Memadamkan Api Provokasi Simbol
Prima Aditya Meinaqi Sabtu, 4-2-2023 | - Dilihat: 60

Oleh: Prima Aditya Meinaqi
Simbol tidak bisa lepas dari sejarah peradaban umat manusia. Bahkan orang-orang terdahulu memberikan informasi pada generasi selanjutnya melalui simbol-simbol yang menggambarkan bagaimana keadaan pada masa itu. Namun simbol tidak selalu bersifat universal, pemaknaan simbol akan tergantung pada komunitas masyarakat di mana makna simbol itu digunakan. Dengan adanya simbol pula, manusia bisa tertipu pada teka-teki yang keliru sehingga salah memaknainya.
Dalam kehidupan terkini pun, simbol sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Baik simbol logo sebuah brand, simbol ormas, bahkan simbol negara. Simbol laksana identitas dan jati diri sebuah entitas tertentu yang melambangkan karakternya. Walaupun menjadi identitas jati diri, namun kita tetap harus menggunakan akal sehat dalam memegang simbol-simbol identitas kita.
Mayoritas dari kita mungkin mengetahui tentang aksi pembakaran al-Qur’an oleh Rasmus Paludan di Swedia yang sempat menjadi trending topik di Media Internasional. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan “simbol” bagi umat Muslim tidak selayaknya dibakar sebagai bentuk protes politik, hal tersebut sangatlah tidak elok dan mencederai nilai-nilai keberagaman dan inklusifitas. Tapi apakah perlu untuk terbakar provokasi tersebut? nampaknya bukan hal yang elok pula.
Mungkin ke depannya akan ada paludan-paludan lain yang melakukan hal serupa untuk memprotes sesuatu. Tapi nampaknya aksi tersebut jika tidak ditanggapi berlebihan juga tidak merugikan Umat Muslim sebagai pemilik simbol tersebut. Biarkan saja para Paludan membakar al-Qur’an terus menerus sampai bosan, toh di banyak belahan dunia al-Qur’an terus dicetak. Kalau perlu buka saja toko al-Qur’an di sebelah Paludan supaya bisa membeli banyak al-Qur’an untuk terus dibakar dan terus dicetak ulang.
Al-Qur’an sebagai kitab penuntun kehidupan bagi umat Muslim ada untuk dijaga nilainya, Dia diabadikan dalam pikiran dan tindakan. Dia tak perlu dibela dan tidak tersakiti ketika dibakar, pada fisiknya ia hanya kertas dengan tinta yang diprint di atasnya. Yang perlu dijaga adalah substansi nilai ajaran agar bisa terhembuskan dalam nafas kehidupan. Bagaimana nilai-nilai Kitab Suci bisa menjadi jangkar untuk menjaga keutuhan perdamaian dan kemanusiaan.
Baiknya memang tak perlu berlebihan dalam menanggapi provokasi yang tidak penting apalagi provokasi melalui sebuah simbol. Kita harusnya sudah belajar dari hal-hal yang terjadi di kita, di waktu lampau. Jangan sampai fanatisme membungkam akal sehat dan menjadi diperbudak simbol. Tidak perlu buang-buang energi dan terbakar letupan api yang sebenarnya tidak membakar. Justru sebenarnya mungkin diri sendiri yang membakar pikiran dan hatinya dengan semangat permusuhan yang mungkin juga merugikan orang-orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Kita sudah cukup untuk sebuah tragedi kemanusiaan, apalagi tragedi itu diatasnamakan oleh sesuatu yang harusnya menyatukan. Tuhan tidak menciptakan dunia ini dengan satu corak, apakah kita akan menyangkal realita ini? Tentu tidak bisa terus mempertahankan ego dan menutup mata pikiran. Perkara di dunia ini ada gelap ada terang itu sudah terjadi sejak dunia ini ada. Kita hanya berusaha menjadikan terang itu lebih dominan dan gelap tak perlu dikutuk berlebihan. Semoga kita selalu mensyukuri anugerah kedamaian yang diberikan Tuhan.
- Artikel Terpuler -
Memadamkan Api Provokasi Simbol
Prima Aditya Meinaqi Sabtu, 4-2-2023 | - Dilihat: 60

Oleh: Prima Aditya Meinaqi
Simbol tidak bisa lepas dari sejarah peradaban umat manusia. Bahkan orang-orang terdahulu memberikan informasi pada generasi selanjutnya melalui simbol-simbol yang menggambarkan bagaimana keadaan pada masa itu. Namun simbol tidak selalu bersifat universal, pemaknaan simbol akan tergantung pada komunitas masyarakat di mana makna simbol itu digunakan. Dengan adanya simbol pula, manusia bisa tertipu pada teka-teki yang keliru sehingga salah memaknainya.
Dalam kehidupan terkini pun, simbol sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Baik simbol logo sebuah brand, simbol ormas, bahkan simbol negara. Simbol laksana identitas dan jati diri sebuah entitas tertentu yang melambangkan karakternya. Walaupun menjadi identitas jati diri, namun kita tetap harus menggunakan akal sehat dalam memegang simbol-simbol identitas kita.
Mayoritas dari kita mungkin mengetahui tentang aksi pembakaran al-Qur’an oleh Rasmus Paludan di Swedia yang sempat menjadi trending topik di Media Internasional. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan “simbol” bagi umat Muslim tidak selayaknya dibakar sebagai bentuk protes politik, hal tersebut sangatlah tidak elok dan mencederai nilai-nilai keberagaman dan inklusifitas. Tapi apakah perlu untuk terbakar provokasi tersebut? nampaknya bukan hal yang elok pula.
Mungkin ke depannya akan ada paludan-paludan lain yang melakukan hal serupa untuk memprotes sesuatu. Tapi nampaknya aksi tersebut jika tidak ditanggapi berlebihan juga tidak merugikan Umat Muslim sebagai pemilik simbol tersebut. Biarkan saja para Paludan membakar al-Qur’an terus menerus sampai bosan, toh di banyak belahan dunia al-Qur’an terus dicetak. Kalau perlu buka saja toko al-Qur’an di sebelah Paludan supaya bisa membeli banyak al-Qur’an untuk terus dibakar dan terus dicetak ulang.
Al-Qur’an sebagai kitab penuntun kehidupan bagi umat Muslim ada untuk dijaga nilainya, Dia diabadikan dalam pikiran dan tindakan. Dia tak perlu dibela dan tidak tersakiti ketika dibakar, pada fisiknya ia hanya kertas dengan tinta yang diprint di atasnya. Yang perlu dijaga adalah substansi nilai ajaran agar bisa terhembuskan dalam nafas kehidupan. Bagaimana nilai-nilai Kitab Suci bisa menjadi jangkar untuk menjaga keutuhan perdamaian dan kemanusiaan.
Baiknya memang tak perlu berlebihan dalam menanggapi provokasi yang tidak penting apalagi provokasi melalui sebuah simbol. Kita harusnya sudah belajar dari hal-hal yang terjadi di kita, di waktu lampau. Jangan sampai fanatisme membungkam akal sehat dan menjadi diperbudak simbol. Tidak perlu buang-buang energi dan terbakar letupan api yang sebenarnya tidak membakar. Justru sebenarnya mungkin diri sendiri yang membakar pikiran dan hatinya dengan semangat permusuhan yang mungkin juga merugikan orang-orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Kita sudah cukup untuk sebuah tragedi kemanusiaan, apalagi tragedi itu diatasnamakan oleh sesuatu yang harusnya menyatukan. Tuhan tidak menciptakan dunia ini dengan satu corak, apakah kita akan menyangkal realita ini? Tentu tidak bisa terus mempertahankan ego dan menutup mata pikiran. Perkara di dunia ini ada gelap ada terang itu sudah terjadi sejak dunia ini ada. Kita hanya berusaha menjadikan terang itu lebih dominan dan gelap tak perlu dikutuk berlebihan. Semoga kita selalu mensyukuri anugerah kedamaian yang diberikan Tuhan.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan