Filsafat Energi Berkelanjutan (II)
M. Faiz Shofyan Hanafi Ahad, 2-2-2025 | - Dilihat: 92

Oleh: M. Faiz Shofyan Hanafi
Sustainable energy dalam pendekatan metafisis
Pendekatan utama yang akan penulis bawakan ialah lewat suatu pembahasan metafisika atau metafisis disertai dengan penerapan logika Aristotelian. Perlu diingat bahwa metafisika di sini identik dengan kata bahasa Inggris metaphysics yang berarti suatu cabang dari filsafat yang membahas hakikat sesuatu, ia berbeda dengan pendefinisian umum masyarakat Indonesia yang mensejajarkan kata metafisika dengan hal-hal mistis dan gaib.
Dalam bahasan metafisika, kita seringkali berhadapan dengan the problem of identity, atau pertanyaan identitas suatu entitas. Pertanyaan ini juga bisa kita aplikasikan pada istilah dan konsep “berkelanjutan” dengan menanyakan, “apa yang membuat sesuatu – terlebih suatu sumber energi – berkelanjutan?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu mengetahui kesamaan yang dimiliki antar sesama “energi berkelanjutan” tersebut. Energi surya, angin, dan air misalnya, mereka sama-sama berasal dari substansi-substansi yang abundant (melimpah), dan mudah ditemukan di alam semesta. Maka kemudian, muncul pertanyaan lanjutan, mengapa abundance tersebut menandakan keberlanjutan? Padahal secara bahasa pun keduanya memiliki arti yang sangat berbeda.
Berkelanjutan memiliki konotasi sesuatu bisa berlanjut secara terus menerus tanpa henti, karena akar kata berkelanjutan adalah sustain yang artinya mempertahankan suatu keadaan. Sedangkan arti kata abundant lebih mengkonotasikan keberadaan sesuatu yang sangat berlimpah.
Melalui pendekatan silogisme yang sederhana, kita bisa mendapati bahwasanya “berlimpah”, tidak selalu menandakan adanya suatu keberlanjutan yang terus menerus. Karena, bisa jadi sesuatu berlimpah namun pada suatu saat akan habis. Demikian sebaliknya, “berkelanjutan” tidak serta merta menunjukkan keberlimpahan kuantitas suatu hal.
Karena, bisa jadi suatu hal tidak memiliki jumlah yang banyak namun ia bisa digunakan sedemikian rupa sehingga mampu untuk terus menerus digunakan tanpa membutuhkan kuantitas yang banyak. Maka renewable energy yang didefinisikan melalui suatu keberlimpahan (abundancy) kuantitas suatu hal, hanya sebatas proposisi yang mengandung kebenaran, namun secara struktural logika dianggap sesat.
Dengan kata lain, walaupun sumber energi yang memiliki kuantitas melimpah terlihat seperti terus menerus dihasilkan oleh alam semesta, pada kenyataannya, kualitas tersebut hanyalah epifenomena.
Epifenomena, sebagaimana dijelaskan dalam banyak argumen para filsuf yang melawan keterkaitan mental state dengan aktivitas fisik manusia, seringkali dianalogikan dengan muka seseorang yang memerah setelah meminum anggur. Kemerahan tersebut tidak serta merta menunjukkan suatu hubungan kausalitas secara langsung dengan meminum anggur, melainkan anggur akan mempengaruhi tubuh dan reaksi tubuh yang membuat muka memerah.
Pada intinya, epifenomenalitas merupakan hubungan sebab akibat yang hanya berlaku satu arah. Sebagaimana contoh lain: kehabisan bensin merupakan penyebab motor tidak bisa jalan, namun belum tentu motor yang tidak jalan serta merta dikarenakan oleh kehabisan bensin.
Maka, jika kita kembalikan pada permasalahan definisi berkelanjutan dan keberlimpahan, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa persamaan definitif antara keduanya sebatas epifenomena dan tidak berlaku dua arah. Dengan demikian, menjadi jelas bahwasanya berkelanjutan, tidak bisa diartikan sebagai berlimpah. Demikian juga sebaliknya, substansi-substansi yang dianggap berlimpah di alam tidak bisa serta merta bisa dianggap sebagai sustainable.
Realita energi berkelanjutan
Setelah kita mencoba mendekonstruksi apa yang selama ini menjadi kecacatan logika dari pihak-pihak yang berusaha mendefinisikan energi berkelanjutan, maka selanjutnya kita perlu mengulik lebih dalam lagi untuk menjawab apakah energi yang benar-benar berkelanjutan itu ada. Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak banyak, antara kita menjawab bahwa energi berkelanjutan itu ada, tidak ada, atau mungkin ada. Namun, sebelum itu, kita harus kembali membangun suatu definisi yang bisa disepakati sebagai pengertian dari energi berkelanjutan.
Hukum termodinamika pertama atau lebih sering dikenal dengan hukum kekekalan energi, menyatakan bahwasanya energi tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat dihilangkan, ia hanya bisa berubah bentuk. Dengan menggunakan hukum termodinamika pertama ini sebagai postulat, maka ia bisa membantu kita untuk menemukan kenyataan status ontologis dari konsepsi “energi berkelanjutan” (sustainable energy) yang seringkali digaung-gaungkan oleh para aktivis lingkungan.
Jika kita menggunakan pendekatan para filsuf di bidang filsafat ilmu (philosophy of science), seperti Thomas Kuhn dan Imre Lakatos, mereka menemukan pentingnya ada suatu basis asumsi yang harus diyakini benar terlebih dahulu sebelum kita meneliti. Dalam hal ini, Kuhn menggunakan istilah paradigm, di mana paradigm/paradigma harus mendasari semua keilmuan-keilmuan yang ada.
Seandainya terdapat anomali dalam paradigma tersebut, barulah ilmuwan mencari jalan keluar lewat paradigma yang lain. Sedangkan Lakatos secara umum lebih menggunakan istilah hardcore dalam menjelaskan pentingnya suatu asumsi dasar atau postulat dalam memajukan suatu ilmu pengetahuan.
Maka dengan mengasumsikan hukum termodinamika pertama sebagai fakta yang riil, maka kita dapat mengambil kesimpulan dalam realitas “energi berkelanjutan”. Hasilnya mengindikasikan bahwa konsep tersebut sedari awal sudah sangat misleading dan menyesatkan. Karena jika energi tidak dapat dibuat dan dimusnahkan – sebagaimana bunyi hukum termodinamika pertama – maka tidak akan ada keberlanjutan dalam bentuk apapun.
Hal ini juga sesuai postulat awal bahwa energi hanya bisa berubah bentuk, maka dalam hal ini, energi-energi “berkelanjutan” yang berasal dari tenaga udara, air, dan sinar matahari sebenarnya hanyalah cara manusia untuk harvesting energi-energi yang abundant walau pada kenyataannya semua sumber energi tersebut tidak akan bertambah dan jumlahnya akan tetap semenjak awal alam semesta terbentuk.
Dari jawaban ini mungkin muncul pertanyaan lanjutan, “apakah kemudian energi tidak bisa didaur ulang, sebagaimana mendaur ulang sampah plastik?”. Maka di sinilah kita perlu untuk menggunakan postulat lanjutan dari hukum kekekalan energi yakni hukum kedua termodinamika. Hukum kedua ini membahas tentang permasalahan reversibility atau kemungkinan bagi energi untuk dibalik kepada bentuk awalnya.
Contoh yang sering digunakan untuk menjelaskan ini adalah secangkir kopi yang panas. Pertanyaannya adalah, jika secangkir kopi panas tersebut menguap tanpa melibatkan intervensi gaya ataupun usaha eksternal apapun, apakah mengembalikan uap kopi menjadi kopi cair di dalam cangkir demikian juga? Secara intuitif, kita mungkin akan sulit membayangkan pengubahan suatu uap kopi menjadi cair kembali tanpa “diapa-apakan”.
Demikian pula yang tercantum dalam hukum kedua termodinamika yang secara sederhana menyatakan bahwa jumlah energi yang bisa digunakan dalam alam semesta itu terbatas dan akan ada masanya di saat energi yang dapat dimanfaatkan akan habis tak tersisa. Bahkan, hukum kedua termodinamika menjadi suatu basis para ilmuwan dalam memprediksi The Heat Death of the Universe yakni teori bahwa yang menyebabkan kematian dari seluruh kehidupan di alam semesta adalah kematian oleh entropi atau energi yang tidak bisa dimanfaatkan sama sekali.
Akankah energi itu habis ?
Lewat pendekatan yang penulis lakukan dengan menggabungkan sudut pandang filsafat dengan beberapa postulat yang berasal dari teori-teori saintifik tentang hakikat energi itu sendiri, maka kita mendapatkan kesimpulan bahwa segala bentuk energi di dunia sewaktu-waktu pasti akan habis.
Selama para ilmuwan belum menemukan cara untuk menghasilkan partikel ataupun atom-atom baru dari kekosongan, maka validitas kesimpulan ini belum mampu dipertanyakan. Penulis merasa masyarakat perlu paham dan sadar bahwa, energi tidak dapat dihasilkan dan dengan demikian berarti “keberlanjutan” juga tidak mungkin terikat dengan konsepsi energi secara intrinsik.
Walaupun sekilas bahasan ini hanya soal perbedaan penggunaan nomenklatur, tetapi hal tersebut bukan hal yang patut disepelekan. Karena bagi penulis, kesalahan penggunaan nomenklatur akan berpotensi membawa akibat pada kesemena-menaan manusia dikarenakan alam bawah sadar mereka akan terkonstruksi bahwa ada sumber-sumber energi yang tidak akan habis.
Maka, dengan mempertimbangkan era di mana kita hidup saat ini, dan juga cara-cara yang digunakan manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam, penulis merasa perubahan nomenklatur bukan langkah yang sia-sia. Pada dasarnya perubahan nomenklatur dari “berkelanjutan”, menjadi “abundant”, perlu digaungkan supaya masyarakat sadar bahwa tidak ada yang tak terbatas dan jika kerakusan tetap menjadi suatu budaya yang dinormalisasi, maka tidak ada yang menanti peradaban ini selain kehancuran.
____
Muhammad Faiz Shofyan Hanafi, Mahasiswa Filsafat UGM
- Artikel Terpuler -
Filsafat Energi Berkelanjutan (II)
M. Faiz Shofyan Hanafi Ahad, 2-2-2025 | - Dilihat: 92

Oleh: M. Faiz Shofyan Hanafi
Sustainable energy dalam pendekatan metafisis
Pendekatan utama yang akan penulis bawakan ialah lewat suatu pembahasan metafisika atau metafisis disertai dengan penerapan logika Aristotelian. Perlu diingat bahwa metafisika di sini identik dengan kata bahasa Inggris metaphysics yang berarti suatu cabang dari filsafat yang membahas hakikat sesuatu, ia berbeda dengan pendefinisian umum masyarakat Indonesia yang mensejajarkan kata metafisika dengan hal-hal mistis dan gaib.
Dalam bahasan metafisika, kita seringkali berhadapan dengan the problem of identity, atau pertanyaan identitas suatu entitas. Pertanyaan ini juga bisa kita aplikasikan pada istilah dan konsep “berkelanjutan” dengan menanyakan, “apa yang membuat sesuatu – terlebih suatu sumber energi – berkelanjutan?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu mengetahui kesamaan yang dimiliki antar sesama “energi berkelanjutan” tersebut. Energi surya, angin, dan air misalnya, mereka sama-sama berasal dari substansi-substansi yang abundant (melimpah), dan mudah ditemukan di alam semesta. Maka kemudian, muncul pertanyaan lanjutan, mengapa abundance tersebut menandakan keberlanjutan? Padahal secara bahasa pun keduanya memiliki arti yang sangat berbeda.
Berkelanjutan memiliki konotasi sesuatu bisa berlanjut secara terus menerus tanpa henti, karena akar kata berkelanjutan adalah sustain yang artinya mempertahankan suatu keadaan. Sedangkan arti kata abundant lebih mengkonotasikan keberadaan sesuatu yang sangat berlimpah.
Melalui pendekatan silogisme yang sederhana, kita bisa mendapati bahwasanya “berlimpah”, tidak selalu menandakan adanya suatu keberlanjutan yang terus menerus. Karena, bisa jadi sesuatu berlimpah namun pada suatu saat akan habis. Demikian sebaliknya, “berkelanjutan” tidak serta merta menunjukkan keberlimpahan kuantitas suatu hal.
Karena, bisa jadi suatu hal tidak memiliki jumlah yang banyak namun ia bisa digunakan sedemikian rupa sehingga mampu untuk terus menerus digunakan tanpa membutuhkan kuantitas yang banyak. Maka renewable energy yang didefinisikan melalui suatu keberlimpahan (abundancy) kuantitas suatu hal, hanya sebatas proposisi yang mengandung kebenaran, namun secara struktural logika dianggap sesat.
Dengan kata lain, walaupun sumber energi yang memiliki kuantitas melimpah terlihat seperti terus menerus dihasilkan oleh alam semesta, pada kenyataannya, kualitas tersebut hanyalah epifenomena.
Epifenomena, sebagaimana dijelaskan dalam banyak argumen para filsuf yang melawan keterkaitan mental state dengan aktivitas fisik manusia, seringkali dianalogikan dengan muka seseorang yang memerah setelah meminum anggur. Kemerahan tersebut tidak serta merta menunjukkan suatu hubungan kausalitas secara langsung dengan meminum anggur, melainkan anggur akan mempengaruhi tubuh dan reaksi tubuh yang membuat muka memerah.
Pada intinya, epifenomenalitas merupakan hubungan sebab akibat yang hanya berlaku satu arah. Sebagaimana contoh lain: kehabisan bensin merupakan penyebab motor tidak bisa jalan, namun belum tentu motor yang tidak jalan serta merta dikarenakan oleh kehabisan bensin.
Maka, jika kita kembalikan pada permasalahan definisi berkelanjutan dan keberlimpahan, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa persamaan definitif antara keduanya sebatas epifenomena dan tidak berlaku dua arah. Dengan demikian, menjadi jelas bahwasanya berkelanjutan, tidak bisa diartikan sebagai berlimpah. Demikian juga sebaliknya, substansi-substansi yang dianggap berlimpah di alam tidak bisa serta merta bisa dianggap sebagai sustainable.
Realita energi berkelanjutan
Setelah kita mencoba mendekonstruksi apa yang selama ini menjadi kecacatan logika dari pihak-pihak yang berusaha mendefinisikan energi berkelanjutan, maka selanjutnya kita perlu mengulik lebih dalam lagi untuk menjawab apakah energi yang benar-benar berkelanjutan itu ada. Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak banyak, antara kita menjawab bahwa energi berkelanjutan itu ada, tidak ada, atau mungkin ada. Namun, sebelum itu, kita harus kembali membangun suatu definisi yang bisa disepakati sebagai pengertian dari energi berkelanjutan.
Hukum termodinamika pertama atau lebih sering dikenal dengan hukum kekekalan energi, menyatakan bahwasanya energi tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat dihilangkan, ia hanya bisa berubah bentuk. Dengan menggunakan hukum termodinamika pertama ini sebagai postulat, maka ia bisa membantu kita untuk menemukan kenyataan status ontologis dari konsepsi “energi berkelanjutan” (sustainable energy) yang seringkali digaung-gaungkan oleh para aktivis lingkungan.
Jika kita menggunakan pendekatan para filsuf di bidang filsafat ilmu (philosophy of science), seperti Thomas Kuhn dan Imre Lakatos, mereka menemukan pentingnya ada suatu basis asumsi yang harus diyakini benar terlebih dahulu sebelum kita meneliti. Dalam hal ini, Kuhn menggunakan istilah paradigm, di mana paradigm/paradigma harus mendasari semua keilmuan-keilmuan yang ada.
Seandainya terdapat anomali dalam paradigma tersebut, barulah ilmuwan mencari jalan keluar lewat paradigma yang lain. Sedangkan Lakatos secara umum lebih menggunakan istilah hardcore dalam menjelaskan pentingnya suatu asumsi dasar atau postulat dalam memajukan suatu ilmu pengetahuan.
Maka dengan mengasumsikan hukum termodinamika pertama sebagai fakta yang riil, maka kita dapat mengambil kesimpulan dalam realitas “energi berkelanjutan”. Hasilnya mengindikasikan bahwa konsep tersebut sedari awal sudah sangat misleading dan menyesatkan. Karena jika energi tidak dapat dibuat dan dimusnahkan – sebagaimana bunyi hukum termodinamika pertama – maka tidak akan ada keberlanjutan dalam bentuk apapun.
Hal ini juga sesuai postulat awal bahwa energi hanya bisa berubah bentuk, maka dalam hal ini, energi-energi “berkelanjutan” yang berasal dari tenaga udara, air, dan sinar matahari sebenarnya hanyalah cara manusia untuk harvesting energi-energi yang abundant walau pada kenyataannya semua sumber energi tersebut tidak akan bertambah dan jumlahnya akan tetap semenjak awal alam semesta terbentuk.
Dari jawaban ini mungkin muncul pertanyaan lanjutan, “apakah kemudian energi tidak bisa didaur ulang, sebagaimana mendaur ulang sampah plastik?”. Maka di sinilah kita perlu untuk menggunakan postulat lanjutan dari hukum kekekalan energi yakni hukum kedua termodinamika. Hukum kedua ini membahas tentang permasalahan reversibility atau kemungkinan bagi energi untuk dibalik kepada bentuk awalnya.
Contoh yang sering digunakan untuk menjelaskan ini adalah secangkir kopi yang panas. Pertanyaannya adalah, jika secangkir kopi panas tersebut menguap tanpa melibatkan intervensi gaya ataupun usaha eksternal apapun, apakah mengembalikan uap kopi menjadi kopi cair di dalam cangkir demikian juga? Secara intuitif, kita mungkin akan sulit membayangkan pengubahan suatu uap kopi menjadi cair kembali tanpa “diapa-apakan”.
Demikian pula yang tercantum dalam hukum kedua termodinamika yang secara sederhana menyatakan bahwa jumlah energi yang bisa digunakan dalam alam semesta itu terbatas dan akan ada masanya di saat energi yang dapat dimanfaatkan akan habis tak tersisa. Bahkan, hukum kedua termodinamika menjadi suatu basis para ilmuwan dalam memprediksi The Heat Death of the Universe yakni teori bahwa yang menyebabkan kematian dari seluruh kehidupan di alam semesta adalah kematian oleh entropi atau energi yang tidak bisa dimanfaatkan sama sekali.
Akankah energi itu habis ?
Lewat pendekatan yang penulis lakukan dengan menggabungkan sudut pandang filsafat dengan beberapa postulat yang berasal dari teori-teori saintifik tentang hakikat energi itu sendiri, maka kita mendapatkan kesimpulan bahwa segala bentuk energi di dunia sewaktu-waktu pasti akan habis.
Selama para ilmuwan belum menemukan cara untuk menghasilkan partikel ataupun atom-atom baru dari kekosongan, maka validitas kesimpulan ini belum mampu dipertanyakan. Penulis merasa masyarakat perlu paham dan sadar bahwa, energi tidak dapat dihasilkan dan dengan demikian berarti “keberlanjutan” juga tidak mungkin terikat dengan konsepsi energi secara intrinsik.
Walaupun sekilas bahasan ini hanya soal perbedaan penggunaan nomenklatur, tetapi hal tersebut bukan hal yang patut disepelekan. Karena bagi penulis, kesalahan penggunaan nomenklatur akan berpotensi membawa akibat pada kesemena-menaan manusia dikarenakan alam bawah sadar mereka akan terkonstruksi bahwa ada sumber-sumber energi yang tidak akan habis.
Maka, dengan mempertimbangkan era di mana kita hidup saat ini, dan juga cara-cara yang digunakan manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam, penulis merasa perubahan nomenklatur bukan langkah yang sia-sia. Pada dasarnya perubahan nomenklatur dari “berkelanjutan”, menjadi “abundant”, perlu digaungkan supaya masyarakat sadar bahwa tidak ada yang tak terbatas dan jika kerakusan tetap menjadi suatu budaya yang dinormalisasi, maka tidak ada yang menanti peradaban ini selain kehancuran.
____
Muhammad Faiz Shofyan Hanafi, Mahasiswa Filsafat UGM
0 Komentar
Tinggalkan Pesan