Kiai Dahlan, Ejekan, dan Ketawadukan
M. Husnaini Sabtu, 18-12-2021 | - Dilihat: 261
Oleh: M. Husnaini
Ketika pertama kali berdakwah ke Banyuwangi, KH Ahmad Dahlan pernah diteriaki hadirin sebagai kiai palsu. Pasalnya, sang kiai enggan meladeni berbagai pertanyaan yang tidak terkait Muhammadiyah. Hadirin lantas mengejek KH Ahmad Dahlan dan menganggapnya kalah debat (Mulkhan, 2010).
Merintis organisasi apa pun memang tidak ringan. Halangan dan rintangan mengadang di setiap jalan. Demikian pula yang dihadapi KH Ahmad Dahlan ketika merintis Muhammadiyah.
Tetapi, KH Ahmad Dahlan adalah Sang Pencerah. Dia seorang modernis dengan pikiran-pikiran yang sangat maju karena literatur yang kaya. KRH Hadjid, santrinya yang paling muda, begitu rajin mencatat petuah-petuah KH Ahmad Dahlan hingga menjadi buku “Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”.
Menurut Hadjid, keistimewaan KH Ahmad Dahlan, selain punya kecerdasan untuk memahami kitab-kitab yang sukar, dia memiliki ketakutan luar biasa terhadap berita seputar hari berbangkit sebagaimana disampaikan Al-Qur’an dalam surah An-Naba’/78.
Sebagai pencari kebenaran sejati, KH Ahmad Dahlan juga gemar berdiskusi, bahkan berdebat. Tidak hanya dengan sesama umat Islam, diskusi dan debat dilakukan dengan tokoh-tokoh agama lain, antara lain dengan Pendeta Van Lith, Pendeta Van Driesse, Pendeta Domine Bakker, dan lainnya (Junus Salam, 1968).
Beberapa kali KH Ahmad Dahlan terlibat diskusi tentang agama dan ketuhanan dengan banyak tokoh agama lain. Di buku “Riwayat Hidup KHA Dahlan: Amal dan Perjuangannya” tersebut, dikisahkan diskusi dengan Pendeta Van Lith hanya sekali, karena setelahnya sang pendeta segera meninggal dunia. Diskusi dengan Pendeta Van Driesse juga cuma sekali, karena sikap pendeta itu sangat kasar dan tidak dapat diajak bertukar pikiran.
Yang paling mengesankan ialah diskusi dengan Pendeta Domine Bakker. Pertemuan berlangsung berkali-kali. Tetapi karena Domine Bakker berbelit-belit dan enggan mengakui kekalahan, KH Ahmad Dahlan akhirnya mengajukan tantangan:
“Marilah kita sama-sama keluar dari agama yang selama ini kita yakini guna mencari dan menyelidiki agama mana yang lebih benar. Kalau ternyata nantinya agama yang Tuan yakini selama ini yang lebih benar, saya bersedia masuk ke dalam agama Tuan. Sebaliknya, apabila Islam yang lebih benar, Tuan juga harus mau memeluk Islam.”
Dengan demikian, menjadi jelas KH Ahmad Dahlan bukan kiai palsu, apalagi tidak berani atau kalah debat. Sang Pencerah mengamalkan pesan Nabi, “Di antara ciri baiknya keberislaman seseorang adalah meninggalkan segala perkara yang tidak membawa faedah.”
Hadis itu mengonfirmasi beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, dinyatakan bahwa keberuntungan orang-orang beriman, antara lain “mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada guna” (QS Al-Mukminun/23: 3).
Lebih tegas, dalam surah Al-Furqan/25: 63, dikatakan bahwa “hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil mengejek, mereka membalas dengan kata-kata yang mengandung keselamatan atau kedamaian.”
Itulah yang dipegang KH Ahmad Dahlan kala itu.
Di antara tantangan berat dakwah ialah tidak mudah terprovokasi oleh keadaan. Tokoh agama seharusnya tidak mudah menari oleh irama gendang pihak lain. Namun, praktik di lapangan kadang jauh panggang dari api.
Orang tersesat bukan cuma karena kurang informasi. Banjir informasi, sebagaimana terjadi di era media sosial sekarang, juga kerap menyebabkan orang terseret arus. Apalagi ketika membaca berita yang mengaduk emosi dan kebetulan sesuai kepentingan. Status tokoh belum jaminan sanggup menahan diri dari derasnya arus keadaan, terlebih di media sosial.
Di media sosial, sering kita jumpai orang dengan posisi penting dan terhormat justru terlibat perdebatan panjang yang kerap jauh dari manfaat. Kalau tidak pandai mengelola diri, bara emosi membakar ke mana-mana. Pertimbangan terhadap status sosial diri sendiri tidak dipedulikan lagi.
Di antara rumus bahagia itu jangan memasukkan semua urusan ke kepala. Jangan pula terlalu pusing dengan sesuatu yang bukan kepentingan kita, apalagi kita tidak punya ilmunya. Tetapi rumus ini luar biasa sukar diterapkan, sebab media sosial memungkinan siapa saja berpendapat apa saja. Bahkan, setiap orang dapat menjadi wartawan untuk dirinya sendiri.
Banyak orang lupa fokus dan tujuan. Terlalu serius di dunia maya, namun tidak sungguh-sungguh berkarya di alam nyata. Kepada KH Ahmad Dahlan, kita harus belajar.
Kita tutup dengan mengambil pelajaran pada beberapa ayat Al-Qur’an. Dalam Ar-Raad/13: 17, misalnya, Tuhan melukiskan “…buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya. Sementara yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.”
Dengan demikian, karya yang baik dan bermanfaat akan awet dan tahan lama, sebagaimana Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Sementara cemoohan, ejekan, makian, dan bahkan pikiran-pikiran yang aneh dan nyeleneh, sebagaimana juga kerap menghinggapi sebagian orang Islam, pasti akan menguap ditelan angin.
Karena itu, cara terbaik untuk menghadapi segala yang tidak penting dan tiada manfaat, baik berupa ucapan, postingan, atau perbuatan, ialah dengan cara mendiamkannya, sembari tetap kita kumandangkan pilihan-pilihan yang positif dan konstruktif.
Penulis adalah mahasiswa program doktoral di International Islamic University Malaysia
- Artikel Terpuler -
Kiai Dahlan, Ejekan, dan Ketawadukan
M. Husnaini Sabtu, 18-12-2021 | - Dilihat: 261
Oleh: M. Husnaini
Ketika pertama kali berdakwah ke Banyuwangi, KH Ahmad Dahlan pernah diteriaki hadirin sebagai kiai palsu. Pasalnya, sang kiai enggan meladeni berbagai pertanyaan yang tidak terkait Muhammadiyah. Hadirin lantas mengejek KH Ahmad Dahlan dan menganggapnya kalah debat (Mulkhan, 2010).
Merintis organisasi apa pun memang tidak ringan. Halangan dan rintangan mengadang di setiap jalan. Demikian pula yang dihadapi KH Ahmad Dahlan ketika merintis Muhammadiyah.
Tetapi, KH Ahmad Dahlan adalah Sang Pencerah. Dia seorang modernis dengan pikiran-pikiran yang sangat maju karena literatur yang kaya. KRH Hadjid, santrinya yang paling muda, begitu rajin mencatat petuah-petuah KH Ahmad Dahlan hingga menjadi buku “Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”.
Menurut Hadjid, keistimewaan KH Ahmad Dahlan, selain punya kecerdasan untuk memahami kitab-kitab yang sukar, dia memiliki ketakutan luar biasa terhadap berita seputar hari berbangkit sebagaimana disampaikan Al-Qur’an dalam surah An-Naba’/78.
Sebagai pencari kebenaran sejati, KH Ahmad Dahlan juga gemar berdiskusi, bahkan berdebat. Tidak hanya dengan sesama umat Islam, diskusi dan debat dilakukan dengan tokoh-tokoh agama lain, antara lain dengan Pendeta Van Lith, Pendeta Van Driesse, Pendeta Domine Bakker, dan lainnya (Junus Salam, 1968).
Beberapa kali KH Ahmad Dahlan terlibat diskusi tentang agama dan ketuhanan dengan banyak tokoh agama lain. Di buku “Riwayat Hidup KHA Dahlan: Amal dan Perjuangannya” tersebut, dikisahkan diskusi dengan Pendeta Van Lith hanya sekali, karena setelahnya sang pendeta segera meninggal dunia. Diskusi dengan Pendeta Van Driesse juga cuma sekali, karena sikap pendeta itu sangat kasar dan tidak dapat diajak bertukar pikiran.
Yang paling mengesankan ialah diskusi dengan Pendeta Domine Bakker. Pertemuan berlangsung berkali-kali. Tetapi karena Domine Bakker berbelit-belit dan enggan mengakui kekalahan, KH Ahmad Dahlan akhirnya mengajukan tantangan:
“Marilah kita sama-sama keluar dari agama yang selama ini kita yakini guna mencari dan menyelidiki agama mana yang lebih benar. Kalau ternyata nantinya agama yang Tuan yakini selama ini yang lebih benar, saya bersedia masuk ke dalam agama Tuan. Sebaliknya, apabila Islam yang lebih benar, Tuan juga harus mau memeluk Islam.”
Dengan demikian, menjadi jelas KH Ahmad Dahlan bukan kiai palsu, apalagi tidak berani atau kalah debat. Sang Pencerah mengamalkan pesan Nabi, “Di antara ciri baiknya keberislaman seseorang adalah meninggalkan segala perkara yang tidak membawa faedah.”
Hadis itu mengonfirmasi beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, dinyatakan bahwa keberuntungan orang-orang beriman, antara lain “mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada guna” (QS Al-Mukminun/23: 3).
Lebih tegas, dalam surah Al-Furqan/25: 63, dikatakan bahwa “hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil mengejek, mereka membalas dengan kata-kata yang mengandung keselamatan atau kedamaian.”
Itulah yang dipegang KH Ahmad Dahlan kala itu.
Di antara tantangan berat dakwah ialah tidak mudah terprovokasi oleh keadaan. Tokoh agama seharusnya tidak mudah menari oleh irama gendang pihak lain. Namun, praktik di lapangan kadang jauh panggang dari api.
Orang tersesat bukan cuma karena kurang informasi. Banjir informasi, sebagaimana terjadi di era media sosial sekarang, juga kerap menyebabkan orang terseret arus. Apalagi ketika membaca berita yang mengaduk emosi dan kebetulan sesuai kepentingan. Status tokoh belum jaminan sanggup menahan diri dari derasnya arus keadaan, terlebih di media sosial.
Di media sosial, sering kita jumpai orang dengan posisi penting dan terhormat justru terlibat perdebatan panjang yang kerap jauh dari manfaat. Kalau tidak pandai mengelola diri, bara emosi membakar ke mana-mana. Pertimbangan terhadap status sosial diri sendiri tidak dipedulikan lagi.
Di antara rumus bahagia itu jangan memasukkan semua urusan ke kepala. Jangan pula terlalu pusing dengan sesuatu yang bukan kepentingan kita, apalagi kita tidak punya ilmunya. Tetapi rumus ini luar biasa sukar diterapkan, sebab media sosial memungkinan siapa saja berpendapat apa saja. Bahkan, setiap orang dapat menjadi wartawan untuk dirinya sendiri.
Banyak orang lupa fokus dan tujuan. Terlalu serius di dunia maya, namun tidak sungguh-sungguh berkarya di alam nyata. Kepada KH Ahmad Dahlan, kita harus belajar.
Kita tutup dengan mengambil pelajaran pada beberapa ayat Al-Qur’an. Dalam Ar-Raad/13: 17, misalnya, Tuhan melukiskan “…buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya. Sementara yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.”
Dengan demikian, karya yang baik dan bermanfaat akan awet dan tahan lama, sebagaimana Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Sementara cemoohan, ejekan, makian, dan bahkan pikiran-pikiran yang aneh dan nyeleneh, sebagaimana juga kerap menghinggapi sebagian orang Islam, pasti akan menguap ditelan angin.
Karena itu, cara terbaik untuk menghadapi segala yang tidak penting dan tiada manfaat, baik berupa ucapan, postingan, atau perbuatan, ialah dengan cara mendiamkannya, sembari tetap kita kumandangkan pilihan-pilihan yang positif dan konstruktif.
Penulis adalah mahasiswa program doktoral di International Islamic University Malaysia
4 Komentar
2024-11-29 05:26:26
Btlbxk
eriacta beard - sildigra creak forzest lip
2024-12-04 23:14:38
Obybqi
crixivan online order - emulgel buy online diclofenac gel purchase online
2024-12-05 03:59:09
Wqcqts
valif thunder - sinemet 20mg cost sinemet for sale online
2024-12-07 21:49:06
Tunwmy
valif pills bay - sinemet 20mg sale sinemet 20mg cost
4 Komentar
2024-11-29 05:26:26
Btlbxk
eriacta beard - sildigra creak forzest lip
2024-12-04 23:14:38
Obybqi
crixivan online order - emulgel buy online diclofenac gel purchase online
2024-12-05 03:59:09
Wqcqts
valif thunder - sinemet 20mg cost sinemet for sale online
2024-12-07 21:49:06
Tunwmy
valif pills bay - sinemet 20mg sale sinemet 20mg cost
Tinggalkan Pesan