• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Potensi Rusaknya Akad Nikah dalam Nikah Siri

Mohammad Wildan Kurniawan Senin, 12-12-2022 | - Dilihat: 51

banner

Oleh: Mohammad Wildan Kurniawan

Siang hari lepas zuhur, seorang laki-laki yang tiada saya kenal masuk ke ruangan saya. Tanpa perkenalan, ia langsung bercerita bahwa belum lama ini ia menikahkan Mbakyu kandungnya di suatu daerah. Tentu masih di Indonesia. Ia mengaku pernikahan itu dilangsungkan secara siri. Alasannya, ledakan amarah warga sekitar yang disebabkan si Mbakyu ini sudah menetap seatap di rumah calon suaminya selama beberapa hari.

Warga yang geram, memaksa sepasang laki-laki dan perempuan dewasa itu segera menikah. Kepala dusun, ketua RT, dan tokoh agama sekitar turut menyaksikan pernikahan yang digelar di rumah mempelai laki-laki. Atas dasar tekanan yang memaksa semua harus cepat, tidaklah berkas nikah sempat dibuat. Walhasil, menurut mereka, orang-orang yang ada di sana, nikah siri menjadi solusi yang tepat.

Sampai di situ saya mulai paham situasi yang sedang menimpa si laki-laki ini. Saya menunggu pertanyaan darinya. Seputar nikah siri, biasanya akan muncul pertanyaan begini. Bagaimana cara agar nikahnya menjadi legal di mata hukum positif, dan Mbakyunya bisa mendapatkan buku nikah.

Tapi, ternyata dugaan saya salah. Pertanyaan laki-laki itu adalah, bagaimana kalo saya sebagai adik kandung yang menjadi wali, padahal bapak kandungnya masih ada? Saya diam sejenak, membetulkan posisi peci yang sedari tadi miring ke kiri.

“Bapak kandungnya ke mana, Mas?” tanya saya kepada laki-laki itu.

“Bapak masih ada, tapi tidak setuju, Pak Penghulu. Mbakyu saya sampai sudah ganti KTP jadi warga sana. Terus saya ditelpon sama dia disuruh menjadi wali. Kalo tidak segera menikah, Mbakyu saya dipaksa warga angkat kaki dari rumah itu.”

Kejadian seperti ini belum sempat terbayangkan di benak saya. Yang saya pahami, nikah siri ya umumnya sah secara fikih selama rukun nikahnya terpenuhi. Ada calon manten, wali nikah, saksi 2 orang, mahar, dan lafal ijab qobul. Sudah, itu saja. Terkait pencatatan nikah, itu sudah urusannya negara.

Tapi dari cerita mas-mas yang datang itu, saya mulai menyadari bahaya tak kasat mata yang sedang mengintai para pelaku pernikahan siri. Bahwa di sana, ada potensi rusaknya akad nikah yang tidak disadari para pelakunya, atau orang yang terlibat di dalamnya.

Saya akan jelaskan dulu nikah siri secara sederhana. Jadi, segala jenis pernikahan orang Islam yang tidak tercatat di KUA disebut sebagai nikah siri. Apapun alasannya. Bisa karena tidak sengaja, atau memang sengaja disembunyikan.

Tidak sengaja misal niat awal acara hanya lamaran, tapi kedua keluarga langsung menghendaki nikahan. Selama rukun syarat nikah terpenuhi, tidaklah jadi soal jika kedua keluarga bersepakat di hari itu juga pasangan tersebut dinikahkan.

Yang jadi masalah adalah ketika pernikahan itu dilakukan secara sembunyi. Di sana begitu rentan akad nikah yang bermasalah. Akibatnya tentu saja kepada keabsahan aktivitas hukum yang kedua mempelai jalani setelah akad nikah.

Semisal saja seorang Ayah kandung sebagai wali yang sah masih hidup. Tapi dinikahkan oleh orang lain tanpa persetujuan atau pendelegasian dari wali yang sah tersebut, meskipun orang lain itu adalah saudara kandung mempelai perempuan. Apalagi ternyata wali yang sah (ayahnya) sebetulnya belum menyetujui pernikahan itu. Bagian inilah yang membuat akad nikah ini menjadi bermasalah.

Saya jadi membayangkan berapa pasang pengantin yang terjebak dalam praktik nikah siri dengan rukun maupun syarat yang bermasalah. Apalagi nikah siri yang sembunyi-sembunyi di beberapa daerah masih didominasi oleh pendatang. Yang dalam pelaksanaannya, latar belakang keluarga pengantin tidaklah menjadi urusan utama. Pokoknya ada calon manten, 2 saksi, mahar, dan seseorang yang mengaku sebagai wali, maka akad nikah siri bisa dijalankan.

Masalah lain muncul ketika nikah siri mendapat legitimasi dari tokoh agama atau oknum kyai atau ustaz. Dipandang mumpuni dalam ilmu agama, kepercayaan diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Padahal belum tentu oknum kyai atau ustaz ini memilki pemahaman fikih munakahat yang baik. Khususnya tentang mendalami infromasi dan kejelian dalam melihat potensi wali atau rukun lain yang berpotensi merusak akad.

Merasa nikah siri ini banyak sekali potensi rusaknya akad, lantas saya pun memutar memori pada pertengahan tahun 2022 silam. Sekitar bulan Juni, heboh pernikahan sejenis di Jambi. Kebenaran ini baru terungkap setelah 10 bulan pernikahan. Istri yang merasa ditipu, buka suara bahwa “laki-laki” yang menikahinya secara siri itu adalah perempuan. Polisi pun turun tangan dalam mengungkap kasus nikah sejenis tersebut.

Detail kasusnya tidak akan saya bahas di sini. Saya hanya mencoba mengingatkan Anda bahwa nikah siri ibarat fatamorgana oase di padang pasir. Menipu Anda dengan kesejukan dan kesegaran yang nyatanya hanya omong kosong belaka.

Lantas, bagaimana status pernikahan mereka? Apakah dosa atau tidak jika mereka melakukan laku sebagaimana suami isteri? Wah, kalo urusan dosa dan pahala bukan ranah saya untuk berkomentar, itu hak prerogatif Allah SWT.

****

Negara, melalui Kantor Urusan Agama (KUA) telah memberikan kemudahan kepada pasangan yang hendak menikah. Syarat yang ringkas, biaya yang terjangkau, pelayanan yang cepat, rasanya tidak ada alasan lagi untuk melakukan nikah siri bagi siapa saja.

Dengan mendaftarkan peristiwa nikah di KUA, kepastian hukum dan perlindungan hak individu akan lebih terjamin. Dan tentu saja, potensi akad nikah bermasalah bisa diperas sekering-keringnya.

Anda tidak perlu khawatir ada akad yang tidak sah, atau wali yang bermasalah. Biaya nikah di KUA juga sangat murah, enam ratus ribu rupiah bagi yang mengundang atau di hari libur, dan nol rupiah bagi yang menikah di kantor di hari kerja.

Bayangkan, dengan modal nol rupiah, Anda dan pasangan Anda sudah sah sebagai suami isteri. Punya buku nikah, sah secara syariat, diakui oleh negara pula. Daripada Anda nikah siri, sembunyi-sembunyi, belum buat nyangoni sana-sini, tidak dapat buku nikah lagi. Jadi, masih ada yang mau nikah siri?

_____

Mohammad Wildan Kurniawan, penulis tinggal di Kroya Cilacap.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Potensi Rusaknya Akad Nikah dalam Nikah Siri

Mohammad Wildan Kurniawan Senin, 12-12-2022 | - Dilihat: 51

banner

Oleh: Mohammad Wildan Kurniawan

Siang hari lepas zuhur, seorang laki-laki yang tiada saya kenal masuk ke ruangan saya. Tanpa perkenalan, ia langsung bercerita bahwa belum lama ini ia menikahkan Mbakyu kandungnya di suatu daerah. Tentu masih di Indonesia. Ia mengaku pernikahan itu dilangsungkan secara siri. Alasannya, ledakan amarah warga sekitar yang disebabkan si Mbakyu ini sudah menetap seatap di rumah calon suaminya selama beberapa hari.

Warga yang geram, memaksa sepasang laki-laki dan perempuan dewasa itu segera menikah. Kepala dusun, ketua RT, dan tokoh agama sekitar turut menyaksikan pernikahan yang digelar di rumah mempelai laki-laki. Atas dasar tekanan yang memaksa semua harus cepat, tidaklah berkas nikah sempat dibuat. Walhasil, menurut mereka, orang-orang yang ada di sana, nikah siri menjadi solusi yang tepat.

Sampai di situ saya mulai paham situasi yang sedang menimpa si laki-laki ini. Saya menunggu pertanyaan darinya. Seputar nikah siri, biasanya akan muncul pertanyaan begini. Bagaimana cara agar nikahnya menjadi legal di mata hukum positif, dan Mbakyunya bisa mendapatkan buku nikah.

Tapi, ternyata dugaan saya salah. Pertanyaan laki-laki itu adalah, bagaimana kalo saya sebagai adik kandung yang menjadi wali, padahal bapak kandungnya masih ada? Saya diam sejenak, membetulkan posisi peci yang sedari tadi miring ke kiri.

“Bapak kandungnya ke mana, Mas?” tanya saya kepada laki-laki itu.

“Bapak masih ada, tapi tidak setuju, Pak Penghulu. Mbakyu saya sampai sudah ganti KTP jadi warga sana. Terus saya ditelpon sama dia disuruh menjadi wali. Kalo tidak segera menikah, Mbakyu saya dipaksa warga angkat kaki dari rumah itu.”

Kejadian seperti ini belum sempat terbayangkan di benak saya. Yang saya pahami, nikah siri ya umumnya sah secara fikih selama rukun nikahnya terpenuhi. Ada calon manten, wali nikah, saksi 2 orang, mahar, dan lafal ijab qobul. Sudah, itu saja. Terkait pencatatan nikah, itu sudah urusannya negara.

Tapi dari cerita mas-mas yang datang itu, saya mulai menyadari bahaya tak kasat mata yang sedang mengintai para pelaku pernikahan siri. Bahwa di sana, ada potensi rusaknya akad nikah yang tidak disadari para pelakunya, atau orang yang terlibat di dalamnya.

Saya akan jelaskan dulu nikah siri secara sederhana. Jadi, segala jenis pernikahan orang Islam yang tidak tercatat di KUA disebut sebagai nikah siri. Apapun alasannya. Bisa karena tidak sengaja, atau memang sengaja disembunyikan.

Tidak sengaja misal niat awal acara hanya lamaran, tapi kedua keluarga langsung menghendaki nikahan. Selama rukun syarat nikah terpenuhi, tidaklah jadi soal jika kedua keluarga bersepakat di hari itu juga pasangan tersebut dinikahkan.

Yang jadi masalah adalah ketika pernikahan itu dilakukan secara sembunyi. Di sana begitu rentan akad nikah yang bermasalah. Akibatnya tentu saja kepada keabsahan aktivitas hukum yang kedua mempelai jalani setelah akad nikah.

Semisal saja seorang Ayah kandung sebagai wali yang sah masih hidup. Tapi dinikahkan oleh orang lain tanpa persetujuan atau pendelegasian dari wali yang sah tersebut, meskipun orang lain itu adalah saudara kandung mempelai perempuan. Apalagi ternyata wali yang sah (ayahnya) sebetulnya belum menyetujui pernikahan itu. Bagian inilah yang membuat akad nikah ini menjadi bermasalah.

Saya jadi membayangkan berapa pasang pengantin yang terjebak dalam praktik nikah siri dengan rukun maupun syarat yang bermasalah. Apalagi nikah siri yang sembunyi-sembunyi di beberapa daerah masih didominasi oleh pendatang. Yang dalam pelaksanaannya, latar belakang keluarga pengantin tidaklah menjadi urusan utama. Pokoknya ada calon manten, 2 saksi, mahar, dan seseorang yang mengaku sebagai wali, maka akad nikah siri bisa dijalankan.

Masalah lain muncul ketika nikah siri mendapat legitimasi dari tokoh agama atau oknum kyai atau ustaz. Dipandang mumpuni dalam ilmu agama, kepercayaan diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Padahal belum tentu oknum kyai atau ustaz ini memilki pemahaman fikih munakahat yang baik. Khususnya tentang mendalami infromasi dan kejelian dalam melihat potensi wali atau rukun lain yang berpotensi merusak akad.

Merasa nikah siri ini banyak sekali potensi rusaknya akad, lantas saya pun memutar memori pada pertengahan tahun 2022 silam. Sekitar bulan Juni, heboh pernikahan sejenis di Jambi. Kebenaran ini baru terungkap setelah 10 bulan pernikahan. Istri yang merasa ditipu, buka suara bahwa “laki-laki” yang menikahinya secara siri itu adalah perempuan. Polisi pun turun tangan dalam mengungkap kasus nikah sejenis tersebut.

Detail kasusnya tidak akan saya bahas di sini. Saya hanya mencoba mengingatkan Anda bahwa nikah siri ibarat fatamorgana oase di padang pasir. Menipu Anda dengan kesejukan dan kesegaran yang nyatanya hanya omong kosong belaka.

Lantas, bagaimana status pernikahan mereka? Apakah dosa atau tidak jika mereka melakukan laku sebagaimana suami isteri? Wah, kalo urusan dosa dan pahala bukan ranah saya untuk berkomentar, itu hak prerogatif Allah SWT.

****

Negara, melalui Kantor Urusan Agama (KUA) telah memberikan kemudahan kepada pasangan yang hendak menikah. Syarat yang ringkas, biaya yang terjangkau, pelayanan yang cepat, rasanya tidak ada alasan lagi untuk melakukan nikah siri bagi siapa saja.

Dengan mendaftarkan peristiwa nikah di KUA, kepastian hukum dan perlindungan hak individu akan lebih terjamin. Dan tentu saja, potensi akad nikah bermasalah bisa diperas sekering-keringnya.

Anda tidak perlu khawatir ada akad yang tidak sah, atau wali yang bermasalah. Biaya nikah di KUA juga sangat murah, enam ratus ribu rupiah bagi yang mengundang atau di hari libur, dan nol rupiah bagi yang menikah di kantor di hari kerja.

Bayangkan, dengan modal nol rupiah, Anda dan pasangan Anda sudah sah sebagai suami isteri. Punya buku nikah, sah secara syariat, diakui oleh negara pula. Daripada Anda nikah siri, sembunyi-sembunyi, belum buat nyangoni sana-sini, tidak dapat buku nikah lagi. Jadi, masih ada yang mau nikah siri?

_____

Mohammad Wildan Kurniawan, penulis tinggal di Kroya Cilacap.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech