Pendidikan Agama dalam Bingkai Pancasila
Alfin Nur Ridwan Kamis, 27-10-2022 | - Dilihat: 46
Oleh: Alfin Nur Ridwan
Agama, memiliki kebenaran yang serba ideal karena berasal dari Tuhan sebagai pemilik kebenaran yang mutlak, akan tetapi, kebenaran agama bukanlah berada dalam ruang hampa yang bebas nilai. Agama bukanlah sesuatu yang otonom, melainkan berada dalam suatu realitas obyektif yang secara signifikan mempengaruhi interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut.
Secara ideal, agama harusnya tampil sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk ideologi yang destruktif bagi kemanusiaan, akan tetapi, kenyataannya, antara agama dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain, atau bahkan saling memperalat satu sama lain. Nuansa yang seperti ini merupakan peluang bagi terjadinya berbagai salah interpretasi agama yang menjurus pada terjadinya pembenaran agama secara sepihak.
Sebagai kritik kebudayaan, agama secara ideal harus ditempatkan sebagai fenomena dalam keragaman budaya yang multikultural. Artinya, saat agama mencoba menterjemahkan sebuah realitas sosial, maka ia pun harus mampu secara sinergis membangun kebersamaan dengan paham lain yang ada dalam realitas sosial tersebut.
Namun demikian, adanya nuansa psikologis yang berbeda dalam pemeluk agama dan interpretasinya, memungkinkan juga terjadi potensi konflik yang membahayakan integrasi sosial masyarakat. Maka dari itu wajar jika nilai pancasila dan agama dimasukkan dalam pendidikan formal di negeri ini sebagai nilai-nilai yang menuntun masyarakat di dalamnya ke sebuah makna persatuan.
Peran Vital Sebuah Pendidikan Agama
Lantas bagaimana dengan Pendidikan Agama secara formal di Indonesia? Benar, bahwa semua agama itu mengajarkan perdamaian. Bahkan, agama itu sendiri identik dengan perdamaian. Tetapi ada kegelisahan konkret seputar adagium bahwa “agama itu perdamaian,” karena ternyata di negara ini para tokoh, pelaksana, eksponen, dan pelaku kekerasan, kejahatan, kecurangan itu ternyata adalah orang-orang beragama.
Tugas mengajar agama secara formal kepada anak didik bukanlah tugas yang mudah. Pendidikan Agama (apapun agamanya) bukanlah ilmu yang serba pasti. Ada banyak persoalan di sini seperti: Pertama, tuntutan kurikulum yang hendak mengukur kemampuan siswa hanya dari angka belaka juga merupakan sesuatu yang problematis bagi Pendidikan Agama, karena penghayatan religius tentu tidak bisa disempitkan begitu saja dalam angka. Kedua, mengajarkan Pendidikan Agama amat berkait dengan soal metodologi, yakni bagaimana cara mentransfer ilmu dengan baik kepada anak didik.
Jika mendidik adalah soal bagaimana mentransfer pengetahuan, cukupkah dengan menyampaikan aneka kebenaran agamis dan dogmatis ke dalam sistem pengajaran agama? Belum lagi hal tersebut diperumit dengan pluralitas khas Indonesia karena bangsa ini terdiri dari aneka suku, agama, bahasa, dan budaya yang melekat di dalamnya.
Semua pihak sepakat bahwa semua Pendidikan Agama tidak mengajarkan kekerasan, tetapi, mengapa Pendidikan Agama tidak mampu mengajarkan sesuatu yang mencegah kekerasan? Apakah artinya Pendidikan Agama jika tidak melestarikan kehidupan manusia? Apakah maknanya sebuah Pendidikan Agama kalau tidak mampu menahan sekelompok manusia (yang juga beragama) untuk memusnahkan sesamanya seperti di Ambon, Poso, Sampang, dan seterusnya?
Pendidikan agama seharusnya adalah pendidikan perdamaian, penumbuh kembang aspek humanis, pemekar budaya insani, dan bukannya pendidikan akan penguasaan materi agama. Pendidikan Agama haruslah selaras dengan nilai adulihung bangsa yang dinamai Pancasila! Paham bahwa Indonesia adalah bangsa yang multilkultur dan ber-Pancasila harus terus disadari dan diperjuangkan bersama. Betul bahwa bangsa ini satu, tetapi kesatuan ini dibangun di atas dasar keberagaman budaya, agama, suku, ras, dst.
Dalam konteks Pendidikan Agama, aktivitas belajar dengan demikian berisi rangkaian aktivitas untuk mengubah dan menentukan hidup manusia dalam kaitannya dengan diri, sesama, dan Tuhannya. Pendidikan Agama pada gilirannya menjadi sebuah tindakan yang hendak memanusiakan dan sekaligus mengillahikan manusia.
Pendidikan Agama seharusnya juga menjadi bagian dari aktivitas pengangkatan manusia ke taraf yang makin insani dan juga makin Illahi. Jadi, proses dalam Pendidikan Agama sebenarnya merupakan proses pengungkapan jati diri manusia untuk sampai pada penyadaran akan eksistensi dirinya sendiri yang makin otentik.
Pendidikan Agama yang holistik memberikan ruang kepada anak untuk memiliki kesadaran baru dalam mengerti dirinya, kemampuannya, dan keberadaannya. Pendidikan Agama yang baik seharusnya menekankan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan, yang akhirnya si anak akan semakin menyadari bahwa ia bukan hanya makhluk biologis, melainkan makhluk yang berpribadi dengan kodrat rohaninya. Dalam alur pikir semacam ini, Pendidikan Agama seharusnya memampukan tiap peserta didik untuk menemukan dirinya, sesamanya, dan Tuhannya dengan lebih baik.
Pendidikan Agama dengan demikian harus mempromosikan nilai-nilai kebaikan, misalnya: anti-kekerasan, penghargaan akan keberagaman, hormat kepada pemeluk agama lain, dan penghapusan eksklusivisme sempit yang seakan-akan menganggap diri sebagai kaum yang paling suci.
Karena patut kita sadari, bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang terdalam dipersatukan oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, mewujudkan persatuan, nilai-nilai kerakyatan, dan keadilan sosial.
Bila sikap dasar vertikal dan horizontal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan secara konsekuen dan konsisten, maka buahnya adalah budaya persahabatan, persaudaraan, saling mengisi, dan memekarkan. Pendidikan Agama tidak boleh mengajarkan kekerasan.
Segala apa yang jahat, seperti tindakan membunuh, menteror, membakar, memusnahkan sesama manusia itu tidak berasal dari agama. Kitab suci dari apa pun agama tidak mengajarkan kegampangan seputar kekerasan. Pendidikan Agama seharusnya ber-Pancasila yang memungkinkan orang memiliki “cita rasa Indonesia," sebuah cita rasa yang sebenarnya disumberkan dari sang Khaliq juga.
Maka, di tengah kondisi bangsa yang rentan perpecahan ini, Pendidikan Agama seharusnya bisa berkontribusi dengan memekarkan semangat kejujuran, anti korupsi, dan penghargaan akan saudara sebangsa sebagai makhluk Tuhan yang sama, daripada bersusah-payah untuk mengkafirkan pemeluk agama lain, sekedar menghafal ayat-ayat Kitab Suci, dan mempelajari cara berdoa yang khusuk menurut guru agama masing-masing.
Mengapa? Karena tidak ada gunanya aneka kesalehan formal tersebut jika tetap saja mental fanatik-munafik serta koruptif tetap melekat di segala bidang. Dan inilah yang terjadi dengan negara kita, yang semua penduduknya dikenal mempunyai agama dan Pancasila tetapi ternyata indeks kekerasan agama dan korupsinya juga mendapat gelar juara.
___
Referensi:
Qodir, Zuly, 2012, “Pendidikan Inklusif”, Kompas 29 Des 2012
- Artikel Terpuler -
Pendidikan Agama dalam Bingkai Pancasila
Alfin Nur Ridwan Kamis, 27-10-2022 | - Dilihat: 46
Oleh: Alfin Nur Ridwan
Agama, memiliki kebenaran yang serba ideal karena berasal dari Tuhan sebagai pemilik kebenaran yang mutlak, akan tetapi, kebenaran agama bukanlah berada dalam ruang hampa yang bebas nilai. Agama bukanlah sesuatu yang otonom, melainkan berada dalam suatu realitas obyektif yang secara signifikan mempengaruhi interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut.
Secara ideal, agama harusnya tampil sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk ideologi yang destruktif bagi kemanusiaan, akan tetapi, kenyataannya, antara agama dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain, atau bahkan saling memperalat satu sama lain. Nuansa yang seperti ini merupakan peluang bagi terjadinya berbagai salah interpretasi agama yang menjurus pada terjadinya pembenaran agama secara sepihak.
Sebagai kritik kebudayaan, agama secara ideal harus ditempatkan sebagai fenomena dalam keragaman budaya yang multikultural. Artinya, saat agama mencoba menterjemahkan sebuah realitas sosial, maka ia pun harus mampu secara sinergis membangun kebersamaan dengan paham lain yang ada dalam realitas sosial tersebut.
Namun demikian, adanya nuansa psikologis yang berbeda dalam pemeluk agama dan interpretasinya, memungkinkan juga terjadi potensi konflik yang membahayakan integrasi sosial masyarakat. Maka dari itu wajar jika nilai pancasila dan agama dimasukkan dalam pendidikan formal di negeri ini sebagai nilai-nilai yang menuntun masyarakat di dalamnya ke sebuah makna persatuan.
Peran Vital Sebuah Pendidikan Agama
Lantas bagaimana dengan Pendidikan Agama secara formal di Indonesia? Benar, bahwa semua agama itu mengajarkan perdamaian. Bahkan, agama itu sendiri identik dengan perdamaian. Tetapi ada kegelisahan konkret seputar adagium bahwa “agama itu perdamaian,” karena ternyata di negara ini para tokoh, pelaksana, eksponen, dan pelaku kekerasan, kejahatan, kecurangan itu ternyata adalah orang-orang beragama.
Tugas mengajar agama secara formal kepada anak didik bukanlah tugas yang mudah. Pendidikan Agama (apapun agamanya) bukanlah ilmu yang serba pasti. Ada banyak persoalan di sini seperti: Pertama, tuntutan kurikulum yang hendak mengukur kemampuan siswa hanya dari angka belaka juga merupakan sesuatu yang problematis bagi Pendidikan Agama, karena penghayatan religius tentu tidak bisa disempitkan begitu saja dalam angka. Kedua, mengajarkan Pendidikan Agama amat berkait dengan soal metodologi, yakni bagaimana cara mentransfer ilmu dengan baik kepada anak didik.
Jika mendidik adalah soal bagaimana mentransfer pengetahuan, cukupkah dengan menyampaikan aneka kebenaran agamis dan dogmatis ke dalam sistem pengajaran agama? Belum lagi hal tersebut diperumit dengan pluralitas khas Indonesia karena bangsa ini terdiri dari aneka suku, agama, bahasa, dan budaya yang melekat di dalamnya.
Semua pihak sepakat bahwa semua Pendidikan Agama tidak mengajarkan kekerasan, tetapi, mengapa Pendidikan Agama tidak mampu mengajarkan sesuatu yang mencegah kekerasan? Apakah artinya Pendidikan Agama jika tidak melestarikan kehidupan manusia? Apakah maknanya sebuah Pendidikan Agama kalau tidak mampu menahan sekelompok manusia (yang juga beragama) untuk memusnahkan sesamanya seperti di Ambon, Poso, Sampang, dan seterusnya?
Pendidikan agama seharusnya adalah pendidikan perdamaian, penumbuh kembang aspek humanis, pemekar budaya insani, dan bukannya pendidikan akan penguasaan materi agama. Pendidikan Agama haruslah selaras dengan nilai adulihung bangsa yang dinamai Pancasila! Paham bahwa Indonesia adalah bangsa yang multilkultur dan ber-Pancasila harus terus disadari dan diperjuangkan bersama. Betul bahwa bangsa ini satu, tetapi kesatuan ini dibangun di atas dasar keberagaman budaya, agama, suku, ras, dst.
Dalam konteks Pendidikan Agama, aktivitas belajar dengan demikian berisi rangkaian aktivitas untuk mengubah dan menentukan hidup manusia dalam kaitannya dengan diri, sesama, dan Tuhannya. Pendidikan Agama pada gilirannya menjadi sebuah tindakan yang hendak memanusiakan dan sekaligus mengillahikan manusia.
Pendidikan Agama seharusnya juga menjadi bagian dari aktivitas pengangkatan manusia ke taraf yang makin insani dan juga makin Illahi. Jadi, proses dalam Pendidikan Agama sebenarnya merupakan proses pengungkapan jati diri manusia untuk sampai pada penyadaran akan eksistensi dirinya sendiri yang makin otentik.
Pendidikan Agama yang holistik memberikan ruang kepada anak untuk memiliki kesadaran baru dalam mengerti dirinya, kemampuannya, dan keberadaannya. Pendidikan Agama yang baik seharusnya menekankan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan, yang akhirnya si anak akan semakin menyadari bahwa ia bukan hanya makhluk biologis, melainkan makhluk yang berpribadi dengan kodrat rohaninya. Dalam alur pikir semacam ini, Pendidikan Agama seharusnya memampukan tiap peserta didik untuk menemukan dirinya, sesamanya, dan Tuhannya dengan lebih baik.
Pendidikan Agama dengan demikian harus mempromosikan nilai-nilai kebaikan, misalnya: anti-kekerasan, penghargaan akan keberagaman, hormat kepada pemeluk agama lain, dan penghapusan eksklusivisme sempit yang seakan-akan menganggap diri sebagai kaum yang paling suci.
Karena patut kita sadari, bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang terdalam dipersatukan oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, mewujudkan persatuan, nilai-nilai kerakyatan, dan keadilan sosial.
Bila sikap dasar vertikal dan horizontal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan secara konsekuen dan konsisten, maka buahnya adalah budaya persahabatan, persaudaraan, saling mengisi, dan memekarkan. Pendidikan Agama tidak boleh mengajarkan kekerasan.
Segala apa yang jahat, seperti tindakan membunuh, menteror, membakar, memusnahkan sesama manusia itu tidak berasal dari agama. Kitab suci dari apa pun agama tidak mengajarkan kegampangan seputar kekerasan. Pendidikan Agama seharusnya ber-Pancasila yang memungkinkan orang memiliki “cita rasa Indonesia," sebuah cita rasa yang sebenarnya disumberkan dari sang Khaliq juga.
Maka, di tengah kondisi bangsa yang rentan perpecahan ini, Pendidikan Agama seharusnya bisa berkontribusi dengan memekarkan semangat kejujuran, anti korupsi, dan penghargaan akan saudara sebangsa sebagai makhluk Tuhan yang sama, daripada bersusah-payah untuk mengkafirkan pemeluk agama lain, sekedar menghafal ayat-ayat Kitab Suci, dan mempelajari cara berdoa yang khusuk menurut guru agama masing-masing.
Mengapa? Karena tidak ada gunanya aneka kesalehan formal tersebut jika tetap saja mental fanatik-munafik serta koruptif tetap melekat di segala bidang. Dan inilah yang terjadi dengan negara kita, yang semua penduduknya dikenal mempunyai agama dan Pancasila tetapi ternyata indeks kekerasan agama dan korupsinya juga mendapat gelar juara.
___
Referensi:
Qodir, Zuly, 2012, “Pendidikan Inklusif”, Kompas 29 Des 2012
6 Komentar
2022-10-28 14:37:02
NA
Proud of you
2022-10-28 18:55:02
Siii
Artikelnya sangat bermanfaat.
2024-12-01 12:16:03
Gnuvax
eriacta passion - forzest sacrifice forzest myth
2024-12-04 11:56:08
Jqglyn
valif shock - valif passionate sinemet 20mg over the counter
2024-12-07 00:13:18
Xpenwz
valif online young - valif joy sinemet oral
2024-12-07 00:29:08
Bwafwd
buy generic crixivan - buy generic finasteride purchase emulgel for sale
6 Komentar
2022-10-28 14:37:02
NA
Proud of you
2022-10-28 18:55:02
Siii
Artikelnya sangat bermanfaat.
2024-12-01 12:16:03
Gnuvax
eriacta passion - forzest sacrifice forzest myth
2024-12-04 11:56:08
Jqglyn
valif shock - valif passionate sinemet 20mg over the counter
2024-12-07 00:13:18
Xpenwz
valif online young - valif joy sinemet oral
2024-12-07 00:29:08
Bwafwd
buy generic crixivan - buy generic finasteride purchase emulgel for sale
Tinggalkan Pesan