Kedewasaan dalam Beragama
Alfin Nur Ridwan Rabu, 3-5-2023 | - Dilihat: 34

Oleh: Alfin Nur Ridwan
Seorang novelis bernama Lawana Blackwell pernah menyebutkan bahwa, “Umur itu bukan garansi kedewasaan/kematangan”. Setuju tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Lawana, namun jika berbicara tentang kedewasaan itu memang sejatinya bukan soal umur/usia. Bisa jadi orang disekitar yang lebih muda daripada kita lebih dewasa dibandingkan kita. Karena kedewasaan itu merupakan soal sikap dan perilaku, bukan umur. Karena jika kedewasaan dilihat dari umur tentu kita tak bisa mengatakan bahwa anak-anak usia 12/15 tahun di era kekinian ini lebih dewasa secara sikap dan perilaku dibandingkan dengan anak-anak usia 7 tahun pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Maka dalam menjalankan kehidupan ini pun termasuk dalam beragama tentunya diperlukan yang namanya sikap kedewasaan/kematangan dalam menjalankannya. Memang, sejak dini kita sudah dituntun dan dituntut untuk sedikit demi sedikit menjalankan setiap langkah kehidupan ini dengan nafas agama – dalam hal ini berislam. Namun tentunya dalam menerima suatu hal yang baru terutama dalam berprilaku ataupun dalam merubah suatu kebiasaan itu butuh proses dan tahapan-tahapannya sehingga bisa pada sampai titik kita paham mengapa dan untuk apa kita harus melakukan hal tersebut.
Karena pada realitanya saat ini, walaupun Indonesia memiliki mayoritas penduduk penganut agama Islam hampir mencapai 70% dari populasinya, akan tetapi masih banyak toh orang-orang muslim yang tak bersikap ataupun berprilaku sebagaimana Islam seharusnya. Ini mirip seperti sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh ketika ia pergi ke Mesir, “....Dan aku pergi ke negeri Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam”. Itu dikatakannya karena melihat Mesir sebagai negara yang bermayoritaskan penduduknya seorang muslim namun nilai-nilai Islam justru tak tercerminkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Berkenaan dengan itu, berikut akan sedikit dipaparkan indikator kepribadian yang matang/dewasa menurut Dr Fahruddin Faiz dalam sebuah kajiannya. Yang dengannya mari kita sama-sama jadikan itu sebagai refleksi/muhasabah diri kita, jangan-jangan selama ini kita hanya tumbuh dewasa secara umur namun tidak dalam berpikir dan berperilaku.
Sadar Diri dan Tahu Diri
Ciri seorang yang memiliki kepribadian matang menurut Fahruddin Faiz yang pertama yakni sadar diri dan tahu diri. Sadar diri, maksudnya ialah ia sadar akan posisinya dan tahu diri berarti bisa menempatkan dirinya sesuai dengan posisinya. Seseorang haruslah paham siapa dirinya dan apa yang mesti dilakukannya. Maka tak salah jika dalam sebuah hadits – walaupun statusnya masih muncul perdebatan – disebutkan bahwasannya yang bisa mengenal Rabb-Nya ialah orang yang sudah mengenali dirinya, yang berarti orang yang sudah sadar akan dirinya siapa.
Kehidupan kita yang kompleks ini tentunya memberikan banyak ruang bagi kita setiap waktunya untuk berada pada posisi yang berbeda pula. Dalam hal inilah kemudian sikap sadar diri dan tau diri amatlah perlu diperhatikan. Contoh, posisi saya di sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan tentunya berbeda dengan posisi saya ketika menjadi seorang kepala keluarga di rumah. Dimana pun posisi kita berada kita harus sadar dulu siapa kita dalam kondisi dan posisi tersebut, baru kemudian kita tau diri, yakni bersikap/berprilaku sesuai dengan posisi kita saat itu. Apa yang sekiranya boleh kita lakukan di saat posisi tertentu dan apa yang sekiranya tidak boleh itu menjadi hal yang terkadang luput dari sebagian kita karena tak sadar posisi.
Empatik
Sederhananya empatik ini ialah ketika seseorang berhadapan dengan orang lain ia mampu mengedepankan perasaaannya. Yang dalam filsafat hal semacam ini biasa disebut transposisi (memposisikan diri kita di posisi orang lain). Dalam berhubungan dengan orang lain tentunya diperlukan yang namanya saling mengerti/saling pengertian. Namun tak jarang kita terkadang hanya memaknai makna pengertian ini terhadap orang-orang tertentu saja, atau orang-orang yang memang kita kenal atau kita senangi.
Padahal empatik ini haruslah diterapkan kepada siapapun agar kita bisa turut merasakan apa yang orang lain rasakan, dan selanjutnya ketika kita bisa memposisikan diri kita di posisi orang lain kita bisa paham apa yang dirasakannya dan apa yang memang mesti dilakukan jikalau dalam posisi tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, saya ingat betul perkataan salah satu dosen di kelas yang menyoroti dosen-dosen atau unsur pendidik yang ketika di dalam ruang kelas selalu ingin para mahasiswa/peserta didiknya memahaminya. Padahal posisi dosen ataupun unsur pendidik tentunya memiliki pengalaman yang lebih dibanding seorang mahasiswanya, dan ia yang telah merasakan bangku perkuliahan tentunya, tidak dengan mahasiswa yang belum merasakan bagaimana berada di posisi sebagai unsur pendidik. Maka seharusnya seorang dosen pun turut mampu memahami mahasiswanya karena ia jelas pernah merasakan bangku perkuliahan. Tidak hanya sekadar menuntut mahasiswa memahaminya, tapi juga sudah seharusnya sebaliknya.
Tanggung Jawab
Selanjutnya yakni tanggung jawab. Seseorang yang telah dewasa itu pastinya mau dan mampu bertanggung jawab. Dalam kehidupan ini semakin bertambahnya usia kita tentu akan dihadapkan dengan berbagai tugas, kewajiban, dan amanah. Dan orang yang sadar diri dan tau diri pasti akan siap, mau dan mampu bertanggung jawab atas semua tugas, kewajiban dan amanah yang dihadapkan kepadanya. Bukan hanya itu, orang yang telah matang secara sikap dan perilaku pastinya juga akan sadar dengan konsekuensi atau resiko yang akan ditanggungnya sebagai bentuk tanggung jawab yang ia lakukan.
Terutama dalam hal beragama tanggung jawab ini amat sangatlah penting dan perlu untuk disadari oleh setiap muslim dimanapun berada. Banyaknya bentuk-bentuk kejahatan, tindak kriminalitas, tindakan asusila, amoral dan menyimpang lainnya yang masih marak terjadi saat ini tak lepas dari kurangnya kedewasaan berpikir dan bertindak dari setiap individunya khusunya dalam hal tanggung jawab. Seharusnya seseorang itu sadar kalau apa-apa yang telah Allah perintahkan dan larang masing-masing mempunyai konsekuensi dan akibatnya di kemudian hari.
Coba bayangkan jika setiap muslim mampu memahami betul setiap perintah dan larangan yang Allah berikan beserta konsekuensinya, tentunya kehidupan yang damai nan harmonis akan tercipta. Maka lagi-lagi ini perihal kedewasaan seseorang dalam berprilaku khususnya dalam hal beragama. Sehingga agama yang memang kita anut ini bisa benar-benar memberikan makna, bukan hanya tuk diri pribadi akan tetapi juga untuk orang lain, masyarakat, dan alam semesta. Yang pada gilirannya Islam benar-benar bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin.
- Artikel Terpuler -
Kedewasaan dalam Beragama
Alfin Nur Ridwan Rabu, 3-5-2023 | - Dilihat: 34

Oleh: Alfin Nur Ridwan
Seorang novelis bernama Lawana Blackwell pernah menyebutkan bahwa, “Umur itu bukan garansi kedewasaan/kematangan”. Setuju tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Lawana, namun jika berbicara tentang kedewasaan itu memang sejatinya bukan soal umur/usia. Bisa jadi orang disekitar yang lebih muda daripada kita lebih dewasa dibandingkan kita. Karena kedewasaan itu merupakan soal sikap dan perilaku, bukan umur. Karena jika kedewasaan dilihat dari umur tentu kita tak bisa mengatakan bahwa anak-anak usia 12/15 tahun di era kekinian ini lebih dewasa secara sikap dan perilaku dibandingkan dengan anak-anak usia 7 tahun pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Maka dalam menjalankan kehidupan ini pun termasuk dalam beragama tentunya diperlukan yang namanya sikap kedewasaan/kematangan dalam menjalankannya. Memang, sejak dini kita sudah dituntun dan dituntut untuk sedikit demi sedikit menjalankan setiap langkah kehidupan ini dengan nafas agama – dalam hal ini berislam. Namun tentunya dalam menerima suatu hal yang baru terutama dalam berprilaku ataupun dalam merubah suatu kebiasaan itu butuh proses dan tahapan-tahapannya sehingga bisa pada sampai titik kita paham mengapa dan untuk apa kita harus melakukan hal tersebut.
Karena pada realitanya saat ini, walaupun Indonesia memiliki mayoritas penduduk penganut agama Islam hampir mencapai 70% dari populasinya, akan tetapi masih banyak toh orang-orang muslim yang tak bersikap ataupun berprilaku sebagaimana Islam seharusnya. Ini mirip seperti sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh ketika ia pergi ke Mesir, “....Dan aku pergi ke negeri Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam”. Itu dikatakannya karena melihat Mesir sebagai negara yang bermayoritaskan penduduknya seorang muslim namun nilai-nilai Islam justru tak tercerminkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Berkenaan dengan itu, berikut akan sedikit dipaparkan indikator kepribadian yang matang/dewasa menurut Dr Fahruddin Faiz dalam sebuah kajiannya. Yang dengannya mari kita sama-sama jadikan itu sebagai refleksi/muhasabah diri kita, jangan-jangan selama ini kita hanya tumbuh dewasa secara umur namun tidak dalam berpikir dan berperilaku.
Sadar Diri dan Tahu Diri
Ciri seorang yang memiliki kepribadian matang menurut Fahruddin Faiz yang pertama yakni sadar diri dan tahu diri. Sadar diri, maksudnya ialah ia sadar akan posisinya dan tahu diri berarti bisa menempatkan dirinya sesuai dengan posisinya. Seseorang haruslah paham siapa dirinya dan apa yang mesti dilakukannya. Maka tak salah jika dalam sebuah hadits – walaupun statusnya masih muncul perdebatan – disebutkan bahwasannya yang bisa mengenal Rabb-Nya ialah orang yang sudah mengenali dirinya, yang berarti orang yang sudah sadar akan dirinya siapa.
Kehidupan kita yang kompleks ini tentunya memberikan banyak ruang bagi kita setiap waktunya untuk berada pada posisi yang berbeda pula. Dalam hal inilah kemudian sikap sadar diri dan tau diri amatlah perlu diperhatikan. Contoh, posisi saya di sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan tentunya berbeda dengan posisi saya ketika menjadi seorang kepala keluarga di rumah. Dimana pun posisi kita berada kita harus sadar dulu siapa kita dalam kondisi dan posisi tersebut, baru kemudian kita tau diri, yakni bersikap/berprilaku sesuai dengan posisi kita saat itu. Apa yang sekiranya boleh kita lakukan di saat posisi tertentu dan apa yang sekiranya tidak boleh itu menjadi hal yang terkadang luput dari sebagian kita karena tak sadar posisi.
Empatik
Sederhananya empatik ini ialah ketika seseorang berhadapan dengan orang lain ia mampu mengedepankan perasaaannya. Yang dalam filsafat hal semacam ini biasa disebut transposisi (memposisikan diri kita di posisi orang lain). Dalam berhubungan dengan orang lain tentunya diperlukan yang namanya saling mengerti/saling pengertian. Namun tak jarang kita terkadang hanya memaknai makna pengertian ini terhadap orang-orang tertentu saja, atau orang-orang yang memang kita kenal atau kita senangi.
Padahal empatik ini haruslah diterapkan kepada siapapun agar kita bisa turut merasakan apa yang orang lain rasakan, dan selanjutnya ketika kita bisa memposisikan diri kita di posisi orang lain kita bisa paham apa yang dirasakannya dan apa yang memang mesti dilakukan jikalau dalam posisi tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, saya ingat betul perkataan salah satu dosen di kelas yang menyoroti dosen-dosen atau unsur pendidik yang ketika di dalam ruang kelas selalu ingin para mahasiswa/peserta didiknya memahaminya. Padahal posisi dosen ataupun unsur pendidik tentunya memiliki pengalaman yang lebih dibanding seorang mahasiswanya, dan ia yang telah merasakan bangku perkuliahan tentunya, tidak dengan mahasiswa yang belum merasakan bagaimana berada di posisi sebagai unsur pendidik. Maka seharusnya seorang dosen pun turut mampu memahami mahasiswanya karena ia jelas pernah merasakan bangku perkuliahan. Tidak hanya sekadar menuntut mahasiswa memahaminya, tapi juga sudah seharusnya sebaliknya.
Tanggung Jawab
Selanjutnya yakni tanggung jawab. Seseorang yang telah dewasa itu pastinya mau dan mampu bertanggung jawab. Dalam kehidupan ini semakin bertambahnya usia kita tentu akan dihadapkan dengan berbagai tugas, kewajiban, dan amanah. Dan orang yang sadar diri dan tau diri pasti akan siap, mau dan mampu bertanggung jawab atas semua tugas, kewajiban dan amanah yang dihadapkan kepadanya. Bukan hanya itu, orang yang telah matang secara sikap dan perilaku pastinya juga akan sadar dengan konsekuensi atau resiko yang akan ditanggungnya sebagai bentuk tanggung jawab yang ia lakukan.
Terutama dalam hal beragama tanggung jawab ini amat sangatlah penting dan perlu untuk disadari oleh setiap muslim dimanapun berada. Banyaknya bentuk-bentuk kejahatan, tindak kriminalitas, tindakan asusila, amoral dan menyimpang lainnya yang masih marak terjadi saat ini tak lepas dari kurangnya kedewasaan berpikir dan bertindak dari setiap individunya khusunya dalam hal tanggung jawab. Seharusnya seseorang itu sadar kalau apa-apa yang telah Allah perintahkan dan larang masing-masing mempunyai konsekuensi dan akibatnya di kemudian hari.
Coba bayangkan jika setiap muslim mampu memahami betul setiap perintah dan larangan yang Allah berikan beserta konsekuensinya, tentunya kehidupan yang damai nan harmonis akan tercipta. Maka lagi-lagi ini perihal kedewasaan seseorang dalam berprilaku khususnya dalam hal beragama. Sehingga agama yang memang kita anut ini bisa benar-benar memberikan makna, bukan hanya tuk diri pribadi akan tetapi juga untuk orang lain, masyarakat, dan alam semesta. Yang pada gilirannya Islam benar-benar bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan