Puasa dan Kasih Sayang Allah
Wahju Kusumajanti Senin, 18-4-2022 | - Dilihat: 29

Oleh: Wahju Kusumajanti
Setiap dipertemukan kembali dengan Ramadan, saya sangat bersyukur. Seperti kita tahu, Ramadan sering disebut dengan Bulan Puasa. Alasannya, puasa Ramadan selama satu bulan penuh diwajibkan kepada orang-orang beriman yang ingin mendapatkan rida dan rahmat Allah. Bagi umat Islam, ibadah puasa bukan hanya bukti ketaatan kita kepada Sang Khalik, namun juga bukti cinta Allah itu sendiri kepada ciptaan-Nya.
Allah menjanjikan pahala berlipat bagi hamba-hamba yang berpuasa dan melakukan segala kebaikan di bulan Ramadan. Selain itu, ampunan dan pembebasan dari siksa neraka juga disediakan. Puasa juga menjadi tanda bahwa Allah mengetahui kondisi fisik kita dengan sangat detail. Dari segi kesehatan, puasa dibutuhkan oleh tubuh untuk mengistirahatkan sebagian organ yang bekerja terus-menerus selama setahun penuh.
Dengan begitu, puasa selama satu bulan penuh menjadi sarana penyegaran kembali organ-organ tubuh manusia. Sudah banyak ulasan tentang manfaat dan hikmah puasa bagi kesehatan manusia. Jadi, sebagai orang yang beriman dan memiliki kesadaran akan hikmah dari setiap ibadah yang diperintahkan Allah, tentu kita akan bersemangat melaksanakannya dan akan bersedih jika terhalang oleh sesuatu.
Sebagai perempuan, saya pernah merasakan kesedihan itu. Di samping “tamu” yang rutin datang setiap bulan, ada pula kondisi ketika perempuan tidak dapat berpuasa, yaitu ketika hamil dan menyusui. Ketika hamil, normalnya seorang perempuan mampu melakukan semua bentuk ibadah yang telah ditetapkan Allah, termasuk puasa. Namun, kondisi saya justru tidak dapat berpuasa. Di situlah saya merasa bersedih.
Pada kehamilan pertama, saya tidak mampu menjalankan ibadah puasa karena terjadi spontaneous abortion (keguguran). Sementara pada kehamilan kedua, saya mampu berpuasa karena usia kehamilan saya berada di trimester (tiga bulan) pertama. Ketika itu, saya berpuasa setelah berkonsultasi dengan dokter, dan saya diizinkan.
Meskipun demikian, saya mampu berpuasa hanya sampai hari kelima. Setelah itu, saya jatuh sakit selama dua minggu. Akhirnya, saya tidak melanjutkan puasa dan membayar fidiah.
Setelah melahirkan, saya berkomitmen untuk memberikan asi (air susu ibu) selama dua tahun penuh. Saya bahkan berhenti mengajar selama hamil dan menyusui itu. Ketika menyusui, saya juga mencoba untuk berpuasa. Ternyata yang sakit bukan hanya saya, tetapi juga bayi saya. Saat itulah saya lalu merasakan betul bahwa rukhsah (kemudahan dari Allah) untuk tidak berpuasa itu benar-benar wujud kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya.
Setelah itu, saya juga tidak mampu berpuasa selama tujuh tahun berturut-turut karena hamil dan menyusui. Namun, kesedihan akibat tidak dapat menjalankan puasa terhibur oleh janji Allah yang akan memberikan pahala puasa jika kita memberi makanan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa.
Saya sangat bersyukur menjadi seorang Muslimah. Islam adalah agama yang paling rasional dan kompatibel dengan keadaan manusia. Jika kita pikirkan, semua perintah Allah yang kita lakukan sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri. Ibadah-ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain ditetapkan dengan segala fleksibilitasnya sebagai wujud kasih sayang Allah tanpa membebani hamba-Nya di luar kemampuan.
Di samping itu, ibadah-ibadah yang kita lakukan juga menjadi sarana bagi kita untuk mendekatkan diri dan melepas kerinduan kepada Allah, seperti anak yang merindukan orang tuanya. Ketika bertemu dengan ayah dan bunda, kita merasakan ketenangan karena doa-doa dan kasih sayang beliau berdua kepada kita. Tentu kasih sayang Allah kepada hamba-Nya lebih besar lagi.
Walhasil, semua ibadah dalam Islam, termasuk puasa Ramadan, benar-benar bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Sebab itu, marilah kita tunaikan bersama dengan ikhlas dan istikamah. Kita berdoa, mudah-mudahan puasa yang kita kerjakan setiap tahun ini diterima dan mendapatkan rida Allah, sehingga kelak kita dipertemukan dengan-Nya dalam keadaan bahagia. Amin, Ya Allah.
_____
Dr Wahju Kusumajanti, Dosen Fakultas Adab dan Humanioran UIN Sunan Ampel Surabaya
- Artikel Terpuler -
Puasa dan Kasih Sayang Allah
Wahju Kusumajanti Senin, 18-4-2022 | - Dilihat: 29

Oleh: Wahju Kusumajanti
Setiap dipertemukan kembali dengan Ramadan, saya sangat bersyukur. Seperti kita tahu, Ramadan sering disebut dengan Bulan Puasa. Alasannya, puasa Ramadan selama satu bulan penuh diwajibkan kepada orang-orang beriman yang ingin mendapatkan rida dan rahmat Allah. Bagi umat Islam, ibadah puasa bukan hanya bukti ketaatan kita kepada Sang Khalik, namun juga bukti cinta Allah itu sendiri kepada ciptaan-Nya.
Allah menjanjikan pahala berlipat bagi hamba-hamba yang berpuasa dan melakukan segala kebaikan di bulan Ramadan. Selain itu, ampunan dan pembebasan dari siksa neraka juga disediakan. Puasa juga menjadi tanda bahwa Allah mengetahui kondisi fisik kita dengan sangat detail. Dari segi kesehatan, puasa dibutuhkan oleh tubuh untuk mengistirahatkan sebagian organ yang bekerja terus-menerus selama setahun penuh.
Dengan begitu, puasa selama satu bulan penuh menjadi sarana penyegaran kembali organ-organ tubuh manusia. Sudah banyak ulasan tentang manfaat dan hikmah puasa bagi kesehatan manusia. Jadi, sebagai orang yang beriman dan memiliki kesadaran akan hikmah dari setiap ibadah yang diperintahkan Allah, tentu kita akan bersemangat melaksanakannya dan akan bersedih jika terhalang oleh sesuatu.
Sebagai perempuan, saya pernah merasakan kesedihan itu. Di samping “tamu” yang rutin datang setiap bulan, ada pula kondisi ketika perempuan tidak dapat berpuasa, yaitu ketika hamil dan menyusui. Ketika hamil, normalnya seorang perempuan mampu melakukan semua bentuk ibadah yang telah ditetapkan Allah, termasuk puasa. Namun, kondisi saya justru tidak dapat berpuasa. Di situlah saya merasa bersedih.
Pada kehamilan pertama, saya tidak mampu menjalankan ibadah puasa karena terjadi spontaneous abortion (keguguran). Sementara pada kehamilan kedua, saya mampu berpuasa karena usia kehamilan saya berada di trimester (tiga bulan) pertama. Ketika itu, saya berpuasa setelah berkonsultasi dengan dokter, dan saya diizinkan.
Meskipun demikian, saya mampu berpuasa hanya sampai hari kelima. Setelah itu, saya jatuh sakit selama dua minggu. Akhirnya, saya tidak melanjutkan puasa dan membayar fidiah.
Setelah melahirkan, saya berkomitmen untuk memberikan asi (air susu ibu) selama dua tahun penuh. Saya bahkan berhenti mengajar selama hamil dan menyusui itu. Ketika menyusui, saya juga mencoba untuk berpuasa. Ternyata yang sakit bukan hanya saya, tetapi juga bayi saya. Saat itulah saya lalu merasakan betul bahwa rukhsah (kemudahan dari Allah) untuk tidak berpuasa itu benar-benar wujud kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya.
Setelah itu, saya juga tidak mampu berpuasa selama tujuh tahun berturut-turut karena hamil dan menyusui. Namun, kesedihan akibat tidak dapat menjalankan puasa terhibur oleh janji Allah yang akan memberikan pahala puasa jika kita memberi makanan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa.
Saya sangat bersyukur menjadi seorang Muslimah. Islam adalah agama yang paling rasional dan kompatibel dengan keadaan manusia. Jika kita pikirkan, semua perintah Allah yang kita lakukan sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri. Ibadah-ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain ditetapkan dengan segala fleksibilitasnya sebagai wujud kasih sayang Allah tanpa membebani hamba-Nya di luar kemampuan.
Di samping itu, ibadah-ibadah yang kita lakukan juga menjadi sarana bagi kita untuk mendekatkan diri dan melepas kerinduan kepada Allah, seperti anak yang merindukan orang tuanya. Ketika bertemu dengan ayah dan bunda, kita merasakan ketenangan karena doa-doa dan kasih sayang beliau berdua kepada kita. Tentu kasih sayang Allah kepada hamba-Nya lebih besar lagi.
Walhasil, semua ibadah dalam Islam, termasuk puasa Ramadan, benar-benar bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Sebab itu, marilah kita tunaikan bersama dengan ikhlas dan istikamah. Kita berdoa, mudah-mudahan puasa yang kita kerjakan setiap tahun ini diterima dan mendapatkan rida Allah, sehingga kelak kita dipertemukan dengan-Nya dalam keadaan bahagia. Amin, Ya Allah.
_____
Dr Wahju Kusumajanti, Dosen Fakultas Adab dan Humanioran UIN Sunan Ampel Surabaya
0 Komentar
Tinggalkan Pesan