• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Kemerosotan Spirit Keilmuan, Krisis Identitas, dan Solusi Plato

Ramadhanur Putra Ahad, 3-4-2022 | - Dilihat: 89

banner

Oleh: Ramadhanur Putra

Tulisan ini adalah materi yang penulis bawakan dalam Diskusi Series #5 Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM FAI UMY 21/22 pada Rabu, 30 Maret 2022 di Kopi Lor Bale, Ambar Ketawang, DIY.

Materi yang disampaikan adalah buah refleksi dari bacaan terhadap buku filsafat kuno yang ditulis oleh Mohammad Hatta (1986), yaitu Alam Pikiran Yunani. Buku ini menjadi salah satu referensi untuk mempelajari filsafat, terkhusus bagi kita para pemula. Diskusi yang bertajuk “Menyelami Alam Pikiran Plato” adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kembali spirit keilmuan para akademisi Islam di masa ini.

Tolak Balik

Hari ini, di tengah derasnya kemajuan yang melanda umat manusia. Sangat sedikit di antara kita, melihat itu sebagai produk yang dilahirkan oleh para kaum intelektualitas dengan pemikirannya dalam membangun peradaban. Kita hanya menjalani, menjadi pioner zaman, hidup begitu saja tanpa adanya kesadaran untuk menjadi subjek dalam membangun sejarah perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Di samping itu, para kaum muda yang erat kaitannya dengan perubah zaman. Generasi yang dicanangkan mampu untuk mengubah kondisi zaman menjadi lebih baik, terkhusus para mahasiswa yang melekat dalam dunia intelektualitas, cenderung lebih suka ‘ugal-ugalan’ dan malas-malasan.

Ditambah lagi, krisis identitas yang melanda kita semua. Ketidaktauan tentang hakikat dari kehidupan yang dijalani. Peran yang harus diambil. Tugas yang akan diemban suatu saat nanti. Seperti tidak pernah menjadi obrolan serius kaum muda di ‘tongkrongan’ mereka kala ngopi dengan karib-sahabat.

Inilah yang menjadi tolak balik, mengapa Plato dan pemikirannya perlu digaungkan kembali sebagai upaya reflektif di tengah merosotnya spirit keilmuan dan juga krisis identitas kaum muda hari ini. Bilkhusus, mahasiswa.

Plato: Geneologi Pemikiran dan Biografi

Dalam KBBI, geneologi memiliki arti garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah. Maka jika ia dikaitkan dengan diksi pemikiran, dapat kita tarik kesimpulan secara sederhana bahwa genologi pemikiran adalah pemikiran terdahulu yang mempengaruhi pola pemikiran baru seseorang.

Secara geneologi pemikiran, Plato sendiri dipengaruhi oleh para filsuf sebelumnya, yaitu Socrates dan dinamikanya bersama kaum sofis yang hidup pada zaman itu. Kemudian, Plato juga dipengaruhi oleh pemikiran Heraklitos dan juga Permenides terkait dengan arkhe (asal-muasal) alam semesta.

Plato adalah seorang filsuf yang lahir di Athena, kisaran 427 SM. Dia adalah murid dari Socrates sampai akhir hayatnya. Ketika Socrates meninggal dunia, dan Plato saat itu berusia

20 tahun. Dia memutuskan untuk pergi dari Athena untuk belajar kepada yang lain. Mula-mula, Plato pergi ke Megara untuk belajar fisafat kepada Euklides. Lalu ia pergi ke Kyrena untuk belajar matematika kepada Theodoros. Sampai akhirnya, dia diminta untuk mengajarkan filsafat di Sirakusa, Italia oleh seorang Raja yang bernama Dionysios.

Namun sayang beribu sayang, Plato yang bijaksana ternyata tidak mendapatkan perlakuan indah dari Raja. Raja menjadi gelisah dengan segala kebijaksaan yang Plato sampaikan untuk dapat dilakukan oleh Raja dalam memimpin kerajaannya. Akhirnya, Plato dikerdilkan dengan menjualnya sebagai seorang budak.

Nasib mujur bagi seorang Plato, dia ditemukan oleh muridnya yang bernama Annikeris dan ditebus dengan uangnya sendiri. Setelah itu, ketika murid Plato yang lain mendengarkan kabar itu. Mereka berinisiatif untuk mengumpulkan uang guna menebus uang Annikeris yang bisa dikatakan cukup banyak jumlah tebusannya.

Mengetahui itu, Annikeris berkata, “bukan Tuan-tuan saja yang berhak memelihara seorang Plato”, saat itu jualah uang yang terkumpul tadi dipakai untuk membeli sebidang tanah dan diserahkan kepada Plato untuk membangun sebuah pusat keilmuan di zamannya yang disebut dengan Akademia.

Menurut pandangan penulis, berdirinya Akademia bukan semata-mata karena bentuk ‘syukuran’ atas penebusan Plato sebagai budak. Namun, jauh lebih dalam dari pada itu terdapat spirit keilmuan atas dasar kesadaran terhadap realitas sekitar. Plato menyadari untuk membentuk masyarakat yang merdeka dan menghancurkan kekuatan politik oligarki-tirani harus dimulai dengan pendidikan.

Plato menghabiskan masa hidupnya di Akademia. Meskipun, setelah didirikannya sekolah itu, dia masih sempatkan untuk kembali ke Sirakusa guna memperbaiki problematika disana. Namun, usaha yang dilakukan oleh Plato tidak membuahkan hasil yang begitu berdampak. Plato wafat pada tahun 347 SM di Athena. Setelah wafatnya Plato, Akademia dipimpin oleh keponakannya, yaitu Speusippos.

Buah Pikiran Plato

Dalam buku yang menjadi referensi diskusi ini, setidaknya ada 3 pokok pemikiran utama yang digagas oleh seorang Plato. Tiga pokok pemikiran itu adalah; dualisme dunia, negara ideal, dan terakhir etika.

Pertama, dualisme dunia. Pikiran Plato tentang dualisme dunia bertolak dari yang menjadi dari apa yang dimaksud dengan. ‘budi ialah tahu’, mencari pengetahuan tentang pengetahuan. Menurut Plato, pengetahuan dapat diperoleh dengan pengertian dan juga pengalaman. Pengertian diperoleh dengan cara berfikir, sedangkan pengalaman diperoleh dengan cara bertindak.

Plato menyebutkan bahwa, pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan yang diperoleh dengan pengertian tadi, bukan pengalaman. Atas dasar ini, Plato membagi dunia kepada 2 dimensi, yaitu dunia ide dan dunia realitas.

Dunia ide adalah dunia yang tak terhingga, kekal dan abadi, didalamnya terdapat segala bentuk pengetahuan. Dunia ide itu berada didalam otak manusia. Dunia ide diisi oleh kebijaksanaan dan juga keindahan secara hirarkis. Dunia ide sudah ada sebelum kita lahir menjadi manusia yang bernafas.

Sedangkan dunia realitas adalah dunia yang terbatas, tidak kekal dan abadi. Segala yang kita temukan dalam dunia realitas pada dasarnya sudah ada di dunia ide. Dunia realitas adalah dunia yang kita jalani hari ini sebagai manusia yang bernafas.

Dunia realitas dan dunia ide dihubungkan oleh jiwa manusia. Artinya, selama kita bernafas dalam dunia realitas, di sanalah kita mengingat apa yang sudah kita ketahui di dunia ide sebelumnya. Proses mengingat apa yang ada dalam dunia ide itulah sebuah proses mencari pengetahuan yang abadi. Karena dunia ide diisi oleh kebijaksanaan dan keindahan, maka proses mencari pengetahuan di dunia realitas adalah proses mencari kebijaksanaan dan keindahan.

Kedua, negara ideal. Pikiran Plato terhadap dualisme dunia sebagai dimensi yang terlibat dalam proses mencari budi dengan berpengetahuan (budi ialah tahu) berdampak pada pemikirannya yang lain yaitu negara ideal sebagai bentuk respon terhadap kondisi pemerintahan dizamannya. Pemerintahan yangs serampangan, penindasan, dan segala bentuk kekejaman lainnya dikritik oleh Plato lewat pikiannya tentang negara ideal.

Menurut Plato, negara sebagai tempat berkumpulnya orang banyak dengan kepentingan yang banyak pula. Harus dapat diakomodir dengan baik sehingga terwujudnya keadilan bersama. Menurut Plato, keadilan dalam sebuah negara akan dapat terwujud jika semua golongan dalam negara itu dapat berfungsi dengan maksimal. Plato membagi golongan dalam sebuah negara ideal menjadi tiga golongan, yaitu golongan rendah, menengah, dan atas.

Golongan yang rendah adalah para petani, pedagang, peternak, penjahit, tukang, dan segala yang memberikan kehidupan untuk bersama. Ketika golongan ini dapat mengfungsikan dirinya dengan baik, maka disanalah budi bijaksana tumbuh dalam dirinya.

Golongan yang menengah adalah para prajurit. Mereka adalah yang mengamankan negara dari bahaya yang timbul di dalam maupun luar. Mereka dididik dengan disiplin, diasramakan, dan mendapat pelatiha fisik khusus. Ketika mereka menjalankan fungsinya dengan baik, maka disanalah mereka akan temukan dirinya dengan sebuah budi pula, yaitu budi berani.

Golongan yang atas adalah para filsuf. Para filsuf sebagai orang yang paling berpengetahuan berperan penting dalam memerintah sebuah negara. Mereka difasilitasi hidupnya, diberi sandang, pangan, papan, dan keamanan. Ketika meraka melaksanakan tugasnya dengan baik, disanalah akan mereka temui budi baru pula, yaitu budi bijaksana.

Ketiga golongan ini, akan menghasilkan budinya masing-masing. Budi menguasai diri, budi berani, dan budi bijaksana. Nah, ketiga budi inilah yang akan membentuk budi yang baru dan yang diharapkan pada sebuah negara ideal, yaitu budi keadilan.

Seterusnya, Plato percaya bahwa pendidikan menjadi unsur terpenting dalam membentuk struktur masyarakat tadi. Oleh karena itu, pendidikan harus tersistem dengan baik untuk mewujudkan perubahan dalam sebuah negara.

Ketiga, Etika. Filsafat Plato bersifat rasionalistis. Ia telah menerangkan bahwa untuk mencapai kesenagan hidup hanya dapat ditemui dengan cara mencari pengetahuan. Budi baik adalah tahu, ketika orang memiliki pengetahuan disanalah mereka akan menjadi orang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan.

Purna Kata: Sebuah Upaya Refleksi

Ditengah mencoloknya dua permasalahan tadi, merosotnya spirit keilmuan dan juga krisis identitas. Maka kita perlu belajar pada pemikiran Plato bahwa pengetahuan adalah hal dasar yang harus dicari oleh manusia dalam hidup ini. Sebab, dengan berpengetahuanlah kita dapat menemui kebijaksaan. Baik itu mencari kebijaksaaan untuk diri sendiri, maupun untuk masyarakat sekitar.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Kemerosotan Spirit Keilmuan, Krisis Identitas, dan Solusi Plato

Ramadhanur Putra Ahad, 3-4-2022 | - Dilihat: 89

banner

Oleh: Ramadhanur Putra

Tulisan ini adalah materi yang penulis bawakan dalam Diskusi Series #5 Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM FAI UMY 21/22 pada Rabu, 30 Maret 2022 di Kopi Lor Bale, Ambar Ketawang, DIY.

Materi yang disampaikan adalah buah refleksi dari bacaan terhadap buku filsafat kuno yang ditulis oleh Mohammad Hatta (1986), yaitu Alam Pikiran Yunani. Buku ini menjadi salah satu referensi untuk mempelajari filsafat, terkhusus bagi kita para pemula. Diskusi yang bertajuk “Menyelami Alam Pikiran Plato” adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kembali spirit keilmuan para akademisi Islam di masa ini.

Tolak Balik

Hari ini, di tengah derasnya kemajuan yang melanda umat manusia. Sangat sedikit di antara kita, melihat itu sebagai produk yang dilahirkan oleh para kaum intelektualitas dengan pemikirannya dalam membangun peradaban. Kita hanya menjalani, menjadi pioner zaman, hidup begitu saja tanpa adanya kesadaran untuk menjadi subjek dalam membangun sejarah perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Di samping itu, para kaum muda yang erat kaitannya dengan perubah zaman. Generasi yang dicanangkan mampu untuk mengubah kondisi zaman menjadi lebih baik, terkhusus para mahasiswa yang melekat dalam dunia intelektualitas, cenderung lebih suka ‘ugal-ugalan’ dan malas-malasan.

Ditambah lagi, krisis identitas yang melanda kita semua. Ketidaktauan tentang hakikat dari kehidupan yang dijalani. Peran yang harus diambil. Tugas yang akan diemban suatu saat nanti. Seperti tidak pernah menjadi obrolan serius kaum muda di ‘tongkrongan’ mereka kala ngopi dengan karib-sahabat.

Inilah yang menjadi tolak balik, mengapa Plato dan pemikirannya perlu digaungkan kembali sebagai upaya reflektif di tengah merosotnya spirit keilmuan dan juga krisis identitas kaum muda hari ini. Bilkhusus, mahasiswa.

Plato: Geneologi Pemikiran dan Biografi

Dalam KBBI, geneologi memiliki arti garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah. Maka jika ia dikaitkan dengan diksi pemikiran, dapat kita tarik kesimpulan secara sederhana bahwa genologi pemikiran adalah pemikiran terdahulu yang mempengaruhi pola pemikiran baru seseorang.

Secara geneologi pemikiran, Plato sendiri dipengaruhi oleh para filsuf sebelumnya, yaitu Socrates dan dinamikanya bersama kaum sofis yang hidup pada zaman itu. Kemudian, Plato juga dipengaruhi oleh pemikiran Heraklitos dan juga Permenides terkait dengan arkhe (asal-muasal) alam semesta.

Plato adalah seorang filsuf yang lahir di Athena, kisaran 427 SM. Dia adalah murid dari Socrates sampai akhir hayatnya. Ketika Socrates meninggal dunia, dan Plato saat itu berusia

20 tahun. Dia memutuskan untuk pergi dari Athena untuk belajar kepada yang lain. Mula-mula, Plato pergi ke Megara untuk belajar fisafat kepada Euklides. Lalu ia pergi ke Kyrena untuk belajar matematika kepada Theodoros. Sampai akhirnya, dia diminta untuk mengajarkan filsafat di Sirakusa, Italia oleh seorang Raja yang bernama Dionysios.

Namun sayang beribu sayang, Plato yang bijaksana ternyata tidak mendapatkan perlakuan indah dari Raja. Raja menjadi gelisah dengan segala kebijaksaan yang Plato sampaikan untuk dapat dilakukan oleh Raja dalam memimpin kerajaannya. Akhirnya, Plato dikerdilkan dengan menjualnya sebagai seorang budak.

Nasib mujur bagi seorang Plato, dia ditemukan oleh muridnya yang bernama Annikeris dan ditebus dengan uangnya sendiri. Setelah itu, ketika murid Plato yang lain mendengarkan kabar itu. Mereka berinisiatif untuk mengumpulkan uang guna menebus uang Annikeris yang bisa dikatakan cukup banyak jumlah tebusannya.

Mengetahui itu, Annikeris berkata, “bukan Tuan-tuan saja yang berhak memelihara seorang Plato”, saat itu jualah uang yang terkumpul tadi dipakai untuk membeli sebidang tanah dan diserahkan kepada Plato untuk membangun sebuah pusat keilmuan di zamannya yang disebut dengan Akademia.

Menurut pandangan penulis, berdirinya Akademia bukan semata-mata karena bentuk ‘syukuran’ atas penebusan Plato sebagai budak. Namun, jauh lebih dalam dari pada itu terdapat spirit keilmuan atas dasar kesadaran terhadap realitas sekitar. Plato menyadari untuk membentuk masyarakat yang merdeka dan menghancurkan kekuatan politik oligarki-tirani harus dimulai dengan pendidikan.

Plato menghabiskan masa hidupnya di Akademia. Meskipun, setelah didirikannya sekolah itu, dia masih sempatkan untuk kembali ke Sirakusa guna memperbaiki problematika disana. Namun, usaha yang dilakukan oleh Plato tidak membuahkan hasil yang begitu berdampak. Plato wafat pada tahun 347 SM di Athena. Setelah wafatnya Plato, Akademia dipimpin oleh keponakannya, yaitu Speusippos.

Buah Pikiran Plato

Dalam buku yang menjadi referensi diskusi ini, setidaknya ada 3 pokok pemikiran utama yang digagas oleh seorang Plato. Tiga pokok pemikiran itu adalah; dualisme dunia, negara ideal, dan terakhir etika.

Pertama, dualisme dunia. Pikiran Plato tentang dualisme dunia bertolak dari yang menjadi dari apa yang dimaksud dengan. ‘budi ialah tahu’, mencari pengetahuan tentang pengetahuan. Menurut Plato, pengetahuan dapat diperoleh dengan pengertian dan juga pengalaman. Pengertian diperoleh dengan cara berfikir, sedangkan pengalaman diperoleh dengan cara bertindak.

Plato menyebutkan bahwa, pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan yang diperoleh dengan pengertian tadi, bukan pengalaman. Atas dasar ini, Plato membagi dunia kepada 2 dimensi, yaitu dunia ide dan dunia realitas.

Dunia ide adalah dunia yang tak terhingga, kekal dan abadi, didalamnya terdapat segala bentuk pengetahuan. Dunia ide itu berada didalam otak manusia. Dunia ide diisi oleh kebijaksanaan dan juga keindahan secara hirarkis. Dunia ide sudah ada sebelum kita lahir menjadi manusia yang bernafas.

Sedangkan dunia realitas adalah dunia yang terbatas, tidak kekal dan abadi. Segala yang kita temukan dalam dunia realitas pada dasarnya sudah ada di dunia ide. Dunia realitas adalah dunia yang kita jalani hari ini sebagai manusia yang bernafas.

Dunia realitas dan dunia ide dihubungkan oleh jiwa manusia. Artinya, selama kita bernafas dalam dunia realitas, di sanalah kita mengingat apa yang sudah kita ketahui di dunia ide sebelumnya. Proses mengingat apa yang ada dalam dunia ide itulah sebuah proses mencari pengetahuan yang abadi. Karena dunia ide diisi oleh kebijaksanaan dan keindahan, maka proses mencari pengetahuan di dunia realitas adalah proses mencari kebijaksanaan dan keindahan.

Kedua, negara ideal. Pikiran Plato terhadap dualisme dunia sebagai dimensi yang terlibat dalam proses mencari budi dengan berpengetahuan (budi ialah tahu) berdampak pada pemikirannya yang lain yaitu negara ideal sebagai bentuk respon terhadap kondisi pemerintahan dizamannya. Pemerintahan yangs serampangan, penindasan, dan segala bentuk kekejaman lainnya dikritik oleh Plato lewat pikiannya tentang negara ideal.

Menurut Plato, negara sebagai tempat berkumpulnya orang banyak dengan kepentingan yang banyak pula. Harus dapat diakomodir dengan baik sehingga terwujudnya keadilan bersama. Menurut Plato, keadilan dalam sebuah negara akan dapat terwujud jika semua golongan dalam negara itu dapat berfungsi dengan maksimal. Plato membagi golongan dalam sebuah negara ideal menjadi tiga golongan, yaitu golongan rendah, menengah, dan atas.

Golongan yang rendah adalah para petani, pedagang, peternak, penjahit, tukang, dan segala yang memberikan kehidupan untuk bersama. Ketika golongan ini dapat mengfungsikan dirinya dengan baik, maka disanalah budi bijaksana tumbuh dalam dirinya.

Golongan yang menengah adalah para prajurit. Mereka adalah yang mengamankan negara dari bahaya yang timbul di dalam maupun luar. Mereka dididik dengan disiplin, diasramakan, dan mendapat pelatiha fisik khusus. Ketika mereka menjalankan fungsinya dengan baik, maka disanalah mereka akan temukan dirinya dengan sebuah budi pula, yaitu budi berani.

Golongan yang atas adalah para filsuf. Para filsuf sebagai orang yang paling berpengetahuan berperan penting dalam memerintah sebuah negara. Mereka difasilitasi hidupnya, diberi sandang, pangan, papan, dan keamanan. Ketika meraka melaksanakan tugasnya dengan baik, disanalah akan mereka temui budi baru pula, yaitu budi bijaksana.

Ketiga golongan ini, akan menghasilkan budinya masing-masing. Budi menguasai diri, budi berani, dan budi bijaksana. Nah, ketiga budi inilah yang akan membentuk budi yang baru dan yang diharapkan pada sebuah negara ideal, yaitu budi keadilan.

Seterusnya, Plato percaya bahwa pendidikan menjadi unsur terpenting dalam membentuk struktur masyarakat tadi. Oleh karena itu, pendidikan harus tersistem dengan baik untuk mewujudkan perubahan dalam sebuah negara.

Ketiga, Etika. Filsafat Plato bersifat rasionalistis. Ia telah menerangkan bahwa untuk mencapai kesenagan hidup hanya dapat ditemui dengan cara mencari pengetahuan. Budi baik adalah tahu, ketika orang memiliki pengetahuan disanalah mereka akan menjadi orang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan.

Purna Kata: Sebuah Upaya Refleksi

Ditengah mencoloknya dua permasalahan tadi, merosotnya spirit keilmuan dan juga krisis identitas. Maka kita perlu belajar pada pemikiran Plato bahwa pengetahuan adalah hal dasar yang harus dicari oleh manusia dalam hidup ini. Sebab, dengan berpengetahuanlah kita dapat menemui kebijaksaan. Baik itu mencari kebijaksaaan untuk diri sendiri, maupun untuk masyarakat sekitar.

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech