Ritmis Lato-lato Vs Sikap Politik Kita
Muh Alfian Dj Selasa, 3-1-2023 | - Dilihat: 288

Oleh: Muh Alfian Dj
Belakangan ini permainan lato-lato menjadi permainan yang sedang digandrungi oleh semua kalangan mulai dari anak anak sampai dengan kalangan dewasa. Bahkan Presiden Jokowi sempat mencoba permainan ini saat kunjungan kerjanya ke Jawa barat.
Permainan ini bisa dimainkan sendiri, pemain hanya perlu membuat dua buah bola terikat saling beradu satu sama lain, permainan akan semakin seru kala dua bola yang saling berbenturan mengeluarkan suara, kuatnya suara sangat ditentukan oleh hentakan yang dibuat pemainnya, semakin kuat dan cepat hentakan bola, suara benturan pun akan semakin besar.
Permainan sederhana ini hanyalah sebuah permainan kelincahan tangan pemainnya, permainan lato-lato ternyata bukan permainan asli Indonesia, lato-lato berasal dari Amerika dengan nama clackers, permainan ini pertama kali muncul pada tahun 1960an dan populer tahun 1970an.
Di Indonesia sendiri permainan ini muncul dengan banyak nama dan berkembang pada tahun 1990an, di Makasar permainan ini disebut dengan Katto-katto di pulau jawa disebut etek-etek kalau di jawa barat disebut nok-nok
Maraknya permainan lato-lato membuat ingatan kembali pada ucapan Buya Syafii, kala itu Buya berujar “ jangan menari di atas genderang yang ditahuh orang lain”. Kira kira begitulah ucapan Buya Syafii kala berdiskusi dan menyikapi terkait dengan sikap politik masyarakat yang kala itu sedang disibukkan dengan riuhnya riang suasana pemilu.
Apa korelasi bait ujaran Buya dengan permainan lato-lato dan sikap politik masyarakat, sepintas terkesan berlebihan mengaitkan sebuah perminan anak anak dengan sikap politik masyarakat, serta makna yang terkandung dalam bait “jangan menari di atas genderang yang ditabuh orang lain” kalimat sederhana ini ternyata sangat sarat maknanya.
Tabuhan genderang dahulu sangat lekat dengan tanda dimulainya sebuah peperangan, fungsi genderang disamping untuk memberi semangat kepada prajurit dalam berperang, juga digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengatur formasi ataupun taktik peperangan.
Kini walaupun tak lagi ditabuh secara lahir akan tetapi frase menari atas genderang yang ditabuh orang lain sangat sering kita temui, banyak di tengah masyarakat kita yang tidak sadar telah menari atau bahkan berperang dengan sesama saudara setelah mendengar tabuhan genderang.
Irama genderang yang ditabuh sering tak beraturan dan memaksa para pengikut untuk terus menari mengikuti irama dalam setiap waktunya. Dalam dunia politik biasanya para penarilah yang dikorbankan, sedang pemenangnya tetap ada dipenabuh.
Para penabuh akan terus menabuh genderangnya dengan berbagai macam irama yang membuat mabuk para pengikut dan penarinya, ironinya para penari tidak pernah tahu irama apa yang dipakai oleh penabuh dan kapan akan berakhir tabuhannya.
Saat ini setiap waktu selalu ada penabuh yang berjaga dan memastikan tabuhannya tetap bersuara nyaring bahkan sesekali menyerukan pentingnya terus menari serta perlunya membuat jarak antar sesama penari dengan batasan batasan yang tertentu, kita dan mareka aku dan kamu atau bahkan hitam dan putih tak jarang juga membuat sekat dengan isu SARA.
Menariknya penabuh selalu berpindah dan mencari para penari baru untuk ikut ritmis genderangnya, bahkan sepeninggal penabuh para penari masih tetap konsisten menari serta tetap pada seruan awal sedang para penabuh kadang kala sudah berdamai dengan lawannya.
Saat ini luka lama akibat perang yang timbul dari genderang yang di tabuh pada pesta 2019 belum lagi sembuh, para penabuh sudah ada yang mulai menabuh genderang untuk pesta 2024 dan para penaripun sudah mulai mendaftarkan diri untuk menjadi kelompok penari penari politik.
Kelompok penari tersebut ada yang tergabung dalam kelompok calon pemimpin tahun 2024, ada yang tergabung dalam kelompok partai, bahan ada juga yang tergabung dalam kelompok SARA yang menafikan orang orang diluar kelompoknya.
Lantas apa korelasi lato-lato dengan sikap politik kita, bila dijelaskan kiasan frasa tersebut bisa dimaknai bahwa masyarakat akan terus dibenturkan dengan sesamanya, benturan benturan yang terjadi malah menjadi tontonan dan orang yang menonton menjadi terhibur dan bahagia.
Benturan antar bandul yang ada di lato-lato terus diciptakan oleh pemain, bandul bandul itu terus berhantaman, terus berbenturan. Setidaknya itulah cerminan masayarakat kita yang saling bermusuhan, bersebrangan dengan dalih dalih tertentu.
Perbedaan yang ada di tengah masyarakat kerap terjadi oleh berbagai macam sebab, menariknya para penyebab timbulnya gesekan dan benturan tersebut kadang kala telah berdamai dan telah duduk bersila dalam satu tikar pandan yang sama, akan tetapi para penari masih abadi dalam pertikaian.
Lato lato menjadi cermin bagi kita bahwa benturan yang terjadi antar sesama kita lebih banyak ditimbulkan dan diciptakan oleh orang luar yang punya kepentingan tertentu dan tidak ingin melihat kita berdamai.
Sudah seharusnya semua kita tersadar bahwa para penabuh genderang tersebut perlu dipensiunkan dan kita juga jangan mau menari atas genderang yang ditabuhnya. Marilah sama sama kita ciptakan harmoni cinta dengan ritmis para pujangga.
_____
Muh Alfian Dj, Guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta
- Artikel Teropuler -
Ritmis Lato-lato Vs Sikap Politik Kita
Muh Alfian Dj Selasa, 3-1-2023 | - Dilihat: 288

Oleh: Muh Alfian Dj
Belakangan ini permainan lato-lato menjadi permainan yang sedang digandrungi oleh semua kalangan mulai dari anak anak sampai dengan kalangan dewasa. Bahkan Presiden Jokowi sempat mencoba permainan ini saat kunjungan kerjanya ke Jawa barat.
Permainan ini bisa dimainkan sendiri, pemain hanya perlu membuat dua buah bola terikat saling beradu satu sama lain, permainan akan semakin seru kala dua bola yang saling berbenturan mengeluarkan suara, kuatnya suara sangat ditentukan oleh hentakan yang dibuat pemainnya, semakin kuat dan cepat hentakan bola, suara benturan pun akan semakin besar.
Permainan sederhana ini hanyalah sebuah permainan kelincahan tangan pemainnya, permainan lato-lato ternyata bukan permainan asli Indonesia, lato-lato berasal dari Amerika dengan nama clackers, permainan ini pertama kali muncul pada tahun 1960an dan populer tahun 1970an.
Di Indonesia sendiri permainan ini muncul dengan banyak nama dan berkembang pada tahun 1990an, di Makasar permainan ini disebut dengan Katto-katto di pulau jawa disebut etek-etek kalau di jawa barat disebut nok-nok
Maraknya permainan lato-lato membuat ingatan kembali pada ucapan Buya Syafii, kala itu Buya berujar “ jangan menari di atas genderang yang ditahuh orang lain”. Kira kira begitulah ucapan Buya Syafii kala berdiskusi dan menyikapi terkait dengan sikap politik masyarakat yang kala itu sedang disibukkan dengan riuhnya riang suasana pemilu.
Apa korelasi bait ujaran Buya dengan permainan lato-lato dan sikap politik masyarakat, sepintas terkesan berlebihan mengaitkan sebuah perminan anak anak dengan sikap politik masyarakat, serta makna yang terkandung dalam bait “jangan menari di atas genderang yang ditabuh orang lain” kalimat sederhana ini ternyata sangat sarat maknanya.
Tabuhan genderang dahulu sangat lekat dengan tanda dimulainya sebuah peperangan, fungsi genderang disamping untuk memberi semangat kepada prajurit dalam berperang, juga digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengatur formasi ataupun taktik peperangan.
Kini walaupun tak lagi ditabuh secara lahir akan tetapi frase menari atas genderang yang ditabuh orang lain sangat sering kita temui, banyak di tengah masyarakat kita yang tidak sadar telah menari atau bahkan berperang dengan sesama saudara setelah mendengar tabuhan genderang.
Irama genderang yang ditabuh sering tak beraturan dan memaksa para pengikut untuk terus menari mengikuti irama dalam setiap waktunya. Dalam dunia politik biasanya para penarilah yang dikorbankan, sedang pemenangnya tetap ada dipenabuh.
Para penabuh akan terus menabuh genderangnya dengan berbagai macam irama yang membuat mabuk para pengikut dan penarinya, ironinya para penari tidak pernah tahu irama apa yang dipakai oleh penabuh dan kapan akan berakhir tabuhannya.
Saat ini setiap waktu selalu ada penabuh yang berjaga dan memastikan tabuhannya tetap bersuara nyaring bahkan sesekali menyerukan pentingnya terus menari serta perlunya membuat jarak antar sesama penari dengan batasan batasan yang tertentu, kita dan mareka aku dan kamu atau bahkan hitam dan putih tak jarang juga membuat sekat dengan isu SARA.
Menariknya penabuh selalu berpindah dan mencari para penari baru untuk ikut ritmis genderangnya, bahkan sepeninggal penabuh para penari masih tetap konsisten menari serta tetap pada seruan awal sedang para penabuh kadang kala sudah berdamai dengan lawannya.
Saat ini luka lama akibat perang yang timbul dari genderang yang di tabuh pada pesta 2019 belum lagi sembuh, para penabuh sudah ada yang mulai menabuh genderang untuk pesta 2024 dan para penaripun sudah mulai mendaftarkan diri untuk menjadi kelompok penari penari politik.
Kelompok penari tersebut ada yang tergabung dalam kelompok calon pemimpin tahun 2024, ada yang tergabung dalam kelompok partai, bahan ada juga yang tergabung dalam kelompok SARA yang menafikan orang orang diluar kelompoknya.
Lantas apa korelasi lato-lato dengan sikap politik kita, bila dijelaskan kiasan frasa tersebut bisa dimaknai bahwa masyarakat akan terus dibenturkan dengan sesamanya, benturan benturan yang terjadi malah menjadi tontonan dan orang yang menonton menjadi terhibur dan bahagia.
Benturan antar bandul yang ada di lato-lato terus diciptakan oleh pemain, bandul bandul itu terus berhantaman, terus berbenturan. Setidaknya itulah cerminan masayarakat kita yang saling bermusuhan, bersebrangan dengan dalih dalih tertentu.
Perbedaan yang ada di tengah masyarakat kerap terjadi oleh berbagai macam sebab, menariknya para penyebab timbulnya gesekan dan benturan tersebut kadang kala telah berdamai dan telah duduk bersila dalam satu tikar pandan yang sama, akan tetapi para penari masih abadi dalam pertikaian.
Lato lato menjadi cermin bagi kita bahwa benturan yang terjadi antar sesama kita lebih banyak ditimbulkan dan diciptakan oleh orang luar yang punya kepentingan tertentu dan tidak ingin melihat kita berdamai.
Sudah seharusnya semua kita tersadar bahwa para penabuh genderang tersebut perlu dipensiunkan dan kita juga jangan mau menari atas genderang yang ditabuhnya. Marilah sama sama kita ciptakan harmoni cinta dengan ritmis para pujangga.
_____
Muh Alfian Dj, Guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta
5 Komentar

2023-01-03 10:09:36
Luar biasa pencerahannya...

2023-01-03 10:43:59
Orang biasa fans mas Alfian dj
Gak ada tandingaj tuliaan bernas ini

2023-01-03 12:13:17
Muchsin Lamongan
Paragraf terakhir saya suka sangat, "megillan" kata orang di kampung saya.

2023-01-03 18:05:46
Miftah UAD
Mantap... Salah satu bentuk tafakur fil Khaliq...

2023-01-07 17:42:08
Advokat Erwin Burhanudin
Mencerahkan
5 Komentar
2023-01-03 10:09:36
Luar biasa pencerahannya...
2023-01-03 10:43:59
Orang biasa fans mas Alfian dj
Gak ada tandingaj tuliaan bernas ini
2023-01-03 12:13:17
Muchsin Lamongan
Paragraf terakhir saya suka sangat, "megillan" kata orang di kampung saya.
2023-01-03 18:05:46
Miftah UAD
Mantap... Salah satu bentuk tafakur fil Khaliq...
2023-01-07 17:42:08
Advokat Erwin Burhanudin
Mencerahkan
Tinggalkan Pesan