Islam dan Demokrasi
Alfin Nur Ridwan Ahad, 25-6-2023 | - Dilihat: 36
Oleh: Alfin Nur Ridwan
Mendekati tahun politik, berbagai dinamika-dinamika dan juga gelagat partai politik ataupun calon yang diusungkannya sudah mulai terhendus. Berbagai macam baliho sudah mulai menghiasi setiap sudut jalan. Blusukan-blusukan ke setiap daerah pun tak luput siap mewarnai hari-hari kedepan sampai pada waktu pemilihan tiba. Itulah yang kerap kali agaknya sering kita rasakan setiap menjelang tahun politik tiba.
Akan tetapi di negeri yang bermayoritaskan muslim ini menjelang diadakannya pemilu ataupun tidak ketika berbicara soal demokrasi pasti akan memunculkan pendapat yang tak sama. Yang mana sampai saat ini masih ada saja umat Islam di negeri ini yang anti akan demokrasi.
Menganggap pemerintahan yang berlaku saat ini tidak sah dan menginginkan jalannya pemerintahan sebagaimana periode Nabi dahulu. Dan yang parahnya lagi sampai pada titik menganggap pemerintahan saat ini yang produksi demokrasi wajib diperangi, sehingga tak salah jika masih ada kasus-kasus terorisme yang mengatasnamakan jihad.
Padahal, jika mau dikorelasikan antara demokrasi ataupun syura (musyawarah) pada zaman nabi dalam proses jalannya pemerintahan tidaklah jauh berbeda. Demokrasi yang diartikan secara umum sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat seharusnya sudah menjadi landasan yang bisa dikatakan bagus dalam pemerintahan dibanding sistem lainnya macam monarki ataupun federal. Sebab, dalam hal kepemimpinan/pemerintahan dalam Islam pun sudah jauh mengenal sistem demokrasi/syura dalam sejarahnya.
Musyawarah dalam Sejarah Islam
Memang, dalam sejarah Islam istilah demokrasi belum ditemukan, akan tetapi sistem demokrasi yang berlandaskan asas musyawarah tentunya sangat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Hal tersebut bisa kita lihat dalam sirah-sirah Rasulullah terdahulu, yang mana beliau selaku uswatun hasanah selalu melakukan musyawarah bersama para sahabatnya dalam menentukan segala permasalahan saat itu. Bahkan ada sebuah kutipan hadits yang menggambarkan kebiasaan beliau tersebut, yang artinya, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabatnya dibanding Rasulullah SAW” (HR. At-Tirmidzi).
Selain daripada itu, bahkan bermusyawarah dalam Al-Qur’an pun jelas dikatakan dalam surat Asy-Syuura ayat 38, bahkan dijadikan nama surat tersendiri (Asy-Syuura) yang memiliki arti “bermusyawarah”. Perlu diperhatikan pula, seringnya Rasulullah dalam bermusyawarah bersama para sahabatnya dalam memutuskan perkara-perkara di zaman itu bukan berarti lantas Rasulullah mengesampingkan wahyu yang turun kepadanya. Akan tetapi semangat bermusyawarah dan bertukar pikiran itu menjadi keutamaan selama tidak ada wahyu yang mengatur perihal problematika yang dihadapi kala itu.
Sebagai contoh, dalam sirahnya Rasulullah kerap kali melakukan musyawarah ketika hendak melakukan peperangan baik perang Badar, Uhud, maupun perang Khandaq. Musyawarah yang dilakukan yakni dalam rangka meminta masukan/usulan perihal strategi ataupun posisi pasukan. Kemudian juga Rasulullah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya ketika mengadakan perjanjian Hudaibiyah.
Kemudian setelah wafatnya Rasulullah sistem demokrasi ataupun musyawarah masih dilanjutkan oleh para sahabat, bahkan pada periode ini lebih jelas ketika musyawarah diterapkan dalam hal memilih sosok pemimpin. Karena walaupun sebelum wafatnya Rasulullah sudah mengatakan bahwa Islam sudah sempurna, tetapi sampai ajal menjemput beliau tidak menyebutkan secara eksplisit siapa pemimpin sepeninggalnya. Yang artinya itu berarti sudah menjadi beban para sahabat setelah wafatnya Rasulullah.
Yang pertama, terpilihnya Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah tak lepas dari musyawarah yang dilakukan oleh kaum anshar (sebagai penduduk asli madinah) dan juga Abu Bakar dan Umar bin Khattab di Saqafah Bani Sa’idah. Walaupun bisa dikatakan musyawarah yang dilakukan kala itu tidak sempurna, karena tidak melibatkan kaum muhajirin lainnya yang tengah sibuk mengurusi jenazah Rasulullah dan juga pemilihan dilakukan secara mendadak.
Kemudian dalam proses pergantian kepemimpinan ke Umar bin Khattab, dalam sejarahnya memang dikatakan bahwa pergantian estafet kepemimpinan dilakukan secara penunjukkan langsung oleh Abu Bakar. Akan tetapi yang perlu dilirik kembali bahwsannya walaupun khalifah Abu Bakar memang telah mempercayai tampu kepemimpinan pasca dirinya kepada Umar sebelum ia wafat, akan tetapi Abu Bakar tetap bermusyawrah terlebih dahulu dengan beberapa sahabat lainnya tentang figur Umar bin Khattab.
Budaya musyawarah tersebut berlanjut sampai masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, hingga Ali pun wafat maka setelah itulah budaya bermusyawarah dalam Islam meredup. Karena setelah Ali bin Abi Thalib wafat sampai kurang lebih awal abad 20 sistem kepemimpinan yang dipakai bukan lagi berasaskan musyawarah, akan tetapi berubah menjadi sistem monarki (kerajaan).
Maka dari itulah tak heran jika umat muslim saat ini dibuat bingung ketika dibenturkan dengan demokrasi, sebab kita telah kehilangan semangat bermusyawarah untuk memilih khalifah selama ribuan tahun lamanya – dari sejak wafatnya Ali sampai Turki Ustmani.
Soal Demokrasi, Umat Islam Tak Boleh Keliru!
Sebagaimana disampaikan di awal, umat Islam di negeri ini memang sampai saat ini masih belum seragam dalam memandang demokrasi. Tak setujunya beberapa muslim perihal demokrasi ini dipicu oleh beberapa faktor, yang mana dari beberapa faktor tersebut nampaknya kebanyakan muslim masih belum bisa membedakan antara yang disebut alat/sarana dan tujuan.
Karena, tentunya di tangan orang beriman demokrasi dapat menjadi wasilah (sarana) yang dapat menghantarkan suatu negara atau yang dipimpinnya menuju tercapainya Baldatun Thayyubatun Wa Rabbun Ghofur. Dan sebaliknya, jika demokrasi berada di tangan kaum liberal ataupun sekularis, kemungkinan paham serba liberal atau sekularis dapat mempengaruhi jalannya demokrasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa demokrasi ini seperti pisau, bagaimana diperlakukannya tergantung siapa yang menggunakannya.
Jikalau kita menganggap demokrasi itu sebagai sebuah tujuan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara, maka tentu itu sebuah kekeliruan. Karena pada dasarnya demokrasi hanyalah alat/wasilah untuk mencapai tujuan. Demokrasi merukapan hanya sekadar alat atau sarana untuk memilih pemimpin, merumuskan hukum dan perundang-undangan, dan perangkat kenegaraan lainnya.
Lantas mengapa harus demokrasi? Sebab dalam sistem demokrasi, seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat dan dapat pula diberhentikan oleh rakyatnya. Di era seperti sekarang ini demokrasi dapat dikatakan sebagai sistem yang dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat di dalamnya, walaupun dalam jalannya demokrasi tak sepenuhnya sempurna. Sebagaimana dikatakan Winston Churchill (mantan perdana menteri Inggris) bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan paling buruk, tapi tidak ada yang lebih baik dari itu.
Bisa dikatakan bahwa dalam sistem demokrasilah umat muslim dapat menjalankan fungsi amar ma’ruf nahi munkar dengan baik. Sebab dalam sistem demokrasi setiap rakyatnya dijamin akan hak dan kewajibannya. Tinggal kemudian bagaimana umat muslim harus bisa juga mengambil peran dalam tatanan pemerintahan, sehingga segala bentuk penindasan, kezhaliman, ketidakadilan bisa sedikit demi sedikit terkikis.
- Artikel Terpuler -
Islam dan Demokrasi
Alfin Nur Ridwan Ahad, 25-6-2023 | - Dilihat: 36
Oleh: Alfin Nur Ridwan
Mendekati tahun politik, berbagai dinamika-dinamika dan juga gelagat partai politik ataupun calon yang diusungkannya sudah mulai terhendus. Berbagai macam baliho sudah mulai menghiasi setiap sudut jalan. Blusukan-blusukan ke setiap daerah pun tak luput siap mewarnai hari-hari kedepan sampai pada waktu pemilihan tiba. Itulah yang kerap kali agaknya sering kita rasakan setiap menjelang tahun politik tiba.
Akan tetapi di negeri yang bermayoritaskan muslim ini menjelang diadakannya pemilu ataupun tidak ketika berbicara soal demokrasi pasti akan memunculkan pendapat yang tak sama. Yang mana sampai saat ini masih ada saja umat Islam di negeri ini yang anti akan demokrasi.
Menganggap pemerintahan yang berlaku saat ini tidak sah dan menginginkan jalannya pemerintahan sebagaimana periode Nabi dahulu. Dan yang parahnya lagi sampai pada titik menganggap pemerintahan saat ini yang produksi demokrasi wajib diperangi, sehingga tak salah jika masih ada kasus-kasus terorisme yang mengatasnamakan jihad.
Padahal, jika mau dikorelasikan antara demokrasi ataupun syura (musyawarah) pada zaman nabi dalam proses jalannya pemerintahan tidaklah jauh berbeda. Demokrasi yang diartikan secara umum sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat seharusnya sudah menjadi landasan yang bisa dikatakan bagus dalam pemerintahan dibanding sistem lainnya macam monarki ataupun federal. Sebab, dalam hal kepemimpinan/pemerintahan dalam Islam pun sudah jauh mengenal sistem demokrasi/syura dalam sejarahnya.
Musyawarah dalam Sejarah Islam
Memang, dalam sejarah Islam istilah demokrasi belum ditemukan, akan tetapi sistem demokrasi yang berlandaskan asas musyawarah tentunya sangat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Hal tersebut bisa kita lihat dalam sirah-sirah Rasulullah terdahulu, yang mana beliau selaku uswatun hasanah selalu melakukan musyawarah bersama para sahabatnya dalam menentukan segala permasalahan saat itu. Bahkan ada sebuah kutipan hadits yang menggambarkan kebiasaan beliau tersebut, yang artinya, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabatnya dibanding Rasulullah SAW” (HR. At-Tirmidzi).
Selain daripada itu, bahkan bermusyawarah dalam Al-Qur’an pun jelas dikatakan dalam surat Asy-Syuura ayat 38, bahkan dijadikan nama surat tersendiri (Asy-Syuura) yang memiliki arti “bermusyawarah”. Perlu diperhatikan pula, seringnya Rasulullah dalam bermusyawarah bersama para sahabatnya dalam memutuskan perkara-perkara di zaman itu bukan berarti lantas Rasulullah mengesampingkan wahyu yang turun kepadanya. Akan tetapi semangat bermusyawarah dan bertukar pikiran itu menjadi keutamaan selama tidak ada wahyu yang mengatur perihal problematika yang dihadapi kala itu.
Sebagai contoh, dalam sirahnya Rasulullah kerap kali melakukan musyawarah ketika hendak melakukan peperangan baik perang Badar, Uhud, maupun perang Khandaq. Musyawarah yang dilakukan yakni dalam rangka meminta masukan/usulan perihal strategi ataupun posisi pasukan. Kemudian juga Rasulullah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya ketika mengadakan perjanjian Hudaibiyah.
Kemudian setelah wafatnya Rasulullah sistem demokrasi ataupun musyawarah masih dilanjutkan oleh para sahabat, bahkan pada periode ini lebih jelas ketika musyawarah diterapkan dalam hal memilih sosok pemimpin. Karena walaupun sebelum wafatnya Rasulullah sudah mengatakan bahwa Islam sudah sempurna, tetapi sampai ajal menjemput beliau tidak menyebutkan secara eksplisit siapa pemimpin sepeninggalnya. Yang artinya itu berarti sudah menjadi beban para sahabat setelah wafatnya Rasulullah.
Yang pertama, terpilihnya Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah tak lepas dari musyawarah yang dilakukan oleh kaum anshar (sebagai penduduk asli madinah) dan juga Abu Bakar dan Umar bin Khattab di Saqafah Bani Sa’idah. Walaupun bisa dikatakan musyawarah yang dilakukan kala itu tidak sempurna, karena tidak melibatkan kaum muhajirin lainnya yang tengah sibuk mengurusi jenazah Rasulullah dan juga pemilihan dilakukan secara mendadak.
Kemudian dalam proses pergantian kepemimpinan ke Umar bin Khattab, dalam sejarahnya memang dikatakan bahwa pergantian estafet kepemimpinan dilakukan secara penunjukkan langsung oleh Abu Bakar. Akan tetapi yang perlu dilirik kembali bahwsannya walaupun khalifah Abu Bakar memang telah mempercayai tampu kepemimpinan pasca dirinya kepada Umar sebelum ia wafat, akan tetapi Abu Bakar tetap bermusyawrah terlebih dahulu dengan beberapa sahabat lainnya tentang figur Umar bin Khattab.
Budaya musyawarah tersebut berlanjut sampai masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, hingga Ali pun wafat maka setelah itulah budaya bermusyawarah dalam Islam meredup. Karena setelah Ali bin Abi Thalib wafat sampai kurang lebih awal abad 20 sistem kepemimpinan yang dipakai bukan lagi berasaskan musyawarah, akan tetapi berubah menjadi sistem monarki (kerajaan).
Maka dari itulah tak heran jika umat muslim saat ini dibuat bingung ketika dibenturkan dengan demokrasi, sebab kita telah kehilangan semangat bermusyawarah untuk memilih khalifah selama ribuan tahun lamanya – dari sejak wafatnya Ali sampai Turki Ustmani.
Soal Demokrasi, Umat Islam Tak Boleh Keliru!
Sebagaimana disampaikan di awal, umat Islam di negeri ini memang sampai saat ini masih belum seragam dalam memandang demokrasi. Tak setujunya beberapa muslim perihal demokrasi ini dipicu oleh beberapa faktor, yang mana dari beberapa faktor tersebut nampaknya kebanyakan muslim masih belum bisa membedakan antara yang disebut alat/sarana dan tujuan.
Karena, tentunya di tangan orang beriman demokrasi dapat menjadi wasilah (sarana) yang dapat menghantarkan suatu negara atau yang dipimpinnya menuju tercapainya Baldatun Thayyubatun Wa Rabbun Ghofur. Dan sebaliknya, jika demokrasi berada di tangan kaum liberal ataupun sekularis, kemungkinan paham serba liberal atau sekularis dapat mempengaruhi jalannya demokrasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa demokrasi ini seperti pisau, bagaimana diperlakukannya tergantung siapa yang menggunakannya.
Jikalau kita menganggap demokrasi itu sebagai sebuah tujuan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara, maka tentu itu sebuah kekeliruan. Karena pada dasarnya demokrasi hanyalah alat/wasilah untuk mencapai tujuan. Demokrasi merukapan hanya sekadar alat atau sarana untuk memilih pemimpin, merumuskan hukum dan perundang-undangan, dan perangkat kenegaraan lainnya.
Lantas mengapa harus demokrasi? Sebab dalam sistem demokrasi, seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat dan dapat pula diberhentikan oleh rakyatnya. Di era seperti sekarang ini demokrasi dapat dikatakan sebagai sistem yang dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat di dalamnya, walaupun dalam jalannya demokrasi tak sepenuhnya sempurna. Sebagaimana dikatakan Winston Churchill (mantan perdana menteri Inggris) bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan paling buruk, tapi tidak ada yang lebih baik dari itu.
Bisa dikatakan bahwa dalam sistem demokrasilah umat muslim dapat menjalankan fungsi amar ma’ruf nahi munkar dengan baik. Sebab dalam sistem demokrasi setiap rakyatnya dijamin akan hak dan kewajibannya. Tinggal kemudian bagaimana umat muslim harus bisa juga mengambil peran dalam tatanan pemerintahan, sehingga segala bentuk penindasan, kezhaliman, ketidakadilan bisa sedikit demi sedikit terkikis.
3 Komentar
2023-06-25 15:11:15
Anonim
Kita sudah berada di zaman dimana muslim menjadikan alquran untuk pembenaran, bukan sbg kebenaran
2024-12-04 06:17:20
Zikywg
order indinavir online cheap - voltaren gel where to buy voltaren gel online order
2024-12-09 04:42:37
Eaapiv
valif pills hundred - purchase secnidazole online cheap sinemet 20mg over the counter
3 Komentar
2023-06-25 15:11:15
Anonim
Kita sudah berada di zaman dimana muslim menjadikan alquran untuk pembenaran, bukan sbg kebenaran
2024-12-04 06:17:20
Zikywg
order indinavir online cheap - voltaren gel where to buy voltaren gel online order
2024-12-09 04:42:37
Eaapiv
valif pills hundred - purchase secnidazole online cheap sinemet 20mg over the counter
Tinggalkan Pesan