• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Memanusiakan Manusia dan Fenomena Kekerasan PRT

Riemas Ginong Pratidina Rabu, 31-8-2022 | - Dilihat: 65

banner

Oleh: Riemas Ginong Pratidina

Tidak seperti di negara-negara Barat, di mana hanya orang-orang yang sangat kaya yang dapat mempekerjakan pekerja rumah tangga (PRT), keluarga di Indonesia sangat bergantung pada pekerja rumah tangga. Orang Indonesia lebih cenderung melakukan sesuatu dengan sumber daya manusia dari pada dengan bantuan mesin/robot.

Dalam budaya Indonesia, pekerja rumah tangga memiliki hubungan pribadi dengan majikannya. Dalam budaya asli masyarakat Indonesia, PRT dipandang sebagai pengabdian seseorang kepada orang lain yang dihormati, sehingga banyak PRT yang telah bekerja puluhan tahun bahkan sampai ke generasi berikutnya (Winarni, 2018: 1). Analisis akademis mengenai kekerasan sendiri telah lama diperbincangkan, melihat peningkatan kekejaman dan kedestruktifan manusia pada skala nasional dan internasional dalam historisitas peradaban manusia.

Fakta Kekerasan

Mengutip data ILO (International Labour Organization), saat ini setidaknya ada 67 juta PRT di seluruh dunia, tidak termasuk pekerja rumah tangga anak dan jumlah ini terus meningkat di negara maju dan berkembang. Dalam Laporan UN Women 2017-2018, sekitar 80% dari domestic worker merupakan perempuan.

Dalam skala global, mereka sering terkena kasus pelecehan fisik, seksual dan mental. Selain itu, tindakan kriminal lain seperti perdagangan manusia, kerja paksa dan tidak terpenuhinya hak-hak dasar seperti cuti, izin sakit maupun akses ke perawatan kesehatan masih menjadi problem.

Pun demikian halnya di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan ILO pada tahun 2015, terdapat 4,2 juta PRT di Indonesia. Sementara JALA PRT memperkirakan jumlah PRT di tahun 2022 telah mencapai 5 juta orang. Dari data itu menurut JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga), ada sekitar 400 pekerja rumah tangga yang mengalami beragam tindakan kekerasan sepanjang 2012 hingga 2021.

Aspek kekerasan ini meliputi psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Sementara, dalam survei JALA PRT mengenai pemenuhan jaminan sosial pada Agustus 2021. Ada 868 PRT, dan 82 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Padahal tenaga PRT sangat dibutuhkan namun jaminan kesehatannya kerap terabaikan, tidak mendapat perhatian, dan dukungan dari negara.

Akar Kekerasan

Sigmund Freud merevisi teori pendahulunya dan merumuskan bahwa hasrat merusak (insting kematian) sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai (insting kehidupan). Dalam hal kekerasan terhadap PRT, tentu pengandaian pelaku adalah agresi jahat bukan agresi defensif. Pijakannya adalah pembedaan fundamental insting dan karakter.

Insting atau hasrat ini merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan eksistensial manusia, seperti keinginan untuk mendapatkan cinta, kebebasan, sekaligus keinginan untuk destruktif, sadis, serta keinginan untuk memiliki kekuasaan dan harta. Hasrat paling dominan masing-masing manusia tidaklah sama, meski kebutuhan eksistensial mereka tidak berbeda (Fromm, 2000: xxi).

Bagi Konrad Lorenz juga Freud, keagresifan manusia merupakan insting yang digerakkan oleh sumber energi yang selalu mengalir, dan tidak selalu merupakan akibat dari reaksi terhadap rangsangan luar. Energi khusus untuk tindakan instingtif mengumpul secara kontinyu di pusat-pusat syarat yang ada kaitannya dengan pola pada tindakan tersebut dan akan terjadi ledakan jika sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa adanya rangsangan luar (Fromm, 2000: 8-9).

Inilah mengapa perilaku agresif yang dilakukan oleh majikan kepada PRT dapat muncul sewaktu-waktu tanpa ada sebab tertentu, misalkan PRT berbuat suatu kesalahan. Pada intinya, pelaku kekerasan terhadap PRT ini bisa dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.

Selain gangguan kejiwaan, dorongan hasrat untuk kekerasan juga bisa muncul karena budaya kekerasan yang muncul dalam keseharian sehingga menyebabkan pikiran kita mempersepsikan hal tersebut adalah lazim. Di era globalisasi digital, individu menjadi rentan termanipulasi.

Manipulasi ini didapatkan dari iklan, film atau tayangan lain yang menampilkan adegan-adegan kekerasan yang diulang-ulang, sehingga persepsi individu melazimkan hal tersebut. Fenomena ini dinamakan Skinner sebagai “pembiasaan positif”.

Kekerasan itu immoral, yang artinya betentangan dengan moralitas yang baik. Dengan kembali kepada etika, kita mengalami bagaimana prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang berlaku untuk perbuatan manusia. Etika menunjukkan norma-norma dan prinsip-prinsip mana yang perlu diterapkan dalam kehidupan kita. Akar dari segala kejahatan (termasuk kekerasan) adalah pikiran. Semua tindakan dimulai dari pikiran. Kita harus memperbaiki ranah pikiran untuk melenyapkan sisi kekerasan

Pikiran yang jernih terbukti menangkap segala perbuatan kejahatan. Dalam kasus lain misalnya, meski ada celah dan kesempatan untuk korupsi, pikiran yang jernih mampu menangkap tangan untuk melakukan tindakan tersebut.

Pikiran Jernih

Pikiran kesenjangan yang memproyeksikan “aku” adalah tuan dan “kamu” adalah PRT yang bisa diapakan semau saya harus diluruskan. Sebagai manusia, kita perlu memutus rantai pikiran kesenjangan ini. Kita perlu sadar bahwa sebagai manusia kita adalah sama. Kita juga harus sadar bahwa semua hidup dalam kesatuan jaringan yang tidak bisa dipisahkan (saling melengkapi). Maka penting sekali melihat pekerja rumah tangga sebagai manusia secara utuh, yang terdiri dari body, soul and spirit.

Dalam dimensi tubuh, kejernihan pikiran meniadakan arogansi untuk berbuat kekerasan fisik maupun kekerasan seksual terhadap pekerja rumah tangga kita serta memberi mereka hak tubuh dengan layak seperti gaji, makanan dan pakaian. Tak kalah penting, akses pekerja rumah tangga ke ruang publik dan mobilitas harus diberikan secara adil. Pembatasan akses ini merupakan kejahatan, karena artinya membelenggu mereka 24 jam per hari.

Hal ini didasarkan bahwa kesakralan tubuh PRT sama dengan sakralnya tubuh kita, anak kita, orang tua kita, dst. Dalam dimensi jiwa, kejernihan pikiran meniadakan arogansi untuk berbuat kekerasan mental, sehingga kita akan terlatih untuk menahan diri dari berkata kasar atau melontarkan perkataan yang dapat melukai perasaan PRT. Ini yang masih banyak terjadi seperti di Hongkong. Makian “kamu hanya pembantu” masih sering terdengar oleh para PRT di sana.

Dalam dimensi roh, kejernihan pikiran akan menghormati komunikasi PRT dengan Tuhannya. Dengan itu, kita juga tidak boleh melakukan kekerasan roh sesuai dengan kepercayaan yang kita anut. Kita bisa melihat Jepang misalnya, yang dalam budayanya secara ketat tidak boleh menganggu spiritualitas orang lain. Seandainya ada seseorang penyembah jembatan, ia tidak boleh memaksakan anaknya untuk menyembah jembatan.

Proyeksi lakon (peran) kita di dunia (dalam perspektif agama), telah sesuai dengan kadarnya. Jika dunia bersifat homogenitas (semua orang kaya misalnya), tentu akan ada ketidakstabilan dalam kehidupan sosial manusia. Refleksi atas hubungan kausalitas ini yang akan menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati nantinya menuntun pada terciptanya keharmonisan dalam hubungan sosial manusia.

 

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Memanusiakan Manusia dan Fenomena Kekerasan PRT

Riemas Ginong Pratidina Rabu, 31-8-2022 | - Dilihat: 65

banner

Oleh: Riemas Ginong Pratidina

Tidak seperti di negara-negara Barat, di mana hanya orang-orang yang sangat kaya yang dapat mempekerjakan pekerja rumah tangga (PRT), keluarga di Indonesia sangat bergantung pada pekerja rumah tangga. Orang Indonesia lebih cenderung melakukan sesuatu dengan sumber daya manusia dari pada dengan bantuan mesin/robot.

Dalam budaya Indonesia, pekerja rumah tangga memiliki hubungan pribadi dengan majikannya. Dalam budaya asli masyarakat Indonesia, PRT dipandang sebagai pengabdian seseorang kepada orang lain yang dihormati, sehingga banyak PRT yang telah bekerja puluhan tahun bahkan sampai ke generasi berikutnya (Winarni, 2018: 1). Analisis akademis mengenai kekerasan sendiri telah lama diperbincangkan, melihat peningkatan kekejaman dan kedestruktifan manusia pada skala nasional dan internasional dalam historisitas peradaban manusia.

Fakta Kekerasan

Mengutip data ILO (International Labour Organization), saat ini setidaknya ada 67 juta PRT di seluruh dunia, tidak termasuk pekerja rumah tangga anak dan jumlah ini terus meningkat di negara maju dan berkembang. Dalam Laporan UN Women 2017-2018, sekitar 80% dari domestic worker merupakan perempuan.

Dalam skala global, mereka sering terkena kasus pelecehan fisik, seksual dan mental. Selain itu, tindakan kriminal lain seperti perdagangan manusia, kerja paksa dan tidak terpenuhinya hak-hak dasar seperti cuti, izin sakit maupun akses ke perawatan kesehatan masih menjadi problem.

Pun demikian halnya di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan ILO pada tahun 2015, terdapat 4,2 juta PRT di Indonesia. Sementara JALA PRT memperkirakan jumlah PRT di tahun 2022 telah mencapai 5 juta orang. Dari data itu menurut JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga), ada sekitar 400 pekerja rumah tangga yang mengalami beragam tindakan kekerasan sepanjang 2012 hingga 2021.

Aspek kekerasan ini meliputi psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Sementara, dalam survei JALA PRT mengenai pemenuhan jaminan sosial pada Agustus 2021. Ada 868 PRT, dan 82 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Padahal tenaga PRT sangat dibutuhkan namun jaminan kesehatannya kerap terabaikan, tidak mendapat perhatian, dan dukungan dari negara.

Akar Kekerasan

Sigmund Freud merevisi teori pendahulunya dan merumuskan bahwa hasrat merusak (insting kematian) sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai (insting kehidupan). Dalam hal kekerasan terhadap PRT, tentu pengandaian pelaku adalah agresi jahat bukan agresi defensif. Pijakannya adalah pembedaan fundamental insting dan karakter.

Insting atau hasrat ini merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan eksistensial manusia, seperti keinginan untuk mendapatkan cinta, kebebasan, sekaligus keinginan untuk destruktif, sadis, serta keinginan untuk memiliki kekuasaan dan harta. Hasrat paling dominan masing-masing manusia tidaklah sama, meski kebutuhan eksistensial mereka tidak berbeda (Fromm, 2000: xxi).

Bagi Konrad Lorenz juga Freud, keagresifan manusia merupakan insting yang digerakkan oleh sumber energi yang selalu mengalir, dan tidak selalu merupakan akibat dari reaksi terhadap rangsangan luar. Energi khusus untuk tindakan instingtif mengumpul secara kontinyu di pusat-pusat syarat yang ada kaitannya dengan pola pada tindakan tersebut dan akan terjadi ledakan jika sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa adanya rangsangan luar (Fromm, 2000: 8-9).

Inilah mengapa perilaku agresif yang dilakukan oleh majikan kepada PRT dapat muncul sewaktu-waktu tanpa ada sebab tertentu, misalkan PRT berbuat suatu kesalahan. Pada intinya, pelaku kekerasan terhadap PRT ini bisa dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.

Selain gangguan kejiwaan, dorongan hasrat untuk kekerasan juga bisa muncul karena budaya kekerasan yang muncul dalam keseharian sehingga menyebabkan pikiran kita mempersepsikan hal tersebut adalah lazim. Di era globalisasi digital, individu menjadi rentan termanipulasi.

Manipulasi ini didapatkan dari iklan, film atau tayangan lain yang menampilkan adegan-adegan kekerasan yang diulang-ulang, sehingga persepsi individu melazimkan hal tersebut. Fenomena ini dinamakan Skinner sebagai “pembiasaan positif”.

Kekerasan itu immoral, yang artinya betentangan dengan moralitas yang baik. Dengan kembali kepada etika, kita mengalami bagaimana prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang berlaku untuk perbuatan manusia. Etika menunjukkan norma-norma dan prinsip-prinsip mana yang perlu diterapkan dalam kehidupan kita. Akar dari segala kejahatan (termasuk kekerasan) adalah pikiran. Semua tindakan dimulai dari pikiran. Kita harus memperbaiki ranah pikiran untuk melenyapkan sisi kekerasan

Pikiran yang jernih terbukti menangkap segala perbuatan kejahatan. Dalam kasus lain misalnya, meski ada celah dan kesempatan untuk korupsi, pikiran yang jernih mampu menangkap tangan untuk melakukan tindakan tersebut.

Pikiran Jernih

Pikiran kesenjangan yang memproyeksikan “aku” adalah tuan dan “kamu” adalah PRT yang bisa diapakan semau saya harus diluruskan. Sebagai manusia, kita perlu memutus rantai pikiran kesenjangan ini. Kita perlu sadar bahwa sebagai manusia kita adalah sama. Kita juga harus sadar bahwa semua hidup dalam kesatuan jaringan yang tidak bisa dipisahkan (saling melengkapi). Maka penting sekali melihat pekerja rumah tangga sebagai manusia secara utuh, yang terdiri dari body, soul and spirit.

Dalam dimensi tubuh, kejernihan pikiran meniadakan arogansi untuk berbuat kekerasan fisik maupun kekerasan seksual terhadap pekerja rumah tangga kita serta memberi mereka hak tubuh dengan layak seperti gaji, makanan dan pakaian. Tak kalah penting, akses pekerja rumah tangga ke ruang publik dan mobilitas harus diberikan secara adil. Pembatasan akses ini merupakan kejahatan, karena artinya membelenggu mereka 24 jam per hari.

Hal ini didasarkan bahwa kesakralan tubuh PRT sama dengan sakralnya tubuh kita, anak kita, orang tua kita, dst. Dalam dimensi jiwa, kejernihan pikiran meniadakan arogansi untuk berbuat kekerasan mental, sehingga kita akan terlatih untuk menahan diri dari berkata kasar atau melontarkan perkataan yang dapat melukai perasaan PRT. Ini yang masih banyak terjadi seperti di Hongkong. Makian “kamu hanya pembantu” masih sering terdengar oleh para PRT di sana.

Dalam dimensi roh, kejernihan pikiran akan menghormati komunikasi PRT dengan Tuhannya. Dengan itu, kita juga tidak boleh melakukan kekerasan roh sesuai dengan kepercayaan yang kita anut. Kita bisa melihat Jepang misalnya, yang dalam budayanya secara ketat tidak boleh menganggu spiritualitas orang lain. Seandainya ada seseorang penyembah jembatan, ia tidak boleh memaksakan anaknya untuk menyembah jembatan.

Proyeksi lakon (peran) kita di dunia (dalam perspektif agama), telah sesuai dengan kadarnya. Jika dunia bersifat homogenitas (semua orang kaya misalnya), tentu akan ada ketidakstabilan dalam kehidupan sosial manusia. Refleksi atas hubungan kausalitas ini yang akan menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati nantinya menuntun pada terciptanya keharmonisan dalam hubungan sosial manusia.

 

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech