• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Implikasi Penerapan Omnibus Terhadap Regulasi Otonomi Daerah dan Desa

Rheza Firmansyah Jum'at, 27-5-2022 | - Dilihat: 21

banner

Oleh: Rheza Firmansyah

Omnibus merupakan metode baru yang menjadi pilihan politik hukum yang dilakukan Pemerintah dalam menyederhanakan regulasi dari segi jumlah. Metode ini ditempuh atas dasar besarnya kuantitas regulasi yang diterbitkan oleh DPR maupun Pemerintah. Kuantitas regulasi yang begitu banyak ini kemudian berdampak terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi (Antoni Putra: 2020).

Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan mencatat beban regulasi pada empat sektor yakni 107   Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden dan 7621 Peraturan Menteri. Sejumlah  catatan tersebut memiliki potensi implikasi mulai dari beban undang undang yang tumpang tindih, beban harmonisasi, beban singkronisasi, beban monitoring dan evaluasi (PSHK: 2019).

Oleh karenanya metode omnibus ini dipilih karena dinilai merupakan metode efektif guna melakukan penyederhanaan regulasi. Kondisi demikian didukung dengan adanya penelitian yang menyatakan bahwa omnibus merupakan alternatif metode untuk menyederhanakan atau melakukan simplifikasi regulasi yang dinilai telah mengalami obesitas.

Di sisi lain  metode omnibus juga menyisakan persoalan dalam penerapannya. Alih-alih ingin menyederhanakan regulasi justru muncul lebih banyak lagi regulasi yang timbul akibat metode omnibus ini. Setidaknya ada dua contoh klaster yang dapat dijadikan sebagai referensi letak inkomtabilitas metode omnibus ini terhadap penyusunan peraturan perundang- undangan.

Omnibus dalam UU Pemerintahan Daerah

Penerapan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (UUCK) , menyisakan sejumlah persoalan berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh penulis terdapat 9 pasal pengaturan yang ada di dalam UU Pemerintahan Daerah kemudian diatur kembali dalam UUCK dan beberapa pasal yang diubah.

Terdapat dua pasal pembentukan norma baru yakni di pasal 292 dan pasal 402 dengan menyisipkan pasal 292A dan 402A sementara ada 7 pasal yang diubah yaitu pasal 16, pasal 250, pasal 251, pasal 252, pasal 260, pasal 300 dan  pasal 402A, pasal 349.

Pembentukan pasal pasal tersebut berimpilkasi terhadap hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semakin menguatkan hegemoni pemerintah pusat. Fenomena ini dapat dilihat dari sentralisasi  perizinan, dalam pasal 350 UUCK menjelaskan  kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapakan oleh  Pemerintah Pusat.

Frasa dalam pasal tersebut mereduksi spirit reformasi politik 1998 yang desain memperkuat politik lokal. Implikasi hukum dari UUCK tidak hanya sampai disitu saja, pola hubungan pengawasan menjasi persoalan yang turut menjadi perhatian bersama.

Dampak pemberlakuan Perda dan Perkada yang bertentangan sebagaimana dengan ketentuan UUCK ini berimpilkasi kepada sanksi administratif bagi kepala daerah. Ketentuan ini secara tidak langsung menjadikan pola hubungan yang bersifat represif.

Pada dasarnya pola hubungan pengawasan seharusnya tidak berdampak pada sanksi administratif terhadap kepala daerah dan anggota DPRD. Dalam terori hukum yang ada selama ini pola hubungan pengawasan sebagai fungsi control Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah dilakukan melalui pengawasan produk hukum maupun melalui mekanisme judicial review yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dampaknya hanya sebatas pembatalan Perda maupun Perkada tanpa memberikan sanksi kepada kepala daerah.

Omnibus dalam Pemerintahan Desa

Tidak berhenti dalam pemerintah daerah saja, implikasi penerapan UUCK juga berdampak terhadap eksistensi pemerintah desa. Pengaturan tersebut tercerin di dalam pasal 87 UUCK yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUM Des, merupakan sebuah terobosan yang patut diapresiasi kehadirannya dalam pemberdayaan dan penguatan sosio-ekonomi masyarakat.

Tujuan besarnya adalah menggerakan roda perekonomian masyarakat desa sesuai dengan kerifan lokal masing- masing di tiap desa. Namun seiring dengan pemberlakuan UUCK ini berddampak terhadap eksistensi dari BUMDes yang didorong menjadi sebuah badan hukum .

Fenomena ini sejalan dengan  pernyataan Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa dampak dari globalisasi desa itu salah satunya terjadi proses universialisasi nilai-nilai ideal dalam perikehidupan bersama umat manusia termasuk di desa desa di seluruh dunia. Meski setiap lokalitas pasti ada ciri khasnya masing-masing, tetapi universialisasi nilai tidak terhindarkan (Jimly Asshiddiqie: 2015).

Dengan demikian secara tidak langsung nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam setiap pemerintah desa secara tidak langsung akan terreduksi dengan ditetapkannya UUCK tersebut. Selain itu kapitalisasi juga akan masuk ke dalam pengelolaan BUMDes yang ada di setiap desa.

Problem Legislasi

Kedua problem tersebut merupakan sebagian kecil dari contoh problem yang ada di dalam UUCK, tentunya persoalan tersebut menjadi sangat kontraproduktif dengan spirit penyederhanaan regulasi. Hal ini dapat diidentifikasi dari target legislasi nasional yang selalu menitikberatkan pada volume jumlah capaian RUU yang nantinya akan menjadi target legislasi secara berkala.

Ironisnya kemudian pemaknaan keberhasilan skala legislasi di Indonesia dimaknai dengan capaian kuantitatif terhadap realisasi prolegnas. Problem ini tercermin di dalam laporan pertanggungjawaban ketua dan anggota DPR dalam sidang tahunan yang selalu mengedepankan aspek kuantitatif daripada kualitatif.

Selain persoalan tersebut, paradigma para legislator masih beranggapan bahwa regulasi dipandang sebagai obat mustajab menyelesaikan problem sosial. Padahal penyelesian problem sosial ini tentunya juga harus berdampingan dengan metode metode yang lain dengan berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda.

Melihat realita demikian isu perampingan dan harmonisasi regulasi tampak utopis dalam kerangka sistem peraturan perundang- undangan di Indonesia. Jika melihat di berbagai negara yang tela menerapkan metode omnibus, metode ini pada dasarnya digunakan sebagai teknik perumusan undang-undang yang disusun sekaligus mengubah ketentuan beberapa peraturan di dalam sebuah undang-undang.

Artinya penyusunan produk hukum dengan teknik omnibus akan mengesampingkan beberapa undang-undang terkait dan beririsan dengan satu sama lainnya. Dalam konteks UU Pemda dan UU Desa tersebut metode omnibus ini tidak mencabut ketentuan yang sudah ada dan hanya menyisipkan ketentuan baru di dalam UUCK.

____

Rheza Firmansyah, S.H., M.H., Advokat, Managing Partners Kantor Hukum Firmansyah Rheza & Partners.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Implikasi Penerapan Omnibus Terhadap Regulasi Otonomi Daerah dan Desa

Rheza Firmansyah Jum'at, 27-5-2022 | - Dilihat: 21

banner

Oleh: Rheza Firmansyah

Omnibus merupakan metode baru yang menjadi pilihan politik hukum yang dilakukan Pemerintah dalam menyederhanakan regulasi dari segi jumlah. Metode ini ditempuh atas dasar besarnya kuantitas regulasi yang diterbitkan oleh DPR maupun Pemerintah. Kuantitas regulasi yang begitu banyak ini kemudian berdampak terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi (Antoni Putra: 2020).

Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan mencatat beban regulasi pada empat sektor yakni 107   Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden dan 7621 Peraturan Menteri. Sejumlah  catatan tersebut memiliki potensi implikasi mulai dari beban undang undang yang tumpang tindih, beban harmonisasi, beban singkronisasi, beban monitoring dan evaluasi (PSHK: 2019).

Oleh karenanya metode omnibus ini dipilih karena dinilai merupakan metode efektif guna melakukan penyederhanaan regulasi. Kondisi demikian didukung dengan adanya penelitian yang menyatakan bahwa omnibus merupakan alternatif metode untuk menyederhanakan atau melakukan simplifikasi regulasi yang dinilai telah mengalami obesitas.

Di sisi lain  metode omnibus juga menyisakan persoalan dalam penerapannya. Alih-alih ingin menyederhanakan regulasi justru muncul lebih banyak lagi regulasi yang timbul akibat metode omnibus ini. Setidaknya ada dua contoh klaster yang dapat dijadikan sebagai referensi letak inkomtabilitas metode omnibus ini terhadap penyusunan peraturan perundang- undangan.

Omnibus dalam UU Pemerintahan Daerah

Penerapan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (UUCK) , menyisakan sejumlah persoalan berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh penulis terdapat 9 pasal pengaturan yang ada di dalam UU Pemerintahan Daerah kemudian diatur kembali dalam UUCK dan beberapa pasal yang diubah.

Terdapat dua pasal pembentukan norma baru yakni di pasal 292 dan pasal 402 dengan menyisipkan pasal 292A dan 402A sementara ada 7 pasal yang diubah yaitu pasal 16, pasal 250, pasal 251, pasal 252, pasal 260, pasal 300 dan  pasal 402A, pasal 349.

Pembentukan pasal pasal tersebut berimpilkasi terhadap hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semakin menguatkan hegemoni pemerintah pusat. Fenomena ini dapat dilihat dari sentralisasi  perizinan, dalam pasal 350 UUCK menjelaskan  kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapakan oleh  Pemerintah Pusat.

Frasa dalam pasal tersebut mereduksi spirit reformasi politik 1998 yang desain memperkuat politik lokal. Implikasi hukum dari UUCK tidak hanya sampai disitu saja, pola hubungan pengawasan menjasi persoalan yang turut menjadi perhatian bersama.

Dampak pemberlakuan Perda dan Perkada yang bertentangan sebagaimana dengan ketentuan UUCK ini berimpilkasi kepada sanksi administratif bagi kepala daerah. Ketentuan ini secara tidak langsung menjadikan pola hubungan yang bersifat represif.

Pada dasarnya pola hubungan pengawasan seharusnya tidak berdampak pada sanksi administratif terhadap kepala daerah dan anggota DPRD. Dalam terori hukum yang ada selama ini pola hubungan pengawasan sebagai fungsi control Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah dilakukan melalui pengawasan produk hukum maupun melalui mekanisme judicial review yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dampaknya hanya sebatas pembatalan Perda maupun Perkada tanpa memberikan sanksi kepada kepala daerah.

Omnibus dalam Pemerintahan Desa

Tidak berhenti dalam pemerintah daerah saja, implikasi penerapan UUCK juga berdampak terhadap eksistensi pemerintah desa. Pengaturan tersebut tercerin di dalam pasal 87 UUCK yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUM Des, merupakan sebuah terobosan yang patut diapresiasi kehadirannya dalam pemberdayaan dan penguatan sosio-ekonomi masyarakat.

Tujuan besarnya adalah menggerakan roda perekonomian masyarakat desa sesuai dengan kerifan lokal masing- masing di tiap desa. Namun seiring dengan pemberlakuan UUCK ini berddampak terhadap eksistensi dari BUMDes yang didorong menjadi sebuah badan hukum .

Fenomena ini sejalan dengan  pernyataan Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa dampak dari globalisasi desa itu salah satunya terjadi proses universialisasi nilai-nilai ideal dalam perikehidupan bersama umat manusia termasuk di desa desa di seluruh dunia. Meski setiap lokalitas pasti ada ciri khasnya masing-masing, tetapi universialisasi nilai tidak terhindarkan (Jimly Asshiddiqie: 2015).

Dengan demikian secara tidak langsung nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam setiap pemerintah desa secara tidak langsung akan terreduksi dengan ditetapkannya UUCK tersebut. Selain itu kapitalisasi juga akan masuk ke dalam pengelolaan BUMDes yang ada di setiap desa.

Problem Legislasi

Kedua problem tersebut merupakan sebagian kecil dari contoh problem yang ada di dalam UUCK, tentunya persoalan tersebut menjadi sangat kontraproduktif dengan spirit penyederhanaan regulasi. Hal ini dapat diidentifikasi dari target legislasi nasional yang selalu menitikberatkan pada volume jumlah capaian RUU yang nantinya akan menjadi target legislasi secara berkala.

Ironisnya kemudian pemaknaan keberhasilan skala legislasi di Indonesia dimaknai dengan capaian kuantitatif terhadap realisasi prolegnas. Problem ini tercermin di dalam laporan pertanggungjawaban ketua dan anggota DPR dalam sidang tahunan yang selalu mengedepankan aspek kuantitatif daripada kualitatif.

Selain persoalan tersebut, paradigma para legislator masih beranggapan bahwa regulasi dipandang sebagai obat mustajab menyelesaikan problem sosial. Padahal penyelesian problem sosial ini tentunya juga harus berdampingan dengan metode metode yang lain dengan berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda.

Melihat realita demikian isu perampingan dan harmonisasi regulasi tampak utopis dalam kerangka sistem peraturan perundang- undangan di Indonesia. Jika melihat di berbagai negara yang tela menerapkan metode omnibus, metode ini pada dasarnya digunakan sebagai teknik perumusan undang-undang yang disusun sekaligus mengubah ketentuan beberapa peraturan di dalam sebuah undang-undang.

Artinya penyusunan produk hukum dengan teknik omnibus akan mengesampingkan beberapa undang-undang terkait dan beririsan dengan satu sama lainnya. Dalam konteks UU Pemda dan UU Desa tersebut metode omnibus ini tidak mencabut ketentuan yang sudah ada dan hanya menyisipkan ketentuan baru di dalam UUCK.

____

Rheza Firmansyah, S.H., M.H., Advokat, Managing Partners Kantor Hukum Firmansyah Rheza & Partners.

 

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech