• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Gagasan Kebangsaan Buya Syafii dalam Muktamar Pemikiran ASM

Maarif Institute Senin, 14-11-2022 | - Dilihat: 19

banner

Oleh: Maarif Institute

MAARIF Institute menyelenggarakan kegiatan Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebhinekaan dan Keadilan Sosial, pada 12 Nopember 2022 di Ruang auditorium Muhammad Djazman, Kampus I UMS Solo. Dalam kegiatan Muktamar Pemikiran ini ada empat sesi diskusi.

Di antaranya mengusung tema Alquran, Pancasila dan Keadilan Sosial dengan narasumber Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani (Kepala OR IPSH-BRIN), Dr. J Haryatmoko, SJ (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) dan, Nurani, MA (Alumni SKK-ASM 2 2018).

Sedangkan sesi lain, mengusung tema Tantangan Intoleransi dan Politik Identitas di Indonesia: Meneruskan Legacy Perjuangan Ahmad Syafii Maarif. Narasumber pada sesi empat ini terdiri dari Philips J. Vermonte, Ph.D, Thung Ju Lan, Ph.D (Peneliti Senior BRIN) dan, Cici Situmorang (Alumni SKK-ASM 1 - 2018).

Dalam paparannya, Romo Haryatmoko, mengatakan bahwa jika kita melihat pikiran-pikiran kritis Buya Syafii, ia bukan tipe pemikir yang mengurung diri di menara gading, tetapi sekaligus aktivis organisasi yang sangat peduli memperjuangkan Indonesia yang semakin adil, damai dan menerima keberagaman. “Maka tidak mengherankan bahwa di dalam tulisannya tidak berhenti pada wacana teoritis, namun selalu resah memikirkan bagaimana tindak lanjutnya”, jelas Romo.

Sementara Prof. Najib Burhani, mengatakan bahwa kalau menggambarkan Buya dengan dua kata, ia akan menggunakan kata humanisme dan moralitas. Humanisme yang diartikan oleh Buya agak berbeda dengan yang lain. Secara prinsipil memang sama, karena Buya juga selalu mengutip Al-Maun.

Tetapi secara implementasi berbeda. Misalnya Buya mengartikan humanisme dengan perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Buya sering mengatakan bahwa sila kelima belum diimplementasikan di Indonesia.

Dalam sesi berikutnya, Philips J Vermonte, Ph.D mengatakan permasalahan yang paling berat adalah bagaimana mengelola hubungan agama dan negara. Padahal persoalan filantropis, persoalan sosial adalah persoalan yang kerap muncul tiap hari. Jika melihat para founding fathers negara ini, maka tidak sedikit yang justru melancongkan pemikiran dan pengalaman intelektual.

Dari Bung Hatta, Syahrir, Bung Karno dan yang lainnya tidak hanya stagnan pada kondisi tertentu, justru mereka melakukan rantauan intelektual baik dalam arti sebenarnya, ataupun secara esensi. Spiritual Journey sangatlah penting dalam membentuk hubungan negara dan agama, baik secara personal maupun secara komunal. 

"Situasi peralihan dari otoritarianisme menuju demokrasi menjadi salah satu alasan mengapa Buya Syafii Maarif menjadi Soko guru tidak hanya bagi Muhammadiyah, tetapi bagi bangsa Indonesia." Pemimpin itu, memiliki karakteristik pendidik dan komunikator. Hal ini yang dimiliki oleh Buya Syafi'i Ma'arif ujar Philips J Vermonte, Ph.D.

Perbedaan hanya akan menjadi jebakan konflik saat masyarakat atau persona tidak siap dalam mengatasi persoalan-persoalan diri sendiri, apalagi ketika persoalan itu dikelola dan diselesaikan oleh Negara. Prinsipnya adalah kewarganegaraan. Sedangkan konflik di lingkungan kita hanya dapat diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya Thung Ju Lan, Ph.D menyampaikan Keindonesiaan itu perlu ditata dengan sangat serius, seperti yang dikatakan Buya Syafii Maarif bahwa kita kurang serius dalam menata keindonesiaan dalam berbagai ruang, terlebih ruang-ruang identitas agama dan etnis.

Untuk menata keindonesiaan, perlu pendekatan multikulturalisme dan pluralisme. Sehingga kita perlu mengenali faktor-faktor alasan dasar menata keindonesiaan; faktor historis, perubahan sosial, hubungan negara dengan masyarakat, dan kewarganegaraan.

Hal inilah yang selalu disinggung oleh Buya Syafii, bahwa kaitan politik identitas seharusnya lebih menitik beratkan pada kemanusiaannya, bukan kepentingan yang lain.

“Saya melihat bahwa politik identitas justru lebih erat pada kepentingan-kepentingan politik dan menggerakkan masa, sedangkan dalam sudut pandang kewarganegaraan, kita adalah sama sebagai manusia." Ucap Thung Ju Lan, Ph.D

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Gagasan Kebangsaan Buya Syafii dalam Muktamar Pemikiran ASM

Maarif Institute Senin, 14-11-2022 | - Dilihat: 19

banner

Oleh: Maarif Institute

MAARIF Institute menyelenggarakan kegiatan Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebhinekaan dan Keadilan Sosial, pada 12 Nopember 2022 di Ruang auditorium Muhammad Djazman, Kampus I UMS Solo. Dalam kegiatan Muktamar Pemikiran ini ada empat sesi diskusi.

Di antaranya mengusung tema Alquran, Pancasila dan Keadilan Sosial dengan narasumber Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani (Kepala OR IPSH-BRIN), Dr. J Haryatmoko, SJ (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) dan, Nurani, MA (Alumni SKK-ASM 2 2018).

Sedangkan sesi lain, mengusung tema Tantangan Intoleransi dan Politik Identitas di Indonesia: Meneruskan Legacy Perjuangan Ahmad Syafii Maarif. Narasumber pada sesi empat ini terdiri dari Philips J. Vermonte, Ph.D, Thung Ju Lan, Ph.D (Peneliti Senior BRIN) dan, Cici Situmorang (Alumni SKK-ASM 1 - 2018).

Dalam paparannya, Romo Haryatmoko, mengatakan bahwa jika kita melihat pikiran-pikiran kritis Buya Syafii, ia bukan tipe pemikir yang mengurung diri di menara gading, tetapi sekaligus aktivis organisasi yang sangat peduli memperjuangkan Indonesia yang semakin adil, damai dan menerima keberagaman. “Maka tidak mengherankan bahwa di dalam tulisannya tidak berhenti pada wacana teoritis, namun selalu resah memikirkan bagaimana tindak lanjutnya”, jelas Romo.

Sementara Prof. Najib Burhani, mengatakan bahwa kalau menggambarkan Buya dengan dua kata, ia akan menggunakan kata humanisme dan moralitas. Humanisme yang diartikan oleh Buya agak berbeda dengan yang lain. Secara prinsipil memang sama, karena Buya juga selalu mengutip Al-Maun.

Tetapi secara implementasi berbeda. Misalnya Buya mengartikan humanisme dengan perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Buya sering mengatakan bahwa sila kelima belum diimplementasikan di Indonesia.

Dalam sesi berikutnya, Philips J Vermonte, Ph.D mengatakan permasalahan yang paling berat adalah bagaimana mengelola hubungan agama dan negara. Padahal persoalan filantropis, persoalan sosial adalah persoalan yang kerap muncul tiap hari. Jika melihat para founding fathers negara ini, maka tidak sedikit yang justru melancongkan pemikiran dan pengalaman intelektual.

Dari Bung Hatta, Syahrir, Bung Karno dan yang lainnya tidak hanya stagnan pada kondisi tertentu, justru mereka melakukan rantauan intelektual baik dalam arti sebenarnya, ataupun secara esensi. Spiritual Journey sangatlah penting dalam membentuk hubungan negara dan agama, baik secara personal maupun secara komunal. 

"Situasi peralihan dari otoritarianisme menuju demokrasi menjadi salah satu alasan mengapa Buya Syafii Maarif menjadi Soko guru tidak hanya bagi Muhammadiyah, tetapi bagi bangsa Indonesia." Pemimpin itu, memiliki karakteristik pendidik dan komunikator. Hal ini yang dimiliki oleh Buya Syafi'i Ma'arif ujar Philips J Vermonte, Ph.D.

Perbedaan hanya akan menjadi jebakan konflik saat masyarakat atau persona tidak siap dalam mengatasi persoalan-persoalan diri sendiri, apalagi ketika persoalan itu dikelola dan diselesaikan oleh Negara. Prinsipnya adalah kewarganegaraan. Sedangkan konflik di lingkungan kita hanya dapat diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya Thung Ju Lan, Ph.D menyampaikan Keindonesiaan itu perlu ditata dengan sangat serius, seperti yang dikatakan Buya Syafii Maarif bahwa kita kurang serius dalam menata keindonesiaan dalam berbagai ruang, terlebih ruang-ruang identitas agama dan etnis.

Untuk menata keindonesiaan, perlu pendekatan multikulturalisme dan pluralisme. Sehingga kita perlu mengenali faktor-faktor alasan dasar menata keindonesiaan; faktor historis, perubahan sosial, hubungan negara dengan masyarakat, dan kewarganegaraan.

Hal inilah yang selalu disinggung oleh Buya Syafii, bahwa kaitan politik identitas seharusnya lebih menitik beratkan pada kemanusiaannya, bukan kepentingan yang lain.

“Saya melihat bahwa politik identitas justru lebih erat pada kepentingan-kepentingan politik dan menggerakkan masa, sedangkan dalam sudut pandang kewarganegaraan, kita adalah sama sebagai manusia." Ucap Thung Ju Lan, Ph.D

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech