Menyoal Ilusi Dunia Setara
Zarkasy Bilal Arafat Rabu, 29-1-2025 | - Dilihat: 31

Oleh: Zarkasy Bilal Arafat
Kesetaraan gender telah menjadi salah satu isu utama dalam perdebatan sosial dan politik modern. Namun, meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, banyak pula pertanyaan yang masih mengemuka berkenaan dengan sejauh mana perempuan benar-benar dapat menikmati kesetaraan tersebut di dunia yang katanya sudah maju ini.
Bila kita melihat perempuan yang kini semakin mendominasi berbagai sektor—menjadi pemimpin, profesional, bahkan mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan bisnis—kita mungkin merasa optimis bahwa kesetaraan itu sudah tercapai. Tetapi, bila kita menoleh lebih dalam ke realitas sosial, kita akan menemukan kenyataan yang berbeda: perempuan masih terbelenggu dalam berbagai bentuk ketimpangan, dari diskriminasi hingga kekerasan berbasis gender.
Dalam narasi inilah, kita dihadapkan pada paradoks yang menarik untuk didiskusikan. Ketika kesetaraan gender santer didorong sebagai nilai-nilai universal, masih banyak perempuan yang tetap terpinggirkan oleh budaya patriarki yang kuat, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya terbuka bagi mereka. Saat pemilihan kepala daerah di Indonesia, misalnya, perempuan memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri, namun mereka dihantui oleh ujaran kebencian dan stigma yang menilai kemampuan mereka berdasarkan jenis kelamin, bahkan juga pada lawan politiknya sendiri.
Lebih lanjut, kekerasan terhadap perempuan—baik yang bersifat fisik, psikologis, maupun simbolik—masih terjadi secara luas, baik di ruang publik maupun dalam lingkup domestik. Hal ini menjadi pertanyaan dalam benak penulis; apa benar perempuan sudah setara dalam dunia modern ini? Atau, lebih tepatnya, apakah kesetaraan yang digaungkan selama ini benar-benar menjangkau perempuan di segala lapisan?
Paradoks Kesetaraan dan Ketimpangan
Mari kita bergeser pada sektor domestik dahulu, bila kita menilik data BPS pada 2021, sekitar 27% perempuan yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia menghabiskan waktu utama mereka untuk mengurus rumah tangga. Sementara itu, hanya 3% laki-laki yang melakukan hal yang sama. Angka ini memperlihatkan bagaimana pemahaman masyarakat tentang pembagian peran dalam rumah tangga masih sangat dipengaruhi oleh budaya yang menganggap bahwa urusan domestik adalah tugas perempuan, sedangkan laki-laki memiliki kebebasan untuk menikmati waktu luangnya.
Namun, masalah ketidaksetaraan gender ternyata tak berhenti pada peran domestik semata. Perempuan juga lebih rentan menghadapi berbagai masalah sosial dan ekonomi. Kerentanan ini tidak hanya terlihat dalam rumah tangga, tetapi juga di luar rumah. Misalnya, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga marginalisasi dalam dunia kerja.
Berdasarkan data BPS, perempuan tercatat memiliki rata-rata upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Rata-rata upah perempuan pada Agustus 2021 adalah 2,13 juta rupiah per bulan, sedangkan laki-laki memperoleh 2,59 juta rupiah per bulan. Selain itu, perempuan juga lebih rentan terkena dampak kemiskinan, dengan angka kemiskinan perempuan pada tahun 2021 mencapai 10,37%, lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan laki-laki yang hanya 9,92%.
Tak hanya dari sisi ekonomi, kerentanan perempuan juga meluas pada masalah kesehatan mental. Menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja di luar rumah menjadi salah satu penyebab utama buruknya kesehatan mental perempuan. Perempuan yang terbebani dengan tanggung jawab ganda sering kali tidak memiliki waktu untuk diri mereka sendiri. Mereka lebih banyak terfokus pada pengasuhan anak dan pekerjaan domestik, yang berpotensi menambah tekanan mental mereka.
Data dari WHO menunjukkan mayoritas orang dewasa yang mengalami depresi adalah perempuan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan beban pekerjaan yang tak kunjung selesai, baik di rumah maupun di tempat kerja.
Data-data ini menjadi antitesis dari ide kesetaraan gender yang bertujuan menciptakan keadilan bagi perempuan melalui pembangunan yang setara. Sebaliknya, fundamentalisme justru menguatkan narasi kekerasan berbasis gender, merampas hak perempuan atas keamanan dan kenyamanan, terutama di ruang publik. Kekerasan tersebut bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis dan simbolik yang tercipta dengan membombardir perempuan melalui ujaran kebencian, hegemoni media sosial, hingga pengajian-pengajian yang menanamkan rasa takut, bersalah, dan tak berdaya.
Root Cause: Narasi yang Tak Berubah
Bayangkan sebuah rumah besar dengan banyak kamar. Setiap kamar melambangkan peluang dan ruang untuk perempuan berkembang. Namun, hanya sebagian kamar yang terbuka, sementara yang lainnya dikunci rapat dengan alasan tradisi atau agama. Perempuan yang berhasil masuk ke kamar-kamar itu sering kali dianggap “beruntung” atau “istimewa”, sementara yang lain terus berada di koridor, hanya bisa mengintip ke dalam.
Ruang publik bagaikan koridor dalam analogi ini. Banyak perempuan yang menginginkan akses ke kamar-kamar tersebut—ruang pendidikan, pekerjaan, atau politik—namun mereka terus dihadang oleh narasi yang menyebut bahwa tempat mereka adalah di rumah. Ironisnya, bahkan rumah yang dianggap sebagai “surga” bagi perempuan sering kali menjadi tempat terjadinya kekerasan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam rumah, dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.
Bila kita telaah lebih jauh, akar masalah ini terletak pada narasi yang terus diulang-ulang. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, sehingga mereka harus dijauhkan dari ruang publik demi menjaga “keamanan”. Namun, narasi ini dengan mudah dapat dipatahkan. Benarkah ruang publik hanya milik laki-laki? Apakah semua laki-laki mampu menjadi pencari nafkah yang andal? Bagaimana dengan perempuan lajang atau mereka yang menjadi kepala keluarga? Narasi semacam ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena menghalangi perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka.
Ironisnya, narasi ini sering kali datang dari mereka yang hidup dalam lingkungan yang tidak sepenuhnya mendukung gagasan tersebut. Banyak dari mereka yang lahir dalam keluarga di mana ayah dan ibu bekerja sama untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka mendapatkan pendidikan tinggi berkat kerja keras orang tua mereka, baik ayah maupun ibu. Namun, setelah dewasa, mereka justru menggagas pandangan yang menghambat perempuan untuk maju.
Mengubah ruang publik
Bila perempuan masih merasa rentan di ruang publik, maka solusinya bukan menarik mereka kembali ke rumah, melainkan menciptakan ruang publik yang aman, nyaman, dan ramah bagi semua. Tempat kerja harus menjadi lingkungan yang bebas dari pelecehan, dengan kebijakan yang mendukung kesetaraan upah dan peluang.
Lebih dari itu, narasi yang membatasi perempuan harus dilawan dengan narasi yang memberdayakan. Organisasi keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah memiliki peran besar dalam hal ini. Sebagai organisasi yang berkembang berkat dukungan perempuan, seyogianya bertanggung jawab untuk melindungi dan memberdayakan perempuan, baik di ruang domestik maupun publik.
Dunia yang katanya setara ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Kesetaraan gender tidak bisa hanya menjadi jargon atau agenda global tanpa implementasi yang nyata. Perempuan tidak butuh belas kasihan atau perlakuan istimewa; mereka hanya butuh kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.
Layaknya sebuah orkestra, kesetaraan gender membutuhkan harmoni antara berbagai elemen: kebijakan, pendidikan, budaya, dan agama. Ketika perempuan diberi ruang untuk bersinar tanpa batasan yang diskriminatif, masyarakat akan merasakan manfaatnya secara keseluruhan. Maka, mari kita bertanya kembali: apakah kita benar-benar sudah menciptakan dunia yang setara, atau kita masih terjebak dalam ilusi kesetaraan? Jawabannya ada pada tindakan kita hari ini.
____
Zarkasyi Bilal Arafat, Aktivis
- Artikel Terpuler -
Menyoal Ilusi Dunia Setara
Zarkasy Bilal Arafat Rabu, 29-1-2025 | - Dilihat: 31

Oleh: Zarkasy Bilal Arafat
Kesetaraan gender telah menjadi salah satu isu utama dalam perdebatan sosial dan politik modern. Namun, meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, banyak pula pertanyaan yang masih mengemuka berkenaan dengan sejauh mana perempuan benar-benar dapat menikmati kesetaraan tersebut di dunia yang katanya sudah maju ini.
Bila kita melihat perempuan yang kini semakin mendominasi berbagai sektor—menjadi pemimpin, profesional, bahkan mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan bisnis—kita mungkin merasa optimis bahwa kesetaraan itu sudah tercapai. Tetapi, bila kita menoleh lebih dalam ke realitas sosial, kita akan menemukan kenyataan yang berbeda: perempuan masih terbelenggu dalam berbagai bentuk ketimpangan, dari diskriminasi hingga kekerasan berbasis gender.
Dalam narasi inilah, kita dihadapkan pada paradoks yang menarik untuk didiskusikan. Ketika kesetaraan gender santer didorong sebagai nilai-nilai universal, masih banyak perempuan yang tetap terpinggirkan oleh budaya patriarki yang kuat, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya terbuka bagi mereka. Saat pemilihan kepala daerah di Indonesia, misalnya, perempuan memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri, namun mereka dihantui oleh ujaran kebencian dan stigma yang menilai kemampuan mereka berdasarkan jenis kelamin, bahkan juga pada lawan politiknya sendiri.
Lebih lanjut, kekerasan terhadap perempuan—baik yang bersifat fisik, psikologis, maupun simbolik—masih terjadi secara luas, baik di ruang publik maupun dalam lingkup domestik. Hal ini menjadi pertanyaan dalam benak penulis; apa benar perempuan sudah setara dalam dunia modern ini? Atau, lebih tepatnya, apakah kesetaraan yang digaungkan selama ini benar-benar menjangkau perempuan di segala lapisan?
Paradoks Kesetaraan dan Ketimpangan
Mari kita bergeser pada sektor domestik dahulu, bila kita menilik data BPS pada 2021, sekitar 27% perempuan yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia menghabiskan waktu utama mereka untuk mengurus rumah tangga. Sementara itu, hanya 3% laki-laki yang melakukan hal yang sama. Angka ini memperlihatkan bagaimana pemahaman masyarakat tentang pembagian peran dalam rumah tangga masih sangat dipengaruhi oleh budaya yang menganggap bahwa urusan domestik adalah tugas perempuan, sedangkan laki-laki memiliki kebebasan untuk menikmati waktu luangnya.
Namun, masalah ketidaksetaraan gender ternyata tak berhenti pada peran domestik semata. Perempuan juga lebih rentan menghadapi berbagai masalah sosial dan ekonomi. Kerentanan ini tidak hanya terlihat dalam rumah tangga, tetapi juga di luar rumah. Misalnya, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga marginalisasi dalam dunia kerja.
Berdasarkan data BPS, perempuan tercatat memiliki rata-rata upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Rata-rata upah perempuan pada Agustus 2021 adalah 2,13 juta rupiah per bulan, sedangkan laki-laki memperoleh 2,59 juta rupiah per bulan. Selain itu, perempuan juga lebih rentan terkena dampak kemiskinan, dengan angka kemiskinan perempuan pada tahun 2021 mencapai 10,37%, lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan laki-laki yang hanya 9,92%.
Tak hanya dari sisi ekonomi, kerentanan perempuan juga meluas pada masalah kesehatan mental. Menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja di luar rumah menjadi salah satu penyebab utama buruknya kesehatan mental perempuan. Perempuan yang terbebani dengan tanggung jawab ganda sering kali tidak memiliki waktu untuk diri mereka sendiri. Mereka lebih banyak terfokus pada pengasuhan anak dan pekerjaan domestik, yang berpotensi menambah tekanan mental mereka.
Data dari WHO menunjukkan mayoritas orang dewasa yang mengalami depresi adalah perempuan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan beban pekerjaan yang tak kunjung selesai, baik di rumah maupun di tempat kerja.
Data-data ini menjadi antitesis dari ide kesetaraan gender yang bertujuan menciptakan keadilan bagi perempuan melalui pembangunan yang setara. Sebaliknya, fundamentalisme justru menguatkan narasi kekerasan berbasis gender, merampas hak perempuan atas keamanan dan kenyamanan, terutama di ruang publik. Kekerasan tersebut bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis dan simbolik yang tercipta dengan membombardir perempuan melalui ujaran kebencian, hegemoni media sosial, hingga pengajian-pengajian yang menanamkan rasa takut, bersalah, dan tak berdaya.
Root Cause: Narasi yang Tak Berubah
Bayangkan sebuah rumah besar dengan banyak kamar. Setiap kamar melambangkan peluang dan ruang untuk perempuan berkembang. Namun, hanya sebagian kamar yang terbuka, sementara yang lainnya dikunci rapat dengan alasan tradisi atau agama. Perempuan yang berhasil masuk ke kamar-kamar itu sering kali dianggap “beruntung” atau “istimewa”, sementara yang lain terus berada di koridor, hanya bisa mengintip ke dalam.
Ruang publik bagaikan koridor dalam analogi ini. Banyak perempuan yang menginginkan akses ke kamar-kamar tersebut—ruang pendidikan, pekerjaan, atau politik—namun mereka terus dihadang oleh narasi yang menyebut bahwa tempat mereka adalah di rumah. Ironisnya, bahkan rumah yang dianggap sebagai “surga” bagi perempuan sering kali menjadi tempat terjadinya kekerasan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam rumah, dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.
Bila kita telaah lebih jauh, akar masalah ini terletak pada narasi yang terus diulang-ulang. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, sehingga mereka harus dijauhkan dari ruang publik demi menjaga “keamanan”. Namun, narasi ini dengan mudah dapat dipatahkan. Benarkah ruang publik hanya milik laki-laki? Apakah semua laki-laki mampu menjadi pencari nafkah yang andal? Bagaimana dengan perempuan lajang atau mereka yang menjadi kepala keluarga? Narasi semacam ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena menghalangi perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka.
Ironisnya, narasi ini sering kali datang dari mereka yang hidup dalam lingkungan yang tidak sepenuhnya mendukung gagasan tersebut. Banyak dari mereka yang lahir dalam keluarga di mana ayah dan ibu bekerja sama untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka mendapatkan pendidikan tinggi berkat kerja keras orang tua mereka, baik ayah maupun ibu. Namun, setelah dewasa, mereka justru menggagas pandangan yang menghambat perempuan untuk maju.
Mengubah ruang publik
Bila perempuan masih merasa rentan di ruang publik, maka solusinya bukan menarik mereka kembali ke rumah, melainkan menciptakan ruang publik yang aman, nyaman, dan ramah bagi semua. Tempat kerja harus menjadi lingkungan yang bebas dari pelecehan, dengan kebijakan yang mendukung kesetaraan upah dan peluang.
Lebih dari itu, narasi yang membatasi perempuan harus dilawan dengan narasi yang memberdayakan. Organisasi keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah memiliki peran besar dalam hal ini. Sebagai organisasi yang berkembang berkat dukungan perempuan, seyogianya bertanggung jawab untuk melindungi dan memberdayakan perempuan, baik di ruang domestik maupun publik.
Dunia yang katanya setara ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Kesetaraan gender tidak bisa hanya menjadi jargon atau agenda global tanpa implementasi yang nyata. Perempuan tidak butuh belas kasihan atau perlakuan istimewa; mereka hanya butuh kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.
Layaknya sebuah orkestra, kesetaraan gender membutuhkan harmoni antara berbagai elemen: kebijakan, pendidikan, budaya, dan agama. Ketika perempuan diberi ruang untuk bersinar tanpa batasan yang diskriminatif, masyarakat akan merasakan manfaatnya secara keseluruhan. Maka, mari kita bertanya kembali: apakah kita benar-benar sudah menciptakan dunia yang setara, atau kita masih terjebak dalam ilusi kesetaraan? Jawabannya ada pada tindakan kita hari ini.
____
Zarkasyi Bilal Arafat, Aktivis
0 Komentar
Tinggalkan Pesan