Pesan Cinta dalam Tawq Al-Hamammah
Izmi Kayla Firdausi Ahad, 26-1-2025 | - Dilihat: 6

Oleh: Izmi Kayla Firdausi
Berangkat dari Jalaludin Rumi, cinta tidak dapat diterangkan dengan kata kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Bagi Rumi, cinta itu tidak terungkapkan, tetapi orang tetap dapat membicarakannya. Cinta menjadi pembahasan yang menarik sejak dulu di kalangan para filsuf. Tidak sedikit filsuf Yunani hingga filsuf Islam yang membahas cinta dalam pemikirannya. Cinta selalu memiliki definisi yang berbeda pada setiap filsuf. Hal itu karena cinta tidak bersifat material, namun hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Definisi cinta yang diungkapkan oleh Plato, berbeda dengan definisi cinta yang telah diungkapkan oleh Filsafat Islam setelahnya.
Cinta Dalam Islam
Perbedaan pengalaman dan analisis sosial-budaya, menghasilkan definisi cinta yang berbeda. Dalam Islam, cinta tertinggi adalah cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Dimana seorang hamba mengosongkan dirinya, dan hanya diisi oleh cinta kepada Penciptanya. Cinta yang sesungguhnya juga dibuktikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya. Hal ini tercermin pada momen-momen sebelum ia wafat, Nabi hanya mengingat kesejahteraan umatnya. Oleh sebab itu, cinta tidak dapat didefinisikan hingga kapanpun. Karena menurut Ibnu Qayyim, definisi cinta adalah cinta itu sendiri, yang tidak mampu didefinisikan.
Keberadaan cinta tidak dapat dihindari, karena ia adalah anugerah yang Allah berikan. Hal ini telah Allah jelaskan dalam QS. Al-A’raf ayat 189 bahwa Tuhan menciptakan laki-laki, dan darinya diciptakan perempuan, hingga ia merasa tenang dan nyaman pada pasangannya. Perempuan disebutkan sebagai tempat istirahat bagi laki laki karena ia diciptakan darinya.
Pandangan cinta menurut Ibn Hazm
Terkait tentang cinta, Ibn Hazm, seorang cendekiawan dan sarjana Muslim juga membahasnya secara detail. Pembahasan ini ia tulis berdasarkan pengalaman pribadinya, dan beberapa pengetahuan yang didapatkan selama pembelajarannya. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan Andalusia abad ke-11, Ibn Hazm menulis sebuah risalah yang hingga kini masih bergema dalam lorong-lorong sejarah sastra dan pemikiran Islam. "Tawq al-Hamamah", atau "The Ring of the Dove", adalah karya yang menantang stereotip tentang cinta dalam tradisi Islam. Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi romantis atau panduan praktis tentang cinta; ia adalah sebuah jendela yang membuka pandangan kita terhadap kompleksitas emosi manusia dan dinamika sosial pada masanya. Dalam "Tawq al-Hamamah", Ibn Hazm mengajak kita untuk menelusuri labirin hati manusia, mengupas lapisan demi lapisan pengalaman cinta dengan ketajaman analisis seorang filsuf dan kelembutan jiwa seorang penyair. Dari getaran pertama jatuh cinta hingga kepedihan perpisahan, dari kebahagiaan perjumpaan hingga kecemburuan yang membakar. Ibn Hazm melukiskan panorama cinta dengan palet warna yang kaya dan nuansa yang amat mendalam.
Tawq Al-Hamamah
Selanjutnya akan kita coba jelajahi bagaimana "Tawq al-Hamamah" menjadi cerminan nilai-nilai sosial, etika, dan spiritual masyarakat Muslim Andalusia. Kita akan mengkaji bagaimana Ibn Hazm, seorang ahli hukum Islam dan teolog yang terkenal dengan pendekatan literalisnya, mampu menghasilkan karya yang begitu puitis dan introspektif tentang
pengalaman manusiawi yang paling universal: cinta. Lebih jauh lagi, kita akan merefleksikan relevansi pemikiran Ibn Hazm dalam konteks modern. Melalui eksplorasi "Tawq al Hamamah", kita tidak hanya akan membaca sebuah teks klasik, tetapi juga melakukan dialog lintas zaman. Kita akan menemukan bahwa di balik kata-kata Ibn Hazm yang ditulis hampir seribu tahun lalu, terdapat refleksi tentang kemanusiaan yang tetap relevan hingga saat ini. Mari kita bersama-sama membuka halaman-halaman "Tawq al-Hamamah" dan menemukan kembali kearifan cinta yang mungkin telah lama kita lupakan.
Hakikat cinta adalah bagaimana kebahagiaan seseorang bergantung pada orang yang dicintainya. Walaupun adanya pertengkaran kecil diantara orang yang saling berkasih sayang, bagi Ibn Hazm, hal itu merupakan hal yang lumrah. Hal ini menguji mereka untuk kembali mempertanyakan hal apa yang mereka cari dari diri keduanya. Bagi dua orang yang disatukan oleh cinta, emosi sangat berpengaruh bagi mereka. Ibn Hazm membawa kita ke ranah yang lebih praktis dengan membahas tanda-tanda cinta. Di satu sisi, Ibn Hazm mengakui fenomena jatuh cinta pada pandangan pertama, sebuah konsep yang telah menjadi tema populer dalam sastra dan seni sepanjang zaman. Namun, ia juga tidak melupakan cinta yang tumbuh perlahan, yang berkembang dari perkenalan dan interaksi yang berulang. Keseimbangan ini menunjukkan pemahaman Ibn Hazm yang mendalam tentang berbagai cara cinta bisa muncul dalam kehidupan manusia.
Berikutnya, melalui dasar dasar cinta, Ibn Hazm menyelami aspek-aspek komunikasi dalam cinta. Ia membahas isyarat non-verbal, pentingnya kata-kata yang diucapkan, peran utusan atau perantara, dan bahkan seni surat-menyurat. Penjelasannya tentang komunikasi cinta ini tidak hanya relevan untuk zamannya, tetapi juga memberikan wawasan berharga bagi kita di era digital, di saat bentuk-bentuk komunikasi terus berevolusi namun esensinya tetap sama. Melangkah lebih jauh, Ibn Hazm membahas fenomena jatuh cinta hanya berdasarkan deskripsi. Dalam era digital kita, di mana hubungan online semakin umum, pemikiran Ibn Hazm tentang "cinta dari jauh" ini terasa sangat relevan. Ia menunjukkan bahwa cinta tidak selalu memerlukan kehadiran fisik, tetapi bisa tumbuh dari gambaran mental yang kita ciptakan. Fenomena cinta pada pandangan pertama – yang telah menjadi tema populer dalam sastra dan seni – tidak luput dari perhatian Ibn Hazm. Ia menganalisis dengan cermat tidak hanya romantismenya belaka, namun juga memperhatikan aspek psikologis dan fisiologisnya. Kontras dengan ini, ia juga membahas cinta yang tumbuh seiring waktu, mengingatkan kita bahwa cinta memiliki banyak cara untuk bersemi.
Ibn Hazm tidak menghindari tema-tema yang lebih berat. Ia membahas dilema memilih antara dua cinta, pengkhianatan, dan perpisahan dengan kejujuran yang mengesankan. Pendekatannya yang tidak menghakimi namun tetap reflektif memberikan wawasan berharga tentang sisi gelap cinta yang sering kali diabaikan dalam wacana romantis. Kesetiaan, sebuah tema yang abadi dalam perbincangan tentang cinta, mendapat perhatian khusus dalam tulisan beliau. Ibn Hazm mengeksplorasi berbagai manifestasi kesetiaan dan perannya dalam mempertahankan hubungan. Ia juga membahas kepuasan dalam cinta, sebuah konsep yang mungkin terdengar sederhana namun sebenarnya sangat kompleks.
Bahkan kematian, akhir yang tak terelakkan, dibahas oleh Ibn Hazm dalam konteks cinta. Ia merefleksikan bagaimana cinta bisa melampaui batas-batas kehidupan fisik, sebuah tema yang bergema dalam banyak tradisi spiritual dan sastra sepanjang sejarah. Ibn Hazm menutup eksplorasinya dengan membahas aspek moral dan etika dalam cinta. Ia menekankan pentingnya kesucian dan kebajikan, mengingatkan kita bahwa cinta, dalam bentuknya yang paling mulia, tidak terpisahkan dari nilai-nilai moral dan spiritual.
_________
Izmi Kayla Firdausi adalah Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
- Artikel Terpuler -
Pesan Cinta dalam Tawq Al-Hamammah
Izmi Kayla Firdausi Ahad, 26-1-2025 | - Dilihat: 6

Oleh: Izmi Kayla Firdausi
Berangkat dari Jalaludin Rumi, cinta tidak dapat diterangkan dengan kata kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Bagi Rumi, cinta itu tidak terungkapkan, tetapi orang tetap dapat membicarakannya. Cinta menjadi pembahasan yang menarik sejak dulu di kalangan para filsuf. Tidak sedikit filsuf Yunani hingga filsuf Islam yang membahas cinta dalam pemikirannya. Cinta selalu memiliki definisi yang berbeda pada setiap filsuf. Hal itu karena cinta tidak bersifat material, namun hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Definisi cinta yang diungkapkan oleh Plato, berbeda dengan definisi cinta yang telah diungkapkan oleh Filsafat Islam setelahnya.
Cinta Dalam Islam
Perbedaan pengalaman dan analisis sosial-budaya, menghasilkan definisi cinta yang berbeda. Dalam Islam, cinta tertinggi adalah cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Dimana seorang hamba mengosongkan dirinya, dan hanya diisi oleh cinta kepada Penciptanya. Cinta yang sesungguhnya juga dibuktikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya. Hal ini tercermin pada momen-momen sebelum ia wafat, Nabi hanya mengingat kesejahteraan umatnya. Oleh sebab itu, cinta tidak dapat didefinisikan hingga kapanpun. Karena menurut Ibnu Qayyim, definisi cinta adalah cinta itu sendiri, yang tidak mampu didefinisikan.
Keberadaan cinta tidak dapat dihindari, karena ia adalah anugerah yang Allah berikan. Hal ini telah Allah jelaskan dalam QS. Al-A’raf ayat 189 bahwa Tuhan menciptakan laki-laki, dan darinya diciptakan perempuan, hingga ia merasa tenang dan nyaman pada pasangannya. Perempuan disebutkan sebagai tempat istirahat bagi laki laki karena ia diciptakan darinya.
Pandangan cinta menurut Ibn Hazm
Terkait tentang cinta, Ibn Hazm, seorang cendekiawan dan sarjana Muslim juga membahasnya secara detail. Pembahasan ini ia tulis berdasarkan pengalaman pribadinya, dan beberapa pengetahuan yang didapatkan selama pembelajarannya. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan Andalusia abad ke-11, Ibn Hazm menulis sebuah risalah yang hingga kini masih bergema dalam lorong-lorong sejarah sastra dan pemikiran Islam. "Tawq al-Hamamah", atau "The Ring of the Dove", adalah karya yang menantang stereotip tentang cinta dalam tradisi Islam. Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi romantis atau panduan praktis tentang cinta; ia adalah sebuah jendela yang membuka pandangan kita terhadap kompleksitas emosi manusia dan dinamika sosial pada masanya. Dalam "Tawq al-Hamamah", Ibn Hazm mengajak kita untuk menelusuri labirin hati manusia, mengupas lapisan demi lapisan pengalaman cinta dengan ketajaman analisis seorang filsuf dan kelembutan jiwa seorang penyair. Dari getaran pertama jatuh cinta hingga kepedihan perpisahan, dari kebahagiaan perjumpaan hingga kecemburuan yang membakar. Ibn Hazm melukiskan panorama cinta dengan palet warna yang kaya dan nuansa yang amat mendalam.
Tawq Al-Hamamah
Selanjutnya akan kita coba jelajahi bagaimana "Tawq al-Hamamah" menjadi cerminan nilai-nilai sosial, etika, dan spiritual masyarakat Muslim Andalusia. Kita akan mengkaji bagaimana Ibn Hazm, seorang ahli hukum Islam dan teolog yang terkenal dengan pendekatan literalisnya, mampu menghasilkan karya yang begitu puitis dan introspektif tentang
pengalaman manusiawi yang paling universal: cinta. Lebih jauh lagi, kita akan merefleksikan relevansi pemikiran Ibn Hazm dalam konteks modern. Melalui eksplorasi "Tawq al Hamamah", kita tidak hanya akan membaca sebuah teks klasik, tetapi juga melakukan dialog lintas zaman. Kita akan menemukan bahwa di balik kata-kata Ibn Hazm yang ditulis hampir seribu tahun lalu, terdapat refleksi tentang kemanusiaan yang tetap relevan hingga saat ini. Mari kita bersama-sama membuka halaman-halaman "Tawq al-Hamamah" dan menemukan kembali kearifan cinta yang mungkin telah lama kita lupakan.
Hakikat cinta adalah bagaimana kebahagiaan seseorang bergantung pada orang yang dicintainya. Walaupun adanya pertengkaran kecil diantara orang yang saling berkasih sayang, bagi Ibn Hazm, hal itu merupakan hal yang lumrah. Hal ini menguji mereka untuk kembali mempertanyakan hal apa yang mereka cari dari diri keduanya. Bagi dua orang yang disatukan oleh cinta, emosi sangat berpengaruh bagi mereka. Ibn Hazm membawa kita ke ranah yang lebih praktis dengan membahas tanda-tanda cinta. Di satu sisi, Ibn Hazm mengakui fenomena jatuh cinta pada pandangan pertama, sebuah konsep yang telah menjadi tema populer dalam sastra dan seni sepanjang zaman. Namun, ia juga tidak melupakan cinta yang tumbuh perlahan, yang berkembang dari perkenalan dan interaksi yang berulang. Keseimbangan ini menunjukkan pemahaman Ibn Hazm yang mendalam tentang berbagai cara cinta bisa muncul dalam kehidupan manusia.
Berikutnya, melalui dasar dasar cinta, Ibn Hazm menyelami aspek-aspek komunikasi dalam cinta. Ia membahas isyarat non-verbal, pentingnya kata-kata yang diucapkan, peran utusan atau perantara, dan bahkan seni surat-menyurat. Penjelasannya tentang komunikasi cinta ini tidak hanya relevan untuk zamannya, tetapi juga memberikan wawasan berharga bagi kita di era digital, di saat bentuk-bentuk komunikasi terus berevolusi namun esensinya tetap sama. Melangkah lebih jauh, Ibn Hazm membahas fenomena jatuh cinta hanya berdasarkan deskripsi. Dalam era digital kita, di mana hubungan online semakin umum, pemikiran Ibn Hazm tentang "cinta dari jauh" ini terasa sangat relevan. Ia menunjukkan bahwa cinta tidak selalu memerlukan kehadiran fisik, tetapi bisa tumbuh dari gambaran mental yang kita ciptakan. Fenomena cinta pada pandangan pertama – yang telah menjadi tema populer dalam sastra dan seni – tidak luput dari perhatian Ibn Hazm. Ia menganalisis dengan cermat tidak hanya romantismenya belaka, namun juga memperhatikan aspek psikologis dan fisiologisnya. Kontras dengan ini, ia juga membahas cinta yang tumbuh seiring waktu, mengingatkan kita bahwa cinta memiliki banyak cara untuk bersemi.
Ibn Hazm tidak menghindari tema-tema yang lebih berat. Ia membahas dilema memilih antara dua cinta, pengkhianatan, dan perpisahan dengan kejujuran yang mengesankan. Pendekatannya yang tidak menghakimi namun tetap reflektif memberikan wawasan berharga tentang sisi gelap cinta yang sering kali diabaikan dalam wacana romantis. Kesetiaan, sebuah tema yang abadi dalam perbincangan tentang cinta, mendapat perhatian khusus dalam tulisan beliau. Ibn Hazm mengeksplorasi berbagai manifestasi kesetiaan dan perannya dalam mempertahankan hubungan. Ia juga membahas kepuasan dalam cinta, sebuah konsep yang mungkin terdengar sederhana namun sebenarnya sangat kompleks.
Bahkan kematian, akhir yang tak terelakkan, dibahas oleh Ibn Hazm dalam konteks cinta. Ia merefleksikan bagaimana cinta bisa melampaui batas-batas kehidupan fisik, sebuah tema yang bergema dalam banyak tradisi spiritual dan sastra sepanjang sejarah. Ibn Hazm menutup eksplorasinya dengan membahas aspek moral dan etika dalam cinta. Ia menekankan pentingnya kesucian dan kebajikan, mengingatkan kita bahwa cinta, dalam bentuknya yang paling mulia, tidak terpisahkan dari nilai-nilai moral dan spiritual.
_________
Izmi Kayla Firdausi adalah Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
0 Komentar
Tinggalkan Pesan