhammadiyah juga menjadi garda terdepan dalam aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Pendidikan Agama di Masa (pasca-) Wabah
Pendidikan adalah salah satu aspek kehidupan yang paling terdampak dari adanya wabah Covid-19. Transformasi pendidikan luring menjadi daring selama hampir dua tahun di Indonesia tidak hanya mengubah budaya peserta didik dan pendidik, tetapi juga para orang tua siswa dan hampir semua aspek sosial-ekonomi yang bergantung pada keberadaan lembaga pendidikan.
Efek berantai akibat dari adanya wabah ini menyadarkan kita tentang kesiapan masyarakat dalam beradaptasi dengan segala kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Kesiapan adaptasi ini di antaranya tentu dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendekatan pendidikan yang monodisiplin, terutama pendidikan ilmu-ilmu agama, hanya akan brakibat pada hilangnya kontak dengan realitas dan relevansi kehidupan (Amin Abdullah, 2020).
Wabah menyadarkan kita bahwa interdipilin keilmuan adalah keniscayaan. Pendidikan, termasuk rumpun ilmu-ilmu agama, yang tinggal terima jadi tanpa upaya kreatif dan inovatif, akan menyulitkan proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Mentalitas adaptif tentu dibangun melalui pendidikan yang interdisiplin.
Adalah Fazlur Rahman, pemikir Muslim terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa kelemahan pendidikan Muslim, sebagaimana pendidikan pra-modern, adalah konsep ilmu pengetahuan yang hanya terima jadi. Pola pikir seperti ini, kata Rahman, lebih pasif dan reseptif, alih-alih kreatif dan positif. Hal ini diperparah dengan pertentangan antara ilmu tradisional (naql atau sam’) di satu sisi, dan ilmu rasional di sisi yang lain (Fazlur Rahman, 2017).
Kegelisahan Rahman ini tampak bisa dirasakan ketika wabah Covid-19 melanda dunia, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pemahaman keagamaan dalam makna yang sempit seringkali berbenturan dengan upaya penanganan wabah dalam aspek kesehatan dan sosial. Alih-alih menjadi solusi, sebagian umat beragama tak jarang justru menjadi bagian dari masalah penanganan wabah.
Autokritik Rahman patut menjadi bahan renungan sekaligus bagian dari langkah untuk memulai sebuah perubahan, khususnya dalam dunia pendidikan Agama. Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhammad Amin Abdullah, menawarkan gagasan dialog dan integrasi keilmuan. Tiga kata kunci dalam gagasan lintas keilmuan tersebut adalah saling menembus (semipermiable), keterujian intersubjektif (intersubjektive tetability), dan imaginasi kreatif (creative imagination) (Amin Abdullah, 2020).
Faktanya, pendidikan agama dengan corak monodisiplin keilmuan kurang mampu memberikan jalan keluar yang lapang bagi masalah wabah. Corak pendidikan agama yang multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin menjadi keniscayaan untuk mewujudkan pendidikan yang berkemajuan.
Muhammadiyah adalah garda terdepan dalam penanganan wabah di Indonesia. Pendekatan multi, inter, dan transdisiplin mewujud dalam amal konkret di bidang kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan. Tanpa melibatkan berbagai komponen kehidupan secara komprehensif, upaya penanganan wabah tidak akan banyak gunanya.
Tajdid Muhammadiyah di Masa Wabah
Gerakan tajdid (pembaharuan) adalah di antara identitas Muhammadiyah yang dituangkan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 4. Tajdid di Muhammadiyah mencakup dua makna: purifikasi dan dinamisasi.
Dalam aspek akidah dan ibadah, tajdid bermakna purifikasi (pemurnian) dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi Saw. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid bermakna mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai dengan perkembangan zaman (Syamsul Anwar, 2018).
Semangat purifikasi dan dinamisasi yang proporsional tentu sangat diperlukan dalam merespon setiap masalah kehidupan, khususnya wabah Covid-19 dengan segala dampaknya. Kecenderungan hanya di satu aspek tajdid tersebut pasti membuat umat terjebak dalam kebuntuan.
Metode pembelajaran jarak jauh atau daring selama masa wabah adalah salah satu bentuk dinamsasi dalam aspek pendidikan. Konteks ini kreatifitas dan inovasi sangat diperlukan. Maka pendidikan yang membentuk karakter kreatif dan inovatif, sebagaimana kritik Rahman, adalah persoalan yang harus diperhatikan secara serius dalam dunia pendidikan saat ini.
Sesungguhnya kritik yang dilontarkan Rahman senada dengan semangat tajdid di Muhammadiyah. Namun jika semangat tajdid itu tidak mengarusutamakan aspek purifikasi dan dinamisasi secara proporsional, sekali lagi, pasti hanya akan terhenti di jalan buntu.
Selain dalam aspek pendidikan, tajdid di Muhammadiyah juga tampak di aspek kesehatan, sosial, ekonomi, bahkan keagamaan dalam makna fikih. Pengaturan shaf shalat dengan jarak tertentu adalah bagian dari upaya untuk mengurangi risiko penularan wabah demi keselamantan jiwa para jama’ah.
Akhirnya
Pendidikan yang membawa semangat tajdid pasti mengarah pada pembentukan karakter peserta didik yang bertakwa sekaligus selalu relevan dengan zamannya. Dalam sebuah ungkapan yang sangat populer, didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Pendidikan bukan hanya soal materi ajar, tetapi juga metodologi dan paradigma. Maka pendidik adalah pemegang kunci bagi dunia pendidikan dengan segala permasalahannya yang kompleks.
___Penulis adalah Mahasiswa S-3 Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
- Artikel Terpuler -
Tajdid dan Pendidikan Agama di Masa (pasca-) Wabah
Chairunnisa Kamis, 25-11-2021 | - Dilihat: 149

Oleh: Chairunnisa
Wabah Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, sejak akhir 2019 terus berlangsung hingga kini, November 2021. Kita patut bersyukur karena tren wabah di Indonesia terus melandai setelah dua kali gelombang wabah menghantam. Gelombang pertama terjadi pada kisaran Januari-Februari 2021, sementara itu gelombang kedua memuncak pada bulan Juli 2021.
Gejala wabah di Indonesia saat ini memang terus melandai, tapi kita harus tetap waspada karena di saat yang sama di Eropa justru menunjukkan gejala sebaliknya. Gelombang wabah di belahan bumi Eropa terus meninggi. Alih-alih segera ada solusi cepat, kenaikan gelombang wabah di Eropa justru diperparah dengan gelombang demo anti lockdown dan wajib vaksinasi.
Kita tentu berharap wabah segera berlalu, namun tanpa kesadaran kolektif, ilmu yang memadai, dan tindakan konkret, harapan pasti hanya pepesan kosong. Pada akhirnya situasi dan kondisi memaksa masyarakat untuk hidup dengan berbagai budaya baru. Bagi masyarakat yang memiliki karakter tajdid (pembaharuan) dengan dasar pendidikan yang interdisipliner, adaptasi adalah bagian dari kehidupan mereka.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menjadi salah satu kekuatan besar yang dimiliki bangsa ini dalam penanganan wabah Covid-19. Selain penanganan dalam aspek kesehatan, Muhammadiyah juga menjadi garda terdepan dalam aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Pendidikan Agama di Masa (pasca-) Wabah
Pendidikan adalah salah satu aspek kehidupan yang paling terdampak dari adanya wabah Covid-19. Transformasi pendidikan luring menjadi daring selama hampir dua tahun di Indonesia tidak hanya mengubah budaya peserta didik dan pendidik, tetapi juga para orang tua siswa dan hampir semua aspek sosial-ekonomi yang bergantung pada keberadaan lembaga pendidikan.
Efek berantai akibat dari adanya wabah ini menyadarkan kita tentang kesiapan masyarakat dalam beradaptasi dengan segala kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Kesiapan adaptasi ini di antaranya tentu dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendekatan pendidikan yang monodisiplin, terutama pendidikan ilmu-ilmu agama, hanya akan brakibat pada hilangnya kontak dengan realitas dan relevansi kehidupan (Amin Abdullah, 2020).
Wabah menyadarkan kita bahwa interdipilin keilmuan adalah keniscayaan. Pendidikan, termasuk rumpun ilmu-ilmu agama, yang tinggal terima jadi tanpa upaya kreatif dan inovatif, akan menyulitkan proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Mentalitas adaptif tentu dibangun melalui pendidikan yang interdisiplin.
Adalah Fazlur Rahman, pemikir Muslim terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa kelemahan pendidikan Muslim, sebagaimana pendidikan pra-modern, adalah konsep ilmu pengetahuan yang hanya terima jadi. Pola pikir seperti ini, kata Rahman, lebih pasif dan reseptif, alih-alih kreatif dan positif. Hal ini diperparah dengan pertentangan antara ilmu tradisional (naql atau sam’) di satu sisi, dan ilmu rasional di sisi yang lain (Fazlur Rahman, 2017).
Kegelisahan Rahman ini tampak bisa dirasakan ketika wabah Covid-19 melanda dunia, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pemahaman keagamaan dalam makna yang sempit seringkali berbenturan dengan upaya penanganan wabah dalam aspek kesehatan dan sosial. Alih-alih menjadi solusi, sebagian umat beragama tak jarang justru menjadi bagian dari masalah penanganan wabah.
Autokritik Rahman patut menjadi bahan renungan sekaligus bagian dari langkah untuk memulai sebuah perubahan, khususnya dalam dunia pendidikan Agama. Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhammad Amin Abdullah, menawarkan gagasan dialog dan integrasi keilmuan. Tiga kata kunci dalam gagasan lintas keilmuan tersebut adalah saling menembus (semipermiable), keterujian intersubjektif (intersubjektive tetability), dan imaginasi kreatif (creative imagination) (Amin Abdullah, 2020).
Faktanya, pendidikan agama dengan corak monodisiplin keilmuan kurang mampu memberikan jalan keluar yang lapang bagi masalah wabah. Corak pendidikan agama yang multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin menjadi keniscayaan untuk mewujudkan pendidikan yang berkemajuan.
Muhammadiyah adalah garda terdepan dalam penanganan wabah di Indonesia. Pendekatan multi, inter, dan transdisiplin mewujud dalam amal konkret di bidang kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan. Tanpa melibatkan berbagai komponen kehidupan secara komprehensif, upaya penanganan wabah tidak akan banyak gunanya.
Tajdid Muhammadiyah di Masa Wabah
Gerakan tajdid (pembaharuan) adalah di antara identitas Muhammadiyah yang dituangkan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 4. Tajdid di Muhammadiyah mencakup dua makna: purifikasi dan dinamisasi.
Dalam aspek akidah dan ibadah, tajdid bermakna purifikasi (pemurnian) dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi Saw. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid bermakna mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai dengan perkembangan zaman (Syamsul Anwar, 2018).
Semangat purifikasi dan dinamisasi yang proporsional tentu sangat diperlukan dalam merespon setiap masalah kehidupan, khususnya wabah Covid-19 dengan segala dampaknya. Kecenderungan hanya di satu aspek tajdid tersebut pasti membuat umat terjebak dalam kebuntuan.
Metode pembelajaran jarak jauh atau daring selama masa wabah adalah salah satu bentuk dinamsasi dalam aspek pendidikan. Konteks ini kreatifitas dan inovasi sangat diperlukan. Maka pendidikan yang membentuk karakter kreatif dan inovatif, sebagaimana kritik Rahman, adalah persoalan yang harus diperhatikan secara serius dalam dunia pendidikan saat ini.
Sesungguhnya kritik yang dilontarkan Rahman senada dengan semangat tajdid di Muhammadiyah. Namun jika semangat tajdid itu tidak mengarusutamakan aspek purifikasi dan dinamisasi secara proporsional, sekali lagi, pasti hanya akan terhenti di jalan buntu.
Selain dalam aspek pendidikan, tajdid di Muhammadiyah juga tampak di aspek kesehatan, sosial, ekonomi, bahkan keagamaan dalam makna fikih. Pengaturan shaf shalat dengan jarak tertentu adalah bagian dari upaya untuk mengurangi risiko penularan wabah demi keselamantan jiwa para jama’ah.
Akhirnya
Pendidikan yang membawa semangat tajdid pasti mengarah pada pembentukan karakter peserta didik yang bertakwa sekaligus selalu relevan dengan zamannya. Dalam sebuah ungkapan yang sangat populer, didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Pendidikan bukan hanya soal materi ajar, tetapi juga metodologi dan paradigma. Maka pendidik adalah pemegang kunci bagi dunia pendidikan dengan segala permasalahannya yang kompleks.
___Penulis adalah Mahasiswa S-3 Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
0 Komentar
Tinggalkan Pesan