Prioritas Ilmu Menurut Al-Ghazali
Ahmad Aditiya Pratama Sabtu, 15-2-2025 | - Dilihat: 22

Oleh: Ahmad Aditiya Pratama
Siapa yang tak kenal dengan Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Seorang ulama yang piawai dalam berbagai disiplin ilmu penegetahuan; mulai dari filsafat, fikih, dan teologi. Tidak hanya itu, beliau juga terkenal dengan tasawufnya yang banyak dipraktekkan oleh penganut Ahlussunah wal jama’ah. Seperti halnya di Indonesia yang menganut tasawufnya Imam Ghazali, madzhab fikihnya Imam Syafi’i dan kalamnya Imam Asy’ari.
Seorang Filsuf
Pengembaraan beliau dimulai dari kampung halamannya sampai ke penjuru dunia. Dengan ini beliau banyak mengetahui peradaban dunia luar dengan berbagai problematikanya. Kompetensi utama dari pengetahuan yang beliau miliki berasal dari satu bidang disiplin ilmu, yakni filsafat. Beliau adalah satu di antara filsuf-filsuf Islam yang terkenal namanya di timur dan barat
Filsafat mengantarkan Al-Ghazali kepada gerbang pengetahuan yang luas, bernalar kritis serta logika yang benar. Maka beliau memiliki epistemologi yang cukup menarik dan banyak dikaji oleh para penelaah kajian filsafat. Pemikiran al-Ghazali secara hirarkis terbagi dalam tiga hal, yaitu kasyf (intuisi), wahyu (al-qur’an dan sunnah rasul) dan ‘aql (rasio).
Ketiga hal ini dianggap memiliki kesatuan yang mengikat yang akan menghasilkan pengetahuan yang komprehensif. Akan tetapi tentu pengetahuan yang bersifat kasyf dinilai lebih tepat dibandingkan dengan pengetahuan yang bersifat aql. Ibaratnya seperti manusia yang melihat bulan di malam hari secara langsung dengan mereka yang melihat bulan melalui bayangannya di dalam air.
Tingkatan Prioritas Ilmu
Menurut perspektif epistemologi al-Ghazali, prioritas ilmu yang dipelajari terlebih dahulu terbagi secara hirarkis berdasarkan tingkatan kemaslahatan dan kemudharatan yang dihasilkannya. Pertama fardhu ‘ain, yakni ilmu yang harus dan wajib setiap muslim untuk mengetahuinya, agar mereka meraih keselamatan di dunia dan di akhirat. Ilmu yang masuk ke dalam kategori ini lebih mengarah kepada jalan menuju kehidupan setelah mati (‘ilm tharīq al-ākhirah).
Kategori yang masuk dalam ilmu fardhu ‘ain ini memiliki keterikatan dengan tiga hal, yaitu i’tiqad (keimanan), ‘amalan (perbuatan) dan larangan. Mengenai i’tiqad ini kepercayaan setiap muslim wajib konsisten sepanjang hidup. Doktrin-doktrin dasar yang terkadang berubah seduai ketetapan hati dan menciptakan keraguan harus selalu diimbangi dengan membaca perspektif yang luas agar terhindarkan dari ketidakpercayaan tersebut.
Ilmu Esoterik dan Ilmu Eksoterik
Selain itu, beliau juga membagi ilmu ke dalam dua aspek lagi, yakni ilmu esoterik (‘ilm al-mukāsyafah) dan ilmu eksoterik (‘ilm al-mu’amalah). Ilmu esoterik lebih condong membahas mengenai hal yang bersifat batin, seperti makna surga dan neraka, mizan, shirat, dan hal gaib lainnya. Sedangkan eksoterik lebih condong mengenai hal yang bersifat kebaktian seperti ibadah shalat, zakat puasa, dan haji.
Tingkatan Fardhu Kifayah
Kategori kedua adalah fardhu kifayah, segala ilmu yang tidak boleh untuk diabaikan agar manusia mampu mengatasi masalah keduniawian. Ilmu ini jika diantara manusia ada yang sudah menguasai maka yang lainnya gugur kewajiaban untuk menguasai ilmu ini. Ilmu fardhu kifayah ini secara umum meliputi empat prinsip, yaitu ushl (pokok), furu’ (cabang), muqaddimāt (prasarana) dan mutammimāt (pelengkap). Prinsip ushl termasuk di dalamnya tafsir, hadis, ijma dan atsar sahabat.
Prinsip furu’ termasuk ilmu yang menjadi bagian dari ushl akan tetapi tidak dapat dipahami sendiri (tekstual) namun bisa diserap oleh akal. Prinsip muqaddimāt termasuk ilmu-ilmu lughah (bahasa) dijadikan alat untuk memahami kitabullah. Prinsip mutammimāt termasuk ilmu nasikh mansukh, ‘amm dan khas, mutlaq dan muqayyad.
Sedangkan fadhilah, adalah ilmu-ilmu yang mengandung keutamaan dan kelebihan, namun tidak bisa disamakan dengan fardhu. Seperti ilmu aritmatika, physical sciences dan life sciences. Ilmu ini jarang dikuasai, akan tetapi memiliki kebermanfaatan yang banyak dan menunjang kehidupan yang sejahtera.
Kelebihan dari ilmu ini biasanya diketahui oleh orang yang lama mendalaminya, karena keterbatasan pola berfikir manusia yang berbeda beda. Ada yang cepat dengan hitung menghitung dan ada juga yang sebaliknya.
Tingkatan Mubah
Keempat adalah mubah, ilmu yang netral yakni kebolehan untuk menguasai ilmu ini tidak ada batasannya. Seperti ilmu mengubah syair-syair yang tidak sembarangan, ilmu sejarah untuk mengabadikan momen penting dan ilmu permusikan. Namun terkadang di tengah-tengah kaum muslimin masih banyak yang berbeda pendapat dengan argumen dasar yang mereka miliki. Namun dengan adanya ini bisa membuka ruang diskusi untuk meningkatan daya kritis umat islam sendiri.
Tingkatan Madzmumah
Terakhir adalah madzmūmah, yakni segala ilmu yang dicela. Menurut al-Ghazali pada dasarnya segala ilmu berasal dari tuhan dan tidak ada yang dicela, tetapi ilmu itu menjadi dicela karena ada keterkaitan dengan manusia, baik dengan cara mendapatkannya, mengamalkannya, dan menyebarkannya.
Seperti halnya ilmu yang bertujuan untuk mencelakakan manusia sendiri seperti ilmu horoskop (ilmu ramalan bintang). Ilmu ini mengajarkan bahwa bintang-bintang tertentu diyakini memiliki pengaruh dengan kebaikan dan keburukan bagi manusia dengan ritual-ritual yang dipercayai juga. Hal semacam ini lah yang dapat merusak i’tiqad manusia kepada tuhan.
____
Ahmad Aditiya Pratama, Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
- Artikel Terpuler -
Prioritas Ilmu Menurut Al-Ghazali
Ahmad Aditiya Pratama Sabtu, 15-2-2025 | - Dilihat: 22

Oleh: Ahmad Aditiya Pratama
Siapa yang tak kenal dengan Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Seorang ulama yang piawai dalam berbagai disiplin ilmu penegetahuan; mulai dari filsafat, fikih, dan teologi. Tidak hanya itu, beliau juga terkenal dengan tasawufnya yang banyak dipraktekkan oleh penganut Ahlussunah wal jama’ah. Seperti halnya di Indonesia yang menganut tasawufnya Imam Ghazali, madzhab fikihnya Imam Syafi’i dan kalamnya Imam Asy’ari.
Seorang Filsuf
Pengembaraan beliau dimulai dari kampung halamannya sampai ke penjuru dunia. Dengan ini beliau banyak mengetahui peradaban dunia luar dengan berbagai problematikanya. Kompetensi utama dari pengetahuan yang beliau miliki berasal dari satu bidang disiplin ilmu, yakni filsafat. Beliau adalah satu di antara filsuf-filsuf Islam yang terkenal namanya di timur dan barat
Filsafat mengantarkan Al-Ghazali kepada gerbang pengetahuan yang luas, bernalar kritis serta logika yang benar. Maka beliau memiliki epistemologi yang cukup menarik dan banyak dikaji oleh para penelaah kajian filsafat. Pemikiran al-Ghazali secara hirarkis terbagi dalam tiga hal, yaitu kasyf (intuisi), wahyu (al-qur’an dan sunnah rasul) dan ‘aql (rasio).
Ketiga hal ini dianggap memiliki kesatuan yang mengikat yang akan menghasilkan pengetahuan yang komprehensif. Akan tetapi tentu pengetahuan yang bersifat kasyf dinilai lebih tepat dibandingkan dengan pengetahuan yang bersifat aql. Ibaratnya seperti manusia yang melihat bulan di malam hari secara langsung dengan mereka yang melihat bulan melalui bayangannya di dalam air.
Tingkatan Prioritas Ilmu
Menurut perspektif epistemologi al-Ghazali, prioritas ilmu yang dipelajari terlebih dahulu terbagi secara hirarkis berdasarkan tingkatan kemaslahatan dan kemudharatan yang dihasilkannya. Pertama fardhu ‘ain, yakni ilmu yang harus dan wajib setiap muslim untuk mengetahuinya, agar mereka meraih keselamatan di dunia dan di akhirat. Ilmu yang masuk ke dalam kategori ini lebih mengarah kepada jalan menuju kehidupan setelah mati (‘ilm tharīq al-ākhirah).
Kategori yang masuk dalam ilmu fardhu ‘ain ini memiliki keterikatan dengan tiga hal, yaitu i’tiqad (keimanan), ‘amalan (perbuatan) dan larangan. Mengenai i’tiqad ini kepercayaan setiap muslim wajib konsisten sepanjang hidup. Doktrin-doktrin dasar yang terkadang berubah seduai ketetapan hati dan menciptakan keraguan harus selalu diimbangi dengan membaca perspektif yang luas agar terhindarkan dari ketidakpercayaan tersebut.
Ilmu Esoterik dan Ilmu Eksoterik
Selain itu, beliau juga membagi ilmu ke dalam dua aspek lagi, yakni ilmu esoterik (‘ilm al-mukāsyafah) dan ilmu eksoterik (‘ilm al-mu’amalah). Ilmu esoterik lebih condong membahas mengenai hal yang bersifat batin, seperti makna surga dan neraka, mizan, shirat, dan hal gaib lainnya. Sedangkan eksoterik lebih condong mengenai hal yang bersifat kebaktian seperti ibadah shalat, zakat puasa, dan haji.
Tingkatan Fardhu Kifayah
Kategori kedua adalah fardhu kifayah, segala ilmu yang tidak boleh untuk diabaikan agar manusia mampu mengatasi masalah keduniawian. Ilmu ini jika diantara manusia ada yang sudah menguasai maka yang lainnya gugur kewajiaban untuk menguasai ilmu ini. Ilmu fardhu kifayah ini secara umum meliputi empat prinsip, yaitu ushl (pokok), furu’ (cabang), muqaddimāt (prasarana) dan mutammimāt (pelengkap). Prinsip ushl termasuk di dalamnya tafsir, hadis, ijma dan atsar sahabat.
Prinsip furu’ termasuk ilmu yang menjadi bagian dari ushl akan tetapi tidak dapat dipahami sendiri (tekstual) namun bisa diserap oleh akal. Prinsip muqaddimāt termasuk ilmu-ilmu lughah (bahasa) dijadikan alat untuk memahami kitabullah. Prinsip mutammimāt termasuk ilmu nasikh mansukh, ‘amm dan khas, mutlaq dan muqayyad.
Sedangkan fadhilah, adalah ilmu-ilmu yang mengandung keutamaan dan kelebihan, namun tidak bisa disamakan dengan fardhu. Seperti ilmu aritmatika, physical sciences dan life sciences. Ilmu ini jarang dikuasai, akan tetapi memiliki kebermanfaatan yang banyak dan menunjang kehidupan yang sejahtera.
Kelebihan dari ilmu ini biasanya diketahui oleh orang yang lama mendalaminya, karena keterbatasan pola berfikir manusia yang berbeda beda. Ada yang cepat dengan hitung menghitung dan ada juga yang sebaliknya.
Tingkatan Mubah
Keempat adalah mubah, ilmu yang netral yakni kebolehan untuk menguasai ilmu ini tidak ada batasannya. Seperti ilmu mengubah syair-syair yang tidak sembarangan, ilmu sejarah untuk mengabadikan momen penting dan ilmu permusikan. Namun terkadang di tengah-tengah kaum muslimin masih banyak yang berbeda pendapat dengan argumen dasar yang mereka miliki. Namun dengan adanya ini bisa membuka ruang diskusi untuk meningkatan daya kritis umat islam sendiri.
Tingkatan Madzmumah
Terakhir adalah madzmūmah, yakni segala ilmu yang dicela. Menurut al-Ghazali pada dasarnya segala ilmu berasal dari tuhan dan tidak ada yang dicela, tetapi ilmu itu menjadi dicela karena ada keterkaitan dengan manusia, baik dengan cara mendapatkannya, mengamalkannya, dan menyebarkannya.
Seperti halnya ilmu yang bertujuan untuk mencelakakan manusia sendiri seperti ilmu horoskop (ilmu ramalan bintang). Ilmu ini mengajarkan bahwa bintang-bintang tertentu diyakini memiliki pengaruh dengan kebaikan dan keburukan bagi manusia dengan ritual-ritual yang dipercayai juga. Hal semacam ini lah yang dapat merusak i’tiqad manusia kepada tuhan.
____
Ahmad Aditiya Pratama, Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
1 Komentar

2025-02-19 21:27:22
Bcrtamace
Experts agree you should what to write an essay on ? Find out the truth right here.
1 Komentar
2025-02-19 21:27:22
Bcrtamace
Experts agree you should what to write an essay on ? Find out the truth right here.
Tinggalkan Pesan