Refleksi Pemikiran Buya Syafii Maarif
Muhammad Adib Syihabudin Jum'at, 31-5-2024 | - Dilihat: 54
Oleh: Muhammad Adib Syihabudin
"Buya adalah kado Muhammadiyah untuk Indonesia."
Melanjutkan rangkaian acara Haul Buya Syafii yang ke-2, Anakpanah bekerjasama dengan Islam Milenial, SaRanG Building dan Kiniko Art mengadakan acara talkshow diskusi bertajuk ‘Refleksi Pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif’, bertempat di ADA SaRanG (Kiniko Art Room), Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta.
Dihadiri oleh Staff Mentri Sekretaris Negara yang juga merupakan anggota Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis PP Muhammadiyah, Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.A., Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Dr. Abdul Ghaffar Karim, M.A., dan juga Dirlantas Polda DIY, Kombes Pol Alfian Nurrizal.
Acara ini merupakan bagian dari pameran karya lukisan dari seniman ternama terinspirasi dari tokoh bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif. Pembukaan acara pameran sudah dilangsungkan pada dua hari sebelumnya oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., dan beberapa tamu undangan seperti Kapolda DIY, Ibu Nurchalifah (istri Buya Syafii), Ketua PWM DIY, Butet Kartaredjasa, Direktur Maarif Institute, Direktur Suara Muhammadiyah, anggota DPD RI DIY, Ir. Syauqi Soeratno, M.M., dan tamu undangan lainnya.
Pada pemaparan awal, moderator bertanya kepada narasumber tentang bagaimana awal pertemuan dengan Buya Syafii. Di mulai dari Abdul Ghaffar yang memulai kisahnya dari mengikuti ceramah beliau di masjid yang memukau beliau dan juga lewat buku-buku Buya, terkhusus buku yang membahas kaitan dengan politik. Lewat itulah, Abdul Ghaffar merasa ada sesuatu yang besar dari Buya, yang terlalu sayang apabila tidak diikuti jejak langkahnya.
Sedangkan dengan Fajar Riza Ul Haq, pertemuan dengan Buya sudah cukup lama pada saat beliau ditunjuk sebagai direktur Maarif Institute, sebuah lembaga yang bergerak pada budaya dan kemanusiaan. Sejak saat itulah interaksi mendalam dengan Buya membuat dirinya meresapi amat dalam mengenai makna kehidupan lebih dalam lagi.
Berbeda dengan dua narasumber sebelumnya yang mengenal Buya sudah cukup lama, Kombes Pol Alfian baru mengenal dekat Buya, dua tahun sebelum beliau wafat. Lebih tepatnya ketika beliau meminta temannya dikenalkan dengan sosok Buya Syafii. Singkatnya, setelah berkenalan via telpon, beliau bertemu di kediaman Buya Syafii di Nogotirto.
Pada pemaparan kedua, moderator bertanya kepada masing-masing narasumber tentang pemikiran Buya Syafii dan praktiknya pada kehidupan sehari-hari, kadang dikaitkan apa ibroh dari pemikiran atau perilaku Buya dalam kehiudupan mereka. Hal ini menjadi cerita ringan namun amat mendalam jika bisa diambil intisarinya, terlebih tokoh yang diceritakan adalah seorang guru bangsa.
Fajar Riza memulai dari kutipan Buya Syafii yaitu keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan bersatu pada satu tarikan nafas. Sebuah cupilkan kata yang di dalam hati terasa harmonis. Tiga dimensi penting yang dimiliki bangsa dalam merengkuh kemerdekaan hingga kini tidak boleh pecah hanya karena kepentingan suatu golongan. Ketiga dimensi itu harus tumbuh beriringan, bergandengan demi meraih cita bangsa.
Selain itu, sisi kemanusiaan akan mudah diasah apabila sering bergaul dengan para seniman. Lanjut Fajar, Buya pernah berkirim pesan kepada W.S. Rendra, seorang penyair masyhur, bercerita bahwa Buya merasa terlambat bergabung dengan komunitas seni, yang membuat dirinya merasa bersalah. Kesenian membuat kepekaan hatinya memandang dimensi kemanusiaan semakin tajam. Insting sebagai manusia yang peduli terhadap kemanusiaan diatas perbedaan semakin mengakar lewat interaksi dengan seni.
Pada bagian yang lain, Buya sering dianggap tokoh yang pro terhadap pemerintah. Sangkaan itu amatlah keliru mengingat Buya adalah negarawan yang independen dan objektif dalam menilai bangsa. Salah satu kritikan Buya yang terkenal dimuat majalah Tempo berjudul ‘Mentereng di Luar, Remuk di Dalam’, cukup membuktikan apa yang menjadi pijakan Buya. Bedanya kritikan Buya dengan tokoh lain adalah posisi Buya yang bebas dari kepentingan apapun. Fajar mengibaratkan kritikan Buya bagaikan pukulan, yang oleh penerimanya merasa dipukpuk. Seolah seperti ayah menasehati anak karena nakal kepada temannya.
Sedangkan Abdul Ghaffar menilai Buya dari dimensi sikap kesederhanaannya yang membuat Buya menjadi tokoh besar karena kesederhanaan. Ghaffar menggambarkan Buya dengan kalimat orang besar yang tidak takut dengan kebesarannya sendiri. Buya adalah tokoh besar, guru bangsa dan negarawan, jabatan mentereng pernah beliau emban mulai dari Ketum PP Muhammadiyah sampai Watimpres, namun tidak membuat Buya tinggi hati menyangka dirinya adalah orang besar yang harus hidup layaknya tuan raja.
Kerendahan hati membuat Buya hidup seperti layaknya manusia sederhana. Jajan di warung, bersepeda onthel, mencuci baju, srawung di angkringan adalah hal lumrah dalam keseharian Buya. Bahkan ketika beliau disapa dan dimintai foto, beliau kaget dan bertanya darimana Anda mengenal saya. Sebuah isyarat bahwa Buya tidak merasa dirinya orang besar dan terkenal.
Sama halnya ketika Buya di undang sebagai pembicara di suatu daerah. Jika beliau bisa berangkat sendiri, berangkatlah beliau sendiri. Jika dirasa tempatnya jauh, Buya mengajak seseorang dan tidak meminta dibelikan tiket, tidak meminta kelas yang tinggi apalagi meminta riders seperti artis yang baru terkenal. “Pantang merepotkan orang!”, itulah ungkapan yang sering diucapkan Buya.
Terakhir, dari Kombes Pol Alfian menceritakan pertemuannya dengan Buya. Sebuah pertemuan awal singkat namun di awali dengan penuh resapan mendalam. “Jadilah petarung!” ungkapan Buya pada Alfian di pertemuan pertama. Sebuah ungkapan singkat namun penuh emosi mendalam. Sebuah ungkapan yang jika dikatakan orang lain akan terasa angin lalu, namun bagaikan petir menyambar hati jika disampaikan oleh seorang tokoh besar.
Ungkapan singkat itu dijadikan Alfian sebagai pijakan dalam mengemban amanah sebagai abdi negara. Dengan jabatan yang diembannya, petarung adalah padanan kata yang pas untuk menggambarkan seorang Komisarin Besar Kepolisian yang dihadapkan langsung pada mayarakat tiap harinya. Kultur masyarakat yang majemuk akan selalu menimbulkan perselisihan dan konflik. Disitulah letak petarung dibutuhkan agar bisa menjadi mediator yang baik.
Selain itu, citra kepolisian yang akhir-akhir ini kurang baik di mata masyarakat menjadi menjadi tugas berat untuknya. Alfian menyampaikan bahwa tugas polisi sebagai pelindung, pengayom dan dan pelayan masyarakat tidak boleh hanya dijadikan jargon semata. “Jadilah seperti Buya yang selalu melindungi dan berpihak pada rakyat” pungkasnya.
Buya sebagai tokoh besar tak henti-hentinya menginspirasi orang hebat lainnya. Lewat pemikiran dan cara hidup Buya telah merubah dan mengiringi perjalanan tokoh-tokoh besar lainnya serta menginspirasi generasi muda untuk selalu menjadi negarawan sejati, yang akal budi dan hati nurani tidak pecah kongsi. Meminjam kalimat Kombes Pol Alfian, Buya adalah kado Muhammadiyah untuk Indonesia.
Semoga selalu mencerahkan semesta, melintas batas pikiran dan sanubari setiap pembaca dan pendengar. Jasad Buya memang sudah wafat, tetapi pemikiran dan jalan hidupnya akan selalu dikenang.
- Artikel Terpuler -
Refleksi Pemikiran Buya Syafii Maarif
Muhammad Adib Syihabudin Jum'at, 31-5-2024 | - Dilihat: 54
Oleh: Muhammad Adib Syihabudin
"Buya adalah kado Muhammadiyah untuk Indonesia."
Melanjutkan rangkaian acara Haul Buya Syafii yang ke-2, Anakpanah bekerjasama dengan Islam Milenial, SaRanG Building dan Kiniko Art mengadakan acara talkshow diskusi bertajuk ‘Refleksi Pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif’, bertempat di ADA SaRanG (Kiniko Art Room), Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta.
Dihadiri oleh Staff Mentri Sekretaris Negara yang juga merupakan anggota Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis PP Muhammadiyah, Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.A., Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Dr. Abdul Ghaffar Karim, M.A., dan juga Dirlantas Polda DIY, Kombes Pol Alfian Nurrizal.
Acara ini merupakan bagian dari pameran karya lukisan dari seniman ternama terinspirasi dari tokoh bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif. Pembukaan acara pameran sudah dilangsungkan pada dua hari sebelumnya oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., dan beberapa tamu undangan seperti Kapolda DIY, Ibu Nurchalifah (istri Buya Syafii), Ketua PWM DIY, Butet Kartaredjasa, Direktur Maarif Institute, Direktur Suara Muhammadiyah, anggota DPD RI DIY, Ir. Syauqi Soeratno, M.M., dan tamu undangan lainnya.
Pada pemaparan awal, moderator bertanya kepada narasumber tentang bagaimana awal pertemuan dengan Buya Syafii. Di mulai dari Abdul Ghaffar yang memulai kisahnya dari mengikuti ceramah beliau di masjid yang memukau beliau dan juga lewat buku-buku Buya, terkhusus buku yang membahas kaitan dengan politik. Lewat itulah, Abdul Ghaffar merasa ada sesuatu yang besar dari Buya, yang terlalu sayang apabila tidak diikuti jejak langkahnya.
Sedangkan dengan Fajar Riza Ul Haq, pertemuan dengan Buya sudah cukup lama pada saat beliau ditunjuk sebagai direktur Maarif Institute, sebuah lembaga yang bergerak pada budaya dan kemanusiaan. Sejak saat itulah interaksi mendalam dengan Buya membuat dirinya meresapi amat dalam mengenai makna kehidupan lebih dalam lagi.
Berbeda dengan dua narasumber sebelumnya yang mengenal Buya sudah cukup lama, Kombes Pol Alfian baru mengenal dekat Buya, dua tahun sebelum beliau wafat. Lebih tepatnya ketika beliau meminta temannya dikenalkan dengan sosok Buya Syafii. Singkatnya, setelah berkenalan via telpon, beliau bertemu di kediaman Buya Syafii di Nogotirto.
Pada pemaparan kedua, moderator bertanya kepada masing-masing narasumber tentang pemikiran Buya Syafii dan praktiknya pada kehidupan sehari-hari, kadang dikaitkan apa ibroh dari pemikiran atau perilaku Buya dalam kehiudupan mereka. Hal ini menjadi cerita ringan namun amat mendalam jika bisa diambil intisarinya, terlebih tokoh yang diceritakan adalah seorang guru bangsa.
Fajar Riza memulai dari kutipan Buya Syafii yaitu keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan bersatu pada satu tarikan nafas. Sebuah cupilkan kata yang di dalam hati terasa harmonis. Tiga dimensi penting yang dimiliki bangsa dalam merengkuh kemerdekaan hingga kini tidak boleh pecah hanya karena kepentingan suatu golongan. Ketiga dimensi itu harus tumbuh beriringan, bergandengan demi meraih cita bangsa.
Selain itu, sisi kemanusiaan akan mudah diasah apabila sering bergaul dengan para seniman. Lanjut Fajar, Buya pernah berkirim pesan kepada W.S. Rendra, seorang penyair masyhur, bercerita bahwa Buya merasa terlambat bergabung dengan komunitas seni, yang membuat dirinya merasa bersalah. Kesenian membuat kepekaan hatinya memandang dimensi kemanusiaan semakin tajam. Insting sebagai manusia yang peduli terhadap kemanusiaan diatas perbedaan semakin mengakar lewat interaksi dengan seni.
Pada bagian yang lain, Buya sering dianggap tokoh yang pro terhadap pemerintah. Sangkaan itu amatlah keliru mengingat Buya adalah negarawan yang independen dan objektif dalam menilai bangsa. Salah satu kritikan Buya yang terkenal dimuat majalah Tempo berjudul ‘Mentereng di Luar, Remuk di Dalam’, cukup membuktikan apa yang menjadi pijakan Buya. Bedanya kritikan Buya dengan tokoh lain adalah posisi Buya yang bebas dari kepentingan apapun. Fajar mengibaratkan kritikan Buya bagaikan pukulan, yang oleh penerimanya merasa dipukpuk. Seolah seperti ayah menasehati anak karena nakal kepada temannya.
Sedangkan Abdul Ghaffar menilai Buya dari dimensi sikap kesederhanaannya yang membuat Buya menjadi tokoh besar karena kesederhanaan. Ghaffar menggambarkan Buya dengan kalimat orang besar yang tidak takut dengan kebesarannya sendiri. Buya adalah tokoh besar, guru bangsa dan negarawan, jabatan mentereng pernah beliau emban mulai dari Ketum PP Muhammadiyah sampai Watimpres, namun tidak membuat Buya tinggi hati menyangka dirinya adalah orang besar yang harus hidup layaknya tuan raja.
Kerendahan hati membuat Buya hidup seperti layaknya manusia sederhana. Jajan di warung, bersepeda onthel, mencuci baju, srawung di angkringan adalah hal lumrah dalam keseharian Buya. Bahkan ketika beliau disapa dan dimintai foto, beliau kaget dan bertanya darimana Anda mengenal saya. Sebuah isyarat bahwa Buya tidak merasa dirinya orang besar dan terkenal.
Sama halnya ketika Buya di undang sebagai pembicara di suatu daerah. Jika beliau bisa berangkat sendiri, berangkatlah beliau sendiri. Jika dirasa tempatnya jauh, Buya mengajak seseorang dan tidak meminta dibelikan tiket, tidak meminta kelas yang tinggi apalagi meminta riders seperti artis yang baru terkenal. “Pantang merepotkan orang!”, itulah ungkapan yang sering diucapkan Buya.
Terakhir, dari Kombes Pol Alfian menceritakan pertemuannya dengan Buya. Sebuah pertemuan awal singkat namun di awali dengan penuh resapan mendalam. “Jadilah petarung!” ungkapan Buya pada Alfian di pertemuan pertama. Sebuah ungkapan singkat namun penuh emosi mendalam. Sebuah ungkapan yang jika dikatakan orang lain akan terasa angin lalu, namun bagaikan petir menyambar hati jika disampaikan oleh seorang tokoh besar.
Ungkapan singkat itu dijadikan Alfian sebagai pijakan dalam mengemban amanah sebagai abdi negara. Dengan jabatan yang diembannya, petarung adalah padanan kata yang pas untuk menggambarkan seorang Komisarin Besar Kepolisian yang dihadapkan langsung pada mayarakat tiap harinya. Kultur masyarakat yang majemuk akan selalu menimbulkan perselisihan dan konflik. Disitulah letak petarung dibutuhkan agar bisa menjadi mediator yang baik.
Selain itu, citra kepolisian yang akhir-akhir ini kurang baik di mata masyarakat menjadi menjadi tugas berat untuknya. Alfian menyampaikan bahwa tugas polisi sebagai pelindung, pengayom dan dan pelayan masyarakat tidak boleh hanya dijadikan jargon semata. “Jadilah seperti Buya yang selalu melindungi dan berpihak pada rakyat” pungkasnya.
Buya sebagai tokoh besar tak henti-hentinya menginspirasi orang hebat lainnya. Lewat pemikiran dan cara hidup Buya telah merubah dan mengiringi perjalanan tokoh-tokoh besar lainnya serta menginspirasi generasi muda untuk selalu menjadi negarawan sejati, yang akal budi dan hati nurani tidak pecah kongsi. Meminjam kalimat Kombes Pol Alfian, Buya adalah kado Muhammadiyah untuk Indonesia.
Semoga selalu mencerahkan semesta, melintas batas pikiran dan sanubari setiap pembaca dan pendengar. Jasad Buya memang sudah wafat, tetapi pemikiran dan jalan hidupnya akan selalu dikenang.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan