Manifestasi Akhlak Buya Syafii
Muhammad Ridha Basri Ahad, 26-12-2021 | - Dilihat: 76

Oleh: Muhammad Ridha Basri
Hari itu, Buya Syafii bersama dengan Andreas Yewangoe dan Cornelis Lay menjadi pembicara dalam seminar “Agama-agama dan Pergulatan Politik di Indonesia” yang diadakan oleh Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta (22/12/2018).
Ketiga pembicara ini mengetengahkan bahwa nilai-nilai agama bisa menjadi landasan moral dan etika dalam menjalankan politik kebangsaan (high politics). Buya Syafii menjernihkan pandangan tentang Islam sebagai agama dan Islamisme sebagai ideologi politik.
Di akhir, ada yang bertanya, “Kalau melihat Buya, saya yang Kristen merasa aman, tetapi kalau melihat HRS, saya merasa terancam. Kenapa bisa begini, Buya?” Pertanyaan itu disambut tawa ratusan peserta yang memenuhi gereja tua di kawasan wisata Malioboro itu. Memori kolektif masyarakat saat itu masih diliputi oleh peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang gaduh, sektarian, dan menguras energi bangsa.
Pertanyaan itu mengingatkan pada sabda Nabi, “Yang disebut muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya” (HR Bukhari). Buya Syafii memiliki keluhuran akhlak itu, yang membuat orang lainnya merasa nyaman. Keyakinan iman pada Tuhan termanifestasi dalam perilaku baik pada sesama. Allah telah memuliakan manusia (QS Al-Isra: 70), manusia tidak berhak meredahkan martabatnya.
Buya Syafii berperilaku membumi, yang justru membuat orang menaruh hormat kepadanya. Buya tidak gila disanjung, tidak mau merepotkan orang lain, tidak mau dilayani. Alih-alih meminta perlakuan istimewa yang sebenarnya sangat layak diterimanya, Buya berlaku sebaliknya.
Di usia senjanya, Buya masih berbelanja kebutuhan dapurnya sendiri dengan sepeda. Bagi Buya, hidup adalah untuk mempersembahkan darma, berbagi, melayani sesama hamba-Nya untuk mencipta kehidupan yang baik.
Keluhuran akhlak Buya Syafii dirasakan banyak orang. Ketika berbicara dengan siapapun, Buya selalu menunjukkan sikap hormat. Buya Syafii merupakan sosok pendengar yang baik, tidak terburu-buru menjustifikasi lawan bicara.
Berkali-kali datang orang yang sikapnya berlawanan, mereka dengan nyaman dapat bercerita seolah curhat kepada sahabat yang satu pandangan. Buya mendengarkan dengan seksama, tidak memotong dan apalagi menyuruhnya berhenti. Ini berbeda dengan banyak tokoh yang kemana-mana hanya ingin bicara, lalu pamit, tak mau mendengar.
Akhlak, kata Al-Ghazali dan Al-Jurjani, merupakan perilaku mulia yang spontan sebagai hasil internalisasi nilai, tidak direka-reka dengan pencitraan pura-pura. Di hadapan keluhuran akhlak, semua orang merasa nyaman. Akhlak lahir dari ketulusan.
Buya Syafii tidak perlu terlalu banyak berteori tentang akhlak, tetapi keseluruhan hidupnya adalah teladan yang hidup. Teladan itu misalnya termuat dalam banyak kesaksian di buku Mencari Negarawan: 85 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif yang diedit David Krisna Alka dan Asmul Khairi.
Saya akan menyebut salah satu, pada 26 Februari 2020, saat salat zuhur berjamaah di Grha Suara Muhammadiyah yang diimami ustaz Muchlas Abror, senior Muhammadiyah. Meski usianya lebih muda dari Buya, suara ustaz Muchlas lembut dan temponya pelan.
Saat itu, saya sedang keseleo kaki, sehingga duduk dengan tidak sempurna dan agak cepat dalam perpindahan gerakan shalat untuk menghindari rasa nyeri. Buya Syafii yang berada di shaf kedua tepat di belakang saya sepertinya melihat hal janggal, bahwa gerakan imam lamban dan makmum mendahului imam.
Setelah salat rawatib, Buya Syafii mengatakan, “Ini untuk pengingat kita semua karena sering terjadi di banyak tempat.” Awalan ini membuat teduh dan tidak ada nuansa menuduh. Kata Buya lagi, “Sebaiknya, imam itu mengucapkan kata allahu akbar ketika sudah hampir selesai gerakan, sehingga jamaah tidak mendahului imam. Kan ada hadisnya itu supaya tidak mendahului imam. Kemarin ada imam di masjid lain, sudah saya peringatkan seperti itu.”
Buya memperingatkan dengan menggunakan cara yang tidak menyinggung. Audien yang dituju Buya berkarakter Jawa halus, yang disebut Clifford Geertz: hidup dalam belantara sistem simbol. Buya seolah hanya berbagi cerita, tetapi pesannya tersampaikan.
Peristiwa ini serupa dengan riwayat ketika Nabi berkata, kelak di hari kiamat akan ada umatnya yang masuk surga tanpa dihisab. Tiba-tiba, Ukasyah berdiri dan berseru, “Ya Rasulullah, doakan supaya aku termasuk salah satu dari golongan itu.” Nabi menjawab, “Engkau termasuk di dalamnya.” Lalu berdiri seorang sahabat dan berkata, “Ya Rasulullah, doakan supaya aku juga termasuk salah satu dari golongan itu.” Jawaban Nabi, “Engkau telah didahului Ukasyah.”
Jawaban Nabi sangat menentramkan, Nabi tidak menghakimi dengan semisal jawaban, “Engkau tidak pantas. Kualitasmu jauh di bawah Ukasyah. Engkau tidak berhak masuk surga tanpa dihisab. Engkau banyak dosa.” Nabi menjawab dengan kalimat yang menentramkan dan sekaligus mendorong penanya untuk memacu diri supaya punya kualitas seperti Ukasyah. Aisyah memberi kesaksian bahwa akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.
Saat berbeda, Nabi Muhammad akan memulai salat bersama para sahabatnya. Tiba-tiba tercium bau kentut dari barisan jamaah. Setelah menunggu sesaat, tidak ada yang keluar barisan untuk berwudhu kembali, mungkin karena menahan malu.
Sejurus kemudian, Nabi menyatakan, “Siapa tadi yang makan daging unta, maka hendaklah ia berwudhu kembali!” Maka, Nabi sendiri bersama para sahabat yang memang umumnya makan daging unta, segera berwudhu kembali. Identitas sosok yang kentut tidak dipermalukan.
Quraish Shihab menulis buku khusus, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak. Perilaku para elite dan warga bangsa menjadi sumber malapetaka ketika akhlak telah tiada. Tidak hanya akhlak kepada sesama manusia, namun juga akhlak kepada alam raya yang sedang dalam kondisi sakit parah. Akhlak akan memandu orang untuk berperilaku patut dan memperlakukan orang lain dengan memuliatan harkat dan martabatnya.
Betapa tidak mudah mempraktekkan kerendahan hati dan akhlak terpuji. Kita sering menetapkan standar tinggi atas diri kita. Lalu berharap semua orang memperlakukan kita berdasar standar itu. Ketika ada yang memperlakukan kita kurang dari standar itu, kita merasa tersinggung.
Buya Syafii memberi teladan, meskipun sebagai tokoh besar, Buya tidak tersinggung dengan penilaian orang, termasuk pada mereka yang mencaci maki. Buya dapat akrab dengan semua orang, dari presiden, pendeta, anak muda, sopir taksi, hingga rakyat biasa.
_____
Muhammad Ridha Basri, wartawan Suara Muhammadiyah.
- Artikel Teropuler -
Manifestasi Akhlak Buya Syafii
Muhammad Ridha Basri Ahad, 26-12-2021 | - Dilihat: 76

Oleh: Muhammad Ridha Basri
Hari itu, Buya Syafii bersama dengan Andreas Yewangoe dan Cornelis Lay menjadi pembicara dalam seminar “Agama-agama dan Pergulatan Politik di Indonesia” yang diadakan oleh Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta (22/12/2018).
Ketiga pembicara ini mengetengahkan bahwa nilai-nilai agama bisa menjadi landasan moral dan etika dalam menjalankan politik kebangsaan (high politics). Buya Syafii menjernihkan pandangan tentang Islam sebagai agama dan Islamisme sebagai ideologi politik.
Di akhir, ada yang bertanya, “Kalau melihat Buya, saya yang Kristen merasa aman, tetapi kalau melihat HRS, saya merasa terancam. Kenapa bisa begini, Buya?” Pertanyaan itu disambut tawa ratusan peserta yang memenuhi gereja tua di kawasan wisata Malioboro itu. Memori kolektif masyarakat saat itu masih diliputi oleh peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang gaduh, sektarian, dan menguras energi bangsa.
Pertanyaan itu mengingatkan pada sabda Nabi, “Yang disebut muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya” (HR Bukhari). Buya Syafii memiliki keluhuran akhlak itu, yang membuat orang lainnya merasa nyaman. Keyakinan iman pada Tuhan termanifestasi dalam perilaku baik pada sesama. Allah telah memuliakan manusia (QS Al-Isra: 70), manusia tidak berhak meredahkan martabatnya.
Buya Syafii berperilaku membumi, yang justru membuat orang menaruh hormat kepadanya. Buya tidak gila disanjung, tidak mau merepotkan orang lain, tidak mau dilayani. Alih-alih meminta perlakuan istimewa yang sebenarnya sangat layak diterimanya, Buya berlaku sebaliknya.
Di usia senjanya, Buya masih berbelanja kebutuhan dapurnya sendiri dengan sepeda. Bagi Buya, hidup adalah untuk mempersembahkan darma, berbagi, melayani sesama hamba-Nya untuk mencipta kehidupan yang baik.
Keluhuran akhlak Buya Syafii dirasakan banyak orang. Ketika berbicara dengan siapapun, Buya selalu menunjukkan sikap hormat. Buya Syafii merupakan sosok pendengar yang baik, tidak terburu-buru menjustifikasi lawan bicara.
Berkali-kali datang orang yang sikapnya berlawanan, mereka dengan nyaman dapat bercerita seolah curhat kepada sahabat yang satu pandangan. Buya mendengarkan dengan seksama, tidak memotong dan apalagi menyuruhnya berhenti. Ini berbeda dengan banyak tokoh yang kemana-mana hanya ingin bicara, lalu pamit, tak mau mendengar.
Akhlak, kata Al-Ghazali dan Al-Jurjani, merupakan perilaku mulia yang spontan sebagai hasil internalisasi nilai, tidak direka-reka dengan pencitraan pura-pura. Di hadapan keluhuran akhlak, semua orang merasa nyaman. Akhlak lahir dari ketulusan.
Buya Syafii tidak perlu terlalu banyak berteori tentang akhlak, tetapi keseluruhan hidupnya adalah teladan yang hidup. Teladan itu misalnya termuat dalam banyak kesaksian di buku Mencari Negarawan: 85 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif yang diedit David Krisna Alka dan Asmul Khairi.
Saya akan menyebut salah satu, pada 26 Februari 2020, saat salat zuhur berjamaah di Grha Suara Muhammadiyah yang diimami ustaz Muchlas Abror, senior Muhammadiyah. Meski usianya lebih muda dari Buya, suara ustaz Muchlas lembut dan temponya pelan.
Saat itu, saya sedang keseleo kaki, sehingga duduk dengan tidak sempurna dan agak cepat dalam perpindahan gerakan shalat untuk menghindari rasa nyeri. Buya Syafii yang berada di shaf kedua tepat di belakang saya sepertinya melihat hal janggal, bahwa gerakan imam lamban dan makmum mendahului imam.
Setelah salat rawatib, Buya Syafii mengatakan, “Ini untuk pengingat kita semua karena sering terjadi di banyak tempat.” Awalan ini membuat teduh dan tidak ada nuansa menuduh. Kata Buya lagi, “Sebaiknya, imam itu mengucapkan kata allahu akbar ketika sudah hampir selesai gerakan, sehingga jamaah tidak mendahului imam. Kan ada hadisnya itu supaya tidak mendahului imam. Kemarin ada imam di masjid lain, sudah saya peringatkan seperti itu.”
Buya memperingatkan dengan menggunakan cara yang tidak menyinggung. Audien yang dituju Buya berkarakter Jawa halus, yang disebut Clifford Geertz: hidup dalam belantara sistem simbol. Buya seolah hanya berbagi cerita, tetapi pesannya tersampaikan.
Peristiwa ini serupa dengan riwayat ketika Nabi berkata, kelak di hari kiamat akan ada umatnya yang masuk surga tanpa dihisab. Tiba-tiba, Ukasyah berdiri dan berseru, “Ya Rasulullah, doakan supaya aku termasuk salah satu dari golongan itu.” Nabi menjawab, “Engkau termasuk di dalamnya.” Lalu berdiri seorang sahabat dan berkata, “Ya Rasulullah, doakan supaya aku juga termasuk salah satu dari golongan itu.” Jawaban Nabi, “Engkau telah didahului Ukasyah.”
Jawaban Nabi sangat menentramkan, Nabi tidak menghakimi dengan semisal jawaban, “Engkau tidak pantas. Kualitasmu jauh di bawah Ukasyah. Engkau tidak berhak masuk surga tanpa dihisab. Engkau banyak dosa.” Nabi menjawab dengan kalimat yang menentramkan dan sekaligus mendorong penanya untuk memacu diri supaya punya kualitas seperti Ukasyah. Aisyah memberi kesaksian bahwa akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.
Saat berbeda, Nabi Muhammad akan memulai salat bersama para sahabatnya. Tiba-tiba tercium bau kentut dari barisan jamaah. Setelah menunggu sesaat, tidak ada yang keluar barisan untuk berwudhu kembali, mungkin karena menahan malu.
Sejurus kemudian, Nabi menyatakan, “Siapa tadi yang makan daging unta, maka hendaklah ia berwudhu kembali!” Maka, Nabi sendiri bersama para sahabat yang memang umumnya makan daging unta, segera berwudhu kembali. Identitas sosok yang kentut tidak dipermalukan.
Quraish Shihab menulis buku khusus, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak. Perilaku para elite dan warga bangsa menjadi sumber malapetaka ketika akhlak telah tiada. Tidak hanya akhlak kepada sesama manusia, namun juga akhlak kepada alam raya yang sedang dalam kondisi sakit parah. Akhlak akan memandu orang untuk berperilaku patut dan memperlakukan orang lain dengan memuliatan harkat dan martabatnya.
Betapa tidak mudah mempraktekkan kerendahan hati dan akhlak terpuji. Kita sering menetapkan standar tinggi atas diri kita. Lalu berharap semua orang memperlakukan kita berdasar standar itu. Ketika ada yang memperlakukan kita kurang dari standar itu, kita merasa tersinggung.
Buya Syafii memberi teladan, meskipun sebagai tokoh besar, Buya tidak tersinggung dengan penilaian orang, termasuk pada mereka yang mencaci maki. Buya dapat akrab dengan semua orang, dari presiden, pendeta, anak muda, sopir taksi, hingga rakyat biasa.
_____
Muhammad Ridha Basri, wartawan Suara Muhammadiyah.
1 Komentar

2021-12-26 08:46:39
Okta
Artikel keren, inspiratif! Smg Buya dan penulis artikel ini sehat selalu.
1 Komentar
2021-12-26 08:46:39
Okta
Artikel keren, inspiratif! Smg Buya dan penulis artikel ini sehat selalu.
Tinggalkan Pesan