Refleksi Hardiknas Seorang Petani Muda
Arvaddin Hamasy Al Qosam Jum'at, 2-5-2025 | - Dilihat: 91

Oleh: Arvaddin Hamasy Al Qosam
Setiap tanggal 2 Mei selalu menjadi momentum pengingat penting bagi bangsa kita, pendidikan merupakan sebuah fondasi langkah awal menuju kemajuan. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) bukan sekedar peringatan historis, namun sebagai momentum refleksi, sejauh mana pendidikan telah menjadikan kita sebagai manusia merdeka, dan bukan sekadar lulusan yang terjebak ke dalam makna “sukses” versi lama.
Sebagai seorang alumni magister pendidikan, beberapa waktu lalu saya menghabiskan banyak waktu di ruang-ruang kelas, berdiskusi dengan teori-teori belajar, kebijakan pendidikan bahkan peta jalan pendidikan Indonesia 2045. Akan tetapi, akhir-akhir ini waktu saya habiskan untuk menanam benih padi di sawah, mengecek kelembaban tanah, melawan serangan hama, serta merancang strategi panen.
Saya bukan lagi sebagai “pengajar”, tapi saya tetap menjadi “pembelajar”. Pilihan hidup ini bukanlah sebuah pelarian, tapi sebuah pilihan dengan penuh kesadaran. Pendidikan yang selama ini saya pelajari, tidak boleh berhenti di gelar dan ruang-ruang kelas, ia harus tetap hidup, tumbuh dan bersatu dengan realitas lokal. Oleh karena itu, saya memilih kembali ke “tanah” tempat dimana pengetahuan diuji oleh musim, pasar dengan serba-serbi dinamika yang diciptakan oleh para tengkulaknya, dan makna sabar.
Tantangan: Pendidikan dan Realitas Sosial
Kritik utama terhadap sistem pendidikan kita dari waktu ke waktu ialah terdapat jarak yang cukup jauh antara kurikulum pendidikan nasional dengan realita kehidupan di masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Kurikulum pendidikan nasional yang seragam kerap kali tidak relevan terhadap kebutuhan lokal. Contohnya, anak-anak diajarkan pada persoalan globalisasi dan perkembangan teknologi industri modern, tetapi tidak diajarkan tentang pertanian berkelanjutan, manajemen air, atau pengolahan hasil pertanian. Menurut data statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian pada bulan Agustus 2023, tenaga kerja pertanian (dalam arti sempit) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 36.46 juta jiwa, jumlah ini merupakan 26.07% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya yang berjumlah 139.85 juta jiwa.
Di sisi lain, akses pendidikan yang tersebar merata juga masih menjadi tantangan. Persoalan ketimpangan antara desa dan kota dalam hal fasilitas, tenaga pendidik, serta kualitas proses pembelajar masih tinggi. Hal tersebut dapat memperbesar risiko kesenjangan sosial dalam jangka yang panjang.
Harapan: Pendidikan Semakin Terbuka dan Adaptif
Sebagai seorang yang memiliki spirit berkemajuan, saya tidak ingin terjebak dalam pesimisme. Beberapa kebijakan dan inisiatif pemangku kebijakan menunjukkan bahwa arah pendidikan Indonesia mulai berubah dan berbenah, setelah beberapa saat yang lalu kita populer dengan istilah merdeka belajar yang memberikan ruang lebih luas kepada satuan pendidikan guna merancang kurikulum yang selaras dengan karakteristik lokal.
Pemangku kebijakan pendidikan saat ini memperkenalkan enam program prioritas yang memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan inklusif. Terlebih hal tersebut selaras dengan Tema Hardiknas 2025 “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Dengan tema ini menunjukkan sebuah harapan besar bagi seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Makna partisipasi semesta berartian luas, tidak hanya menyangkut subjek sebagai yang “mendidik” namun juga termasuk aspek-aspek lain yang ada di dalamnya. Makna pendidikan bermutu untuk semua ialah diharapkan tersedianya pendidikan yang berkualitas dan bisa diakses oleh seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu baik secara latar belakang sosial, ekonomi, geografis, gender maupun kemampuan peserta didik. Konsep tersebut mencerminkan prinsip keadilan serta inklusivitas pada sistem pendidikan.
Masa Depan Pendidikan: Sinergisitas antara Ilmu dan Kehidupan
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah alat pembebasan, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Pendidikan pada hakikatnya bukan sekadar tentang gedung dan gelar, akan tetapi berkenaan dengan proses berkelanjutan dalam membangun manusia yang berdaya.
Sebagai seorang petani muda, saya memiliki keyakinan bahwasanya masa depan harapan pendidikan Indonesia terletak pada sinergisitas ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Pendidikan tidak hanya sekedar menyuplai lulusan untuk dunia kerja formal, tetapi harus dapat menumbuhkan daya cipta, menumbuhkan kepekaan sosial, dan keberanian untuk hidup sesuai konteksnya. Mengembangkan pendidikan berbasis desa, mengintegrasikan pertanian ke dalam pembelajaran serta mendekatkan akademisi dengan masyarakat merupakan usulan langkah-langkah strategis yang perlu diupayakan.
Barangsiapa Menanam, Maka Ia Mengetam
Pendidikan ialah sebuah proses menanam nilai, ilmu, dan karakter. Barangsiapa yang menanam pendidikan yang baik hari ini, maka sudah pasti akan menuai atau mengetam generasi masa depan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Hardiknas bukan hanya saat untuk mengenang dan menghormati jasa para pendidik kita, tetapi sebagai momentum untuk bertanya, ke mana arah pendidikan kita? Apakah pendidikan hari ini mampu mencetak generasi yang tidak hanya memiliki kecerdasan dalam dunia akademik, tetapi memiliki rasa peduli, empati, mandiri serta mencintai negerinya?
Sebagai seorang petani, yang juga seorang pendidik dalam bentuk yang lain, saya memiliki kepercayaan bahwa pendidikan di negeri kita sedang tumbuh dan berkembang, walaupun belum sempurna, tetapi menuju arah yang lebih membumi dan berkemajuan.
- Artikel Terpuler -
Refleksi Hardiknas Seorang Petani Muda
Arvaddin Hamasy Al Qosam Jum'at, 2-5-2025 | - Dilihat: 91

Oleh: Arvaddin Hamasy Al Qosam
Setiap tanggal 2 Mei selalu menjadi momentum pengingat penting bagi bangsa kita, pendidikan merupakan sebuah fondasi langkah awal menuju kemajuan. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) bukan sekedar peringatan historis, namun sebagai momentum refleksi, sejauh mana pendidikan telah menjadikan kita sebagai manusia merdeka, dan bukan sekadar lulusan yang terjebak ke dalam makna “sukses” versi lama.
Sebagai seorang alumni magister pendidikan, beberapa waktu lalu saya menghabiskan banyak waktu di ruang-ruang kelas, berdiskusi dengan teori-teori belajar, kebijakan pendidikan bahkan peta jalan pendidikan Indonesia 2045. Akan tetapi, akhir-akhir ini waktu saya habiskan untuk menanam benih padi di sawah, mengecek kelembaban tanah, melawan serangan hama, serta merancang strategi panen.
Saya bukan lagi sebagai “pengajar”, tapi saya tetap menjadi “pembelajar”. Pilihan hidup ini bukanlah sebuah pelarian, tapi sebuah pilihan dengan penuh kesadaran. Pendidikan yang selama ini saya pelajari, tidak boleh berhenti di gelar dan ruang-ruang kelas, ia harus tetap hidup, tumbuh dan bersatu dengan realitas lokal. Oleh karena itu, saya memilih kembali ke “tanah” tempat dimana pengetahuan diuji oleh musim, pasar dengan serba-serbi dinamika yang diciptakan oleh para tengkulaknya, dan makna sabar.
Tantangan: Pendidikan dan Realitas Sosial
Kritik utama terhadap sistem pendidikan kita dari waktu ke waktu ialah terdapat jarak yang cukup jauh antara kurikulum pendidikan nasional dengan realita kehidupan di masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Kurikulum pendidikan nasional yang seragam kerap kali tidak relevan terhadap kebutuhan lokal. Contohnya, anak-anak diajarkan pada persoalan globalisasi dan perkembangan teknologi industri modern, tetapi tidak diajarkan tentang pertanian berkelanjutan, manajemen air, atau pengolahan hasil pertanian. Menurut data statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian pada bulan Agustus 2023, tenaga kerja pertanian (dalam arti sempit) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 36.46 juta jiwa, jumlah ini merupakan 26.07% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya yang berjumlah 139.85 juta jiwa.
Di sisi lain, akses pendidikan yang tersebar merata juga masih menjadi tantangan. Persoalan ketimpangan antara desa dan kota dalam hal fasilitas, tenaga pendidik, serta kualitas proses pembelajar masih tinggi. Hal tersebut dapat memperbesar risiko kesenjangan sosial dalam jangka yang panjang.
Harapan: Pendidikan Semakin Terbuka dan Adaptif
Sebagai seorang yang memiliki spirit berkemajuan, saya tidak ingin terjebak dalam pesimisme. Beberapa kebijakan dan inisiatif pemangku kebijakan menunjukkan bahwa arah pendidikan Indonesia mulai berubah dan berbenah, setelah beberapa saat yang lalu kita populer dengan istilah merdeka belajar yang memberikan ruang lebih luas kepada satuan pendidikan guna merancang kurikulum yang selaras dengan karakteristik lokal.
Pemangku kebijakan pendidikan saat ini memperkenalkan enam program prioritas yang memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan inklusif. Terlebih hal tersebut selaras dengan Tema Hardiknas 2025 “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Dengan tema ini menunjukkan sebuah harapan besar bagi seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Makna partisipasi semesta berartian luas, tidak hanya menyangkut subjek sebagai yang “mendidik” namun juga termasuk aspek-aspek lain yang ada di dalamnya. Makna pendidikan bermutu untuk semua ialah diharapkan tersedianya pendidikan yang berkualitas dan bisa diakses oleh seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu baik secara latar belakang sosial, ekonomi, geografis, gender maupun kemampuan peserta didik. Konsep tersebut mencerminkan prinsip keadilan serta inklusivitas pada sistem pendidikan.
Masa Depan Pendidikan: Sinergisitas antara Ilmu dan Kehidupan
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah alat pembebasan, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Pendidikan pada hakikatnya bukan sekadar tentang gedung dan gelar, akan tetapi berkenaan dengan proses berkelanjutan dalam membangun manusia yang berdaya.
Sebagai seorang petani muda, saya memiliki keyakinan bahwasanya masa depan harapan pendidikan Indonesia terletak pada sinergisitas ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Pendidikan tidak hanya sekedar menyuplai lulusan untuk dunia kerja formal, tetapi harus dapat menumbuhkan daya cipta, menumbuhkan kepekaan sosial, dan keberanian untuk hidup sesuai konteksnya. Mengembangkan pendidikan berbasis desa, mengintegrasikan pertanian ke dalam pembelajaran serta mendekatkan akademisi dengan masyarakat merupakan usulan langkah-langkah strategis yang perlu diupayakan.
Barangsiapa Menanam, Maka Ia Mengetam
Pendidikan ialah sebuah proses menanam nilai, ilmu, dan karakter. Barangsiapa yang menanam pendidikan yang baik hari ini, maka sudah pasti akan menuai atau mengetam generasi masa depan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Hardiknas bukan hanya saat untuk mengenang dan menghormati jasa para pendidik kita, tetapi sebagai momentum untuk bertanya, ke mana arah pendidikan kita? Apakah pendidikan hari ini mampu mencetak generasi yang tidak hanya memiliki kecerdasan dalam dunia akademik, tetapi memiliki rasa peduli, empati, mandiri serta mencintai negerinya?
Sebagai seorang petani, yang juga seorang pendidik dalam bentuk yang lain, saya memiliki kepercayaan bahwa pendidikan di negeri kita sedang tumbuh dan berkembang, walaupun belum sempurna, tetapi menuju arah yang lebih membumi dan berkemajuan.
2 Komentar

2025-05-02 17:49:24
Kerennn
Pendidikan yang berkemajuan oleh pelajar indonesia dalam bidang Sosial,ekonomi dan politik bangsa yang berkeadaban serta berintegritas akan terwujud di Indonesia emas 2045, semoga. Tersemogakan

2025-05-02 22:12:16
anonim
sam ????????????????
2 Komentar
2025-05-02 17:49:24
Kerennn
Pendidikan yang berkemajuan oleh pelajar indonesia dalam bidang Sosial,ekonomi dan politik bangsa yang berkeadaban serta berintegritas akan terwujud di Indonesia emas 2045, semoga. Tersemogakan
2025-05-02 22:12:16
anonim
sam ????????????????
Tinggalkan Pesan