Hermeneutika dan Pengkajian Kitab Suci
Bimba Fathony Kamis, 26-1-2023 | - Dilihat: 61

Oleh: Bimba Fathony
Al-quran sebagai Kitab Suci umat Islam merupakan pedoman yang mutlak benarnya dan kebenaran dari Alquran tidak boleh kita ragukan sebagai Muslim. Al-qur’an sebagai wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW banyak sekali mengandung nilai-nilai sekaligus misteri yang perlu dikaji. Hal ini merupakan perintah dalam Al-qur’an sendiri untuk mendalami dan mengkaji ayat-ayat Allah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
Dengan adanya perintah tersebut muncul para intekeltual Muslim yang gigih dalam mengkaji teks-teks Al-quran. Baik pengkajian tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh, tata bahasa Al-quran dan lain sebagainya, sehingga banyak muncul para mufassir. Dari sini perlu kita ketahui bahwa kebenaran tafsir tidak bersifat mutlak berbeda dengan Al-Qur’an karena tafsir merupakan produk pemikiran.
Muculnya beragam pengkajian dalam Al-quran dan metodologi penafsiran yang beragam pula hal ini menjadi suatu bukti bahwa operasionalisasi Hermeneutika kala itu sudah berkembang. Hal yang sangat disayangkan, keberadaan Hermeneutika sendiri masih dianggap sebelah mata, tidak sedikit di kalangan Umat Islam sendiri bahkan alergi dengan istilah Hermeneutika dengan alasan ini merupakan metode yang bukan berasal dari khazanah Islam.
Sekilas tentang Hermeneutika
Hermeneutika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang interpretasi makna. Istilah Hermeneutika diadopsi dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Sebagai suatu istilah ilmiah Hermeneutika sudah dikenal semenjak munculnya buku dasar-dasar logika karya Aritoteles yaitu Peri Hermeneias dari situlah muncul konsep logika serta rasionalitas yang mulai diperkenalkan dalam interpretasi.
Meluruskan Kesalahpahaman
Tidak sedikit orang salahpaham apabila Hermeneutika mulai muncul dari tradisi Kristen. Padahal Hermeneutika sudah muncul jauh sebelum tradisi Kristen. Namun dalam perkembanganya Hermeneutika banyak diadopsi dalam dunia Kristen terutama dalam pengkajian Bibel.
Tidak sedikit kekhawatiran berlebihan muncul bahwa yang bersumber dari Kristen/Barat menjadi sesuatu yang berbahaya untuk Akidah Islam hal ini perlu dikaji secara kritis. Bahkan apabila kita menelisik, model pendidikan modern dengan sistem sekolah belajar tatap muka dikelas seperti sistem pendidikan yang kita kenal sekarang ini itu sebetulnya merupakan tradisi Kristen terutama di era skolastik dan tidak dikenal dalam tradisi Islam.
Dalam tradisi Islam hanya mengenal sistem pendidikan ala pesantren dan halaqah. Apakah dengan demikian umat Islam tidak perlu untuk bersekolah?. Hermeneutika sebagai alat/metodologi bersifat value free jadi posisinya adalah netral, yang menjadikan apakah Hermeneutika tersebut berbau Kristen ataupun Islam tergantung bagaimana kita menggunakanya.
Tawaran Baru Metodologi Pengkajian Kitab Suci
Kitab Suci Al-Qur’an merupakan teks yang melewati ruang, zaman, dan waktu. Tentu kita perlu berfikir bagaimana agar Al-Qur’an tetap shalih li kulli zaman wa makan? dan bagaimana Al-Qur’an ini tidak sekedar kompatibel namun dapat applicable dalam segala ruang dan waktu.
Tidak sedikit kita temui dalam khazanah Islam para mufassir Al-Qur’an dengan corak pembaharuan memiliki kesadaran kontekstualisasi seperti ini. Seperti halnya Muhammad Abduh dengan Al-Manar-nya yang membawa spirit pembaharuan yang kemudian diadopsi oleh Kiyai Ahmad Dahlan dengan gagasan pemikiran yang melampaui zamanya.
Seorang mufassir diharapkan mampu memahami tujuan utama dari teks sehingga tidak a-historis, namun di lain sisi juga mampu mengaplikasikan apa yang dipahaminya ke dalam konteks kekinian sehingga tidak a-sosial. Apabila kita mengkaji tafsir-tafsir klasik tentu tafsiran tersebut tidak bisa lepas dari kondisi zaman dan sosio kultural mufassir tersebut. Dan tidak sedikit tafsir tersebut cenderung berfokus pada teks saja sehingga pemaknaan yang timbul sangat harfiah.
Hermeneutika diharapkan mampu memberi sumbangsih yang dapat menjadi perspektif baru dalam ilmu tafsir dan pengkajian kitab suci terutama Al-Qur’an. Dengan kesadaran kritis ala Hermeneutika diharapkan mampu membentuk sikap inklusif dan toleran dalam memadang keragaman. Sehingga dapat meminimlisir truth claim, karena ini merupakan hal yang patut dihindari.
Dalam dunia tafsir truth claim ditunjukan dengan sikap apriori dan menganggap bahwa tafsiranya-lah yang paling benar. Di sini Hermeneutika memberikan jalan tengah bahwasanya pemikiran ataupun penafsiran tidak bisa lepas dari konteks dan kepentingan dari mufassir sehingga kebenaran tafsir tidak mutlak dan masih dapat didialogkan. Sehingga kurang bijak apabila menyalahkan pemahaman lain yang berseberangan dan membenarkan dirinya secara apriori.
Setiap pemahaman tentu ada sisi kebenaranya namun tidak mungkin sempurna dan pasti memiliki sisi kelemahan masing-masing. Hermeneutika dalam aplikasinya tidak bisa lepas dari tiga komponen utama yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi yang ketiganya harus berjalan sinergis dalam suatu interpretasi untuk menghasilkan makna baru yang selaras dengan realitas ruang dan waktu, terutama ketika diaplikasikan sebagai metodologi pengkajian kitab suci.
_____
Bimba Fathony, Mahasiswa S2 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM Abu Dardiri Purbalingga.
- Artikel Terpuler -
Hermeneutika dan Pengkajian Kitab Suci
Bimba Fathony Kamis, 26-1-2023 | - Dilihat: 61

Oleh: Bimba Fathony
Al-quran sebagai Kitab Suci umat Islam merupakan pedoman yang mutlak benarnya dan kebenaran dari Alquran tidak boleh kita ragukan sebagai Muslim. Al-qur’an sebagai wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW banyak sekali mengandung nilai-nilai sekaligus misteri yang perlu dikaji. Hal ini merupakan perintah dalam Al-qur’an sendiri untuk mendalami dan mengkaji ayat-ayat Allah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
Dengan adanya perintah tersebut muncul para intekeltual Muslim yang gigih dalam mengkaji teks-teks Al-quran. Baik pengkajian tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh, tata bahasa Al-quran dan lain sebagainya, sehingga banyak muncul para mufassir. Dari sini perlu kita ketahui bahwa kebenaran tafsir tidak bersifat mutlak berbeda dengan Al-Qur’an karena tafsir merupakan produk pemikiran.
Muculnya beragam pengkajian dalam Al-quran dan metodologi penafsiran yang beragam pula hal ini menjadi suatu bukti bahwa operasionalisasi Hermeneutika kala itu sudah berkembang. Hal yang sangat disayangkan, keberadaan Hermeneutika sendiri masih dianggap sebelah mata, tidak sedikit di kalangan Umat Islam sendiri bahkan alergi dengan istilah Hermeneutika dengan alasan ini merupakan metode yang bukan berasal dari khazanah Islam.
Sekilas tentang Hermeneutika
Hermeneutika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang interpretasi makna. Istilah Hermeneutika diadopsi dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Sebagai suatu istilah ilmiah Hermeneutika sudah dikenal semenjak munculnya buku dasar-dasar logika karya Aritoteles yaitu Peri Hermeneias dari situlah muncul konsep logika serta rasionalitas yang mulai diperkenalkan dalam interpretasi.
Meluruskan Kesalahpahaman
Tidak sedikit orang salahpaham apabila Hermeneutika mulai muncul dari tradisi Kristen. Padahal Hermeneutika sudah muncul jauh sebelum tradisi Kristen. Namun dalam perkembanganya Hermeneutika banyak diadopsi dalam dunia Kristen terutama dalam pengkajian Bibel.
Tidak sedikit kekhawatiran berlebihan muncul bahwa yang bersumber dari Kristen/Barat menjadi sesuatu yang berbahaya untuk Akidah Islam hal ini perlu dikaji secara kritis. Bahkan apabila kita menelisik, model pendidikan modern dengan sistem sekolah belajar tatap muka dikelas seperti sistem pendidikan yang kita kenal sekarang ini itu sebetulnya merupakan tradisi Kristen terutama di era skolastik dan tidak dikenal dalam tradisi Islam.
Dalam tradisi Islam hanya mengenal sistem pendidikan ala pesantren dan halaqah. Apakah dengan demikian umat Islam tidak perlu untuk bersekolah?. Hermeneutika sebagai alat/metodologi bersifat value free jadi posisinya adalah netral, yang menjadikan apakah Hermeneutika tersebut berbau Kristen ataupun Islam tergantung bagaimana kita menggunakanya.
Tawaran Baru Metodologi Pengkajian Kitab Suci
Kitab Suci Al-Qur’an merupakan teks yang melewati ruang, zaman, dan waktu. Tentu kita perlu berfikir bagaimana agar Al-Qur’an tetap shalih li kulli zaman wa makan? dan bagaimana Al-Qur’an ini tidak sekedar kompatibel namun dapat applicable dalam segala ruang dan waktu.
Tidak sedikit kita temui dalam khazanah Islam para mufassir Al-Qur’an dengan corak pembaharuan memiliki kesadaran kontekstualisasi seperti ini. Seperti halnya Muhammad Abduh dengan Al-Manar-nya yang membawa spirit pembaharuan yang kemudian diadopsi oleh Kiyai Ahmad Dahlan dengan gagasan pemikiran yang melampaui zamanya.
Seorang mufassir diharapkan mampu memahami tujuan utama dari teks sehingga tidak a-historis, namun di lain sisi juga mampu mengaplikasikan apa yang dipahaminya ke dalam konteks kekinian sehingga tidak a-sosial. Apabila kita mengkaji tafsir-tafsir klasik tentu tafsiran tersebut tidak bisa lepas dari kondisi zaman dan sosio kultural mufassir tersebut. Dan tidak sedikit tafsir tersebut cenderung berfokus pada teks saja sehingga pemaknaan yang timbul sangat harfiah.
Hermeneutika diharapkan mampu memberi sumbangsih yang dapat menjadi perspektif baru dalam ilmu tafsir dan pengkajian kitab suci terutama Al-Qur’an. Dengan kesadaran kritis ala Hermeneutika diharapkan mampu membentuk sikap inklusif dan toleran dalam memadang keragaman. Sehingga dapat meminimlisir truth claim, karena ini merupakan hal yang patut dihindari.
Dalam dunia tafsir truth claim ditunjukan dengan sikap apriori dan menganggap bahwa tafsiranya-lah yang paling benar. Di sini Hermeneutika memberikan jalan tengah bahwasanya pemikiran ataupun penafsiran tidak bisa lepas dari konteks dan kepentingan dari mufassir sehingga kebenaran tafsir tidak mutlak dan masih dapat didialogkan. Sehingga kurang bijak apabila menyalahkan pemahaman lain yang berseberangan dan membenarkan dirinya secara apriori.
Setiap pemahaman tentu ada sisi kebenaranya namun tidak mungkin sempurna dan pasti memiliki sisi kelemahan masing-masing. Hermeneutika dalam aplikasinya tidak bisa lepas dari tiga komponen utama yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi yang ketiganya harus berjalan sinergis dalam suatu interpretasi untuk menghasilkan makna baru yang selaras dengan realitas ruang dan waktu, terutama ketika diaplikasikan sebagai metodologi pengkajian kitab suci.
_____
Bimba Fathony, Mahasiswa S2 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM Abu Dardiri Purbalingga.
1 Komentar

2023-01-26 18:07:45
Dakwah Bil Hikmah
Kak, minta pendapatnya.. Bagaimana jika istilah tentang larangan merasa paling benar itu diganti menjadi "Jangan merasa benar sendiri" Saja.. Karena pada dasarnya kita dalam memilih sebuah argumen tentunya melalui berbagai macam pertimbangan hasil pemikiran dari berbagai sumber literatur yang kita olah dalam pemikiran kita dan tentunya itulah yang kita rasa yang terbaik yang kita mampu.. Dan bahkan orang yang menyalahkan orang lain yang merasa paling benar dengan pendapatnya, itu sebenarnya orang tersebut juga menganggap pendapat bijak yang dipilihnyalah yang paling benar Jadi, sejatinya kita memang harus memilih (yang tentunya harus diikuti dengan fi'il merasa) yang paling benar, namun catatannya adalah jangan merasa benar sendiri.. Seperti halnya dalam masalah furu'iyah agama yang bersifat dzonni(dugaan).. Karena bisa jadi kebenaran yang kita claim hanya milik kita ternyata sebaliknya malah dimiliki orang lain sebab terbatasnya wawasan keilmuan yang kita kuasai.. قولي صحيح عندي بل يحتمل الخطأ و قول غيري خطأ عندي بل يحتمل الصواب "Pendapatku Benar menurutku tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan, dan pendapat selainku Salah menurutku tapi memungkinkan mengandung kebenaran" Allahu a'lam
1 Komentar
2023-01-26 18:07:45
Dakwah Bil Hikmah
Kak, minta pendapatnya.. Bagaimana jika istilah tentang larangan merasa paling benar itu diganti menjadi "Jangan merasa benar sendiri" Saja.. Karena pada dasarnya kita dalam memilih sebuah argumen tentunya melalui berbagai macam pertimbangan hasil pemikiran dari berbagai sumber literatur yang kita olah dalam pemikiran kita dan tentunya itulah yang kita rasa yang terbaik yang kita mampu.. Dan bahkan orang yang menyalahkan orang lain yang merasa paling benar dengan pendapatnya, itu sebenarnya orang tersebut juga menganggap pendapat bijak yang dipilihnyalah yang paling benar Jadi, sejatinya kita memang harus memilih (yang tentunya harus diikuti dengan fi'il merasa) yang paling benar, namun catatannya adalah jangan merasa benar sendiri.. Seperti halnya dalam masalah furu'iyah agama yang bersifat dzonni(dugaan).. Karena bisa jadi kebenaran yang kita claim hanya milik kita ternyata sebaliknya malah dimiliki orang lain sebab terbatasnya wawasan keilmuan yang kita kuasai.. قولي صحيح عندي بل يحتمل الخطأ و قول غيري خطأ عندي بل يحتمل الصواب "Pendapatku Benar menurutku tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan, dan pendapat selainku Salah menurutku tapi memungkinkan mengandung kebenaran" Allahu a'lam
Tinggalkan Pesan