Marhaenisme dan Teologi al-Maun
Syaiful Islam Sabtu, 24-12-2022 | - Dilihat: 182
Oleh: Syaiful Islam
Soekarno dan Muhammadiyah, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Baik Bung Karno maupun Muhammadiyah sama-sama memberikan darma bakti terbaik bagi Bangsa dan Negara. Bung Karno yang merupakan anggota Muhammadiyah relatif berhasil membawa api dari semangat Persyarikatan dalam melaksanakan pemurnian agama dan membela si miskin, si lemah, dan masyarakat yang tertindas melalui ideologi marhaenismenya.
Marhaenisme Soekarno tak hanya terpengaruh dari HOS. Tjokroaminoto, maupun dari interaksinya dengan Semaoen, Alimin, Darsono, dan Musso, namun Putera Sang Fajar ini juga mendapat pengaruh yang tak kalah besar dari KH. Ahmad Dahlan. Hal ini diutarakan sendiri oleh Bung Karno kala ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah 1962 dalam amanatnya yang ia beri tajuk ‘Makin Lama Makin Cinta’.
Dalam ucapannya itu, Bung Besar menyampaikan bahwa Kiai Dahlan mengajarkan tentang keterkaitan antara pembangunan agama, bangsa, dan negara. Lantas, mantaplah hati beliau untuk menjadi kader Muhammadiyah hingga akhir hayat. Dalam perjalanannya, hubungan Bung karno dan Muhammadiyah bukannya tanpa ombak. Inilah keistimewaan dalam Muhammadiyah yang membuka ruang intelektualitas dan perbedaan pandangan atas dasar anti taqlidisme.
Dalam beberapa kesempatan, Bung karno mengkritik Muhammadiyah dalam soal-soal tertentu. Bahkan beliau keluar ruangan ketika Rapat Umum Muhammadiyah sebagai bentuk protes atas tabir antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dijelaskan dalam bab “Tabir adalah Lambang Perbudakan, Tabir Tidak Diperintahkan oleh Islam” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I. Namun dalam dinamika hubungan Bung Karno dan Muhammadiyah, penulis sebagai murid Bung Karno yang sekaligus juga anggota Persyarikatan melihat ada persamaan antara Marhaenisme dan teologi al-Maun.
Marhaenisme sebagai ideologi kerja yang diajarkan Bung Karno berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan dan mempersatukan Bangsa. Sedangkan teologi al-Maun sebagai landasan Muhammadiyah yang secara sederhana dapat dipahami bahwa agama tidak hanya berhenti pada aspek kesalehan individu namun lebih jauh harus menjangkau pada kesalehan sosial yang konstruktif dan inklusif.
Marhaenisme Bung Karno berhasil membawa satu konsepsi mengenai pembelaan atas masyarakat kebanyakan yang tertindas oleh sistem. Marhaenisme dalam koran Fikiran Ra’jat yang bertajuk ‘Marhaen dan Proletar’ dijelaskan Bung Karno sebagai azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
Marhaen yang dimaksud di sini ialah kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lainnya. Definisi atas klasifikasi marhaen sendiri akan sentiasa berubah mengikut kebaruan zaman, sebab setiap zaman pasti ada masyarakat yang dapat digolongkan sebagai marhaen jika dikaitkan atas kemelaratannya.
Teologi al-Maun sendiri lahir atas keheranan murid-murid Kiai Dahlan dalam pengajian di Langgar Kidul. Kiai terus mengulang mengkaji surah al-Maun. Ketika pertanyaan mengapa Kiai terus-terusan mengulang al-Maun, dengan lemah lembut namun menghujam kedalam hati, Kiai Dahlan menjawab sudah berapa banyak kita mengamalkannya.
Pemahaman yang paripurna bahwa Al-Quran selain memiliki aspek kognitif namun lebih jauh lagi memiliki sisi “bahan bakar” untuk menggerakan roda-roda kebajikan sosial terutama dalam menolong anak yatim dan menolong orang miskin. Maka Muhammadiyah dengan kebulatan hati membangun PKOE (Penolong Kesengsaraan Oemoem) di tahun 1923 sebagai batu penanda dilaksanakannya teologi al-Maun.
Dari penjelasan singkat atas Marhaenisme dan Teologi Al-Maun, penulis melihat bahwa keduanya sama-sama memperjuangkan dan menyelamatkan si miskin, si melarat. Si marhaen meski berlainan dari segi dasar perjuangan dan praktik, namun keduanya memiliki semangat yang sama. Bung Karno yang menekankan perjuangan Marhaenisme pada aspek-aspek politik bertemu dan Muhammadiyah dengan teologi al-Maun yang lebih banyak menekankan praksisnya pada aspek kesehatan, pendidikan, dan pelayanan.
Jika melihat dari dua perbedaan ini, antara Marhaenisme dan teologi al-Maun, sesungguhnya keduanya saling melengkapi dalam hal menolong si miskin-si marhaen ini. Maka sudah sepatutnya sebagai Muslim yang baik, lebih-lebih sebagai kader Muhammadiyah, agar membela kepentingan dan hak-hak kaum miskin alias si marhaen ini demi menjalankan perintah Allah dalam surah al-Maun, baik dengan jalan politik maupun jalan sosial kemasyarakatan.
Pada akhirnya, keberpihakan pada si miskin alias si marhaen ini ialah mutlak sebagai bagian dari tanggung jawab pada Bangsa dan Allah. Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengutip Bung Karno bahwa “Orang tidak bisa mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi pada sesama manusia, Tuhan bersemayam di gubugnya si miskin”. Ungkapan Bung Karno ini ada dalam satu tarikan nafas yang sama dengan ungkapan Buya Syafii Maarif bahwa “Islam adalah agama yang pro orang miskin, tetapi sekaligus anti kemiskinan.”
Kembali, sebagai murid Bung Karno dan anggota Persyarikatan, saya adalah Marhaenis sekaligus Muhammadiyah alias Marhaenis Muhammadiyah. Fastabiqul khairat, merdeka!
- Artikel Terpuler -
Marhaenisme dan Teologi al-Maun
Syaiful Islam Sabtu, 24-12-2022 | - Dilihat: 182
Oleh: Syaiful Islam
Soekarno dan Muhammadiyah, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Baik Bung Karno maupun Muhammadiyah sama-sama memberikan darma bakti terbaik bagi Bangsa dan Negara. Bung Karno yang merupakan anggota Muhammadiyah relatif berhasil membawa api dari semangat Persyarikatan dalam melaksanakan pemurnian agama dan membela si miskin, si lemah, dan masyarakat yang tertindas melalui ideologi marhaenismenya.
Marhaenisme Soekarno tak hanya terpengaruh dari HOS. Tjokroaminoto, maupun dari interaksinya dengan Semaoen, Alimin, Darsono, dan Musso, namun Putera Sang Fajar ini juga mendapat pengaruh yang tak kalah besar dari KH. Ahmad Dahlan. Hal ini diutarakan sendiri oleh Bung Karno kala ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah 1962 dalam amanatnya yang ia beri tajuk ‘Makin Lama Makin Cinta’.
Dalam ucapannya itu, Bung Besar menyampaikan bahwa Kiai Dahlan mengajarkan tentang keterkaitan antara pembangunan agama, bangsa, dan negara. Lantas, mantaplah hati beliau untuk menjadi kader Muhammadiyah hingga akhir hayat. Dalam perjalanannya, hubungan Bung karno dan Muhammadiyah bukannya tanpa ombak. Inilah keistimewaan dalam Muhammadiyah yang membuka ruang intelektualitas dan perbedaan pandangan atas dasar anti taqlidisme.
Dalam beberapa kesempatan, Bung karno mengkritik Muhammadiyah dalam soal-soal tertentu. Bahkan beliau keluar ruangan ketika Rapat Umum Muhammadiyah sebagai bentuk protes atas tabir antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dijelaskan dalam bab “Tabir adalah Lambang Perbudakan, Tabir Tidak Diperintahkan oleh Islam” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I. Namun dalam dinamika hubungan Bung Karno dan Muhammadiyah, penulis sebagai murid Bung Karno yang sekaligus juga anggota Persyarikatan melihat ada persamaan antara Marhaenisme dan teologi al-Maun.
Marhaenisme sebagai ideologi kerja yang diajarkan Bung Karno berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan dan mempersatukan Bangsa. Sedangkan teologi al-Maun sebagai landasan Muhammadiyah yang secara sederhana dapat dipahami bahwa agama tidak hanya berhenti pada aspek kesalehan individu namun lebih jauh harus menjangkau pada kesalehan sosial yang konstruktif dan inklusif.
Marhaenisme Bung Karno berhasil membawa satu konsepsi mengenai pembelaan atas masyarakat kebanyakan yang tertindas oleh sistem. Marhaenisme dalam koran Fikiran Ra’jat yang bertajuk ‘Marhaen dan Proletar’ dijelaskan Bung Karno sebagai azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
Marhaen yang dimaksud di sini ialah kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lainnya. Definisi atas klasifikasi marhaen sendiri akan sentiasa berubah mengikut kebaruan zaman, sebab setiap zaman pasti ada masyarakat yang dapat digolongkan sebagai marhaen jika dikaitkan atas kemelaratannya.
Teologi al-Maun sendiri lahir atas keheranan murid-murid Kiai Dahlan dalam pengajian di Langgar Kidul. Kiai terus mengulang mengkaji surah al-Maun. Ketika pertanyaan mengapa Kiai terus-terusan mengulang al-Maun, dengan lemah lembut namun menghujam kedalam hati, Kiai Dahlan menjawab sudah berapa banyak kita mengamalkannya.
Pemahaman yang paripurna bahwa Al-Quran selain memiliki aspek kognitif namun lebih jauh lagi memiliki sisi “bahan bakar” untuk menggerakan roda-roda kebajikan sosial terutama dalam menolong anak yatim dan menolong orang miskin. Maka Muhammadiyah dengan kebulatan hati membangun PKOE (Penolong Kesengsaraan Oemoem) di tahun 1923 sebagai batu penanda dilaksanakannya teologi al-Maun.
Dari penjelasan singkat atas Marhaenisme dan Teologi Al-Maun, penulis melihat bahwa keduanya sama-sama memperjuangkan dan menyelamatkan si miskin, si melarat. Si marhaen meski berlainan dari segi dasar perjuangan dan praktik, namun keduanya memiliki semangat yang sama. Bung Karno yang menekankan perjuangan Marhaenisme pada aspek-aspek politik bertemu dan Muhammadiyah dengan teologi al-Maun yang lebih banyak menekankan praksisnya pada aspek kesehatan, pendidikan, dan pelayanan.
Jika melihat dari dua perbedaan ini, antara Marhaenisme dan teologi al-Maun, sesungguhnya keduanya saling melengkapi dalam hal menolong si miskin-si marhaen ini. Maka sudah sepatutnya sebagai Muslim yang baik, lebih-lebih sebagai kader Muhammadiyah, agar membela kepentingan dan hak-hak kaum miskin alias si marhaen ini demi menjalankan perintah Allah dalam surah al-Maun, baik dengan jalan politik maupun jalan sosial kemasyarakatan.
Pada akhirnya, keberpihakan pada si miskin alias si marhaen ini ialah mutlak sebagai bagian dari tanggung jawab pada Bangsa dan Allah. Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengutip Bung Karno bahwa “Orang tidak bisa mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi pada sesama manusia, Tuhan bersemayam di gubugnya si miskin”. Ungkapan Bung Karno ini ada dalam satu tarikan nafas yang sama dengan ungkapan Buya Syafii Maarif bahwa “Islam adalah agama yang pro orang miskin, tetapi sekaligus anti kemiskinan.”
Kembali, sebagai murid Bung Karno dan anggota Persyarikatan, saya adalah Marhaenis sekaligus Muhammadiyah alias Marhaenis Muhammadiyah. Fastabiqul khairat, merdeka!
3 Komentar
2024-11-28 15:22:46
Lwcjad
eriacta star - zenegra pills very forzest careless
2024-12-04 09:35:40
Aiogqh
buy crixivan for sale - confido pill voltaren gel purchase online
2024-12-09 14:39:48
Anirln
valif pills activity - valif pills snore sinemet cost
3 Komentar
2024-11-28 15:22:46
Lwcjad
eriacta star - zenegra pills very forzest careless
2024-12-04 09:35:40
Aiogqh
buy crixivan for sale - confido pill voltaren gel purchase online
2024-12-09 14:39:48
Anirln
valif pills activity - valif pills snore sinemet cost
Tinggalkan Pesan