Launching dan Bedah Buku “Berdiang di Perapian Buya Syafii”
Ichsanul Rizal Husen Rabu, 5-1-2022 | - Dilihat: 209

Oleh: Ichsanul Rizal Husen
Rabu, 5 Januari 2022. PC IMM AR Fakhrudin bekerjasama dengan MAARIF Institute menyelenggarakan Launching dan Bedah Buku "Berdiang di Perapian Buya Syafii". Kegiatan yang berlangsung secara hybrid online via Zoom Meeting dan offline bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut bertujuan untuk mengulas lebih jauh buku karangan Riki Dhamparan Putra di atas.
Berbagai narasumber dihadirkan untuk membedah buku "Berdiang di Perapian Buya Syafii", mulai dari Abdul Rohim Gazali (Direktur Eksekutif MAARIF Institute), Moh. Shofan, MA. (Direktur Program MAARIF Institute), Raudah Tanjung Banua (Sastrawan Yogyakarta), Faris Al-Fadhat S.IP, MA, Ph.D. (Wakil rektor bidang kemahasiswaan dan AIK), serta dihadiri langsung secara online oleh Buya Syafii Maarif.
Dalam sambutannya, Abd Rohim Gazali meyatakan bahwa begitu banyak tulisan baik berupa skripsi, thesis, desertasi, maupun buku yang mengulas perihal pemikiran Buya Syafii. Hal tersebut menunjukkan bahwa segala bentuk pemikiran Buya Syafii bersifat terbuka dan setiap orang berhak untuk mengkaji maupun mengkritisi.
Banyak diantaranya yang mendukung dan merasa tercerahkan, meskipun muncul juga berbagai kecaman dan kritik dari mereka yang berbeda pandangan. Sedangkan Buya Syafii sendiri berpesan dalam sambutannya bahwa saat ini adalah kesempatan bagi anak muda untuk tampil. Oleh karen itu, Buya merasa bangga kepada Riki dan mengucapkan selamat atas terbitnya buku tersebut.
Faris Al-Fadhat wakil rektor bidang kemahasiswaan dan AIK, atau biasa dipanggil mas Faris. merasa senang dengan diadakannya bedah buku di lingkungan kampus UMY, karena selama ini sudah terlalu banyak diskusi pada lingkup mahasiswa yang hanya membahas isu-isu terkini berbasis event sementara. Sedangkan diskusi buku sendiri lebih membuka cara pandang serta bersifat berkelanjutan.
Aspek utama yang disoroti mas Faris dalam buku "Berdiang di Perapian Buya Syafii" adalah pendekatan budaya yang dilakukan Riki untuk mengulas pemikiran Buya Syafii. Menurut mas Faris, beberapa keunggulan buku tersebut diantaranya pertama "interpretasi bebas dan dapat dibaca mulai dari mana saja", dua "mudah dipahami oleh awam", tiga "karena Bang Riki seniman, tulisannya penuh dengan diksi sastra yang indah".
“Meskipun tidak mengharamkan metodologis ilmiah, para sastrawan lebih banyak mengambil gagasan organik kultural. Seperti halnya yang dilakukan bang Riki dalam kepenulisan bukunya ini”, ujar Raudal Tanjung, sebagai salah satu pembedah sekaligus kawan Riki sesama sastrawan.
Secara harfian, perapian bisa berarti api dalam tungku dan berdiang adalah menghangatkan diti pada perapian. Namun secara simbolik, perrapian memiliki makna yang lebih luas dan filosofis. Dalam konsep masyarakat Minangkabau misalnya, ada ungkapan tungku-tigo-sajarangan yang bersumber dari pola perapian tradisional namun maknanya kontekstual hingga zaman sekarang.
Tiga tungku perapian tersebut melambangkan trias-kultura Minangkabau yaitu: alim-ulama, ninik-mamak, dan cerdik-pandai. Ketiganya saling topang dan menyangga. Bila satu tungku rapuh atau goyah, periuk-belanga tak akan stabil letaknya dan apa yang terjang tak akan sempurna matangnya. Menurut Riki, ketiga tungku tersebut bila dianalogikan pada Buya Syafii selalu melibatkan tiga kunci: Islam, Muhammadiyah, dan Keindonesiaan.
Total esai dalam buku tersebut sebanyak 28 judul, serta terbagi dalam tida bagian. Bagian pertama berisi 12 esai tentang isu naisonal, regional, maupun internasional. Pada bagian kedua berisi 11 esai yang telah mengerucut pada isu-isu Minangkabau mutakhir. Serta pada bagian ke tiga terdiri dari 5 esai yang mengulas tentang Covid-19.
Sebagai penyair yang menuliskan gagasan melalui esai, tentu Riki memiliki kapasitas untuk menemukan istilah atau diksi apik sebagai gambaran gagasannya. Tidak hanya dipenuhi dengan esai dan gagasan naratif, akan tetapi buku ini juga dihiasi oleh puisi-puisi karya Riki, seperti puisi pembuka yang berjudul “Hotspot Buya Syafii”.
Meskipun kegiatan bedah buku ini berjalan secara hybrid, online dan offline, peserta cukup antusias ditandai dengan sesi tanya jawab yang atraktif antara para peserta, pembedah, serta penulis secara langsung selam proses bedah buku berlangsung.
Sebagai kalimat pamungkas, Riki menyatakan bahwa dirinya terkagum dengan mars IMM yang dinyanyikan pada pembukaan acara. Menurutnya, kalimat "sejarah telah menuntut bukti" merupakan kalimat cemerlang untuk menjadi landasan perjuangan IMM sekaligus menjadi auto kritik bagi kader IMM agar senantiasa bergerak sembari membenari diri. (Ichsanul Rizal Husen)
- Artikel Terpuler -
Launching dan Bedah Buku “Berdiang di Perapian Buya Syafii”
Ichsanul Rizal Husen Rabu, 5-1-2022 | - Dilihat: 209

Oleh: Ichsanul Rizal Husen
Rabu, 5 Januari 2022. PC IMM AR Fakhrudin bekerjasama dengan MAARIF Institute menyelenggarakan Launching dan Bedah Buku "Berdiang di Perapian Buya Syafii". Kegiatan yang berlangsung secara hybrid online via Zoom Meeting dan offline bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut bertujuan untuk mengulas lebih jauh buku karangan Riki Dhamparan Putra di atas.
Berbagai narasumber dihadirkan untuk membedah buku "Berdiang di Perapian Buya Syafii", mulai dari Abdul Rohim Gazali (Direktur Eksekutif MAARIF Institute), Moh. Shofan, MA. (Direktur Program MAARIF Institute), Raudah Tanjung Banua (Sastrawan Yogyakarta), Faris Al-Fadhat S.IP, MA, Ph.D. (Wakil rektor bidang kemahasiswaan dan AIK), serta dihadiri langsung secara online oleh Buya Syafii Maarif.
Dalam sambutannya, Abd Rohim Gazali meyatakan bahwa begitu banyak tulisan baik berupa skripsi, thesis, desertasi, maupun buku yang mengulas perihal pemikiran Buya Syafii. Hal tersebut menunjukkan bahwa segala bentuk pemikiran Buya Syafii bersifat terbuka dan setiap orang berhak untuk mengkaji maupun mengkritisi.
Banyak diantaranya yang mendukung dan merasa tercerahkan, meskipun muncul juga berbagai kecaman dan kritik dari mereka yang berbeda pandangan. Sedangkan Buya Syafii sendiri berpesan dalam sambutannya bahwa saat ini adalah kesempatan bagi anak muda untuk tampil. Oleh karen itu, Buya merasa bangga kepada Riki dan mengucapkan selamat atas terbitnya buku tersebut.
Faris Al-Fadhat wakil rektor bidang kemahasiswaan dan AIK, atau biasa dipanggil mas Faris. merasa senang dengan diadakannya bedah buku di lingkungan kampus UMY, karena selama ini sudah terlalu banyak diskusi pada lingkup mahasiswa yang hanya membahas isu-isu terkini berbasis event sementara. Sedangkan diskusi buku sendiri lebih membuka cara pandang serta bersifat berkelanjutan.
Aspek utama yang disoroti mas Faris dalam buku "Berdiang di Perapian Buya Syafii" adalah pendekatan budaya yang dilakukan Riki untuk mengulas pemikiran Buya Syafii. Menurut mas Faris, beberapa keunggulan buku tersebut diantaranya pertama "interpretasi bebas dan dapat dibaca mulai dari mana saja", dua "mudah dipahami oleh awam", tiga "karena Bang Riki seniman, tulisannya penuh dengan diksi sastra yang indah".
“Meskipun tidak mengharamkan metodologis ilmiah, para sastrawan lebih banyak mengambil gagasan organik kultural. Seperti halnya yang dilakukan bang Riki dalam kepenulisan bukunya ini”, ujar Raudal Tanjung, sebagai salah satu pembedah sekaligus kawan Riki sesama sastrawan.
Secara harfian, perapian bisa berarti api dalam tungku dan berdiang adalah menghangatkan diti pada perapian. Namun secara simbolik, perrapian memiliki makna yang lebih luas dan filosofis. Dalam konsep masyarakat Minangkabau misalnya, ada ungkapan tungku-tigo-sajarangan yang bersumber dari pola perapian tradisional namun maknanya kontekstual hingga zaman sekarang.
Tiga tungku perapian tersebut melambangkan trias-kultura Minangkabau yaitu: alim-ulama, ninik-mamak, dan cerdik-pandai. Ketiganya saling topang dan menyangga. Bila satu tungku rapuh atau goyah, periuk-belanga tak akan stabil letaknya dan apa yang terjang tak akan sempurna matangnya. Menurut Riki, ketiga tungku tersebut bila dianalogikan pada Buya Syafii selalu melibatkan tiga kunci: Islam, Muhammadiyah, dan Keindonesiaan.
Total esai dalam buku tersebut sebanyak 28 judul, serta terbagi dalam tida bagian. Bagian pertama berisi 12 esai tentang isu naisonal, regional, maupun internasional. Pada bagian kedua berisi 11 esai yang telah mengerucut pada isu-isu Minangkabau mutakhir. Serta pada bagian ke tiga terdiri dari 5 esai yang mengulas tentang Covid-19.
Sebagai penyair yang menuliskan gagasan melalui esai, tentu Riki memiliki kapasitas untuk menemukan istilah atau diksi apik sebagai gambaran gagasannya. Tidak hanya dipenuhi dengan esai dan gagasan naratif, akan tetapi buku ini juga dihiasi oleh puisi-puisi karya Riki, seperti puisi pembuka yang berjudul “Hotspot Buya Syafii”.
Meskipun kegiatan bedah buku ini berjalan secara hybrid, online dan offline, peserta cukup antusias ditandai dengan sesi tanya jawab yang atraktif antara para peserta, pembedah, serta penulis secara langsung selam proses bedah buku berlangsung.
Sebagai kalimat pamungkas, Riki menyatakan bahwa dirinya terkagum dengan mars IMM yang dinyanyikan pada pembukaan acara. Menurutnya, kalimat "sejarah telah menuntut bukti" merupakan kalimat cemerlang untuk menjadi landasan perjuangan IMM sekaligus menjadi auto kritik bagi kader IMM agar senantiasa bergerak sembari membenari diri. (Ichsanul Rizal Husen)
0 Komentar
Tinggalkan Pesan