Pancaran Lailatul Qadar dalam Pribadi Manusia
Jasminto Selasa, 26-4-2022 | - Dilihat: 55

Oleh: Jasminto
Menahan lapar dari waktu subuh sampai magrib merupakan amalan lahir yang menjadi rukun puasa. Lebih dari itu, puasa adalah kemampuan menahan diri atas kesombongan, kemaksiatan, kerakusan, dan sifat-sifat jelek lain. Bahkan, menahan diri dari apa yang tidak diketahui adalah termasuk makna puasa secara terminologis.
Konsepsi tersebut kemudian menjadi perluasan makna puasa secara lahiriah menuju batiniah. Puasa lahiriah sebagai pijakan puasa secara batiniah terselubung banyak rahasia bagi seorang manusia. Rahasia tersebut menjadi buruan para pencari pahala di bulan Ramadan.
Salah satu yang diburu dan paling dinanti adalah Lailatul Qadar, yakni malam istimewa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan diyakini memiliki banyak kemuliaan, di antaranya pahala dilipatkan, dosa diampuni, dan doa dikabulkan.
Dari sekian keterangan tentang Lailatul Qadar, tidak ada yang dapat memastikan kapan itu terjadi: permulaan, pertengahan, atau justru di akhir Ramadan. Namun, banyak yang meyakini, berdasarkan keterangan hadis dan pendapat para ulama, malam itu terjadi di akhir Ramadan, tepatnya di malam-malam ganjil. Kendati demikian, pancaran dari mereka yang mendapatkan Lailatul Qadar dapat dilihat dari dampak yang diakibatkan.
Pancaran pertama adalah makrifat. Keterbatasan manusia dalam mengenal Tuhannya berkaitan dengan alam angan dan budi yang tecermin dari keterbatasan manusia pada tubuh zahir dan batinnya. Tanpa melihat Tuhan secara zahir, manusia mencoba mengenal Tuhan dengan menghadirkan-Nya dalam rasa.
Puasa merupakan refleksi seorang hamba yang mengenal Tuhannya. Ia melaksanakan ibadah tanpa ada saksi dan bukti—kecuali keyakinan—bahwa Tuhan menyaksikan atas ibadah yang dilakukannya. Pancaran ini akan memunculkan sikap taubat, menyadari segala dosa dan salah, kemudian memperbaikinya dengan perbuatan yang baik, serta tidak mengulangi dosa dan salah di masa mendatang.
Pancaran kedua adalah mukasyafah. Amal puasa telah menenggelamkan sifat-sifat tercela manusia sehingga yang tampak adalah sifat-sifat terpuji Melalui amaliah puasa tersebut, seorang manusia menyadari bahwa segala kebaikan diukur berdasarkan atas keikhlasan seorang hamba dalam beribadah kepada-Nya.
Amaliah ini menyadarkan manusia akan sifat-sifat tercela yang kemudian menjadikannya lebih rendah hati dalam memandang dunia dan kehidupan. Bentuk kerendahan hati itu tecermin dalam sikap wara’, zuhud, dan fakir. Ketiganya merupakan cara pandang seorang manusia atas kebutuhan duniawi yang merupakan sumber kemunculan sifat tercela manusia.
Pancaran ketiga adalah musyahadah, yakni penyaksian kalbu manusia atas kebesaran dan kekuasaan Tuhan, sehingga menjadikan manusia lebih arif. Puasa yang hanya disaksikan diri manusia itu sendiri dan Tuhan adalah bentuk keyakinan manusia bahwa Tuhannya selalu menyertainya.
Keyakinan ini melahirkan sifat sabar dalam diri manusia, karena apa yang terjadi dalam kehidupannya dirasakan sebagai ujian dan latihan atas keputusan-Nya. Sabar secara umum bermakna menahan diri dari gelisah, cemas, dan amarah. Menahan lidah dari keluh kesah. Menahan anggota tubuh dari kekacauan.
Pancaran keempat adalah mahabah, yakni munculnya kerinduan untuk bersua dengan-Tuhan dalam suka-cita. Dalam hal ini, puasa menjadikan seorang manusia akrab dengan keheningan bersama-Nya melalui zikir, iktikaf, dan kajian ilmu, sehingga rasa cinta hadir dalam relung jiwanya.
Dalam pancaran ini, manusia telah menemukan hakikat diri atas Tuhan-Nya, sehingga amal ibadah merupakan panggilan cinta yang dilakukan dengan suka cita sekaligus betah berlama-lama atasnya. Sikap yang tampil dalam pancaran ini adalah tawakal, yakni kemampuan manusia menerima apa yang menjadi keputusan-Nya setelah apa yang diusahakannya dengan lapang dada dan penuh cinta.
Pancaran kelima adalah muhith, yakni penyadaran seorang manusia atas segala hal yang diawasi oleh Tuhan, sehingga tiada rahasia yang tersembunyi dari-Nya. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah-lah yang menjadi rahasia manusia. Pancaran ini akan menjadikan manusia memiliki sifat rida atas keputusan Tuhan.
Rida memiliki arti kepuasan sempurna dengan kehendak atau keputusan Tuhan. Rida merupakan strategi mengendalikan diri atas keinginan yang menjadikan manusia tidak bersyukur atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya selama ini.
Demikianlah setidaknya pancaran Lailatul Qadar yang dapat diamati dalam diri manusia yang telah mendapatkannya pada malam-malam Ramadan yang mulia itu.
_____
Dr Jasminto, Dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang
- Artikel Terpuler -
Pancaran Lailatul Qadar dalam Pribadi Manusia
Jasminto Selasa, 26-4-2022 | - Dilihat: 55

Oleh: Jasminto
Menahan lapar dari waktu subuh sampai magrib merupakan amalan lahir yang menjadi rukun puasa. Lebih dari itu, puasa adalah kemampuan menahan diri atas kesombongan, kemaksiatan, kerakusan, dan sifat-sifat jelek lain. Bahkan, menahan diri dari apa yang tidak diketahui adalah termasuk makna puasa secara terminologis.
Konsepsi tersebut kemudian menjadi perluasan makna puasa secara lahiriah menuju batiniah. Puasa lahiriah sebagai pijakan puasa secara batiniah terselubung banyak rahasia bagi seorang manusia. Rahasia tersebut menjadi buruan para pencari pahala di bulan Ramadan.
Salah satu yang diburu dan paling dinanti adalah Lailatul Qadar, yakni malam istimewa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan diyakini memiliki banyak kemuliaan, di antaranya pahala dilipatkan, dosa diampuni, dan doa dikabulkan.
Dari sekian keterangan tentang Lailatul Qadar, tidak ada yang dapat memastikan kapan itu terjadi: permulaan, pertengahan, atau justru di akhir Ramadan. Namun, banyak yang meyakini, berdasarkan keterangan hadis dan pendapat para ulama, malam itu terjadi di akhir Ramadan, tepatnya di malam-malam ganjil. Kendati demikian, pancaran dari mereka yang mendapatkan Lailatul Qadar dapat dilihat dari dampak yang diakibatkan.
Pancaran pertama adalah makrifat. Keterbatasan manusia dalam mengenal Tuhannya berkaitan dengan alam angan dan budi yang tecermin dari keterbatasan manusia pada tubuh zahir dan batinnya. Tanpa melihat Tuhan secara zahir, manusia mencoba mengenal Tuhan dengan menghadirkan-Nya dalam rasa.
Puasa merupakan refleksi seorang hamba yang mengenal Tuhannya. Ia melaksanakan ibadah tanpa ada saksi dan bukti—kecuali keyakinan—bahwa Tuhan menyaksikan atas ibadah yang dilakukannya. Pancaran ini akan memunculkan sikap taubat, menyadari segala dosa dan salah, kemudian memperbaikinya dengan perbuatan yang baik, serta tidak mengulangi dosa dan salah di masa mendatang.
Pancaran kedua adalah mukasyafah. Amal puasa telah menenggelamkan sifat-sifat tercela manusia sehingga yang tampak adalah sifat-sifat terpuji Melalui amaliah puasa tersebut, seorang manusia menyadari bahwa segala kebaikan diukur berdasarkan atas keikhlasan seorang hamba dalam beribadah kepada-Nya.
Amaliah ini menyadarkan manusia akan sifat-sifat tercela yang kemudian menjadikannya lebih rendah hati dalam memandang dunia dan kehidupan. Bentuk kerendahan hati itu tecermin dalam sikap wara’, zuhud, dan fakir. Ketiganya merupakan cara pandang seorang manusia atas kebutuhan duniawi yang merupakan sumber kemunculan sifat tercela manusia.
Pancaran ketiga adalah musyahadah, yakni penyaksian kalbu manusia atas kebesaran dan kekuasaan Tuhan, sehingga menjadikan manusia lebih arif. Puasa yang hanya disaksikan diri manusia itu sendiri dan Tuhan adalah bentuk keyakinan manusia bahwa Tuhannya selalu menyertainya.
Keyakinan ini melahirkan sifat sabar dalam diri manusia, karena apa yang terjadi dalam kehidupannya dirasakan sebagai ujian dan latihan atas keputusan-Nya. Sabar secara umum bermakna menahan diri dari gelisah, cemas, dan amarah. Menahan lidah dari keluh kesah. Menahan anggota tubuh dari kekacauan.
Pancaran keempat adalah mahabah, yakni munculnya kerinduan untuk bersua dengan-Tuhan dalam suka-cita. Dalam hal ini, puasa menjadikan seorang manusia akrab dengan keheningan bersama-Nya melalui zikir, iktikaf, dan kajian ilmu, sehingga rasa cinta hadir dalam relung jiwanya.
Dalam pancaran ini, manusia telah menemukan hakikat diri atas Tuhan-Nya, sehingga amal ibadah merupakan panggilan cinta yang dilakukan dengan suka cita sekaligus betah berlama-lama atasnya. Sikap yang tampil dalam pancaran ini adalah tawakal, yakni kemampuan manusia menerima apa yang menjadi keputusan-Nya setelah apa yang diusahakannya dengan lapang dada dan penuh cinta.
Pancaran kelima adalah muhith, yakni penyadaran seorang manusia atas segala hal yang diawasi oleh Tuhan, sehingga tiada rahasia yang tersembunyi dari-Nya. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah-lah yang menjadi rahasia manusia. Pancaran ini akan menjadikan manusia memiliki sifat rida atas keputusan Tuhan.
Rida memiliki arti kepuasan sempurna dengan kehendak atau keputusan Tuhan. Rida merupakan strategi mengendalikan diri atas keinginan yang menjadikan manusia tidak bersyukur atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya selama ini.
Demikianlah setidaknya pancaran Lailatul Qadar yang dapat diamati dalam diri manusia yang telah mendapatkannya pada malam-malam Ramadan yang mulia itu.
_____
Dr Jasminto, Dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang
0 Komentar
Tinggalkan Pesan