Kekuasaan, Pengetahuan, dan Seksualitas ala Michel Foucault
Muhammad Iqbal Kholidin Kamis, 15-9-2022 | - Dilihat: 228
Oleh: Muhammad Iqbal Kholidin
Dalam kehidupannya, manusia mengenal berbagai struktur sosial yang mengikat dan menimbulkan terciptanya beragam kelompok sosial. Berbagai kelompok sosial yang tercipta dirancang sedemikian rupa supaya teratur dan sesuai tujuan penciptaannya dengan adanya kekuasaan yang mengikat baik secara eksplisit ataupun implisit.
Pembahasan mengenai kekuasaan telah dimulai sudah sejak lama dan menjadi diskursus yang selalu menarik untuk dibahas. Para pemikir era klasik banyak mendorong kekuasaan dengan kebaikan yang bermuara pada keadilan. Sedangkan para pemikir religius mencoba mengaitkan kekuasaan dengan Tuhan.
Segala diskusi terus berlangsung karena manusia tidak menyerah untuk mendapatkan formula terbaik dalam menjaga keteraturan sosial melalui penyeimbangan titik kekuasaan. Secara umum, kekuasaan dikaitkan dengan kekuasaan politik dan dianggap sebagai suatu alat yang digunakan untuk mengabdikan individu kepada tujuan negara yang ideal seperti kebajikan, keadilan dan berlandaskan kehendak Tuhan (Zainuddin, 1992).
Seorang pemikir yang hidup di beberapa dekade silam berusaha membantah pemahaman filsafat tradisional mengenai kekuasaan yang kerap berorientasi pada pembahasan legitimasi. Pada pandangan lama, entitas negara berusaha melegitimasikan kekuasaan dengan keterikatan kekuasaan pada negara yang menyebabkan negara mampu mewajibkan orang untuk patuh terhadapnya.
Hal kemudian dibantah oleh Michel Foucault, seorang Filsuf berpengaruh abad 20 yang lahir pada 15 Oktober 1926 di Prancis dan dianggap sebagai pelopor strukturalisme yang banyak membahas fenomena sosial termasuk kekuasaan.
Dalam pemikirannya, Foucault banyak terpengaruh dari berbagai pemikiran Nietzche dan banyak membantah pemikiran humanistik ala Marxisme eksintensialis. Kecondongan pemikiran Foucault akan berkutat dalam narasi besar dengan peran penting di ranah praksis (Baert, 1998).
Focault dan Kekuasaan
Tema kekuasaan dalam pemikiran Focault banyak dianggap sebagai sebuah kompleksitas pemikiran yang juga unik dari filsafat modernitas yang pakem. Bahkan, jika dibandingkan dengan pemikir yang lain, Focault dianggap sebagai bukan bagian dari pemikir yang banyak menulis tentang berbagai tema filsafat yang umum karena Focault lebih banyak membahas tema yang berkutat pada kegilaan, rumah sakit, penjara, keburukan, seksualitas hingga struktur episteme klasik (Visker, 1995).
Memahami pemikiran Foucault, tentu harus memahami kehidupan intelektual yang berkembang di Prancis pasca Perang Dunia II banyak terpengaruh oleh dua ide besar yakni Hegel dan Marx. Ide besar ini dimasifkan melalui berbagai pemikir seperti Jean Hyppolite dan Alexandre Kojeve yang kemudian saat perang dingin, pemikir Prancis saat itu memiliki keterlibatan aktif dalam partai komunis.
Kemudian, pengaruh pandangan fenomenologi yang berkutat pada pemaknaan kenyataan sebagai esensi universal pada objek atau benda juga berpengaruh besar ketika gagasan hasil Edmund Husserl hingga Heidegger dipopulerkan dan diadaptasi oleh berbagai pemikir Prancis kala itu.
Kedua faktor tersebut sebagai bangunan intelektual menciptakan sebuah pandangan pemikir lain kala itu. Marxisme berkutat pada ide-ide untuk mengungkapkan kejahatan dan dominansi struktur negara kala kelas penguasa menindas melalui ranah ekonomi.
Sedangkan melalui fenomenologi, manusia dapat menyingkap kesalahan berpikir berdasarkan egoisme dan subjektivisme pada makna benda-benda. Beberapa hal tersebutlah yang kemudian mewarnai pemikiran Foucault untuk mampu merenungkan secara mendalam tentang kekuasaan jahat akibat pengaruh aktivitas ekonomi dan relasi pengetahuan masyarakat terhadap dunia.
Sebagai akibat pertemuan dua bangunan intelektual yang mengakar di Prancis pada zaman tersebut memantik Focault menemukan dua pendapat penting yang muncul saat pengetahuan bertemu dengan pikiran manusia. Pertama adalah dengan pengetahuannya manusia merupakan entitas yang dibatasi oleh lingkungan sekitar. Kedua, kebenaran dengan rasionalitas merupakan suatu hal yang terus berubah sepanjang sejarah.
Dalam merumuskan pendapat ini, Focault menggunakan analisis strukturalisme sebagai alat bantu menemukan gagasan. Baginya, strukturalisme membantunya dalam pengertian yang sistematis untuk membaca sejarah. Maksudnya adalah, apapun bentuk pengetahuannya, rasionalitas dalam kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dirinya sendiri melainkan memiliki relasi dengan makna lain.
Dari penjelasan tersebut kita bisa melihat bagaimana Foucault membahas tentang kekuasaan. Dalam pandangan tradisionalis, kekuasaan politik berkutat pada pembahasan legitimasi. Artinya, kekuasaan merupakan suatu hal yang dilegitimasikan secara melekat pada negara yang membuat negara memiliki kekuasaan untuk dapat mewajibkan semua orang patuh padanya. Namun Focault berpandangan bahwa kekuasaan bukanlah suatu hal yang melakat hanya pada negara, namun kekuasaan ada dimana-mana, dapat diukur, dan kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi.
Bagi Focault, kuasa terdapat dimana-mana yang muncul dari relasi antara berbagai kekuatan. Timbulnya kekuasaan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang timbul dari luar, melainkan menentukan aturan, sistem, hubungan dari dalam dan mampu memungkinkan semuanya dapat terjadi.
Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan Kekuasaan
Pada pemikiran Focault seperti yang tertulis dalam bukunya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, beliau menunjukkan adanya kondisi-kondisi dasar sebagai penyebab lahirnya suatu pembahasan mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan.
Berangkat dari konsentrasi wacana ilmiah tentang sejarah dan manusia sebagai subjek di akhir abad kedelapan belas hingga pertengahan abad 20 atau pada Perang Dunia II, menimbulkan pemahaman bahwa manusia menjadi objek pengetahuan hingga mneimbulkan manusia berangkat menjadi subjek kebebasan dan eksistensinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan manusia dianggap sebagai pusat pemikiran.
Dalam pembahasan hubungan pengetahuan dan kekuasaan, Focault menganggap bahwa hubungan antara diskursus pengetahuan dengan kekuasaan merupakan hubungan melekat antar satu dan lainnya. Diskursus ilmu pengetahuan memiliki kehendak agar mampu menemukan yang benar dan palsu dan dianggap dilakukan berdasarkan kehendak untuk berkuasa.
Baginya, pengetahuan tidaklah bersifat netral dan murni serta selalu terjadi korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan seperti pengetahuan mengandung kekuasaan dan sebaliknya. Hal ini terlihat dari pandangan bagaimana pengetahuan atas suatu ilmu berusaha menguasai penjelasan ilmu yang lain. Terlebih di masa perkembangan teknologi, pengetahuan mudah untuk digunakan dalam memaksakan suatu kehendak kepada masyarakat.
Pembahasan Focault dalam hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menggunakan contoh yang dapat dikatakan kurang lazim didalamnya. Focault pada awalnya berfokus pada sejarah pengetahuan. Namun, fokus perhatian Focault dalam sejarah pengetahuan bukan berhenti pada sejarah sebagai penyelidikan atas perkembangan pengetahuan dari masa ke masa saja, namun sejarah pengetahuan sebagai “episteme”.
Baginya, episteme merupakan bentuk pengetahuan yang telah dipakemkan terhadap pemaknaan situasi zaman tertentu. Pemakeman ini berbentuk otoritatif, sehingga pengetahuan mempengaruhi institusi sosial dan praktik sosial. Pemaknaan kekuasaan dalam pandangannya bersifat positif dan beroperasi secara produktif, sehingga pengetahuan yang memiliki relasi dengan kekuasaan berwujud tidak nampak, namun dapat dirasakan melalui efek yang ditimbulkannya.
Kekuasaan dan Seksualitas
Dalam pembahasan mengenai kekuasaan, Focault menyinggung relasi kuasa dengan seksualitas dalam bukunya The History of Sexuality yang pada dasarnya sebagai kritik terhadap pandangan intelektual barat terhadap seksualitas. Focault dalam bukunya ini menggunakan kerangka yang mirip dengan Freud yaitu melalui psikoanalisis.
Bagi Focault, pembahasan seksualitas merupakan suatu hal yang mendapat represi di masyarakat sehingga seolah suatu hal yang tabu. Focault berusaha menegaskan bahwa tekanan yang berlebihan terhadap seksualitas adalah usaha sebagai akibat dari kepentingan kekuasaan dan seksualitas sendiri adalah suatu hal yang berkaitan sebagai urusan dari kekuasaan.
Salah satu hal yang dibahas oleh Focault adalah mengenai seksualitas sebagai masalah publik. Bagi Focault yang menganggap seksualitas merupakan ungkapan kekuasaan, memperlihatkan seks baginya adalah dalam ranah negara mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Akibat hal tersebut, masalah penduduk secara jumlah dianggap menjadi sebagai masalah sosial dan masalah ini terhubung dengan seksualitas.
Berikutnya pada beberapa jenis perilaku menyimpang yang ditetapkan oleh mayoritas masyarakat, Focault beranggapan bahwa anggapan menyimpang tersebut akan mendapatkan validasi dari pemegang posisi yang erat dengan pengetahuan seperti dokter atau psikiater untuk memutuskan apa yang dianggap normal dan tidak. Dalam hal ini Focault ingin menunjukkan bahwa kekuasan sebagai suatu dimensi relasi telah masuk ke berbagai sekrup kehidupan manusia.
Catatan Penulis
Pada dasarnya, Focault yang merupakan salah satu pemikir besar berpengaruh di abad 20, berusaha menggambarkan bagaimana konsep kekuasaan sebagai suatu dimensi relasi yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Berbeda dengan para pemikir lain yang telah menguraikan konsep kekuasaan, Focault berusaha menghadirkan perspektif baru dalam memandang kekuasaan.
Bagi Focault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai negara, melainkan bentuk yang terdapat dimanapun sebagai akibat dari dimensi relasi. Artinya, dimana ada relasi atau hubungan, disana juga terdapat kekuasaan. Secara mudah, Focault tidak menguraikan kembali apa itu kekuasaan, namun memberikan gambaran bagaimana kuasa dapat berfungsi dan bekerja di dimensi tertentu.
Pemikiran Focault menunjukkan bahwa manusia juga merupakan bagian dari mekanisme kekuasaan itu bekerja. Kesadaran atas hal tersebut harusnya dapat mendorong manusia untuk memiliki kesadaran untuk sanggup menggunakan kekuasaan secara baik di dalam dimensi apapun. Baik disini berarti kekuasaan diusahakan agar mampu memberikan dampak manfaat bagi kepentingan banyak orang dan bukan hanya untuk sebagian saja.
- Artikel Terpuler -
Kekuasaan, Pengetahuan, dan Seksualitas ala Michel Foucault
Muhammad Iqbal Kholidin Kamis, 15-9-2022 | - Dilihat: 228
Oleh: Muhammad Iqbal Kholidin
Dalam kehidupannya, manusia mengenal berbagai struktur sosial yang mengikat dan menimbulkan terciptanya beragam kelompok sosial. Berbagai kelompok sosial yang tercipta dirancang sedemikian rupa supaya teratur dan sesuai tujuan penciptaannya dengan adanya kekuasaan yang mengikat baik secara eksplisit ataupun implisit.
Pembahasan mengenai kekuasaan telah dimulai sudah sejak lama dan menjadi diskursus yang selalu menarik untuk dibahas. Para pemikir era klasik banyak mendorong kekuasaan dengan kebaikan yang bermuara pada keadilan. Sedangkan para pemikir religius mencoba mengaitkan kekuasaan dengan Tuhan.
Segala diskusi terus berlangsung karena manusia tidak menyerah untuk mendapatkan formula terbaik dalam menjaga keteraturan sosial melalui penyeimbangan titik kekuasaan. Secara umum, kekuasaan dikaitkan dengan kekuasaan politik dan dianggap sebagai suatu alat yang digunakan untuk mengabdikan individu kepada tujuan negara yang ideal seperti kebajikan, keadilan dan berlandaskan kehendak Tuhan (Zainuddin, 1992).
Seorang pemikir yang hidup di beberapa dekade silam berusaha membantah pemahaman filsafat tradisional mengenai kekuasaan yang kerap berorientasi pada pembahasan legitimasi. Pada pandangan lama, entitas negara berusaha melegitimasikan kekuasaan dengan keterikatan kekuasaan pada negara yang menyebabkan negara mampu mewajibkan orang untuk patuh terhadapnya.
Hal kemudian dibantah oleh Michel Foucault, seorang Filsuf berpengaruh abad 20 yang lahir pada 15 Oktober 1926 di Prancis dan dianggap sebagai pelopor strukturalisme yang banyak membahas fenomena sosial termasuk kekuasaan.
Dalam pemikirannya, Foucault banyak terpengaruh dari berbagai pemikiran Nietzche dan banyak membantah pemikiran humanistik ala Marxisme eksintensialis. Kecondongan pemikiran Foucault akan berkutat dalam narasi besar dengan peran penting di ranah praksis (Baert, 1998).
Focault dan Kekuasaan
Tema kekuasaan dalam pemikiran Focault banyak dianggap sebagai sebuah kompleksitas pemikiran yang juga unik dari filsafat modernitas yang pakem. Bahkan, jika dibandingkan dengan pemikir yang lain, Focault dianggap sebagai bukan bagian dari pemikir yang banyak menulis tentang berbagai tema filsafat yang umum karena Focault lebih banyak membahas tema yang berkutat pada kegilaan, rumah sakit, penjara, keburukan, seksualitas hingga struktur episteme klasik (Visker, 1995).
Memahami pemikiran Foucault, tentu harus memahami kehidupan intelektual yang berkembang di Prancis pasca Perang Dunia II banyak terpengaruh oleh dua ide besar yakni Hegel dan Marx. Ide besar ini dimasifkan melalui berbagai pemikir seperti Jean Hyppolite dan Alexandre Kojeve yang kemudian saat perang dingin, pemikir Prancis saat itu memiliki keterlibatan aktif dalam partai komunis.
Kemudian, pengaruh pandangan fenomenologi yang berkutat pada pemaknaan kenyataan sebagai esensi universal pada objek atau benda juga berpengaruh besar ketika gagasan hasil Edmund Husserl hingga Heidegger dipopulerkan dan diadaptasi oleh berbagai pemikir Prancis kala itu.
Kedua faktor tersebut sebagai bangunan intelektual menciptakan sebuah pandangan pemikir lain kala itu. Marxisme berkutat pada ide-ide untuk mengungkapkan kejahatan dan dominansi struktur negara kala kelas penguasa menindas melalui ranah ekonomi.
Sedangkan melalui fenomenologi, manusia dapat menyingkap kesalahan berpikir berdasarkan egoisme dan subjektivisme pada makna benda-benda. Beberapa hal tersebutlah yang kemudian mewarnai pemikiran Foucault untuk mampu merenungkan secara mendalam tentang kekuasaan jahat akibat pengaruh aktivitas ekonomi dan relasi pengetahuan masyarakat terhadap dunia.
Sebagai akibat pertemuan dua bangunan intelektual yang mengakar di Prancis pada zaman tersebut memantik Focault menemukan dua pendapat penting yang muncul saat pengetahuan bertemu dengan pikiran manusia. Pertama adalah dengan pengetahuannya manusia merupakan entitas yang dibatasi oleh lingkungan sekitar. Kedua, kebenaran dengan rasionalitas merupakan suatu hal yang terus berubah sepanjang sejarah.
Dalam merumuskan pendapat ini, Focault menggunakan analisis strukturalisme sebagai alat bantu menemukan gagasan. Baginya, strukturalisme membantunya dalam pengertian yang sistematis untuk membaca sejarah. Maksudnya adalah, apapun bentuk pengetahuannya, rasionalitas dalam kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dirinya sendiri melainkan memiliki relasi dengan makna lain.
Dari penjelasan tersebut kita bisa melihat bagaimana Foucault membahas tentang kekuasaan. Dalam pandangan tradisionalis, kekuasaan politik berkutat pada pembahasan legitimasi. Artinya, kekuasaan merupakan suatu hal yang dilegitimasikan secara melekat pada negara yang membuat negara memiliki kekuasaan untuk dapat mewajibkan semua orang patuh padanya. Namun Focault berpandangan bahwa kekuasaan bukanlah suatu hal yang melakat hanya pada negara, namun kekuasaan ada dimana-mana, dapat diukur, dan kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi.
Bagi Focault, kuasa terdapat dimana-mana yang muncul dari relasi antara berbagai kekuatan. Timbulnya kekuasaan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang timbul dari luar, melainkan menentukan aturan, sistem, hubungan dari dalam dan mampu memungkinkan semuanya dapat terjadi.
Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan Kekuasaan
Pada pemikiran Focault seperti yang tertulis dalam bukunya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, beliau menunjukkan adanya kondisi-kondisi dasar sebagai penyebab lahirnya suatu pembahasan mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan.
Berangkat dari konsentrasi wacana ilmiah tentang sejarah dan manusia sebagai subjek di akhir abad kedelapan belas hingga pertengahan abad 20 atau pada Perang Dunia II, menimbulkan pemahaman bahwa manusia menjadi objek pengetahuan hingga mneimbulkan manusia berangkat menjadi subjek kebebasan dan eksistensinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan manusia dianggap sebagai pusat pemikiran.
Dalam pembahasan hubungan pengetahuan dan kekuasaan, Focault menganggap bahwa hubungan antara diskursus pengetahuan dengan kekuasaan merupakan hubungan melekat antar satu dan lainnya. Diskursus ilmu pengetahuan memiliki kehendak agar mampu menemukan yang benar dan palsu dan dianggap dilakukan berdasarkan kehendak untuk berkuasa.
Baginya, pengetahuan tidaklah bersifat netral dan murni serta selalu terjadi korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan seperti pengetahuan mengandung kekuasaan dan sebaliknya. Hal ini terlihat dari pandangan bagaimana pengetahuan atas suatu ilmu berusaha menguasai penjelasan ilmu yang lain. Terlebih di masa perkembangan teknologi, pengetahuan mudah untuk digunakan dalam memaksakan suatu kehendak kepada masyarakat.
Pembahasan Focault dalam hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menggunakan contoh yang dapat dikatakan kurang lazim didalamnya. Focault pada awalnya berfokus pada sejarah pengetahuan. Namun, fokus perhatian Focault dalam sejarah pengetahuan bukan berhenti pada sejarah sebagai penyelidikan atas perkembangan pengetahuan dari masa ke masa saja, namun sejarah pengetahuan sebagai “episteme”.
Baginya, episteme merupakan bentuk pengetahuan yang telah dipakemkan terhadap pemaknaan situasi zaman tertentu. Pemakeman ini berbentuk otoritatif, sehingga pengetahuan mempengaruhi institusi sosial dan praktik sosial. Pemaknaan kekuasaan dalam pandangannya bersifat positif dan beroperasi secara produktif, sehingga pengetahuan yang memiliki relasi dengan kekuasaan berwujud tidak nampak, namun dapat dirasakan melalui efek yang ditimbulkannya.
Kekuasaan dan Seksualitas
Dalam pembahasan mengenai kekuasaan, Focault menyinggung relasi kuasa dengan seksualitas dalam bukunya The History of Sexuality yang pada dasarnya sebagai kritik terhadap pandangan intelektual barat terhadap seksualitas. Focault dalam bukunya ini menggunakan kerangka yang mirip dengan Freud yaitu melalui psikoanalisis.
Bagi Focault, pembahasan seksualitas merupakan suatu hal yang mendapat represi di masyarakat sehingga seolah suatu hal yang tabu. Focault berusaha menegaskan bahwa tekanan yang berlebihan terhadap seksualitas adalah usaha sebagai akibat dari kepentingan kekuasaan dan seksualitas sendiri adalah suatu hal yang berkaitan sebagai urusan dari kekuasaan.
Salah satu hal yang dibahas oleh Focault adalah mengenai seksualitas sebagai masalah publik. Bagi Focault yang menganggap seksualitas merupakan ungkapan kekuasaan, memperlihatkan seks baginya adalah dalam ranah negara mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Akibat hal tersebut, masalah penduduk secara jumlah dianggap menjadi sebagai masalah sosial dan masalah ini terhubung dengan seksualitas.
Berikutnya pada beberapa jenis perilaku menyimpang yang ditetapkan oleh mayoritas masyarakat, Focault beranggapan bahwa anggapan menyimpang tersebut akan mendapatkan validasi dari pemegang posisi yang erat dengan pengetahuan seperti dokter atau psikiater untuk memutuskan apa yang dianggap normal dan tidak. Dalam hal ini Focault ingin menunjukkan bahwa kekuasan sebagai suatu dimensi relasi telah masuk ke berbagai sekrup kehidupan manusia.
Catatan Penulis
Pada dasarnya, Focault yang merupakan salah satu pemikir besar berpengaruh di abad 20, berusaha menggambarkan bagaimana konsep kekuasaan sebagai suatu dimensi relasi yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Berbeda dengan para pemikir lain yang telah menguraikan konsep kekuasaan, Focault berusaha menghadirkan perspektif baru dalam memandang kekuasaan.
Bagi Focault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai negara, melainkan bentuk yang terdapat dimanapun sebagai akibat dari dimensi relasi. Artinya, dimana ada relasi atau hubungan, disana juga terdapat kekuasaan. Secara mudah, Focault tidak menguraikan kembali apa itu kekuasaan, namun memberikan gambaran bagaimana kuasa dapat berfungsi dan bekerja di dimensi tertentu.
Pemikiran Focault menunjukkan bahwa manusia juga merupakan bagian dari mekanisme kekuasaan itu bekerja. Kesadaran atas hal tersebut harusnya dapat mendorong manusia untuk memiliki kesadaran untuk sanggup menggunakan kekuasaan secara baik di dalam dimensi apapun. Baik disini berarti kekuasaan diusahakan agar mampu memberikan dampak manfaat bagi kepentingan banyak orang dan bukan hanya untuk sebagian saja.
4 Komentar
2022-09-15 12:12:23
Adit
Dahsyat!
2024-12-02 18:24:04
Nmmlmv
eriacta army - zenegra online honest forzest professor
2024-12-08 14:23:00
Wuzbgd
indinavir usa - voltaren gel order online how to order emulgel
2024-12-09 14:08:09
Mneskc
valif pills deal - sustiva 20mg ca buy generic sinemet
4 Komentar
2022-09-15 12:12:23
Adit
Dahsyat!
2024-12-02 18:24:04
Nmmlmv
eriacta army - zenegra online honest forzest professor
2024-12-08 14:23:00
Wuzbgd
indinavir usa - voltaren gel order online how to order emulgel
2024-12-09 14:08:09
Mneskc
valif pills deal - sustiva 20mg ca buy generic sinemet
Tinggalkan Pesan