• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan

Nawal El Saadawi dan Perempuan Yang Menulis

Iefone Shiflana Habiba Senin, 21-4-2025 | - Dilihat: 88

banner

Oleh: Iefone Shiflana Habiba

Apa yang menyenangkan terlahir sebagai perempuan? Mengapa harus menjadi perempuan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berhenti semenjak tuntas menyelami perjalanan Nawal El Saadawi dalam “Perempuan Di Titik Nol”. Dari balik konstruksi  perempuan yang kerap dikerdilkan sebagai “cantik”, saya mulai memahami bahwa perempuan bukan sekadar realitas visual. Jauh daripada itu, realitas biologis seolah menjadi pertanda gemuruh medan tempur sosial, politik, bahkan spiritual bagi perempuan.

Melalui perjalanan hidup Firdaus, saya mulai menemukan cerminan perlawanan yang sudah lama bergejolak dalam diriku. Bahkan ajaibnya, ide-ide gila yang dituangkan dalam buku tersebut telah mendobrak norma dan kebiasaan terstruktur bagi setiap pembacanya. Yang dibangun dalam sudut pandang, pola pikir, gagasan baru, hingga meruntuhkan sistem patriarkal yang menjerat kaum marjinal.

Sebagai seorang aktivis kemanusiaan, Nawal El Saadawi tidak sekedar menulis melainkan membunyikan perlawanan. Berbagai macam perlawanan itu telah lahir sebagai esai-esai, buku fiksi maupun non fiksi yang mengguncang tatanan patriarki. Sejarah mencatat bahwa pengetahuan yang membebaskan sering kali dianggap berbahaya oleh kekuasaan. Tak terkecuali tulisan-tulisan Nawal, yang kerap menjadi sasaran pelarangan, bahkan kriminalisasi oleh negara.

Kejadian tersebut menyingkap tabir: bahwa narasi resmi negara telah dirancang di atas penyingkiran keterlibatan perempuan yang mengganggu stabilitas ideologis, terutama yang menyoal agama, seksualitas, dan kekuasaan. Bagi negara-negara dengan watak otoriter dan konservatif, karya Nawal tidak hanya dianggap “berbahaya”, tetapi juga dituduh merusak moral publik.

Pemikiran Nawal El Saadawi merefleksikan kompleksitas perlawanan terhadap berbagai bentuk dominasi yang berpola. Nawal secara konsisten menentang doktrin keagamaan yang digunakan untuk menegasikan hak-hak perempuan, dan membuka ruang diskusi tentang bagaimana agama seringkali dikonstruksi secara patriarkal untuk mempertahankan ketimpangan gender. Tak hanya itu, Nawal juga mengkritik warisan kolonialisme serta kepentingan politik blok Barat yang ikut membentuk struktur kekuasaan lokal yang represif terhadap perempuan.

Bahkan, menariknya lagi Nawal tidak segan menunjukkan kritiknya terhadap sesama feminis, terutama mereka yang memisahkan perjuangan kesetaraan gender dari persoalan kapitalisme dan kelas sosial. Karena baginya, pembebasan perempuan tidak lepas dari struktur ekonomi dan politik yang menindas secara sistemik. 

Ia juga menyoroti bagaimana dominasi kelas, monarki patriarkal, fundamentalisme agama, dan kapitalisme membentuk simpul-simpul penindasan yang saling menguatkan. Fokusnya pada isu-isu perempuan di Mesir sering dianggap anti otoritarian  karena ia tidak hanya mempertanyakan norma sosial yang ajeg, tetapi juga berani menantang otoritas agama dan negara yang seksis.

Inilah yang membuat perjuangannya dianggap membangkang sehingga memicu berbagai bentuk persekusi selama hidupnya. Namun, justru dari tekanan itulah suaranya semakin lantang, sekali lagi melalui tulisannya.

Mengangkat realitas sosial ke dalam tulisan, terkhusus yang bersinggungan dengan luka struktural perempuan adalah sebuah tindakan yang penuh dengan risiko. Nawal memahamu betul betapa bahanya menyuarakan kebenaran di tengah sistem-sistem yang terus menggerus.

Dalam “Perempuan di Titik Nol”, Nawal membuka realitas akan bagaimana tafsir agama selalu menjadi tameng untuk melanggengkan praktik penindasan, terutama bagi perempuan. Itulah sebabnya kita masih sering mendeng ar bentuk penindasan dengan narasi “kan kodratnya perempuan.” Padahal, itu hanyalah konstruksi belaka. 

Melalui “Perempuan di Titik Nol”, Nawal memberikan pandangan baru bahwa menjadi pelacur bisa lebih terhormat dibandingkan menjadi istri yang terjebak dalam kekerasan dan ketergantungan. Bagi Nawal, pelacur memiliki kendali dan merdeka, meski terbatas.

Sedang, banyak perempuan yang menjadi istri/ibu justru kehilangan merdekanya sendiri di balik tembok rumah tangga yang dilindungi norma agama dan sosial. Di sini, ia tidak sedang mengagungkan pekerjaan tersebut, melainkan melayangkan gugatan terhadap sistem yang menjadikan perempuan tak punya pilihan selain tunduk atau dilabeli “liar”.

Pendekatan tersebut, memberikan Nawal begitu banyak perlawanan sekaligus pertemanan baru. Tulisannya tidak hanya menghadirkan wacana feminisme yang berani, tetapi juga membangun fondasi pemikiran yang radikal, menegaskan kembali bahwa kebebasan perempuan sejati menuntut perombakan total terhadap sistem yang selama ini memproduksi ketidakadilan.

Dalam lanskap pengetahuan yang lama dikendalikan oleh dominasi laki-laki, tulisan perempuan menghadirkan nafas baru yang menginterupsi struktur wacana patriarkal. Dengan demikian, kekuatan perempuan yang menulis terletak pada kemampuannya membongkar nalar dominan dan melahirkan pengetahuan tandingan yang membebaskan.

Di tangan perempuan, masa depan tidak hanya dibayangkan, tetapi ditulis ulang. Bahkan dalam teori feminis terutama feminisme pascastrukturalis dan feminisme interseksional, tulisan perempuan adalah bentuk agency atau suatu cara membangun subjektivitas perempuan di tengah dominasi narasi laki-laki. Sehingga, dengan menulis perempuan mampu secara mandiri memproduksi narasi alternatif yang menciptakan cara pikir baru dan lebih setara.

Ini juga berlaku pada tokoh perempuan lainnya yang terbukti berdikari dengan tulisannya. Seperti R.A. Kartini dengan surat-suratnya, Rohana Kudus dengan tulisan jurnalistiknya, Siti Saroeng Putri dengan puisinya, dan tentu masih banyak lagi. Maka dari itu, sejarah perempuan yang menulis adalah refleksi masa depan dari sejarah pemberdayaan.

Seiring waktu, perempuan yang menulis akan terus memberikan cakrawala baru bagi generasi seterusnya. Dalam perjalanan ini, kita sama-sama menyadari bahwa tulisan perempuan menjadi perisai kuat yang tidak terbantahkan.

____

Iefone Shiflana Habiba, Aktivis gerakan perempuan

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Terpuler -

Cinta Tiada Bertepi
Erik Tauvani Somae
Rabu, 24-5-2023
thumb
Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Perundungan dan Pelecehan: Fenomena yang Mengancam Generasi
Hanifatun Jamil
Sabtu, 26-10-2024
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Purnawirawan dan Pilpres 2024
Iqbal Suliansyah
Sabtu, 14-10-2023
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Jumaldi Alfi: Kopi dan Seni
Iqbal Suliansyah
Senin, 3-2-2025
thumb
Lihat Semua Artikel....

Nawal El Saadawi dan Perempuan Yang Menulis

Iefone Shiflana Habiba Senin, 21-4-2025 | - Dilihat: 88

banner

Oleh: Iefone Shiflana Habiba

Apa yang menyenangkan terlahir sebagai perempuan? Mengapa harus menjadi perempuan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berhenti semenjak tuntas menyelami perjalanan Nawal El Saadawi dalam “Perempuan Di Titik Nol”. Dari balik konstruksi  perempuan yang kerap dikerdilkan sebagai “cantik”, saya mulai memahami bahwa perempuan bukan sekadar realitas visual. Jauh daripada itu, realitas biologis seolah menjadi pertanda gemuruh medan tempur sosial, politik, bahkan spiritual bagi perempuan.

Melalui perjalanan hidup Firdaus, saya mulai menemukan cerminan perlawanan yang sudah lama bergejolak dalam diriku. Bahkan ajaibnya, ide-ide gila yang dituangkan dalam buku tersebut telah mendobrak norma dan kebiasaan terstruktur bagi setiap pembacanya. Yang dibangun dalam sudut pandang, pola pikir, gagasan baru, hingga meruntuhkan sistem patriarkal yang menjerat kaum marjinal.

Sebagai seorang aktivis kemanusiaan, Nawal El Saadawi tidak sekedar menulis melainkan membunyikan perlawanan. Berbagai macam perlawanan itu telah lahir sebagai esai-esai, buku fiksi maupun non fiksi yang mengguncang tatanan patriarki. Sejarah mencatat bahwa pengetahuan yang membebaskan sering kali dianggap berbahaya oleh kekuasaan. Tak terkecuali tulisan-tulisan Nawal, yang kerap menjadi sasaran pelarangan, bahkan kriminalisasi oleh negara.

Kejadian tersebut menyingkap tabir: bahwa narasi resmi negara telah dirancang di atas penyingkiran keterlibatan perempuan yang mengganggu stabilitas ideologis, terutama yang menyoal agama, seksualitas, dan kekuasaan. Bagi negara-negara dengan watak otoriter dan konservatif, karya Nawal tidak hanya dianggap “berbahaya”, tetapi juga dituduh merusak moral publik.

Pemikiran Nawal El Saadawi merefleksikan kompleksitas perlawanan terhadap berbagai bentuk dominasi yang berpola. Nawal secara konsisten menentang doktrin keagamaan yang digunakan untuk menegasikan hak-hak perempuan, dan membuka ruang diskusi tentang bagaimana agama seringkali dikonstruksi secara patriarkal untuk mempertahankan ketimpangan gender. Tak hanya itu, Nawal juga mengkritik warisan kolonialisme serta kepentingan politik blok Barat yang ikut membentuk struktur kekuasaan lokal yang represif terhadap perempuan.

Bahkan, menariknya lagi Nawal tidak segan menunjukkan kritiknya terhadap sesama feminis, terutama mereka yang memisahkan perjuangan kesetaraan gender dari persoalan kapitalisme dan kelas sosial. Karena baginya, pembebasan perempuan tidak lepas dari struktur ekonomi dan politik yang menindas secara sistemik. 

Ia juga menyoroti bagaimana dominasi kelas, monarki patriarkal, fundamentalisme agama, dan kapitalisme membentuk simpul-simpul penindasan yang saling menguatkan. Fokusnya pada isu-isu perempuan di Mesir sering dianggap anti otoritarian  karena ia tidak hanya mempertanyakan norma sosial yang ajeg, tetapi juga berani menantang otoritas agama dan negara yang seksis.

Inilah yang membuat perjuangannya dianggap membangkang sehingga memicu berbagai bentuk persekusi selama hidupnya. Namun, justru dari tekanan itulah suaranya semakin lantang, sekali lagi melalui tulisannya.

Mengangkat realitas sosial ke dalam tulisan, terkhusus yang bersinggungan dengan luka struktural perempuan adalah sebuah tindakan yang penuh dengan risiko. Nawal memahamu betul betapa bahanya menyuarakan kebenaran di tengah sistem-sistem yang terus menggerus.

Dalam “Perempuan di Titik Nol”, Nawal membuka realitas akan bagaimana tafsir agama selalu menjadi tameng untuk melanggengkan praktik penindasan, terutama bagi perempuan. Itulah sebabnya kita masih sering mendeng ar bentuk penindasan dengan narasi “kan kodratnya perempuan.” Padahal, itu hanyalah konstruksi belaka. 

Melalui “Perempuan di Titik Nol”, Nawal memberikan pandangan baru bahwa menjadi pelacur bisa lebih terhormat dibandingkan menjadi istri yang terjebak dalam kekerasan dan ketergantungan. Bagi Nawal, pelacur memiliki kendali dan merdeka, meski terbatas.

Sedang, banyak perempuan yang menjadi istri/ibu justru kehilangan merdekanya sendiri di balik tembok rumah tangga yang dilindungi norma agama dan sosial. Di sini, ia tidak sedang mengagungkan pekerjaan tersebut, melainkan melayangkan gugatan terhadap sistem yang menjadikan perempuan tak punya pilihan selain tunduk atau dilabeli “liar”.

Pendekatan tersebut, memberikan Nawal begitu banyak perlawanan sekaligus pertemanan baru. Tulisannya tidak hanya menghadirkan wacana feminisme yang berani, tetapi juga membangun fondasi pemikiran yang radikal, menegaskan kembali bahwa kebebasan perempuan sejati menuntut perombakan total terhadap sistem yang selama ini memproduksi ketidakadilan.

Dalam lanskap pengetahuan yang lama dikendalikan oleh dominasi laki-laki, tulisan perempuan menghadirkan nafas baru yang menginterupsi struktur wacana patriarkal. Dengan demikian, kekuatan perempuan yang menulis terletak pada kemampuannya membongkar nalar dominan dan melahirkan pengetahuan tandingan yang membebaskan.

Di tangan perempuan, masa depan tidak hanya dibayangkan, tetapi ditulis ulang. Bahkan dalam teori feminis terutama feminisme pascastrukturalis dan feminisme interseksional, tulisan perempuan adalah bentuk agency atau suatu cara membangun subjektivitas perempuan di tengah dominasi narasi laki-laki. Sehingga, dengan menulis perempuan mampu secara mandiri memproduksi narasi alternatif yang menciptakan cara pikir baru dan lebih setara.

Ini juga berlaku pada tokoh perempuan lainnya yang terbukti berdikari dengan tulisannya. Seperti R.A. Kartini dengan surat-suratnya, Rohana Kudus dengan tulisan jurnalistiknya, Siti Saroeng Putri dengan puisinya, dan tentu masih banyak lagi. Maka dari itu, sejarah perempuan yang menulis adalah refleksi masa depan dari sejarah pemberdayaan.

Seiring waktu, perempuan yang menulis akan terus memberikan cakrawala baru bagi generasi seterusnya. Dalam perjalanan ini, kita sama-sama menyadari bahwa tulisan perempuan menjadi perisai kuat yang tidak terbantahkan.

____

Iefone Shiflana Habiba, Aktivis gerakan perempuan

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Terpuler -

Cinta Tiada Bertepi
Erik Tauvani Somae
Rabu, 24-5-2023
thumb
Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Perundungan dan Pelecehan: Fenomena yang Mengancam Generasi
Hanifatun Jamil
Sabtu, 26-10-2024
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Purnawirawan dan Pilpres 2024
Iqbal Suliansyah
Sabtu, 14-10-2023
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Jumaldi Alfi: Kopi dan Seni
Iqbal Suliansyah
Senin, 3-2-2025
thumb
Lihat Semua Artikel....
Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Yayasan Sang Anak Panah (YASAPA).

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech