• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Memotret H.M. Rasjidi dalam Konteks Mesir

Muhammad Azzam Al Faruq Senin, 6-12-2021 | - Dilihat: 88

banner

Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq

Biografi Singkat

Salah satu referensi primer mengenai biografi Mohammad Rasjidi dapat ditelusuri melalui tulisan H. Soebagijo L.N. dalam, Dari Saridi ke Rasjidi, pada buku antologi, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi.

Mohammad Rasjidi lahir pada hari Kamis Pahing 20 Mei 1915 bertepatan dengan 4 Rajab 1333 H di Kotagede, Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Saridi. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara dalam keluarga Atmosudigdo. Masa kecilnya, dihabiskan sepenuhnya di kampung halaman.

Ia pertama kali menempuh pendidikan dasar di Sekolah Ongko Loro. Setelah itu di Sekolah Muhammadiyah di Kotagede, Kweekschool Moehamdijah, dan Sekolah Al-Irsyad di Lawang. Melanjutkan ke pendidikan tinggi, jiwa muda mengajaknya berdiaspora ke negei piramida. Disana ia menempuh kuliah jurusan Filsafat di Fakultas Sastra, Universitas Kairo. Selesai mendapat gelar, ia memutuskan pulang. (Soebagijo, 1985: 4,5,7,10,16,18).

Kembali ke Tanah Air, Rasjidi dinikahkan dengan Siti Sa’dah, putri Haji Muzakir, salah seorang pengusaha ternama. Masuk ke dunia politik, ia pernah bergabung bersama PII (Partai Islam Indonesia). Karirnya melonjak di awal-awal kemerdekaan, tepatnya saat masuk dalam kabinet Sjahrir II. Ia diamanahi sebagai Menteri Negara. Berjalan dua bulan, Rasjidi diberi mandat sebagai Menteri Agama pertama. (Ibid.: 20,21,31,33).

Selain sebagi menteri, Rasjidi juga pernah menjadi diplomat. Misi yang paling berkesan adalah ketika bersama-sama ke Mesir bersama H. Agus Salim, Mr. Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, dan AR. Baswedan. Tim diplomatik pertama Indonesia tersebut berhasil melaksanakan tugasnya dengan perjanjian persahabatan Indonesia-Mesir pada tanggal 10 Juni 1947.  Tim tersebut juga berkunjung ke sejumlah negara Arab untuk menjalin hubungan diplomatik.

Lobi kenegaraan juga dilakukan Rasjidi ke Arab Saudi yang saat itu dipimpin oleh Raja Abdul Aziz. Dua tahun bertugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan Arab Saudi, ia lalu dipindahkan menjadi Duta Besar untuk Iran dan Afghanistan. Terakhir ia menjabat sebagai Duta Besar untuk Pakistan. (Ibid.: 37,39,47,51).

Disamping menjalani hidup sebagai teknokrat, Rasjidi tidak melupakan karir akademisnya. Tercatat ia mendapat gelar doktoralnya di Universitas Sorboone, Perancis setelah mempertahankan tesisnya yang berjudul, “ I’Evolution de I’Islam en Indonesie ou Concideration Critique du Livre Tjetini ” dengan predikat “cum laude”. Setelah itu, ia pernah diundang Institute of Islamic Studiy McGill University sebagai dosen terbang.

Pada waktu itu, ia pernah berdebat dengan seorang orientalis terkenal asal Jerman bernama Josep Schacht. Dalam forum terpisah, argumentasinya mendapat persetujuan Prof. Toshiko Izutsu, diikuti riuh tepuk tangan para audiens yang hadir.

Selesai di Kanada, ia lalu terbang ke Amerika Serikat untuk menjabat sebagai Direktur Islamic Center di Kota Washington. Tahun 1965 aktif berkegiatan di organisasi Rabithah ‘Alam Islami di Jakarta. 20 April 1968, ia dilantik sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam Universitas Indonesia. (Ibid.: 55,56,60,63,64,65,71,78).

Ia juga aktif menulis buku dan artikel. Hampir sebagian besar bukunya bernada polemis. Salah satu yang terkenal adalah Koreksi Terhadap Dr. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme yang terbit pada tahun 1972. Ketidak setujuan terhadap buku, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek karangan Dr. Harun Nasution, ia tuangkan dalam buku, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution terhadap Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek pada tahun 1977. Selain itu, ia juga aktif bertandang mengikuti sejumlah konferensi di luar negeri, seperti Konferensi Islam-Kristen di Kordoba, Spayol pada tahun 1977. (Ibid.: 79,80).

Pada tanggal 30 Januari 2001, Rasjidi wafat dalam usia ke-86 tahun di Kotagede, Yogyakarta. (Azzam, 2019:123).

Pelajaran dari Mesir

Sepanjang hidupnya, Rasjidi memiliki momen penting berkunjung ke Mesir sebanyak dua kali. Pertama, ketika masih bujang meneruskan studi ke Universitas Kairo. Kedua, ikut bersama rombongan diplomatik Indonesia untuk menjalin hubungan bilateral dengan pemerintah Mesir. Kedua momen ini sarat akan pelajaran yang berlimpah.

Selesainya dari Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Rasjidi berniat untuk berangkat ke Mesir demi menyambung rihlah ilmiyyah-nya ke Universitas Al-Azhar. Kemauan itu ia sampaikan kepada kedua orang tua tercinta. Bak gayung bersambut, kedua orang tuanya merestui. Sekalipun sang ibunda harus berat hati melepaskan buah hati tersayangnya pergi merantau ke negri nun jauh di sana. Rasjidi diantarkan menuju Stasiun Tugu (Yogyakarta) menuju Tanjung Priok. Setelah itu menaiki kapal ke Padang. Disana, ia dijemput sahabatnya, Tahir Ibrahim untuk bersama-sama berangkat ke Negeri Para Nabi. (Soebagijo, 1985: 10-12).

Setelah berlayar selama dua minggu, kapal pun merapat di pelabuhan Port Said. Segera, mereka bergegas menaiki kereta menuju Kairo. tahun 1931 sekitar bulan Mei, ia masuk Qism ‘Am. di tempat tersebut, untuk mendapatkan syahadah ‘alimiyyah, seorang murid harus merampungkan setidaknya 20 subjek pelajaran. Rasjidi pun bertekad untuk menggondol gelar tersebut. (Ibid.: 12-13).

Akan tetapi atas nasehat kawannya, Abdul Kahar Muzakkir, ia diarahkan untuk masuk Sekolah Persiapan (Madrasah Tajziyyah) Darul ‘Ulum. Ia masuk pada kelas tiga, setelah mendapatkan bimbingan pelajaran privat dari kawan Muzakkir, Sayyid Quthb. Selama di sekolah tersebut, ia tak mendapati halangan berarti. Malahan, sempat ia keluar untuk mengikuti kursus intensif bahasa Inggris dan Perancis.

Delapan bulan lamanya, Rasjidi pun kembali melanjutkan kewajibannya di sekolah yang lama. Kurang dari satu tahun, ia pun sukses membawa diploma sekolah tersebut ditambah capaian hafalan Al-Qur’an 30 juz, beserta sertifikat pelajaran bahasa Inggris dan Perancis. Oleh karena itu, ia berhak masuk ke perguruan tinggi. (Ibid.: 14-15).

Masuk di Universitas Kairo, di tahun pertama ia dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya diwajibkan mempelajari seluruh mata pelajaran di Fakultas Sastra. Baru di tahun kedua, ia mengambil jurusan Filsafat. Jurusan tersebut tergolong sepi peminat, karena baru saja dibuka. Dosen-dosennya sengaja didatangkan dari luar negeri. Bahkan sebagian dosennya merupakan pengajar di Universitas Sorboone. Salah satu dosen yang Rasjidi ingat Baik adalah Syeikh Musthafa Abdur Raziq, bekas murid langsung Syeikh Muhammad ‘Abduh.

Di kelasnya, hanya terdapat tujuh mahasiswa; tiga dari Mesir, satu dari Albania, satu dari Sudan, dan satu lagi ia sendiri dari Indonesia. Di tahun 1937 ketika duduk di tingkat tiga, ia mengambil cuti berhaji bersama sahabatnya, Abdul Kahar Muzakkir dan kakaknya, Sapardi. Empat bulan berselang, akhirnya ia mendapatkan gelar Lincense. (Ibid.: 16-17).

Menjadi Duta

Waktu itu, 17 Maret 1947 bersama rombongan tim diplomatik Indonesia dan utusan Liga Arab merangkap Konsul Jendral Mesir di Bombay, Mohammad Abdul Mouem terbang menuju Bombay. Sempat transit di Singapura untuk melengkapi perbekalan, akhirnya pesawat mendarat di India. Tanggal 23 Maret 1947, dihelatlah Inter Asia Relation Conference di New Delhi. Acara tersebut sangat penting bagi pengakuan Indonesia di kancah dunia. (Ibid.: 37-38).

Perjalanan dilanjutkan. Sesampainya di Kairo, Rasjidi bersama tim bergegas menyusun strategi. Disana, rombongan mengadakan pertemuan dengan pertinggi pemerintahan, tokoh masyarakat, dan beberapa organisasi lainnya. Selain itu, perjuangan mereka sepenuhnya mendapatkan bantuan dari para mahasiswa Indonesia yang tengah menimba studi.

Kerja keras tersebut akhirnya terbayarkan pada tanggal 10 Juni 1947 dengan ditandatanganinya surat perjanjian persahabatan antara Indonesia dengan Mesir yang diwakili oleh Menteri Muda Luar Negeri, H. Agus Salim dan Perdana Menteri Mesir, M.F. Nokrachy.

Di Mesir, tujuan rombongan belum selesai. Misi diplomatik kembali diteruskan dengan mengunjungi beberapa negara Arab lainnya seperti, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak. Dari negara-negara tersebut, rombongan mendapatkan pernghormatan sebagai utusan negara dan pengakuan kedaulatan atas Indonesia. Kecuali, Yordania yang belum memberikan dukungan politiknya. (Ibid.: 38-39).

Seiring berjalannya waktu, pasca kepergian H. Agus Salim menyusul misi diplomatik ke Amerika Serikat, Rasjidi ditetapkan sebagai kepala perwakilan Republik Indonesia di Kairo. Ia banyak menekankan kegiatan diplomasi pada bidang publikasi. Siaran radio dan buletin menjadi fokus kerjanya. Para mahasiswa Indonesia juga banyak membantu tugas-tugas di kantor perwakilan. (Ibid.: 40).[]

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Memotret H.M. Rasjidi dalam Konteks Mesir

Muhammad Azzam Al Faruq Senin, 6-12-2021 | - Dilihat: 88

banner

Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq

Biografi Singkat

Salah satu referensi primer mengenai biografi Mohammad Rasjidi dapat ditelusuri melalui tulisan H. Soebagijo L.N. dalam, Dari Saridi ke Rasjidi, pada buku antologi, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi.

Mohammad Rasjidi lahir pada hari Kamis Pahing 20 Mei 1915 bertepatan dengan 4 Rajab 1333 H di Kotagede, Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Saridi. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara dalam keluarga Atmosudigdo. Masa kecilnya, dihabiskan sepenuhnya di kampung halaman.

Ia pertama kali menempuh pendidikan dasar di Sekolah Ongko Loro. Setelah itu di Sekolah Muhammadiyah di Kotagede, Kweekschool Moehamdijah, dan Sekolah Al-Irsyad di Lawang. Melanjutkan ke pendidikan tinggi, jiwa muda mengajaknya berdiaspora ke negei piramida. Disana ia menempuh kuliah jurusan Filsafat di Fakultas Sastra, Universitas Kairo. Selesai mendapat gelar, ia memutuskan pulang. (Soebagijo, 1985: 4,5,7,10,16,18).

Kembali ke Tanah Air, Rasjidi dinikahkan dengan Siti Sa’dah, putri Haji Muzakir, salah seorang pengusaha ternama. Masuk ke dunia politik, ia pernah bergabung bersama PII (Partai Islam Indonesia). Karirnya melonjak di awal-awal kemerdekaan, tepatnya saat masuk dalam kabinet Sjahrir II. Ia diamanahi sebagai Menteri Negara. Berjalan dua bulan, Rasjidi diberi mandat sebagai Menteri Agama pertama. (Ibid.: 20,21,31,33).

Selain sebagi menteri, Rasjidi juga pernah menjadi diplomat. Misi yang paling berkesan adalah ketika bersama-sama ke Mesir bersama H. Agus Salim, Mr. Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, dan AR. Baswedan. Tim diplomatik pertama Indonesia tersebut berhasil melaksanakan tugasnya dengan perjanjian persahabatan Indonesia-Mesir pada tanggal 10 Juni 1947.  Tim tersebut juga berkunjung ke sejumlah negara Arab untuk menjalin hubungan diplomatik.

Lobi kenegaraan juga dilakukan Rasjidi ke Arab Saudi yang saat itu dipimpin oleh Raja Abdul Aziz. Dua tahun bertugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan Arab Saudi, ia lalu dipindahkan menjadi Duta Besar untuk Iran dan Afghanistan. Terakhir ia menjabat sebagai Duta Besar untuk Pakistan. (Ibid.: 37,39,47,51).

Disamping menjalani hidup sebagai teknokrat, Rasjidi tidak melupakan karir akademisnya. Tercatat ia mendapat gelar doktoralnya di Universitas Sorboone, Perancis setelah mempertahankan tesisnya yang berjudul, “ I’Evolution de I’Islam en Indonesie ou Concideration Critique du Livre Tjetini ” dengan predikat “cum laude”. Setelah itu, ia pernah diundang Institute of Islamic Studiy McGill University sebagai dosen terbang.

Pada waktu itu, ia pernah berdebat dengan seorang orientalis terkenal asal Jerman bernama Josep Schacht. Dalam forum terpisah, argumentasinya mendapat persetujuan Prof. Toshiko Izutsu, diikuti riuh tepuk tangan para audiens yang hadir.

Selesai di Kanada, ia lalu terbang ke Amerika Serikat untuk menjabat sebagai Direktur Islamic Center di Kota Washington. Tahun 1965 aktif berkegiatan di organisasi Rabithah ‘Alam Islami di Jakarta. 20 April 1968, ia dilantik sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam Universitas Indonesia. (Ibid.: 55,56,60,63,64,65,71,78).

Ia juga aktif menulis buku dan artikel. Hampir sebagian besar bukunya bernada polemis. Salah satu yang terkenal adalah Koreksi Terhadap Dr. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme yang terbit pada tahun 1972. Ketidak setujuan terhadap buku, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek karangan Dr. Harun Nasution, ia tuangkan dalam buku, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution terhadap Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek pada tahun 1977. Selain itu, ia juga aktif bertandang mengikuti sejumlah konferensi di luar negeri, seperti Konferensi Islam-Kristen di Kordoba, Spayol pada tahun 1977. (Ibid.: 79,80).

Pada tanggal 30 Januari 2001, Rasjidi wafat dalam usia ke-86 tahun di Kotagede, Yogyakarta. (Azzam, 2019:123).

Pelajaran dari Mesir

Sepanjang hidupnya, Rasjidi memiliki momen penting berkunjung ke Mesir sebanyak dua kali. Pertama, ketika masih bujang meneruskan studi ke Universitas Kairo. Kedua, ikut bersama rombongan diplomatik Indonesia untuk menjalin hubungan bilateral dengan pemerintah Mesir. Kedua momen ini sarat akan pelajaran yang berlimpah.

Selesainya dari Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Rasjidi berniat untuk berangkat ke Mesir demi menyambung rihlah ilmiyyah-nya ke Universitas Al-Azhar. Kemauan itu ia sampaikan kepada kedua orang tua tercinta. Bak gayung bersambut, kedua orang tuanya merestui. Sekalipun sang ibunda harus berat hati melepaskan buah hati tersayangnya pergi merantau ke negri nun jauh di sana. Rasjidi diantarkan menuju Stasiun Tugu (Yogyakarta) menuju Tanjung Priok. Setelah itu menaiki kapal ke Padang. Disana, ia dijemput sahabatnya, Tahir Ibrahim untuk bersama-sama berangkat ke Negeri Para Nabi. (Soebagijo, 1985: 10-12).

Setelah berlayar selama dua minggu, kapal pun merapat di pelabuhan Port Said. Segera, mereka bergegas menaiki kereta menuju Kairo. tahun 1931 sekitar bulan Mei, ia masuk Qism ‘Am. di tempat tersebut, untuk mendapatkan syahadah ‘alimiyyah, seorang murid harus merampungkan setidaknya 20 subjek pelajaran. Rasjidi pun bertekad untuk menggondol gelar tersebut. (Ibid.: 12-13).

Akan tetapi atas nasehat kawannya, Abdul Kahar Muzakkir, ia diarahkan untuk masuk Sekolah Persiapan (Madrasah Tajziyyah) Darul ‘Ulum. Ia masuk pada kelas tiga, setelah mendapatkan bimbingan pelajaran privat dari kawan Muzakkir, Sayyid Quthb. Selama di sekolah tersebut, ia tak mendapati halangan berarti. Malahan, sempat ia keluar untuk mengikuti kursus intensif bahasa Inggris dan Perancis.

Delapan bulan lamanya, Rasjidi pun kembali melanjutkan kewajibannya di sekolah yang lama. Kurang dari satu tahun, ia pun sukses membawa diploma sekolah tersebut ditambah capaian hafalan Al-Qur’an 30 juz, beserta sertifikat pelajaran bahasa Inggris dan Perancis. Oleh karena itu, ia berhak masuk ke perguruan tinggi. (Ibid.: 14-15).

Masuk di Universitas Kairo, di tahun pertama ia dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya diwajibkan mempelajari seluruh mata pelajaran di Fakultas Sastra. Baru di tahun kedua, ia mengambil jurusan Filsafat. Jurusan tersebut tergolong sepi peminat, karena baru saja dibuka. Dosen-dosennya sengaja didatangkan dari luar negeri. Bahkan sebagian dosennya merupakan pengajar di Universitas Sorboone. Salah satu dosen yang Rasjidi ingat Baik adalah Syeikh Musthafa Abdur Raziq, bekas murid langsung Syeikh Muhammad ‘Abduh.

Di kelasnya, hanya terdapat tujuh mahasiswa; tiga dari Mesir, satu dari Albania, satu dari Sudan, dan satu lagi ia sendiri dari Indonesia. Di tahun 1937 ketika duduk di tingkat tiga, ia mengambil cuti berhaji bersama sahabatnya, Abdul Kahar Muzakkir dan kakaknya, Sapardi. Empat bulan berselang, akhirnya ia mendapatkan gelar Lincense. (Ibid.: 16-17).

Menjadi Duta

Waktu itu, 17 Maret 1947 bersama rombongan tim diplomatik Indonesia dan utusan Liga Arab merangkap Konsul Jendral Mesir di Bombay, Mohammad Abdul Mouem terbang menuju Bombay. Sempat transit di Singapura untuk melengkapi perbekalan, akhirnya pesawat mendarat di India. Tanggal 23 Maret 1947, dihelatlah Inter Asia Relation Conference di New Delhi. Acara tersebut sangat penting bagi pengakuan Indonesia di kancah dunia. (Ibid.: 37-38).

Perjalanan dilanjutkan. Sesampainya di Kairo, Rasjidi bersama tim bergegas menyusun strategi. Disana, rombongan mengadakan pertemuan dengan pertinggi pemerintahan, tokoh masyarakat, dan beberapa organisasi lainnya. Selain itu, perjuangan mereka sepenuhnya mendapatkan bantuan dari para mahasiswa Indonesia yang tengah menimba studi.

Kerja keras tersebut akhirnya terbayarkan pada tanggal 10 Juni 1947 dengan ditandatanganinya surat perjanjian persahabatan antara Indonesia dengan Mesir yang diwakili oleh Menteri Muda Luar Negeri, H. Agus Salim dan Perdana Menteri Mesir, M.F. Nokrachy.

Di Mesir, tujuan rombongan belum selesai. Misi diplomatik kembali diteruskan dengan mengunjungi beberapa negara Arab lainnya seperti, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak. Dari negara-negara tersebut, rombongan mendapatkan pernghormatan sebagai utusan negara dan pengakuan kedaulatan atas Indonesia. Kecuali, Yordania yang belum memberikan dukungan politiknya. (Ibid.: 38-39).

Seiring berjalannya waktu, pasca kepergian H. Agus Salim menyusul misi diplomatik ke Amerika Serikat, Rasjidi ditetapkan sebagai kepala perwakilan Republik Indonesia di Kairo. Ia banyak menekankan kegiatan diplomasi pada bidang publikasi. Siaran radio dan buletin menjadi fokus kerjanya. Para mahasiswa Indonesia juga banyak membantu tugas-tugas di kantor perwakilan. (Ibid.: 40).[]

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech