Kadang, Perlu Merasa Bodoh
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay Kamis, 23-12-2021 | - Dilihat: 52

Oleh: Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Pertengahan tahun 2014 saat berada di kereta api saya pernah berdebat hebat dengan sekelompok penumpang. Mulanya, seperti kebanyakan penumpang kereta ekonomi lainnya, kami saling bertegur sapa untuk sekadar merenyahkan suasana. Selama kami saling bercerita terjadi kecocokan , sehingga obrolan terus berlanjut.
Namun ketika pembahasan tiba pada topik jihad, kami mengalami perdebatan. Saat itu saya sebagai mahasiswa salah satu kampus Islam negeri yang sering dicap liberal menyangkal pendapat mereka tentang jihad. Saking idealisnya saya sampai menyampaikan pendapat beberapa ahli yang mangatakan bahwa jihad bukan saklek dimaknai perang, apalagi sampai diartikan sebagai sebuah tindakan berani mati dengan bom bunuh diri.
Jika jihad dimaknai demikian, maka tidak ada bedanya dengan pandangan teologi maut yang menganggap bahwa selain golongannya pantas dimusnahkan. Sampai pada titik ini obrolan kami terhenti, dan tidak berlanjut kembali hingga saya tiba di kota tujuan.
Saat ini, setelah enam tahun lebih berlalu, ketika saya telah lepas dari gelar mahasiswa dan menjadi pembimbing narapidana di penjara, masih ada saja yang memahami bahwa pengeboman diri merupakan makna dari jihad. Saya tidak habis pikir bagaimana doktrin yang dibangun hingga membuat orang-orang berani menyetorkan nyawa di balik bayang-bayang pahala.
Saya jadi berfikir bahwa berdebat dengan narapidana lebih mudah ketimbang beradu argumen dengan pihak yang kokoh dengan pandangan teologi mautnya. Pasalnya, ketika narapidana diberi argumentasi tentang hal yang telah diatur baik dengan dalih hukum buatan manusia maupun ayat-ayat Tuhan Yang Maha Esa mereka akan terbuka hatinya.
Bahkan mereka menyadari bahwa tindakannya salah sebagai sesama manusia. Akhirnya taubatan nasuha adalah jalan ninjanya untuk berubah dan berbenah.
Sedangkan berdebat dengan oknum yang memaknai bom bunuh diri sebagai jihad sangat sulit meski dipaparkan dengan logika yang teramat runut. Terlebih lagi jika dibawakan dalil, baik dari kitab suci (Tuhan dan Nabi) maupun perkataan para ahli (ulama), mereka akan menolak dengan alasan bahwa itu adalah pemahaman orang di luar
Padahal jika ditelaah lebih jauh, setiap ahli yang menjadi rujukan mereka pun tidak menganggap bahwa bom bunuh diri adalah bagian dari makna jihad. Gara-gara itu semua saya jadi berfikir, ternyata manusia lebih mudah menerima informasi ketika dia merasa tidak tahu. Akibat kekosongan (atau mengosongkan) sementara dari akal, manusia akan lebih mudah menghadapi perbedaan dengan kepala dingin.
Bisa dikatakan merasa bodoh lebih baik ketimbang prasangka sok tahu dalam konteks ini. Dengan merasa bodoh tadi akan muncul pandangan bahwa orang lain bisa lebih benar darinya hingga menghadirkan sikap toleran dalam perbedaan.
Sepanjang sejarah selalu ada tindakan intoleran, tetapi di waktu yang sama diiringi dengan upaya untuk menjaga kemanusiaan dengan toleransi. Pada akhirnya kampanye toleransi seringkali menjadi janji yang kerap kali dilanggar dan dikerdilkan atas dasar berbagai kepentingan terutama ketika bicara kekuasaan.
Padahal unsur utama dari toleransi adalah sikap menghargai kemanusiaan. Dan untuk mewujudkannya perlu dibangun kesadaran tiap individu sebagai makhluk kosmopolit. Artinya manusia bukanlah sekadar makhluk kesukuan, kebangsaan atau keagamaan, tetapi lebih dari itu manusia adalah makhluk kosmos yang saling memiliki perannya masing-masing di muka bumi ini.
Sehingga nantinya muncul sikap untuk saling menjaga hak asasi masing-masing manusia, termasuk dalam hal beragama. Dan hal paling fundamental dari itu semua ketika setiap insan mau menanggalkan ego dalam akalnya untuk mampu menerima informasi berbeda dari pemahamannya.
- Artikel Teropuler -
Kadang, Perlu Merasa Bodoh
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay Kamis, 23-12-2021 | - Dilihat: 52

Oleh: Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Pertengahan tahun 2014 saat berada di kereta api saya pernah berdebat hebat dengan sekelompok penumpang. Mulanya, seperti kebanyakan penumpang kereta ekonomi lainnya, kami saling bertegur sapa untuk sekadar merenyahkan suasana. Selama kami saling bercerita terjadi kecocokan , sehingga obrolan terus berlanjut.
Namun ketika pembahasan tiba pada topik jihad, kami mengalami perdebatan. Saat itu saya sebagai mahasiswa salah satu kampus Islam negeri yang sering dicap liberal menyangkal pendapat mereka tentang jihad. Saking idealisnya saya sampai menyampaikan pendapat beberapa ahli yang mangatakan bahwa jihad bukan saklek dimaknai perang, apalagi sampai diartikan sebagai sebuah tindakan berani mati dengan bom bunuh diri.
Jika jihad dimaknai demikian, maka tidak ada bedanya dengan pandangan teologi maut yang menganggap bahwa selain golongannya pantas dimusnahkan. Sampai pada titik ini obrolan kami terhenti, dan tidak berlanjut kembali hingga saya tiba di kota tujuan.
Saat ini, setelah enam tahun lebih berlalu, ketika saya telah lepas dari gelar mahasiswa dan menjadi pembimbing narapidana di penjara, masih ada saja yang memahami bahwa pengeboman diri merupakan makna dari jihad. Saya tidak habis pikir bagaimana doktrin yang dibangun hingga membuat orang-orang berani menyetorkan nyawa di balik bayang-bayang pahala.
Saya jadi berfikir bahwa berdebat dengan narapidana lebih mudah ketimbang beradu argumen dengan pihak yang kokoh dengan pandangan teologi mautnya. Pasalnya, ketika narapidana diberi argumentasi tentang hal yang telah diatur baik dengan dalih hukum buatan manusia maupun ayat-ayat Tuhan Yang Maha Esa mereka akan terbuka hatinya.
Bahkan mereka menyadari bahwa tindakannya salah sebagai sesama manusia. Akhirnya taubatan nasuha adalah jalan ninjanya untuk berubah dan berbenah.
Sedangkan berdebat dengan oknum yang memaknai bom bunuh diri sebagai jihad sangat sulit meski dipaparkan dengan logika yang teramat runut. Terlebih lagi jika dibawakan dalil, baik dari kitab suci (Tuhan dan Nabi) maupun perkataan para ahli (ulama), mereka akan menolak dengan alasan bahwa itu adalah pemahaman orang di luar
Padahal jika ditelaah lebih jauh, setiap ahli yang menjadi rujukan mereka pun tidak menganggap bahwa bom bunuh diri adalah bagian dari makna jihad. Gara-gara itu semua saya jadi berfikir, ternyata manusia lebih mudah menerima informasi ketika dia merasa tidak tahu. Akibat kekosongan (atau mengosongkan) sementara dari akal, manusia akan lebih mudah menghadapi perbedaan dengan kepala dingin.
Bisa dikatakan merasa bodoh lebih baik ketimbang prasangka sok tahu dalam konteks ini. Dengan merasa bodoh tadi akan muncul pandangan bahwa orang lain bisa lebih benar darinya hingga menghadirkan sikap toleran dalam perbedaan.
Sepanjang sejarah selalu ada tindakan intoleran, tetapi di waktu yang sama diiringi dengan upaya untuk menjaga kemanusiaan dengan toleransi. Pada akhirnya kampanye toleransi seringkali menjadi janji yang kerap kali dilanggar dan dikerdilkan atas dasar berbagai kepentingan terutama ketika bicara kekuasaan.
Padahal unsur utama dari toleransi adalah sikap menghargai kemanusiaan. Dan untuk mewujudkannya perlu dibangun kesadaran tiap individu sebagai makhluk kosmopolit. Artinya manusia bukanlah sekadar makhluk kesukuan, kebangsaan atau keagamaan, tetapi lebih dari itu manusia adalah makhluk kosmos yang saling memiliki perannya masing-masing di muka bumi ini.
Sehingga nantinya muncul sikap untuk saling menjaga hak asasi masing-masing manusia, termasuk dalam hal beragama. Dan hal paling fundamental dari itu semua ketika setiap insan mau menanggalkan ego dalam akalnya untuk mampu menerima informasi berbeda dari pemahamannya.
1 Komentar

2021-12-23 10:01:59
Er
Tulisan inspiratif!
1 Komentar
2021-12-23 10:01:59
Er
Tulisan inspiratif!
Tinggalkan Pesan