Ndoroisme di Antara Kita
Syaiful Islam Senin, 27-11-2023 | - Dilihat: 68
Oleh: Syaiful Islam
Terkenang pada tulisan Sang Muazin Bangsa, Buya Syafii Maarif, di Republika tentang “ndoroisme”. Sebuah mentalitas yang sangat melekat pada kultur masyarakat kita. Sebuah sifat yang oleh Buya disebut sebagai warisan feodalisme atau neo-feodalisme. Ia telah mengakar jauh sekali sejak zaman kerajaan-kerajaan dahulu.
Tulisan Buya ini mengguncang nalar saya tatkala melihat berbagai gelagat politik dalam negeri yang begitu memuakkan. Sebuah drama tonil elit yang pada dasarnya hanya bentuk lain dari kata tamak kuasa. Melihat mereka yang konon kabarnya hebat belaka, ternyata tidak lebih dari hamba sahaya yang tunduk patuh arahan Sang Ndoro penghuni rumah putih di bawah pohon Gambir.
Sifat dan tabiat orang kita sama sekali tidak berubah sejak zaman feodal dulu. Para amtenar maupun pejabat hanya gagah di depan wong cilik. Petantang-petenteng merasa paling hebat mempertontonkan kuasa di depan orang-orang alit. Tapi dihadapan Sang Ndoro malah ciut, bahkan jika perlu menjilat ujung sepatunya akan dilakukan jua. Tujuannya agar dosa tidak dibongkar ke muka masyarakat, atau agar bisa dilihat menjadi orang yang setia sehingga bisa dapat jatah tampuk kuasa.
Politik ndoroisme sama artinya jalan celaka bagi republik kita. Apapun sabda Sang Ndoro bisa dianggap titah mutlak yang harus dikerjakan meskipun menabrak etika, konstitusi, bahkan rakyat sendiri. Buya menyampaikan dalam tulisan itu berkait unggah-ungguh dalam menghadapi pemimpin, namun unggah-ungguh ini tidak berarti bahwa setiap ucapan pemimpin adalah perintah yang wajib dilaksanakan karena tak luput dari salah.
Andai kata Hang Jebat masih hidup, maka dia adalah manusia pertama yang akan berteriak depan rumah putih di bawah pohon Gambir sana seraya berkata “raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”.
Kemerdekaan dalam mentalitas ndoroisme terasa palsu. Jika merujuk pada ucapan Tjokroaminoto yang masyhur, maka zelfbestuur atau pemerintahan sendiri bertujuan meletakkan manusia Nusantara menjadi manusia merdeka seutuhnya, bukan lagi seperempat manusia.
Melihat situasi hari ini, siapakah yang kemudian menjadi manusia yang terbebas dari ndoroisme? Kebanyakan yang terbebas bukanlah mereka yang berpangkat luhur, bukan orang dengan “baju besi”, mereka yang bebas dari ndoroisme adalah manusia yang sering kali ada di jalan-jalan sana, bapak ojol, ibu penjual lotek, mas penjual bakso dan sebagainya. Sebagaimana definisi kemerdekaan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru yang terkenal lewat percakapan Minke dan Ibu nya yakni “tidak diperintah, dan juga tidak memerintah”.
Sedangkan wong pangkatan, para punggawa, para ksatria, merekalah yang sekarang justru mengidap ndoroisme akut. Bahkan sebagian sudah stadium akhir, sehingga apapun yang dikatakan Sang Ndoro akan dilaksanakan bak perintah Tuhan. Politik ndoroisme ini sudah diwanti-wanti, dan ternyata malah terjadi.
Pada dasarnya korban terbesar dari politik ndoroisme ini adalah rakyat alit, yang sama sekali tidak ikut campur dalam persoalan tonil elit. Dahulu sukar sekali membayangkan bagaimana raja-raja lalim disembah seolah mereka yang menentukan hidup dan mati, menentukan terbit dan tenggelamnya matahari, tapi hari ini begitu mudahnya melihat bagaimana ksatria hilang jiwa satrianya. Yang disangka besar ternyata kerdil keberaniannya, yang disangka lantang ternyata malah omong doang.
Manusia hanya takluk atas dua hal jika kita mengambil teorinya Machiavelli, yakni rasa takut dan rasa cinta. Bagaimana tidak takut jika dosa lama dibongkar semua? Bagaimana tidak cinta jika yang ditawarkan adalah singgasana kuasa? Sesungguhnya hanya manusia yang percaya Tuhan dan sentiasa merasa hanya Tuhan lah satu-satunya “ndoro” Yang Maha Kuasa yang akan selamat dari ndoroisme ini.
Buya Syafii Maarif juga menekankan pentingnya egalitarianisme, prinsip kesetaraan, kesetaraan dengan unggah-ungguh. Sebab jika kita mengambil hikmah mengapa Nabi Muhammad yang begitu luhur dan agung tidak kemudian memanggil orang-orang terdekatnya dengan kata pesuruh, bawahan, abdi, hamba, pembantu, atau kacung dan malah memanggil mereka semua dengan panggilan yang sangat baik yakni “sahabat”.
Panggilan sahabat terasa sangat egaliter, tidak menunjukkan relasi kuasa, tidak menunjukkan dominasi. Panggilan tersebut menunjukkan betapa Nabi Muhammad ialah seorang yang egaliter dan menjunjung penuh kesetaraan manusia. Nabi membuktikan bahwa tidak ada secuil pun dalam diri Sang Uswah memiliki karakter “ndoro”. Tercatat Nabi beberapa kali menerima masukan para sahabatnya tentang berbagai hal.
Praktik ndoroisme dalam politik kita sudah sedemikian parah. Sesuatu yang tercela dilakukan demi tidak kena PHK. Meskipun demikian, teladan masih banyak di sini, sebagaimana tadi sudah ditulis, bahwa ambilah teladan dari mereka yang tidak pernah dilihat dunia. Teladan dari mereka yang hidupnya tidak diperintah dan tidak juga memerintah. Mereka yang hidup dari hasil keringatnya sendiri tanpa memeras keringat orang lain. Mereka yang hidupnya tidak melihat manusia dari pangkat dan jabatannya. Mereka yang sering kali kita lihat sebelah mata. Manusia yang merdeka sepenuhnya.
Sebagai pangeling-ngeling, mengutip Khutbah Perpisahan Nabi Muhammad SAW. di Arafah tahun 10 Hijriyah: “Kamu semua adalah sama, tidak seorang pun lebih mulia dari yang lainnya kecuali dalam taqwa dan beramal saleh.”
- Artikel Terpuler -
Ndoroisme di Antara Kita
Syaiful Islam Senin, 27-11-2023 | - Dilihat: 68
Oleh: Syaiful Islam
Terkenang pada tulisan Sang Muazin Bangsa, Buya Syafii Maarif, di Republika tentang “ndoroisme”. Sebuah mentalitas yang sangat melekat pada kultur masyarakat kita. Sebuah sifat yang oleh Buya disebut sebagai warisan feodalisme atau neo-feodalisme. Ia telah mengakar jauh sekali sejak zaman kerajaan-kerajaan dahulu.
Tulisan Buya ini mengguncang nalar saya tatkala melihat berbagai gelagat politik dalam negeri yang begitu memuakkan. Sebuah drama tonil elit yang pada dasarnya hanya bentuk lain dari kata tamak kuasa. Melihat mereka yang konon kabarnya hebat belaka, ternyata tidak lebih dari hamba sahaya yang tunduk patuh arahan Sang Ndoro penghuni rumah putih di bawah pohon Gambir.
Sifat dan tabiat orang kita sama sekali tidak berubah sejak zaman feodal dulu. Para amtenar maupun pejabat hanya gagah di depan wong cilik. Petantang-petenteng merasa paling hebat mempertontonkan kuasa di depan orang-orang alit. Tapi dihadapan Sang Ndoro malah ciut, bahkan jika perlu menjilat ujung sepatunya akan dilakukan jua. Tujuannya agar dosa tidak dibongkar ke muka masyarakat, atau agar bisa dilihat menjadi orang yang setia sehingga bisa dapat jatah tampuk kuasa.
Politik ndoroisme sama artinya jalan celaka bagi republik kita. Apapun sabda Sang Ndoro bisa dianggap titah mutlak yang harus dikerjakan meskipun menabrak etika, konstitusi, bahkan rakyat sendiri. Buya menyampaikan dalam tulisan itu berkait unggah-ungguh dalam menghadapi pemimpin, namun unggah-ungguh ini tidak berarti bahwa setiap ucapan pemimpin adalah perintah yang wajib dilaksanakan karena tak luput dari salah.
Andai kata Hang Jebat masih hidup, maka dia adalah manusia pertama yang akan berteriak depan rumah putih di bawah pohon Gambir sana seraya berkata “raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”.
Kemerdekaan dalam mentalitas ndoroisme terasa palsu. Jika merujuk pada ucapan Tjokroaminoto yang masyhur, maka zelfbestuur atau pemerintahan sendiri bertujuan meletakkan manusia Nusantara menjadi manusia merdeka seutuhnya, bukan lagi seperempat manusia.
Melihat situasi hari ini, siapakah yang kemudian menjadi manusia yang terbebas dari ndoroisme? Kebanyakan yang terbebas bukanlah mereka yang berpangkat luhur, bukan orang dengan “baju besi”, mereka yang bebas dari ndoroisme adalah manusia yang sering kali ada di jalan-jalan sana, bapak ojol, ibu penjual lotek, mas penjual bakso dan sebagainya. Sebagaimana definisi kemerdekaan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru yang terkenal lewat percakapan Minke dan Ibu nya yakni “tidak diperintah, dan juga tidak memerintah”.
Sedangkan wong pangkatan, para punggawa, para ksatria, merekalah yang sekarang justru mengidap ndoroisme akut. Bahkan sebagian sudah stadium akhir, sehingga apapun yang dikatakan Sang Ndoro akan dilaksanakan bak perintah Tuhan. Politik ndoroisme ini sudah diwanti-wanti, dan ternyata malah terjadi.
Pada dasarnya korban terbesar dari politik ndoroisme ini adalah rakyat alit, yang sama sekali tidak ikut campur dalam persoalan tonil elit. Dahulu sukar sekali membayangkan bagaimana raja-raja lalim disembah seolah mereka yang menentukan hidup dan mati, menentukan terbit dan tenggelamnya matahari, tapi hari ini begitu mudahnya melihat bagaimana ksatria hilang jiwa satrianya. Yang disangka besar ternyata kerdil keberaniannya, yang disangka lantang ternyata malah omong doang.
Manusia hanya takluk atas dua hal jika kita mengambil teorinya Machiavelli, yakni rasa takut dan rasa cinta. Bagaimana tidak takut jika dosa lama dibongkar semua? Bagaimana tidak cinta jika yang ditawarkan adalah singgasana kuasa? Sesungguhnya hanya manusia yang percaya Tuhan dan sentiasa merasa hanya Tuhan lah satu-satunya “ndoro” Yang Maha Kuasa yang akan selamat dari ndoroisme ini.
Buya Syafii Maarif juga menekankan pentingnya egalitarianisme, prinsip kesetaraan, kesetaraan dengan unggah-ungguh. Sebab jika kita mengambil hikmah mengapa Nabi Muhammad yang begitu luhur dan agung tidak kemudian memanggil orang-orang terdekatnya dengan kata pesuruh, bawahan, abdi, hamba, pembantu, atau kacung dan malah memanggil mereka semua dengan panggilan yang sangat baik yakni “sahabat”.
Panggilan sahabat terasa sangat egaliter, tidak menunjukkan relasi kuasa, tidak menunjukkan dominasi. Panggilan tersebut menunjukkan betapa Nabi Muhammad ialah seorang yang egaliter dan menjunjung penuh kesetaraan manusia. Nabi membuktikan bahwa tidak ada secuil pun dalam diri Sang Uswah memiliki karakter “ndoro”. Tercatat Nabi beberapa kali menerima masukan para sahabatnya tentang berbagai hal.
Praktik ndoroisme dalam politik kita sudah sedemikian parah. Sesuatu yang tercela dilakukan demi tidak kena PHK. Meskipun demikian, teladan masih banyak di sini, sebagaimana tadi sudah ditulis, bahwa ambilah teladan dari mereka yang tidak pernah dilihat dunia. Teladan dari mereka yang hidupnya tidak diperintah dan tidak juga memerintah. Mereka yang hidup dari hasil keringatnya sendiri tanpa memeras keringat orang lain. Mereka yang hidupnya tidak melihat manusia dari pangkat dan jabatannya. Mereka yang sering kali kita lihat sebelah mata. Manusia yang merdeka sepenuhnya.
Sebagai pangeling-ngeling, mengutip Khutbah Perpisahan Nabi Muhammad SAW. di Arafah tahun 10 Hijriyah: “Kamu semua adalah sama, tidak seorang pun lebih mulia dari yang lainnya kecuali dalam taqwa dan beramal saleh.”
3 Komentar
2024-11-30 14:15:32
Vhroda
eriacta distinguish - apcalis official forzest research
2024-11-30 16:23:34
Lhxzho
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓійЂљиІ©гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ - г‚¤г‚Ѕгѓ€гѓ¬гѓЃгѓЋг‚¤гѓійЊ 20 mg еј·гЃ• イソトレチノイン гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ
2024-12-06 10:05:04
Nyjdtt
purchase crixivan generic - cheap generic confido voltaren gel online order
3 Komentar
2024-11-30 14:15:32
Vhroda
eriacta distinguish - apcalis official forzest research
2024-11-30 16:23:34
Lhxzho
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓійЂљиІ©гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ - г‚¤г‚Ѕгѓ€гѓ¬гѓЃгѓЋг‚¤гѓійЊ 20 mg еј·гЃ• イソトレチノイン гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ
2024-12-06 10:05:04
Nyjdtt
purchase crixivan generic - cheap generic confido voltaren gel online order
Tinggalkan Pesan