Nuzulul Qur’an
Muhammad Arifin Ismail Senin, 25-4-2022 | - Dilihat: 39

Oleh: Muhammad Arifin Ismail
Ramadan merupakan bulan turunnya Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an sendiri bahwa “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur’an” (QS Al-Baqarah: 185).
Disebutkan bahwa pada mulanya Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah telah tersimpan di Lauh Mahfudz (QS Al-Buruj: 22), kemudian diturunkan ke langit dunia, disimpan di suatu tempat bernama Baitul Izzah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan:
“Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW sesuai kejadian dalam rentang waktu selama dua puluh tiga tahun” (HR Hakim).
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Kitab Suci Al-Qur’an itu diturunkan dalam tiga kali tahapan. Tahapan yang pertama, Al-Qur’an, sebagai kalam Ilahi, disimpan di Lauh Mahfudz, sebuah tempat yang terpelihara dan berada di langit ke tujuh. Pada tahapan pertama ini, proses dan cara penyimpanannya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah SWT.
Tahapan yang kedua, Al-Qur’an diturunkan (memakai istilah komputer, Al-Qur’an di-download) secara menyeluruh dari tempat penyimpanan di Lauh Mahfudz tadi ke tempat penyimpanan kedua, yaitu Baitul Izzah di langit pertama.
Penurunan Al-Qur’an yang kedua ini terjadi pada malam yang disebut dengan Lailatul Qadar, dan hanya terjadi sekali dalam waktu yang juga hanya diketahui oleh Allah SWT sendiri. Peristiwa turunnya Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar ini dinyatakan:
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an pada waktu Lailatul Qadar” (QS Al-Qadar: 1).
Agar manusia tidak melupakan peristiwa mulia tersebut, pada setiap bulan Ramadan terdapat malam Lailatul Qadar. Hanya saja, Lailatul Qadar yang terjadi pada setiap bulan Ramadan tersebut bukan lagi merupakan malam turunnya Al-Qur’an, namun menjadi malam ditentukannya segala takdir dan ketentuan nasib makhluk untuk setahun yang akan datang.
Firman Allah SWT,“Sesunguhnya Kami turunkan kitab suci Al-Qur’an itu pada malam yang penuh berkah. Sesungguhnya Kami yang memberi peringatan. Pada malam itu ditentukan segala urusan dengan penuh hikmah" (QS Ad-Dukhan: 3-5).
Adapun tahapan yang ketiga diturunkannya Al-Qur’an yang tersimpan di Baitul Izzah tersebut kepada Nabi Muhammad SAW bermula pada malam 17 Ramadan, ketika Nabi Muhammad SAW berumur 40 tahun, 6 bulan, 8 hari, yaitu tanggal 6 Agustus 610 Masehi.
Pada malam itu, turun lima ayat pertama dari surah Al-Alaq, yaitu “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan segala sesuatu. Menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya“ (QS Al-Alaq: 1-5).
Inilah ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA yang menyatakan:
“Sewaktu Nabi Muhammad SAW sedang berada di gua Hira, maka datang malaikat Jibril AS dan berkata kepadanya: Bacalah! maka Nabi menjawab: Aku tidak pandai membaca. Rasulullah bercerita: Aku didekap olehnya sehingga aku sangat sukar untuk bergerak, kemudian aku dilepaskan dari dekapan dan dia berkata: Bacalah! Aku menjawab: Aku tidak pandai membaca. Dia mendekapku kali kedua sebagaimana yang pertama, lalu dilepaskan lagi, dan berkata: Bacalah! Aku menjawab: Aku tidak pandai membaca. Dia mendekapku untuk ketiga kali, kemudian melepaskanku dan berkata lagi: Bacalah! Aku menjawab: Aku tidak pandai membaca. Dia mendekapku kali ketiga, lalu melepaskanku, kemudan dia membacakan untukku kalimat: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan segala sesuatu. Menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (surah Al-Alaq: 1-5)”.
Itulah hadis tentang turunnya ayat Al-Qur’an pertama kali, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Riwayat Imam Bukhari.
Peristiwa turunnya ayat pertama kepada Nabi Muhammad SAW di gua Hira tersebut dinamakan dengan peristiwa Nuzulul Qur’an. Sejak peristiwa tersebut, maka ayat-ayat Al-Qur’an selanjutnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai kejadian yang berlaku selama dua puluh dua tahun, dua bulan, dua puluh dua hari, sehingga turun ayat yang terakhir yang bermakna:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan seluruh ajaran agama bagi kamu. Aku telah sempurnakan seluruh nikmat, dan Aku rida menjadikan Islam sebagai agama“ (QS Al-Maidah: 3).
Ayat tersebut turun pada waktu Nabi Muhammad SAW sedang melaksanakan ibadah haji, ketika beliau berada di Padang Arafah, 9 Zulhijah, tahun ke-9 Hijriah.
Proses penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur ini dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Berkatalah orang-orang yang kafir: Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil [teratur dan benar]” (QS Al-Furqan: 32).
Ada beberapa cara wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadis:
Jalan pertama, malaikat Jibril AS datang menemui Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia dan mengajarkan ayat-ayat yang akan disampaikan, kemudian Nabi segera menghafalkan ayat-ayat yang dibacakan tersebut. Sebagai contoh ialah turunnya ayat pertama sampai ayat kelima dari surah Al-Alaq tadi. Yaitu, Malaikat Jibril AS datang menjumpai Rasulullah sewaktu beliau sedang berada di gua Hira.
Jalan kedua, malaikat Jibril AS memasukkan wahyu itu ke dalam hati sanubari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Nabi tidak melihat sesuatu apa pun. Hanya beliau merasa bahwa wahyu itu sudah ada di dalam hati. Proses yang kedua ini dinyatakan Al-Qur’an, “Malaikat Jibril menyampaikan wahyu itu ke dalam hati sanubariku“ (QS Al-Syu’ara: 53).
Jalan ketiga, wahyu Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW seperti suara lonceng, sebagaimana dinyatakan bahwa seorang sahabat Nabi bernama Al-Harits bin Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Terkadang wahyu datang kepadaku seperti suara lonceng. Inilah yang paling berat bagiku. Ia memberitakan sesuatu dan aku memahami apa yang ia ucapkan. Dan terkadang malaikat datang dalam wujud seorang laki-laki, lalu dia berbicara padaku dan aku paham apa yang diucapkannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Al-Qur’an, proses ini dinyatakan, “Dan tidak ada bagi seorang manusia bahwa Allah akan berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau sesuatu yang didengar dari belakang tabir atau dengan mengutus malaikat lalu mewahyukan apa yang dikehendaki-Nya kepadanya dengan seizin-Nya” (QS As-Syura: 51).
Jalan keempat adalah wahyu disampaikan Allah langsung Ketika Nabi Muhammad SAW berjumpa dengan Allah, seperti pada malam Israk Mikraj. Dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Maka Allah mewahyukan kepadanya apa yang akan diwahyukan” (QS An-Najm: 10).
Ayat Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW pada waktu beliau berjumpa dengan Allah pada malam Israk Mikraj adalah QS Al-Baqarah: 284-286, sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud RA bahwa:
“Pada waktu mikraj, Nabi Muhammad mendapat tiga pemberian, yaitu salat lima waktu, tiga ayat terakhir dari surah Al-Baqarah (ayat 284, 285, dan 286), dan ampunan bagi umatnya yang tidak berbuat syirik terhadap Allah“ (HR Muslim dan Tirmidzi).
Demikianlah sejarah Nuzulul Qur’an yang terjadi kepada Nabi Muhammad SAW. Agar manusia tidak melupakan peristiwa tersebut, maka setiap malam tujuh belas Ramadan, umat Islam memperingati Nuzulul Qur’an.
Peristiwa Nuzulul Qur’an perlu diperingati setiap tahun agar memberikan keyakinan kepada umat bahwa Al-Qur’an memang benar-benar wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat pertama yang turun adalah Iqra’ yang dibawa dan dibacakan oleh malaikat Jibril AS sewaktu Nabi Muhammad SAW sedang berada di gua Hira.
Keyakinan ini sangat perlu bagi umat Islam, sebab sampai sekarang—terlebih lagi pada masa keterbukaan informasi sekarang ini—masih ada saja orang, terutama orientalis dan pengikut orientalis, yang ingin membuat keraguan kepada umat Islam terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan dengan menyatakan bahwa Al-Qur’an itu bukan wahyu, melainkan hanya karangan Nabi Muhammad SAW.
Di antara tokoh orientalis yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW ialah A Sprenger, William Muir, Theodor Noldeke, Ignaz Goldziher, W Wellhausen, Leone Caetani, David S Margoliouth, Richard Bell, dan Montgomery Watt.
Pendapat orientalis tersebut diikuti oleh sarjana Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang berkata bahwa Jibril AS menurunkan kepada Nabi hanya makna Al-Qur’an saja, dan Nabi mengetahui makna tersebut kemudian mengungkapkannya dengan bahasa Arab.
Memperingati Nuzulul Qur’an setiap tahun ini merupakan usaha untuk memberikan edukasi dan kesadaran kepada umat Islam bahwa Al-Qur’an itu turun kepada Nabi Muhammad SAW bukan hanya secara makna, tetapi juga secara lafaz dan bacaan, sebagaimana dalam kisah turunnya ayat pertama di atas, yaitu Malaikat Jibril AS mengucapkan lafaz dari ayat Iqra’ dan seterusnya, baru kemudian Nabi Muhammad SAW mengulangi dan menghafalkan lafaz ayat sebagaimana dibacakan malaikat.
Peringatan Nuzulul Qur’an juga untuk memberikan kesadaran agar ketika membaca Al-Qur’an kita berusaha untuk memahami makna dari ayat-ayat tersebut, sehingga makna ayat-ayat tersebut dapat diturunkan ke dalam hati sanubari dan akal akan memikirkan bagaimana melaksanakannya dalam tindakan sehari-hari. Inilah sikap dari peringatan Nuzulul Qur’an.
Sikap Nuzulul Qur’an inilah yang ditanamkan oleh Mir Muhammad kepada anaknya, Muhammad Iqbal, sehingga ia menjadi penyair dan ahli filsafat yang terkenal dari Pakistan. Muhamad Iqbal sejak kecil selalu membaca Al-Qur’an setelah usai salat Subuh.
Jika anaknya membaca Al-Qur’an, maka Mir Muhammad bertanya, “Wahai anakku, apa yang sedang kamu kerjakan?” Iqbal menjawab, “Aku sedang membaca Al-Qur’an, Ayah.” Setiap hari Mir Muhammad bertanya dengan pertanyaan yang sama dan Iqbal pun menjawab dengan jawaban yang sama.
Pada suatu hari, Iqbal kecil bertanya kepada Mir Muhammad, ”Wahai ayah, setiap kali aku membaca Al-Qur’an, engkau selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama. Apakah maksud pertanyaan ini, wahai Ayah?”
Mir Muhammad menjawab, ”Wahai anakku, aku selalu menyapamu demikian ketika engkau sedang membaca Al-Qur’an agar engkau benar-benar menyadari bahwa engkau sedang membaca Al-Qur’an, dan dengan pertanyaan itu seakan-akan aku berkata: Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ayat itu diturunkan dan ditujukan kepadamu yang sedang membaca ayat tersebut”.
Semenjak itu, Iqbal selalu membaca Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami setiap ayat yang dibaca, dengan meyakini bahwa setiap ayat yang dibaca itu merupakan perintah dan pedoman hidup yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
Sikap dan usaha untuk membaca dan memahami makna Al-Qur’an ke dalam hati sanubari inilah yang sepatutnya dapat kita lakukan setiap membaca kalam Ilahi dan kita dapat merasakan adanya komunikasi langsung dengan Tuhan dalam setiap ayat yang dibaca. Sikap Nuzulul Qur’an inilah yang akhirnya menjadikan Iqbal selalu hidup dalam petunjuk Al-Qur’an.
Sejarah hidupnya mencatat bahwa setiap malam Iqbal selalu membaca dan mempelajari Al-Qur’an dengan penuh penghayatan akan makna yang terkandung di dalamnya. Penghayatan makna Al-Qur’an itu menjadi inspirasi baginya untuk menuliskan syair dan puisi besok hari, sehingga syairnya sarat dengan niai-nilai kehidupan.
“Iqbal setiap malam membaca Al-Qur’an dengan menangis, sehingga dikatakan bahwa pembantu rumahnya terpaksa menjemur Al-Qur’an yang basah oleh air mata Iqbal,” tulis Annemarie Schimmel dalam Gabriel Wing: A Study of Religious Idea of Muhammad Iqbal.
Jadi, inilah sikap Nuzulul Qur’an yang dilakukan Iqbal setiap kali membaca Al-Qur’an, kemudian mengambil inspirasi dari intisari ayat tersebut yang dituliskan dalam bait-bait puisi kehidupan.
Sikap Nuzulul Qur’an ini merupakan sunah Rasulullah. Terbukti sewaktu sahabat Nabi bertanya kepada Sayyidatina Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah, maka Aisyah RA menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an“ (HR Muslim). Sikap dan pengamalan Al-Qur’an semacam ini juga dilaksanakan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW, sebagaimanna dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dari Usman bin Affan:
“Rasulullah senantiasa membacakan sepuluh ayat kepada mereka, dan mereka tidak pernah pindah ke sepuluh ayat lain sebelum mereka mempelajari pengamalannya. Sehingga, kami selalu mempelajari Al-Qur’an dan pengamalannya sekaligus“ (Tafsir Al-Qurtubi, 1/39).
Semoga setiap peringatan Nuzulul Qur’an dapat memberikan keyakinan terhadap kebenaran wahyu Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW di tengah kerancuan pendapat yang meragukan keautentikan Kitab Suci tersebut, sekaligus peringatan tersebut agar kita dapat melihat sejauh mana kita telah mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
_____
Muhammad Arifin Ismail, Mantan Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia
- Artikel Terpuler -
Nuzulul Qur’an
Muhammad Arifin Ismail Senin, 25-4-2022 | - Dilihat: 39

Oleh: Muhammad Arifin Ismail
Ramadan merupakan bulan turunnya Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an sendiri bahwa “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur’an” (QS Al-Baqarah: 185).
Disebutkan bahwa pada mulanya Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah telah tersimpan di Lauh Mahfudz (QS Al-Buruj: 22), kemudian diturunkan ke langit dunia, disimpan di suatu tempat bernama Baitul Izzah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan:
“Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW sesuai kejadian dalam rentang waktu selama dua puluh tiga tahun” (HR Hakim).
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Kitab Suci Al-Qur’an itu diturunkan dalam tiga kali tahapan. Tahapan yang pertama, Al-Qur’an, sebagai kalam Ilahi, disimpan di Lauh Mahfudz, sebuah tempat yang terpelihara dan berada di langit ke tujuh. Pada tahapan pertama ini, proses dan cara penyimpanannya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah SWT.
Tahapan yang kedua, Al-Qur’an diturunkan (memakai istilah komputer, Al-Qur’an di-download) secara menyeluruh dari tempat penyimpanan di Lauh Mahfudz tadi ke tempat penyimpanan kedua, yaitu Baitul Izzah di langit pertama.
Penurunan Al-Qur’an yang kedua ini terjadi pada malam yang disebut dengan Lailatul Qadar, dan hanya terjadi sekali dalam waktu yang juga hanya diketahui oleh Allah SWT sendiri. Peristiwa turunnya Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar ini dinyatakan:
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an pada waktu Lailatul Qadar” (QS Al-Qadar: 1).
Agar manusia tidak melupakan peristiwa mulia tersebut, pada setiap bulan Ramadan terdapat malam Lailatul Qadar. Hanya saja, Lailatul Qadar yang terjadi pada setiap bulan Ramadan tersebut bukan lagi merupakan malam turunnya Al-Qur’an, namun menjadi malam ditentukannya segala takdir dan ketentuan nasib makhluk untuk setahun yang akan datang.
Firman Allah SWT,“Sesunguhnya Kami turunkan kitab suci Al-Qur’an itu pada malam yang penuh berkah. Sesungguhnya Kami yang memberi peringatan. Pada malam itu ditentukan segala urusan dengan penuh hikmah" (QS Ad-Dukhan: 3-5).
Adapun tahapan yang ketiga diturunkannya Al-Qur’an yang tersimpan di Baitul Izzah tersebut kepada Nabi Muhammad SAW bermula pada malam 17 Ramadan, ketika Nabi Muhammad SAW berumur 40 tahun, 6 bulan, 8 hari, yaitu tanggal 6 Agustus 610 Masehi.
Pada malam itu, turun lima ayat pertama dari surah Al-Alaq, yaitu “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan segala sesuatu. Menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya“ (QS Al-Alaq: 1-5).
Inilah ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA yang menyatakan:
“Sewaktu Nabi Muhammad SAW sedang berada di gua Hira, maka datang malaikat Jibril AS dan berkata kepadanya: Bacalah! maka Nabi menjawab: Aku tidak pandai membaca. Rasulullah bercerita: Aku didekap olehnya sehingga aku sangat sukar untuk bergerak, kemudian aku dilepaskan dari dekapan dan dia berkata: Bacalah! Aku menjawab: Aku tidak pandai membaca. Dia mendekapku kali kedua sebagaimana yang pertama, lalu dilepaskan lagi, dan berkata: Bacalah! Aku menjawab: Aku tidak pandai membaca. Dia mendekapku untuk ketiga kali, kemudian melepaskanku dan berkata lagi: Bacalah! Aku menjawab: Aku tidak pandai membaca. Dia mendekapku kali ketiga, lalu melepaskanku, kemudan dia membacakan untukku kalimat: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan segala sesuatu. Menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (surah Al-Alaq: 1-5)”.
Itulah hadis tentang turunnya ayat Al-Qur’an pertama kali, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Riwayat Imam Bukhari.
Peristiwa turunnya ayat pertama kepada Nabi Muhammad SAW di gua Hira tersebut dinamakan dengan peristiwa Nuzulul Qur’an. Sejak peristiwa tersebut, maka ayat-ayat Al-Qur’an selanjutnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai kejadian yang berlaku selama dua puluh dua tahun, dua bulan, dua puluh dua hari, sehingga turun ayat yang terakhir yang bermakna:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan seluruh ajaran agama bagi kamu. Aku telah sempurnakan seluruh nikmat, dan Aku rida menjadikan Islam sebagai agama“ (QS Al-Maidah: 3).
Ayat tersebut turun pada waktu Nabi Muhammad SAW sedang melaksanakan ibadah haji, ketika beliau berada di Padang Arafah, 9 Zulhijah, tahun ke-9 Hijriah.
Proses penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur ini dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Berkatalah orang-orang yang kafir: Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil [teratur dan benar]” (QS Al-Furqan: 32).
Ada beberapa cara wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadis:
Jalan pertama, malaikat Jibril AS datang menemui Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia dan mengajarkan ayat-ayat yang akan disampaikan, kemudian Nabi segera menghafalkan ayat-ayat yang dibacakan tersebut. Sebagai contoh ialah turunnya ayat pertama sampai ayat kelima dari surah Al-Alaq tadi. Yaitu, Malaikat Jibril AS datang menjumpai Rasulullah sewaktu beliau sedang berada di gua Hira.
Jalan kedua, malaikat Jibril AS memasukkan wahyu itu ke dalam hati sanubari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Nabi tidak melihat sesuatu apa pun. Hanya beliau merasa bahwa wahyu itu sudah ada di dalam hati. Proses yang kedua ini dinyatakan Al-Qur’an, “Malaikat Jibril menyampaikan wahyu itu ke dalam hati sanubariku“ (QS Al-Syu’ara: 53).
Jalan ketiga, wahyu Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW seperti suara lonceng, sebagaimana dinyatakan bahwa seorang sahabat Nabi bernama Al-Harits bin Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Terkadang wahyu datang kepadaku seperti suara lonceng. Inilah yang paling berat bagiku. Ia memberitakan sesuatu dan aku memahami apa yang ia ucapkan. Dan terkadang malaikat datang dalam wujud seorang laki-laki, lalu dia berbicara padaku dan aku paham apa yang diucapkannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Al-Qur’an, proses ini dinyatakan, “Dan tidak ada bagi seorang manusia bahwa Allah akan berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau sesuatu yang didengar dari belakang tabir atau dengan mengutus malaikat lalu mewahyukan apa yang dikehendaki-Nya kepadanya dengan seizin-Nya” (QS As-Syura: 51).
Jalan keempat adalah wahyu disampaikan Allah langsung Ketika Nabi Muhammad SAW berjumpa dengan Allah, seperti pada malam Israk Mikraj. Dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Maka Allah mewahyukan kepadanya apa yang akan diwahyukan” (QS An-Najm: 10).
Ayat Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW pada waktu beliau berjumpa dengan Allah pada malam Israk Mikraj adalah QS Al-Baqarah: 284-286, sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud RA bahwa:
“Pada waktu mikraj, Nabi Muhammad mendapat tiga pemberian, yaitu salat lima waktu, tiga ayat terakhir dari surah Al-Baqarah (ayat 284, 285, dan 286), dan ampunan bagi umatnya yang tidak berbuat syirik terhadap Allah“ (HR Muslim dan Tirmidzi).
Demikianlah sejarah Nuzulul Qur’an yang terjadi kepada Nabi Muhammad SAW. Agar manusia tidak melupakan peristiwa tersebut, maka setiap malam tujuh belas Ramadan, umat Islam memperingati Nuzulul Qur’an.
Peristiwa Nuzulul Qur’an perlu diperingati setiap tahun agar memberikan keyakinan kepada umat bahwa Al-Qur’an memang benar-benar wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat pertama yang turun adalah Iqra’ yang dibawa dan dibacakan oleh malaikat Jibril AS sewaktu Nabi Muhammad SAW sedang berada di gua Hira.
Keyakinan ini sangat perlu bagi umat Islam, sebab sampai sekarang—terlebih lagi pada masa keterbukaan informasi sekarang ini—masih ada saja orang, terutama orientalis dan pengikut orientalis, yang ingin membuat keraguan kepada umat Islam terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan dengan menyatakan bahwa Al-Qur’an itu bukan wahyu, melainkan hanya karangan Nabi Muhammad SAW.
Di antara tokoh orientalis yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW ialah A Sprenger, William Muir, Theodor Noldeke, Ignaz Goldziher, W Wellhausen, Leone Caetani, David S Margoliouth, Richard Bell, dan Montgomery Watt.
Pendapat orientalis tersebut diikuti oleh sarjana Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang berkata bahwa Jibril AS menurunkan kepada Nabi hanya makna Al-Qur’an saja, dan Nabi mengetahui makna tersebut kemudian mengungkapkannya dengan bahasa Arab.
Memperingati Nuzulul Qur’an setiap tahun ini merupakan usaha untuk memberikan edukasi dan kesadaran kepada umat Islam bahwa Al-Qur’an itu turun kepada Nabi Muhammad SAW bukan hanya secara makna, tetapi juga secara lafaz dan bacaan, sebagaimana dalam kisah turunnya ayat pertama di atas, yaitu Malaikat Jibril AS mengucapkan lafaz dari ayat Iqra’ dan seterusnya, baru kemudian Nabi Muhammad SAW mengulangi dan menghafalkan lafaz ayat sebagaimana dibacakan malaikat.
Peringatan Nuzulul Qur’an juga untuk memberikan kesadaran agar ketika membaca Al-Qur’an kita berusaha untuk memahami makna dari ayat-ayat tersebut, sehingga makna ayat-ayat tersebut dapat diturunkan ke dalam hati sanubari dan akal akan memikirkan bagaimana melaksanakannya dalam tindakan sehari-hari. Inilah sikap dari peringatan Nuzulul Qur’an.
Sikap Nuzulul Qur’an inilah yang ditanamkan oleh Mir Muhammad kepada anaknya, Muhammad Iqbal, sehingga ia menjadi penyair dan ahli filsafat yang terkenal dari Pakistan. Muhamad Iqbal sejak kecil selalu membaca Al-Qur’an setelah usai salat Subuh.
Jika anaknya membaca Al-Qur’an, maka Mir Muhammad bertanya, “Wahai anakku, apa yang sedang kamu kerjakan?” Iqbal menjawab, “Aku sedang membaca Al-Qur’an, Ayah.” Setiap hari Mir Muhammad bertanya dengan pertanyaan yang sama dan Iqbal pun menjawab dengan jawaban yang sama.
Pada suatu hari, Iqbal kecil bertanya kepada Mir Muhammad, ”Wahai ayah, setiap kali aku membaca Al-Qur’an, engkau selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama. Apakah maksud pertanyaan ini, wahai Ayah?”
Mir Muhammad menjawab, ”Wahai anakku, aku selalu menyapamu demikian ketika engkau sedang membaca Al-Qur’an agar engkau benar-benar menyadari bahwa engkau sedang membaca Al-Qur’an, dan dengan pertanyaan itu seakan-akan aku berkata: Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ayat itu diturunkan dan ditujukan kepadamu yang sedang membaca ayat tersebut”.
Semenjak itu, Iqbal selalu membaca Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami setiap ayat yang dibaca, dengan meyakini bahwa setiap ayat yang dibaca itu merupakan perintah dan pedoman hidup yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
Sikap dan usaha untuk membaca dan memahami makna Al-Qur’an ke dalam hati sanubari inilah yang sepatutnya dapat kita lakukan setiap membaca kalam Ilahi dan kita dapat merasakan adanya komunikasi langsung dengan Tuhan dalam setiap ayat yang dibaca. Sikap Nuzulul Qur’an inilah yang akhirnya menjadikan Iqbal selalu hidup dalam petunjuk Al-Qur’an.
Sejarah hidupnya mencatat bahwa setiap malam Iqbal selalu membaca dan mempelajari Al-Qur’an dengan penuh penghayatan akan makna yang terkandung di dalamnya. Penghayatan makna Al-Qur’an itu menjadi inspirasi baginya untuk menuliskan syair dan puisi besok hari, sehingga syairnya sarat dengan niai-nilai kehidupan.
“Iqbal setiap malam membaca Al-Qur’an dengan menangis, sehingga dikatakan bahwa pembantu rumahnya terpaksa menjemur Al-Qur’an yang basah oleh air mata Iqbal,” tulis Annemarie Schimmel dalam Gabriel Wing: A Study of Religious Idea of Muhammad Iqbal.
Jadi, inilah sikap Nuzulul Qur’an yang dilakukan Iqbal setiap kali membaca Al-Qur’an, kemudian mengambil inspirasi dari intisari ayat tersebut yang dituliskan dalam bait-bait puisi kehidupan.
Sikap Nuzulul Qur’an ini merupakan sunah Rasulullah. Terbukti sewaktu sahabat Nabi bertanya kepada Sayyidatina Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah, maka Aisyah RA menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an“ (HR Muslim). Sikap dan pengamalan Al-Qur’an semacam ini juga dilaksanakan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW, sebagaimanna dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dari Usman bin Affan:
“Rasulullah senantiasa membacakan sepuluh ayat kepada mereka, dan mereka tidak pernah pindah ke sepuluh ayat lain sebelum mereka mempelajari pengamalannya. Sehingga, kami selalu mempelajari Al-Qur’an dan pengamalannya sekaligus“ (Tafsir Al-Qurtubi, 1/39).
Semoga setiap peringatan Nuzulul Qur’an dapat memberikan keyakinan terhadap kebenaran wahyu Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW di tengah kerancuan pendapat yang meragukan keautentikan Kitab Suci tersebut, sekaligus peringatan tersebut agar kita dapat melihat sejauh mana kita telah mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
_____
Muhammad Arifin Ismail, Mantan Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia
0 Komentar
Tinggalkan Pesan