Good Governance dan Indonesia Kini
Alfin Nur Ridwan Selasa, 12-9-2023 | - Dilihat: 22
Oleh: Alfin Nur Ridwan
Hari demi hari berlalu, berita-berita seputar perpolitikan di negeri ini pun kian terus bertebaran di berbagai media masa. Itu terjadi karena memang, tahun 2024 besok Indonesia akan memasuki tahun politik yang mana Pemilihan Umum (Pemilu) akan dilaksanakan. Para calon eksekutif maupun legislatif tak akan sulit kita jumpai di setiap sudut jalan kota ataupun desa, dengan janji-janji yang mereka bawa tentunya.
Melihat kondisi bangsa ini yang tak hanya beragam dalam hal suku, bahasa, dan budaya, namun juga beragam problematik didalamnya yang hingga kini seakan masih banyak yang sulit terselesaikan. Kondisi realitas itulah yang membuat setiap calon legislatif dan juga eksekutif sepintar mungkin menarik hati dan suara masyarakat dengan janji-janji manis siap menyelesaikan problematika yang ada di tengah masyarakat.
Terlepas dari itu, melihat keadaan bangsa ini yang tak henti-hentinya diterpa berbagai permasalahan terkhusus problem dalam birokrasi kita, apakah sejauh ini sistem demokrasi yang dianut tidak berjalan dengan semestinya? Kasus korupsi di setiap tingkat struktur pemerintahan, kebebasan berpendapat yang masih dibatasi, ketimpangan hukum antara yang punya kuasa dan tidak, dan berbagai macam masalah lainnya bukankah sudah barang tentu bertentangan dengan konsep yang ada dalam demokrasi itu sendiri?
Sebagaimana kita ketahui kalau sistem demokrasi merupakan kekuasaan yang berada di tangan rakyat, lantas dengan berkaca pada kondisi rakyat saat ini apakah pemerintahan negeri ini bisa kita sebut sebagai good governance?. Untuk menjawab hal tersebut salah satunya bisa kita lakukan dengan menggunakan analisis teori untuk mewujudkan good governance.
Teori Civil Society
Dalam hukum tata negara terkhusus pembahasan mengenai good governance ada salah satu teori yang bisa digunakan untuk menganalisis kualitas demokrasi di negeri ini, yaitu civil society. Dalam teori ini pemerintahan yang baik dapat dilihat dari variabel bebas yang dapat mempengaruhi variabel terikat. Variabel terikat dalam civil society ini bisa bisa hadir ataupun muncul apabila ada kehadiran dari variabel bebas yang mempengaruhinya. Variabel bebas dalam teori ini seperti; kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, akses informasi, kapasitas organisasi, dan kesadaran politik.
Sedangkan untuk variabel terikat berupa; kualitas demokrasi, pengawasan pemerintah, partisipasi masyarakat, pembangunan sosial, dan pemajuan hak asasi manusia. Variabel bebas diatas sebagaimana telah disebutkan dapat mempengaruhi ataupun berdampak terhadap variabel terikat.
Contoh, kesadaran politik yang tinggi dalam masyarakat sipil akan berdampak positif pada partisipasi masyarakat. Misal: Ketika masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi, mereka cenderung lebih aktif dalam partisipasi politik seperti pemilihan umum, aksi protes, atau mengambil bagian dalam kegiatan politik lainnya. Atau, kebebasan berserikat, dan akses informasi yang baik akan berdampak positif pada kualitas demokrasi. Contoh: Ketika masyarakat memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berorganisasi, dan akses yang luas terhadap informasi, hal ini dapat mendorong partisipasi yang lebih aktif dalam proses politik dan meningkatkan kualitas demokrasi.
Jika kita lihat dalam fakta lapangan yang terjadi, dalam hal partisipasi politik masyarakat Indonesia, berdasarkan data yang ada bisa dikatakan bahwa partisipasi masyarakat pada pilpres di tahun 2019 meningkat cukup drastis dari tahun sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang dikeluarkan kpu.go.id dan databoks.katadata.go.id, yang menunjukkan kalau partisipasi pemilu di tahun 2014 hanya sebanyak 69,6%. Sedangkan di tahun 2019 meningkat menjadi 81,9%.
Ini menandakan bahwa adanya peningkatan partisipasi politik dalam hal pemilu dapat menunjukkan adanya kesadaran politik masyarakat dalam rentan waktu tersebut. Para pengamat serta peneliti kepemiluan menyebut kalau meningkatnya hal tersebut dipengaruhi oleh keserentakan pelaksanaan pilpres dengan pemilihan legislatif yang juga dibarengi dengan adanya pemerataan sosialisasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, di sisi lain, kualitas demokrasi di negeri ini nampaknya masih belum bisa dikatakan baik. Karena faktanya sebagaimana survei yang dilakukan oleh Komnas HAM di 34 provinsi pada tahun 2020 menunjukkan hasil yang cukup membuat miris. Sebanyak 36% responden merasa tidak bebas menyampaikan ekspresi di media sosial, 29% responden menilai bahwa mengkritik pemerintah adalah isu paling tidak bebas, dan 80% responden khawatir bahwa dalam keadaan darurat pemerintah dapat atau akan menyalahgunakan kewenangan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Melihat kekhawatiran masyarakat akan kebebasan berpendapat – yang merupakan asas utama dalam demokrasi – seharusnya menjadi perhatian khusus bagi siapapun yang duduk dalam kursi parlemen. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berpolitik tidak akan ada artinya jika kualitas demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakatnya masih dibatasi. Bukan tak mungkin jika dari kebebasan berpendapat saja dibatasi, maka tingkat keaktifan masyarakat dalam berpolitik bisa saja menurun.
Satu hal semacam ini tentu tak boleh dianggap sepele. Karena dalam mewujudkan masyarakat yang madani tentu harus terbentuk juga dari good governance. Dan good governance bisa terbentuk salah satunya dari kualitas demokrasi dan partisipasi masyarakat yang baik. Sehingga nantinya akan berpengaruh juga pada pembangunan sosial, akses pelayanan publik dan pendidikan, pemajuan hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
- Artikel Terpuler -
Good Governance dan Indonesia Kini
Alfin Nur Ridwan Selasa, 12-9-2023 | - Dilihat: 22
Oleh: Alfin Nur Ridwan
Hari demi hari berlalu, berita-berita seputar perpolitikan di negeri ini pun kian terus bertebaran di berbagai media masa. Itu terjadi karena memang, tahun 2024 besok Indonesia akan memasuki tahun politik yang mana Pemilihan Umum (Pemilu) akan dilaksanakan. Para calon eksekutif maupun legislatif tak akan sulit kita jumpai di setiap sudut jalan kota ataupun desa, dengan janji-janji yang mereka bawa tentunya.
Melihat kondisi bangsa ini yang tak hanya beragam dalam hal suku, bahasa, dan budaya, namun juga beragam problematik didalamnya yang hingga kini seakan masih banyak yang sulit terselesaikan. Kondisi realitas itulah yang membuat setiap calon legislatif dan juga eksekutif sepintar mungkin menarik hati dan suara masyarakat dengan janji-janji manis siap menyelesaikan problematika yang ada di tengah masyarakat.
Terlepas dari itu, melihat keadaan bangsa ini yang tak henti-hentinya diterpa berbagai permasalahan terkhusus problem dalam birokrasi kita, apakah sejauh ini sistem demokrasi yang dianut tidak berjalan dengan semestinya? Kasus korupsi di setiap tingkat struktur pemerintahan, kebebasan berpendapat yang masih dibatasi, ketimpangan hukum antara yang punya kuasa dan tidak, dan berbagai macam masalah lainnya bukankah sudah barang tentu bertentangan dengan konsep yang ada dalam demokrasi itu sendiri?
Sebagaimana kita ketahui kalau sistem demokrasi merupakan kekuasaan yang berada di tangan rakyat, lantas dengan berkaca pada kondisi rakyat saat ini apakah pemerintahan negeri ini bisa kita sebut sebagai good governance?. Untuk menjawab hal tersebut salah satunya bisa kita lakukan dengan menggunakan analisis teori untuk mewujudkan good governance.
Teori Civil Society
Dalam hukum tata negara terkhusus pembahasan mengenai good governance ada salah satu teori yang bisa digunakan untuk menganalisis kualitas demokrasi di negeri ini, yaitu civil society. Dalam teori ini pemerintahan yang baik dapat dilihat dari variabel bebas yang dapat mempengaruhi variabel terikat. Variabel terikat dalam civil society ini bisa bisa hadir ataupun muncul apabila ada kehadiran dari variabel bebas yang mempengaruhinya. Variabel bebas dalam teori ini seperti; kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, akses informasi, kapasitas organisasi, dan kesadaran politik.
Sedangkan untuk variabel terikat berupa; kualitas demokrasi, pengawasan pemerintah, partisipasi masyarakat, pembangunan sosial, dan pemajuan hak asasi manusia. Variabel bebas diatas sebagaimana telah disebutkan dapat mempengaruhi ataupun berdampak terhadap variabel terikat.
Contoh, kesadaran politik yang tinggi dalam masyarakat sipil akan berdampak positif pada partisipasi masyarakat. Misal: Ketika masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi, mereka cenderung lebih aktif dalam partisipasi politik seperti pemilihan umum, aksi protes, atau mengambil bagian dalam kegiatan politik lainnya. Atau, kebebasan berserikat, dan akses informasi yang baik akan berdampak positif pada kualitas demokrasi. Contoh: Ketika masyarakat memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berorganisasi, dan akses yang luas terhadap informasi, hal ini dapat mendorong partisipasi yang lebih aktif dalam proses politik dan meningkatkan kualitas demokrasi.
Jika kita lihat dalam fakta lapangan yang terjadi, dalam hal partisipasi politik masyarakat Indonesia, berdasarkan data yang ada bisa dikatakan bahwa partisipasi masyarakat pada pilpres di tahun 2019 meningkat cukup drastis dari tahun sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang dikeluarkan kpu.go.id dan databoks.katadata.go.id, yang menunjukkan kalau partisipasi pemilu di tahun 2014 hanya sebanyak 69,6%. Sedangkan di tahun 2019 meningkat menjadi 81,9%.
Ini menandakan bahwa adanya peningkatan partisipasi politik dalam hal pemilu dapat menunjukkan adanya kesadaran politik masyarakat dalam rentan waktu tersebut. Para pengamat serta peneliti kepemiluan menyebut kalau meningkatnya hal tersebut dipengaruhi oleh keserentakan pelaksanaan pilpres dengan pemilihan legislatif yang juga dibarengi dengan adanya pemerataan sosialisasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, di sisi lain, kualitas demokrasi di negeri ini nampaknya masih belum bisa dikatakan baik. Karena faktanya sebagaimana survei yang dilakukan oleh Komnas HAM di 34 provinsi pada tahun 2020 menunjukkan hasil yang cukup membuat miris. Sebanyak 36% responden merasa tidak bebas menyampaikan ekspresi di media sosial, 29% responden menilai bahwa mengkritik pemerintah adalah isu paling tidak bebas, dan 80% responden khawatir bahwa dalam keadaan darurat pemerintah dapat atau akan menyalahgunakan kewenangan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Melihat kekhawatiran masyarakat akan kebebasan berpendapat – yang merupakan asas utama dalam demokrasi – seharusnya menjadi perhatian khusus bagi siapapun yang duduk dalam kursi parlemen. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berpolitik tidak akan ada artinya jika kualitas demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakatnya masih dibatasi. Bukan tak mungkin jika dari kebebasan berpendapat saja dibatasi, maka tingkat keaktifan masyarakat dalam berpolitik bisa saja menurun.
Satu hal semacam ini tentu tak boleh dianggap sepele. Karena dalam mewujudkan masyarakat yang madani tentu harus terbentuk juga dari good governance. Dan good governance bisa terbentuk salah satunya dari kualitas demokrasi dan partisipasi masyarakat yang baik. Sehingga nantinya akan berpengaruh juga pada pembangunan sosial, akses pelayanan publik dan pendidikan, pemajuan hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
3 Komentar
2024-11-29 02:53:51
Wknemg
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓійЊ 40 mg еј·гЃ• - イソトレチノイン通販おすすめ イソトレチノインの購入
2024-11-29 18:12:21
Dkbobe
eriacta draw - apcalis distract forzest inch
2024-12-05 17:03:59
Fmksvf
purchase indinavir online - voltaren gel where to purchase purchase emulgel
3 Komentar
2024-11-29 02:53:51
Wknemg
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓійЊ 40 mg еј·гЃ• - イソトレチノイン通販おすすめ イソトレチノインの購入
2024-11-29 18:12:21
Dkbobe
eriacta draw - apcalis distract forzest inch
2024-12-05 17:03:59
Fmksvf
purchase indinavir online - voltaren gel where to purchase purchase emulgel
Tinggalkan Pesan