Mubaligh Hijrah Syiarkan Islam di Kota Melbourne dan Brisbane
Akbar Ash Shidqi Rabu, 23-4-2025 | - Dilihat: 36

Oleh: Akbar Ash Shidqi
Ramadhan menjadi bulan suci yang selalu membawa cerita dan pengalaman berbeda bagi setiap Muslim. Ramadhan tahun ini menjadi pengalaman luar biasa bagi saya. Pasalnya saya mengikuti mubaligh hijrah Internasional yang ditugaskan di negara Australia tepatnya di kota Melbourne dan Brisbane.
Perkenankan saya Akbar ash Shidqi kader Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta asal Pekalongan Jawa Tengah. Lewat tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman mubaligh hijrah internasional di negeri Kanguru.
Sekilas Mubaligh Hijrah
Apa yang dirasakan bagi santri Mu’allimin tingkat aliyah saat bulan Ramadhan tidak sebatas soal ibadah personal atau menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, sudah menjadi rutinitas bagi santri Mu’allimin menjadikan Ramadhan sebagai momentum untuk mengabdi pada masyarakat.
Momentum pengabdian ini dikenal dengan program Mubaligh hijrah yang mengutus dai-dai muda dari Madrasah Mu’allimin ke berbagai wilayah dalam kancah nasional maupun internasional. Hal ini sebagai bentuk kontribusi Mu’allimin yang mendukung Muhammadiyah dalam mensyiarkan dakwah global. Dalam program ini, saya mendapat amanah untuk bertugas di dua kota besar di Australia yaitu Melbourne dan Brisbane.
Sebagai kader tingkat akhir, pengalaman ini menjadi bagian dari proses pematangan identitas kekaderan yang telah saya tempuh selama enam tahun di madrasah. Inilah kisah perjalanan yang tidak hanya mendewasakan secara intelektual dan emosional, tetapi juga menanamkan makna baru tentang pengabdian.
Ramadhan di kota Melbourne
Tugas pertama saya dimulai di Melbourne, kota dengan masyarakat yang sangat beragam secara etnis dan budaya. Melbourne tidak hanya terkenal sebagai kota pelajar, tetapi juga sebagai salah satu kota dengan komunitas Muslim Indonesia terbesar di Australia. Di sinilah saya bergabung dengan Masjid IMCV (Indonesian Muslim Community of Victoria) – Surau Kita. Komunitas ini menjadi titik temu para diaspora Muslim Indonesia dan warga lokal lainnya.
Selama di Melbourne, saya menjalankan berbagai peran utama antara lain: menjadi imam sholat fardu dan sholat sunnah salat witir. Selain itu saya ditugaskan menjadi bagian aktif dalam persiapan Grand Iftar, yaitu acara buka puasa akbar yang dihadiri oleh jamaah dari berbagai latar belakang.
Momen Grand Iftar menjadi salah satu pengalaman paling berkesan. Melihat umat Islam dari berbagai negara duduk bersama, menyantap hidangan, dan saling menyapa dengan kehangatan. Momentum ini menyadarkan saya bahwa dakwah tak selalu harus lewat mimbar, cukup dengan melalui kehadiran, senyuman, dan pelayanan tulus.
Lebih dari sekadar imam, saya pun aktif menjalin komunikasi dengan pelajar Indonesia yang tengah studi di Melbourne. Banyak dari mereka yang merindukan nuansa Ramadhan di kampung halaman. Dari obrolan santai, diskusi keislaman, hingga sesi sharing spiritual, saya berusaha hadir sebagai sahabat rohani mereka. Selayaknya seorang teman seperjuangan saya banyak mendengar dan memahami kisah mereka.
Brisbane: Dakwah yang menghidupkan jiwa
Setelah beberapa pekan di Melbourne, saya berpindah ke Brisbane. Berbeda dengan Melbourne yang lebih metropolitan, Brisbane menyuguhkan nuansa yang lebih tenang namun tetap dinamis. Di sini, saya berkolaborasi dengan Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB) dalam program Ramadhan bertajuk SERAMBI (Semarak Ramadhan Brisbane).
Dikota ini saya mendapat peran yang semakin kompleks dan beragam, antara lain: Menjadi pengisi kultum serta pemateri dalam program edukatif Sanlat for Teen yang ditujukan bagi generasi muda Muslim Indonesia. Pada kesempatan ini saya turut dilibatkan dalam pelaksanaan Grand Iftar di University of Queensland (UQ).
Kota Brisbane selalu menampakkan antusiasme anak-anak muda dalam menuntut ilmu. Meskipun hidup di negeri minoritas Muslim, semangat mereka untuk belajar, memahami Islam secara kaffah, dan tetap istiqamah sangat luar biasa. Mereka tidak hanya butuh ceramah, tapi juga panutan dan teman berdialog yang bisa memahami konteks kehidupan mereka di luar negeri.
Khutbah di kota minoritas
Selama program ini, saya mendapat kehormatan besar untuk menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa arab dan inggris sebanyak dua kali. Kedua khutbah tersebut dilaksanakan di Masjid IMCV Melbourne dan Masjid IMCQ Brisbane
Topik yang saya angkat adalah tentang akan pentingnya menjaga ukhuwah Islamiyah dan menjaga identitas muslim di tanah minoritas. Dalam khutbah ini juga tersampaikan bagaimana kaum muda Muslim dapat memainkan peran strategis dalam menjaga nilai-nilai Islam di tengah arus globalisasi dan sekularisasi.
Di atas mimbar, saya belajar bahwa dakwah lintas budaya menuntut keluwesan, kepekaan, dan pemahaman kontekstual yang kuat. Pesan yang disampaikan tidak bisa kaku. Harus membumi, relevan, dan mampu menyentuh berbagai latar belakang audiens.
Menjadi Dai harus mendengar sebelum berbicara
Program ini bukan sekadar agenda pengabdian. Bagi saya, ini adalah madrasah kehidupan. Saya belajar menjadi dai yang tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mendengarkan. Belajar menyapa sebelum menasihati. Menjadi saudara yang hadir dalam keheningan, dan imam yang mampu menjadi sandaran jiwa.
Saya juga menyadari bahwa keberhasilan dakwah tidak hanya diukur dari banyaknya ceramah yang disampaikan, tetapi juga dari seberapa dalam kita mampu membangun relasi dan menghadirkan keteladanan. Dakwah bukan hanya tugas lisan, tetapi juga misi kemanusiaan.
Pulang dengan semangat baru
Setelah rangkaian mubaligh hijrah berakhir, sepulangnya ke Indonesia saya tidak hanya membawa oleh-oleh khas Australia. Namun membawa semangat baru, wawasan lintas budaya, dan jaringan dakwah global. Semua ini menjadi modal berharga untuk langkah saya berikutnya sebagai alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan kader Muhammadiyah masa depan.
Pengalaman ini menjadi bukti bahwa dakwah bisa dilakukan di mana saja. Bahkan di negeri yang jauh dari kiblat Islam sekalipun, selama kita membawa cahaya, cinta, dan keikhlasan dakwah menjadi mudah untuk dilaksanakan.
Dakwah tak mengenal batas
Melalui program ini, saya melihat bahwa Islam adalah rahmat untuk semesta. Bahwa umat Islam di berbagai belahan dunia bisa saling menguatkan, saling berbagi, dan saling mencerahkan. Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang memiliki sejarah panjang kekayaan intelektual dan gerakan sosial, memiliki potensi besar untuk terus menebar dakwah lintas batas.
Saya bersyukur menjadi bagian dari gerakan itu. Menjadi kader yang bukan hanya ditempa di kelas, tapi juga diuji langsung di medan dakwah dunia. Semoga perjalanan ini menjadi bagian kecil dari sejarah panjang perjuangan Muhammadiyah, dan semoga semakin banyak kader muda yang siap menjawab panggilan zaman dengan semangat, ilmu, dan cinta.
____
Akbar Ash Shidqi, Kader tingkat VI Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta
- Artikel Terpuler -
Mubaligh Hijrah Syiarkan Islam di Kota Melbourne dan Brisbane
Akbar Ash Shidqi Rabu, 23-4-2025 | - Dilihat: 36

Oleh: Akbar Ash Shidqi
Ramadhan menjadi bulan suci yang selalu membawa cerita dan pengalaman berbeda bagi setiap Muslim. Ramadhan tahun ini menjadi pengalaman luar biasa bagi saya. Pasalnya saya mengikuti mubaligh hijrah Internasional yang ditugaskan di negara Australia tepatnya di kota Melbourne dan Brisbane.
Perkenankan saya Akbar ash Shidqi kader Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta asal Pekalongan Jawa Tengah. Lewat tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman mubaligh hijrah internasional di negeri Kanguru.
Sekilas Mubaligh Hijrah
Apa yang dirasakan bagi santri Mu’allimin tingkat aliyah saat bulan Ramadhan tidak sebatas soal ibadah personal atau menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, sudah menjadi rutinitas bagi santri Mu’allimin menjadikan Ramadhan sebagai momentum untuk mengabdi pada masyarakat.
Momentum pengabdian ini dikenal dengan program Mubaligh hijrah yang mengutus dai-dai muda dari Madrasah Mu’allimin ke berbagai wilayah dalam kancah nasional maupun internasional. Hal ini sebagai bentuk kontribusi Mu’allimin yang mendukung Muhammadiyah dalam mensyiarkan dakwah global. Dalam program ini, saya mendapat amanah untuk bertugas di dua kota besar di Australia yaitu Melbourne dan Brisbane.
Sebagai kader tingkat akhir, pengalaman ini menjadi bagian dari proses pematangan identitas kekaderan yang telah saya tempuh selama enam tahun di madrasah. Inilah kisah perjalanan yang tidak hanya mendewasakan secara intelektual dan emosional, tetapi juga menanamkan makna baru tentang pengabdian.
Ramadhan di kota Melbourne
Tugas pertama saya dimulai di Melbourne, kota dengan masyarakat yang sangat beragam secara etnis dan budaya. Melbourne tidak hanya terkenal sebagai kota pelajar, tetapi juga sebagai salah satu kota dengan komunitas Muslim Indonesia terbesar di Australia. Di sinilah saya bergabung dengan Masjid IMCV (Indonesian Muslim Community of Victoria) – Surau Kita. Komunitas ini menjadi titik temu para diaspora Muslim Indonesia dan warga lokal lainnya.
Selama di Melbourne, saya menjalankan berbagai peran utama antara lain: menjadi imam sholat fardu dan sholat sunnah salat witir. Selain itu saya ditugaskan menjadi bagian aktif dalam persiapan Grand Iftar, yaitu acara buka puasa akbar yang dihadiri oleh jamaah dari berbagai latar belakang.
Momen Grand Iftar menjadi salah satu pengalaman paling berkesan. Melihat umat Islam dari berbagai negara duduk bersama, menyantap hidangan, dan saling menyapa dengan kehangatan. Momentum ini menyadarkan saya bahwa dakwah tak selalu harus lewat mimbar, cukup dengan melalui kehadiran, senyuman, dan pelayanan tulus.
Lebih dari sekadar imam, saya pun aktif menjalin komunikasi dengan pelajar Indonesia yang tengah studi di Melbourne. Banyak dari mereka yang merindukan nuansa Ramadhan di kampung halaman. Dari obrolan santai, diskusi keislaman, hingga sesi sharing spiritual, saya berusaha hadir sebagai sahabat rohani mereka. Selayaknya seorang teman seperjuangan saya banyak mendengar dan memahami kisah mereka.
Brisbane: Dakwah yang menghidupkan jiwa
Setelah beberapa pekan di Melbourne, saya berpindah ke Brisbane. Berbeda dengan Melbourne yang lebih metropolitan, Brisbane menyuguhkan nuansa yang lebih tenang namun tetap dinamis. Di sini, saya berkolaborasi dengan Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB) dalam program Ramadhan bertajuk SERAMBI (Semarak Ramadhan Brisbane).
Dikota ini saya mendapat peran yang semakin kompleks dan beragam, antara lain: Menjadi pengisi kultum serta pemateri dalam program edukatif Sanlat for Teen yang ditujukan bagi generasi muda Muslim Indonesia. Pada kesempatan ini saya turut dilibatkan dalam pelaksanaan Grand Iftar di University of Queensland (UQ).
Kota Brisbane selalu menampakkan antusiasme anak-anak muda dalam menuntut ilmu. Meskipun hidup di negeri minoritas Muslim, semangat mereka untuk belajar, memahami Islam secara kaffah, dan tetap istiqamah sangat luar biasa. Mereka tidak hanya butuh ceramah, tapi juga panutan dan teman berdialog yang bisa memahami konteks kehidupan mereka di luar negeri.
Khutbah di kota minoritas
Selama program ini, saya mendapat kehormatan besar untuk menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa arab dan inggris sebanyak dua kali. Kedua khutbah tersebut dilaksanakan di Masjid IMCV Melbourne dan Masjid IMCQ Brisbane
Topik yang saya angkat adalah tentang akan pentingnya menjaga ukhuwah Islamiyah dan menjaga identitas muslim di tanah minoritas. Dalam khutbah ini juga tersampaikan bagaimana kaum muda Muslim dapat memainkan peran strategis dalam menjaga nilai-nilai Islam di tengah arus globalisasi dan sekularisasi.
Di atas mimbar, saya belajar bahwa dakwah lintas budaya menuntut keluwesan, kepekaan, dan pemahaman kontekstual yang kuat. Pesan yang disampaikan tidak bisa kaku. Harus membumi, relevan, dan mampu menyentuh berbagai latar belakang audiens.
Menjadi Dai harus mendengar sebelum berbicara
Program ini bukan sekadar agenda pengabdian. Bagi saya, ini adalah madrasah kehidupan. Saya belajar menjadi dai yang tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mendengarkan. Belajar menyapa sebelum menasihati. Menjadi saudara yang hadir dalam keheningan, dan imam yang mampu menjadi sandaran jiwa.
Saya juga menyadari bahwa keberhasilan dakwah tidak hanya diukur dari banyaknya ceramah yang disampaikan, tetapi juga dari seberapa dalam kita mampu membangun relasi dan menghadirkan keteladanan. Dakwah bukan hanya tugas lisan, tetapi juga misi kemanusiaan.
Pulang dengan semangat baru
Setelah rangkaian mubaligh hijrah berakhir, sepulangnya ke Indonesia saya tidak hanya membawa oleh-oleh khas Australia. Namun membawa semangat baru, wawasan lintas budaya, dan jaringan dakwah global. Semua ini menjadi modal berharga untuk langkah saya berikutnya sebagai alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan kader Muhammadiyah masa depan.
Pengalaman ini menjadi bukti bahwa dakwah bisa dilakukan di mana saja. Bahkan di negeri yang jauh dari kiblat Islam sekalipun, selama kita membawa cahaya, cinta, dan keikhlasan dakwah menjadi mudah untuk dilaksanakan.
Dakwah tak mengenal batas
Melalui program ini, saya melihat bahwa Islam adalah rahmat untuk semesta. Bahwa umat Islam di berbagai belahan dunia bisa saling menguatkan, saling berbagi, dan saling mencerahkan. Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang memiliki sejarah panjang kekayaan intelektual dan gerakan sosial, memiliki potensi besar untuk terus menebar dakwah lintas batas.
Saya bersyukur menjadi bagian dari gerakan itu. Menjadi kader yang bukan hanya ditempa di kelas, tapi juga diuji langsung di medan dakwah dunia. Semoga perjalanan ini menjadi bagian kecil dari sejarah panjang perjuangan Muhammadiyah, dan semoga semakin banyak kader muda yang siap menjawab panggilan zaman dengan semangat, ilmu, dan cinta.
____
Akbar Ash Shidqi, Kader tingkat VI Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta
0 Komentar
Tinggalkan Pesan