Pemikiran Abadi Bung Karno
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc. Ahad, 12-6-2022 | - Dilihat: 64
Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc.
Juni merupakan bulan lahirnya proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Bung Karno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 sehingga juga dikenal sebagai Sang Fajar. 20 tahun kemudian, pada 8 Juni 1921 lahir presiden kedua yaitu Jenderal Besar HM Suharto.
Keduanya adalah kader Muhammadiyah. Keduanya juga merupakan guru di sekolah Muhammadiyah. Bung Karno mengajar ilmu-ilmu sosial dan Pak Harto mengajar kepanduan Hizbul Wathan, seperti halnya Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman.
Pada masa remaja, Bung Karno dididik oleh seorang pemikir dan aktifis pergerakan, HOS Cokroaminoto, sehingga Bung Karno memiliki analisis yang tajam dan membumi. Bung Karno tidak hanya mampu membaca sejarah dan nasib Bangsa Indonesia, akan tetapi juga perkembangan dunia.
Perang Dunia I antara 1914-1919 dibaca oleh Bung Karno sebagai peperangan antara industrialisme tua dan industrialisme muda. Industrialisme tua diwakili oleh Jerman dan Rusia yang sangat mengedepankan identitas nasional yang pengejewantahannya adalah kolonislisme dan fasisme. Sedangkan industrialisme muda diwakili oleh Inggris dan Amerika Serikat yang bertumpu pada modal dan pengejewantahannya juga kolonialisme.
Bung Karno tidak ingin Bangsa Indonesia terjebak dalam kolonialisme kembali sehingga memperkokoh identitas nasional yang bersumber pada kearifan-kearifan lokal. Maka Bung Karno sering menyatakan agar Bangsa Indonesia harus berdikari dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkarakter dana budaya.
Pemikiran-pemikiran Bung Karno tidak hanya berhasil mengantarkan Bangsa Indonesia merdeka, akan tetapi menjaga keutuhan dan menghindarkan Bangsa Indonesia dari perang saudara, yang merupakan pintu masuknya kolonialisme. Perpecahan dan sengketa kekuasaan yang terjadi di dalam tubuh para elit monarki-monarki di Indonesia, menjadi pintu masuk bagi kolonialisme untuk menjajah.
Berbagai pergolakan dan tantangan dari seperti tahun 1948, 1952 dan 1965 berhasil dilalui Bangsa Indonesia, tanpa berujung perang saudara, walaupun tekanan dan hasutan dari luar merebak.
Kolonialisme tidak hanya menghapuskan wilayah suatu negara, akan tetapi identitas suatu bangsa. Sekian tahun lamanya, identitas bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara hancur. Untuk bepergian ke luar negeri, baik itu berwisata atau belajar bahkan berhaji, Bangsa Indonesia saat itu harus mengenakan paspor Hindia Belanda.
Saat ini kita melihat negara-negara seperti Suriah dan Libya yang masih terjadi perang saudara, akibat permasalahan identitas yang didasarkan pemahaman agama yang salah. Jutaan jiwa tiada, cacat, hilang dan bahkan kehilangan identitasnya.
Industrialisme muda yang saat ini menjelma menjadi gerakan Kiri-Baru di berbagai negara tidak hanya menghilangkan identitas bangsa lain, akan tetapi identitas bangsanya sendiri.
Arus imigran ilegal di negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat yang dimanfaatkan sebagai tenaga industri yang murah, telah menimbulkan kecemburuan sosial dengan penduduk asli.
Kebijakan pemerintah negara-negara tersebut yang memberikan kewarganegaraan kepada imigran bahkan yang berstatus ilegal, menimbulkan pertanyaan mendasar akan dasar dan standar akan status dan identitas kewarganegaraan bangsa dan negara mereka sendiri.
Dengan mudahnya, pertanyaan mendasar tersebut disebut sebagai bagian dari kejatahan kemanusiaan oleh para aktifis Kiri-Baru.
Mesir yang menjadi pusat pergerakan politik di Timur Tengah, terus berupaya menyadarkan para stake-holders negara-negara Eropa dan Amerika Serikat akan perlunya menyelesaikan krisis Timur Tengah khususnya Suriah dan Libya, dengan dialog, yang juga bertujuan agar mengurangi arus imigran ilegal, yang mengganggu stabilitas sosial dan keamanan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat selama ini.
Kondisi Indonesia dan dunia internasional saat ini telah dianalisis oleh Bung Karno sejak dekade 1930-an. Industrialisme muda yang berkuasa atas modal, merupakan bahaya tidak hanya bagi kondisi ekonomi akan tetapi juga budaya dan identitas suatu bangsa.
Pemikiran dan manhaj berfikir Bung Karno yang tajam perlu dilestarikan. Akan menjadi bekal penting bagi generasi masa depan Bangsa Indonesia yang saat ini tengah dilanda krisis identitas kewarganegaraannya.
_____
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc, Alumni Jurusan Sejarah Universitas Al Azhar Cairo Mesir
- Artikel Terpuler -
Pemikiran Abadi Bung Karno
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc. Ahad, 12-6-2022 | - Dilihat: 64
Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc.
Juni merupakan bulan lahirnya proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Bung Karno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 sehingga juga dikenal sebagai Sang Fajar. 20 tahun kemudian, pada 8 Juni 1921 lahir presiden kedua yaitu Jenderal Besar HM Suharto.
Keduanya adalah kader Muhammadiyah. Keduanya juga merupakan guru di sekolah Muhammadiyah. Bung Karno mengajar ilmu-ilmu sosial dan Pak Harto mengajar kepanduan Hizbul Wathan, seperti halnya Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman.
Pada masa remaja, Bung Karno dididik oleh seorang pemikir dan aktifis pergerakan, HOS Cokroaminoto, sehingga Bung Karno memiliki analisis yang tajam dan membumi. Bung Karno tidak hanya mampu membaca sejarah dan nasib Bangsa Indonesia, akan tetapi juga perkembangan dunia.
Perang Dunia I antara 1914-1919 dibaca oleh Bung Karno sebagai peperangan antara industrialisme tua dan industrialisme muda. Industrialisme tua diwakili oleh Jerman dan Rusia yang sangat mengedepankan identitas nasional yang pengejewantahannya adalah kolonislisme dan fasisme. Sedangkan industrialisme muda diwakili oleh Inggris dan Amerika Serikat yang bertumpu pada modal dan pengejewantahannya juga kolonialisme.
Bung Karno tidak ingin Bangsa Indonesia terjebak dalam kolonialisme kembali sehingga memperkokoh identitas nasional yang bersumber pada kearifan-kearifan lokal. Maka Bung Karno sering menyatakan agar Bangsa Indonesia harus berdikari dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkarakter dana budaya.
Pemikiran-pemikiran Bung Karno tidak hanya berhasil mengantarkan Bangsa Indonesia merdeka, akan tetapi menjaga keutuhan dan menghindarkan Bangsa Indonesia dari perang saudara, yang merupakan pintu masuknya kolonialisme. Perpecahan dan sengketa kekuasaan yang terjadi di dalam tubuh para elit monarki-monarki di Indonesia, menjadi pintu masuk bagi kolonialisme untuk menjajah.
Berbagai pergolakan dan tantangan dari seperti tahun 1948, 1952 dan 1965 berhasil dilalui Bangsa Indonesia, tanpa berujung perang saudara, walaupun tekanan dan hasutan dari luar merebak.
Kolonialisme tidak hanya menghapuskan wilayah suatu negara, akan tetapi identitas suatu bangsa. Sekian tahun lamanya, identitas bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara hancur. Untuk bepergian ke luar negeri, baik itu berwisata atau belajar bahkan berhaji, Bangsa Indonesia saat itu harus mengenakan paspor Hindia Belanda.
Saat ini kita melihat negara-negara seperti Suriah dan Libya yang masih terjadi perang saudara, akibat permasalahan identitas yang didasarkan pemahaman agama yang salah. Jutaan jiwa tiada, cacat, hilang dan bahkan kehilangan identitasnya.
Industrialisme muda yang saat ini menjelma menjadi gerakan Kiri-Baru di berbagai negara tidak hanya menghilangkan identitas bangsa lain, akan tetapi identitas bangsanya sendiri.
Arus imigran ilegal di negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat yang dimanfaatkan sebagai tenaga industri yang murah, telah menimbulkan kecemburuan sosial dengan penduduk asli.
Kebijakan pemerintah negara-negara tersebut yang memberikan kewarganegaraan kepada imigran bahkan yang berstatus ilegal, menimbulkan pertanyaan mendasar akan dasar dan standar akan status dan identitas kewarganegaraan bangsa dan negara mereka sendiri.
Dengan mudahnya, pertanyaan mendasar tersebut disebut sebagai bagian dari kejatahan kemanusiaan oleh para aktifis Kiri-Baru.
Mesir yang menjadi pusat pergerakan politik di Timur Tengah, terus berupaya menyadarkan para stake-holders negara-negara Eropa dan Amerika Serikat akan perlunya menyelesaikan krisis Timur Tengah khususnya Suriah dan Libya, dengan dialog, yang juga bertujuan agar mengurangi arus imigran ilegal, yang mengganggu stabilitas sosial dan keamanan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat selama ini.
Kondisi Indonesia dan dunia internasional saat ini telah dianalisis oleh Bung Karno sejak dekade 1930-an. Industrialisme muda yang berkuasa atas modal, merupakan bahaya tidak hanya bagi kondisi ekonomi akan tetapi juga budaya dan identitas suatu bangsa.
Pemikiran dan manhaj berfikir Bung Karno yang tajam perlu dilestarikan. Akan menjadi bekal penting bagi generasi masa depan Bangsa Indonesia yang saat ini tengah dilanda krisis identitas kewarganegaraannya.
_____
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc, Alumni Jurusan Sejarah Universitas Al Azhar Cairo Mesir
2 Komentar
2024-11-29 00:19:25
Muiaia
eriacta anger - sildigra hideous forzest urge
2024-11-30 22:01:42
Mffoii
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓі её‚иІ© гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ - гѓ‰г‚シサイクリン通販で買えますか г‚ўг‚гѓҐгѓ†г‚¤гѓійЊ 5 mg еј·гЃ•
2 Komentar
2024-11-29 00:19:25
Muiaia
eriacta anger - sildigra hideous forzest urge
2024-11-30 22:01:42
Mffoii
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓі её‚иІ© гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ - гѓ‰г‚シサイクリン通販で買えますか г‚ўг‚гѓҐгѓ†г‚¤гѓійЊ 5 mg еј·гЃ•
Tinggalkan Pesan