Hak-Hak Warga Negara dalam Islam
Badrus Samsul Fata Jum'at, 10-12-2021 | - Dilihat: 37

Oleh: Badrus Samsul Fata
Mayoritas ulama Ahl al-Sunnah Wal Jamaah sejak awal sepakat (Ijma') bahwa masa Nabi SAW adalah masa keemasan Islam. Model dakwah pada zaman Nabi Muhammad SAW juga merupakan model dakwah yang paling ideal. Rasulullah Muhammad SAW selalu mengedepankan dakwah dengan hikmah dan kehati-hatian, kecuali jika terpaksa. Tidak ada Nabi atau utusan Allah SWT yang sebanding dengan Rasulullah Muhammad SAW, terutama dalam melindungi kepentingan umat Islam itu sendiri. Lalu, bagaimana Nabi Muhammad SAW melindungi orang lain?
Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang ideal bagi kita semua ketika ia melindungi dan menjamin hak-hak sipil warga negara selain Muslim, termasuk ketika Nabi Muhammad SAW menjamin status konstitusional bagi orang-orang Kristen Najran. Jaminan perlindungan ini berupa kesepakatan damai, saling informasi, kontrak sosial dan kesepakatan antara kedua belah pihak yang dikenal dengan Perjanjian Najran (Shulh Najran) pada tahun 10 Hijriah. Jaminan perlindungan Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Najran juga merupakan salah satu momen paling bersejarah yang harus tetap menjadi acuan kita sebagai umat Islam berbangsa dan bernegara dengan pemeluk agama lain.
Imam al-Tabrani dalam kitab Tafsir al-Kabir (Vol 3, hal. 162), Imam Ibnu Sa'ad dalam kitab Tabaqat al-Kubra (Vol 1, hal. 288) dan Imam al-Baladhuri dalam kitab Futuh al -Buldan ( Vol 1, p. 90) mengutip sebuah riwayat yang berhubungan langsung dengan Jaminan dan perlindungan Nabi kepada orang-orang Nasrani Najran, seperti kutipan singkat berikut:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat ini merupakan jaminan perlindungan Rasulullah Muhammad SAW kepada umat Nasrani Najran bahwa seluruh umat Nasrani Najran berada di bawah jaminan perlindungan Allah SWT dan jaminan perlindungan Rasulullah Muhammad SAW, baik darah, jiwa, harta benda. , agama, tanah, pendeta dan uskup mereka; mereka yang hadir dan mereka yang tidak hadir di antara mereka maupun yang lainnya; termasuk semua utusan dan simpatisan mereka. Keyakinan mereka tidak boleh dilanggar, termasuk hak mereka dan simpatisan mereka. Uskup dan gembala mereka tidak boleh diganggu karena keuskupan dan klerus mereka, termasuk ritual dan sakramen mereka atas apa yang mereka miliki, baik sedikit maupun banyak. Mereka juga tidak dapat dibebani di luar kemampuan mereka”.
Imam Humaid bin Zanjawih dalam kitab al-Amwal ( hlm . 244-245) mencatat, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjanjian Najran (Shulh Najran) tetap berlaku sampai masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra. . Perjanjian ini mengalami beberapa kali amandemen pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab dan juga mengalami perubahan pada zaman Khalifah Usman bin Affan karena adanya beberapa perubahan sosial di masyarakat. Meski demikian, jaminan perlindungan hak-hak warga negara yang menjadi ruh konstitusi (perjanjian) ini tetap lestari dan utuh.
Selain Akad Najran (Najran Shulh) , saat berdakwah di provinsi Khaibar , Nabi Muhammad juga untuk umum mengetahui aturan tentang hak milik sepenuhnya memeluk Khaibar Yahudi yang tidak bisa diganggu gugat. Maklumat Khaibar dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad melalui jalur Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad (Vol 4, hal. 89), Imam Abu Dawud dalam kitab al-Sunan (Vol 3, 356) dan juga dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adhim (Vol 8, p. 294) dari sahabat Khalid bin al-Walid ra, sebagai berikut:
“Kami dulu berperang dengan Rasulullah Muhammad Saw dalam perang Khaibar . Setelah mengetahui kemenangan, para sahabat dengan cepat memasuki benteng orang-orang Yahudi. Tiba-tiba Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda sambil menyeru: “Sesungguhnya kamu telah memasuki benteng orang-orang Yahudi dengan tergesa-gesa. Ingatlah, tidak halal harta orang Yahudi dalam akad (amwal al-mu'ahidin) bagi kamu semua kecuali dengan alasan yang benar".
Imam al-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir (Vol 4, 111) mencatat, keterangan Nabi Muhammad SAW ini sejalan dengan beberapa riwayat hadits lainnya yang berbunyi sebagai berikut: dalam suatu perjanjian tanpa alasan yang sah ”.
Imam al-Daruquthni dalam kitab al-Sunan (Vol 4, 287) juga meriwayatkan sebuah hadits yang konsisten dengan redaksi yang berbeda, sebagai berikut: dalam perjanjian (amwal al-mu'ahidin) ."
Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Sunan al-Kubra (Juz 9:85) menulis, jaminan perlindungan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW di atas diteruskan oleh hampir sebagian besar para sahabat besar penerus, termasuk salah satunya di era khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra. Di era ini, warga sipil diperlakukan sama dan setara dengan umat Islam lainnya. Ternyata, dalam setiap ekspedisi militer, Abu Bakar al-Shiddiq selalu memberikan perintah khusus kepada komandannya, sebagai berikut:
“Janganlah kalian semua berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak melanggar ketertiban. Jangan menebang dan membakar pohon palem. Jangan menyembelih binatang, dan jangan menebang pohon yang menghasilkan buah. Jangan meruntuhkan tempat ibadah, jangan membunuh anak-anak, orang tua, dan wanita. Kamu akan menemukan orang-orang yang berlindung di tempat-tempat ibadah, maka tinggalkanlah mereka dan tempat persembunyiannya”.
Husain al-Din al-Hindi dalam kitab Kanz al-Ummal juga menulis, Abu Bakar al-Shiddiq Ra selama berdakwah juga memberikan larangan dan larangan, termasuk melarang setiap kekuatan Islam untuk mengeksekusi yang lemah dan tidak berdaya, orang sakit, dan termasuk dalam bahwa para pemuka agama, merobohkan tempat ibadah, dan melarang siapapun yang berlindung di tempat ibadah agar tidak disakiti, disakiti sedemikian rupa hingga sampai tertumpah darah.
Berdasarkan riwayat-riwayat dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang perjanjian, keterangan, pernyataan dan dokumen perjanjian antara Rasulullah Muhammad SAW dengan Nasrani Najran dan Yahudi Khaibar di atas dan contoh Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra di atas, maka setiap warga sipil berhak untuk perlindungan. Dari cerita di atas, ada beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan:
Pertama, setiap warga negara dari komunitas apapun dari latar belakang agama dan suku apapun yang terikat oleh perjanjian damai harus mendapat perlakuan yang sama dan setara di mata hukum.
Kedua, kita sebagai individu atau kelompok dalam kapasitas apapun, baik sebagai pemimpin atau pejabat atau warga negara biasa harus selalu mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad SAW, yaitu memberikan rasa aman, nyaman dan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara dari segala kondisi. latar belakang agama dan etnis dari gangguan apapun.
Ketiga, kita perlu mendorong pemerintah Indonesia untuk melindungi dan menjamin kehormatan, kehidupan, dan harta benda setiap warga negara dari komunitas mana pun tanpa memandang latar belakang agama atau etnisnya.
Keempat, masyarakat haus untuk menjaga dan juga memelihara tempat peribadatan setiap anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama dan sukunya agar kesuciannya tetap terjaga.
Kelima, setiap warga masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan suku memiliki otonomi dan hak yang sama untuk dapat menentukan pemimpinnya sendiri tanpa diintervensi oleh kepentingan-kepentingan di luar pemeluknya sendiri.
Wallahu A'lam bisshawab.
Dr. Badrus Samsul Fata, MA, guru IPA dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber: Maarif Institute
- Artikel Terpuler -
Hak-Hak Warga Negara dalam Islam
Badrus Samsul Fata Jum'at, 10-12-2021 | - Dilihat: 37

Oleh: Badrus Samsul Fata
Mayoritas ulama Ahl al-Sunnah Wal Jamaah sejak awal sepakat (Ijma') bahwa masa Nabi SAW adalah masa keemasan Islam. Model dakwah pada zaman Nabi Muhammad SAW juga merupakan model dakwah yang paling ideal. Rasulullah Muhammad SAW selalu mengedepankan dakwah dengan hikmah dan kehati-hatian, kecuali jika terpaksa. Tidak ada Nabi atau utusan Allah SWT yang sebanding dengan Rasulullah Muhammad SAW, terutama dalam melindungi kepentingan umat Islam itu sendiri. Lalu, bagaimana Nabi Muhammad SAW melindungi orang lain?
Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang ideal bagi kita semua ketika ia melindungi dan menjamin hak-hak sipil warga negara selain Muslim, termasuk ketika Nabi Muhammad SAW menjamin status konstitusional bagi orang-orang Kristen Najran. Jaminan perlindungan ini berupa kesepakatan damai, saling informasi, kontrak sosial dan kesepakatan antara kedua belah pihak yang dikenal dengan Perjanjian Najran (Shulh Najran) pada tahun 10 Hijriah. Jaminan perlindungan Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Najran juga merupakan salah satu momen paling bersejarah yang harus tetap menjadi acuan kita sebagai umat Islam berbangsa dan bernegara dengan pemeluk agama lain.
Imam al-Tabrani dalam kitab Tafsir al-Kabir (Vol 3, hal. 162), Imam Ibnu Sa'ad dalam kitab Tabaqat al-Kubra (Vol 1, hal. 288) dan Imam al-Baladhuri dalam kitab Futuh al -Buldan ( Vol 1, p. 90) mengutip sebuah riwayat yang berhubungan langsung dengan Jaminan dan perlindungan Nabi kepada orang-orang Nasrani Najran, seperti kutipan singkat berikut:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat ini merupakan jaminan perlindungan Rasulullah Muhammad SAW kepada umat Nasrani Najran bahwa seluruh umat Nasrani Najran berada di bawah jaminan perlindungan Allah SWT dan jaminan perlindungan Rasulullah Muhammad SAW, baik darah, jiwa, harta benda. , agama, tanah, pendeta dan uskup mereka; mereka yang hadir dan mereka yang tidak hadir di antara mereka maupun yang lainnya; termasuk semua utusan dan simpatisan mereka. Keyakinan mereka tidak boleh dilanggar, termasuk hak mereka dan simpatisan mereka. Uskup dan gembala mereka tidak boleh diganggu karena keuskupan dan klerus mereka, termasuk ritual dan sakramen mereka atas apa yang mereka miliki, baik sedikit maupun banyak. Mereka juga tidak dapat dibebani di luar kemampuan mereka”.
Imam Humaid bin Zanjawih dalam kitab al-Amwal ( hlm . 244-245) mencatat, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjanjian Najran (Shulh Najran) tetap berlaku sampai masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra. . Perjanjian ini mengalami beberapa kali amandemen pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab dan juga mengalami perubahan pada zaman Khalifah Usman bin Affan karena adanya beberapa perubahan sosial di masyarakat. Meski demikian, jaminan perlindungan hak-hak warga negara yang menjadi ruh konstitusi (perjanjian) ini tetap lestari dan utuh.
Selain Akad Najran (Najran Shulh) , saat berdakwah di provinsi Khaibar , Nabi Muhammad juga untuk umum mengetahui aturan tentang hak milik sepenuhnya memeluk Khaibar Yahudi yang tidak bisa diganggu gugat. Maklumat Khaibar dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad melalui jalur Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad (Vol 4, hal. 89), Imam Abu Dawud dalam kitab al-Sunan (Vol 3, 356) dan juga dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adhim (Vol 8, p. 294) dari sahabat Khalid bin al-Walid ra, sebagai berikut:
“Kami dulu berperang dengan Rasulullah Muhammad Saw dalam perang Khaibar . Setelah mengetahui kemenangan, para sahabat dengan cepat memasuki benteng orang-orang Yahudi. Tiba-tiba Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda sambil menyeru: “Sesungguhnya kamu telah memasuki benteng orang-orang Yahudi dengan tergesa-gesa. Ingatlah, tidak halal harta orang Yahudi dalam akad (amwal al-mu'ahidin) bagi kamu semua kecuali dengan alasan yang benar".
Imam al-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir (Vol 4, 111) mencatat, keterangan Nabi Muhammad SAW ini sejalan dengan beberapa riwayat hadits lainnya yang berbunyi sebagai berikut: dalam suatu perjanjian tanpa alasan yang sah ”.
Imam al-Daruquthni dalam kitab al-Sunan (Vol 4, 287) juga meriwayatkan sebuah hadits yang konsisten dengan redaksi yang berbeda, sebagai berikut: dalam perjanjian (amwal al-mu'ahidin) ."
Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Sunan al-Kubra (Juz 9:85) menulis, jaminan perlindungan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW di atas diteruskan oleh hampir sebagian besar para sahabat besar penerus, termasuk salah satunya di era khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra. Di era ini, warga sipil diperlakukan sama dan setara dengan umat Islam lainnya. Ternyata, dalam setiap ekspedisi militer, Abu Bakar al-Shiddiq selalu memberikan perintah khusus kepada komandannya, sebagai berikut:
“Janganlah kalian semua berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak melanggar ketertiban. Jangan menebang dan membakar pohon palem. Jangan menyembelih binatang, dan jangan menebang pohon yang menghasilkan buah. Jangan meruntuhkan tempat ibadah, jangan membunuh anak-anak, orang tua, dan wanita. Kamu akan menemukan orang-orang yang berlindung di tempat-tempat ibadah, maka tinggalkanlah mereka dan tempat persembunyiannya”.
Husain al-Din al-Hindi dalam kitab Kanz al-Ummal juga menulis, Abu Bakar al-Shiddiq Ra selama berdakwah juga memberikan larangan dan larangan, termasuk melarang setiap kekuatan Islam untuk mengeksekusi yang lemah dan tidak berdaya, orang sakit, dan termasuk dalam bahwa para pemuka agama, merobohkan tempat ibadah, dan melarang siapapun yang berlindung di tempat ibadah agar tidak disakiti, disakiti sedemikian rupa hingga sampai tertumpah darah.
Berdasarkan riwayat-riwayat dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang perjanjian, keterangan, pernyataan dan dokumen perjanjian antara Rasulullah Muhammad SAW dengan Nasrani Najran dan Yahudi Khaibar di atas dan contoh Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra di atas, maka setiap warga sipil berhak untuk perlindungan. Dari cerita di atas, ada beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan:
Pertama, setiap warga negara dari komunitas apapun dari latar belakang agama dan suku apapun yang terikat oleh perjanjian damai harus mendapat perlakuan yang sama dan setara di mata hukum.
Kedua, kita sebagai individu atau kelompok dalam kapasitas apapun, baik sebagai pemimpin atau pejabat atau warga negara biasa harus selalu mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad SAW, yaitu memberikan rasa aman, nyaman dan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara dari segala kondisi. latar belakang agama dan etnis dari gangguan apapun.
Ketiga, kita perlu mendorong pemerintah Indonesia untuk melindungi dan menjamin kehormatan, kehidupan, dan harta benda setiap warga negara dari komunitas mana pun tanpa memandang latar belakang agama atau etnisnya.
Keempat, masyarakat haus untuk menjaga dan juga memelihara tempat peribadatan setiap anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama dan sukunya agar kesuciannya tetap terjaga.
Kelima, setiap warga masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan suku memiliki otonomi dan hak yang sama untuk dapat menentukan pemimpinnya sendiri tanpa diintervensi oleh kepentingan-kepentingan di luar pemeluknya sendiri.
Wallahu A'lam bisshawab.
Dr. Badrus Samsul Fata, MA, guru IPA dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber: Maarif Institute
0 Komentar
Tinggalkan Pesan