Diagnosis Penyakit Masyarakat Modern
Ramadhanur Putra Rabu, 19-1-2022 | - Dilihat: 164
Oleh: Ramadhanur Putra
Beberapa minggu yang lalu saya berkunjung ke rumah saudara di Tanggerang. Kunjungan ini dalam rangka silaturahmi keluarga. Selama di sana, saya menyempatkan diri berekreasi ke sebuah tempat wisata di Ibu Kota, yaitu Kota Tua.
Di Kota Tua, alih-alih memanjakan mata dan rasa, saya justru mendapatkan banyak hal dari sisi lain Kota Tua itu. Keindahan arsitektur Kota Tua itu kini dikepung oleh megahnya gedung-gedung Ibu Kota.
Pemandangan kontras ini mungkin juga dirasakan oleh pengunjung lainnya. Namun, siapa sangka pada akhirnya setelah beberapa minggu kunjungan itu, unek-unek itu bisa ditulisakan dalam artikel singkat ini. Semoga saja tulisan ini dapat menambah perspektif kita dalam menjalani kehidupan di masa modern ini.
Kejanggalan itu secara sederhananya adalah sebuah paradoks. Kenapa paradoks? Karena di tengah kota metropolitan itu, Ibu Kota Jakarta yang identik dengan kemajuannya, gedung-gedung tinggi, dan segala hiruk-pikuknya, ternyata tetap mempertahankan ha-hal kuno (budaya konservatif) seperti Kota Tua ini.
Paradoks Modernitas: Ibu Kota dan Kota Tua
Konservatisme bukanlah aib dalam tubuh modernitas. Dia perlu untuk dipertahankan sebagai basis epistemologis-fundamental di tengah keterawang-awangan modernitas.
Ketika paradoks disematkan dengan modernitas, maka tidak melulu stigma negatif disematkan pada kata paradoks. Karena, sejatinya bahasa itu bersifat netral dan dia akan bermakna sesuai dengan maksud ataupun konteks yang ditujukan padanya. Dalam artian lain, modernitas dengan segala progresivitasnya harus tetap dirawat dengan nilai-nilai konservatif-normatif yang lebih adaptif.
Kota Tua ini contohnya, keberadaannya dengan segala arsitektur kuno di tengah tingginya gedung-gedung Ibu Kota bukankah sebuah paradoksial? Kota tua dan segala ceritanya adalah simbol-simbol konservatif dalam tubuh modernitas Jakarta.
Namun, apakah Kota Tua hanya akan kita jadikan sebagai simboli-simbol konservatif belaka tanpa ada pemaknaan? Pemaknaan yang pada akhirnya menjadikan Kota Tua ini memiliki use value tersendiri sebagai basis epistemologis-fundamental yang kemudian dapat diobjektifikasikan dalam kehidupan masyarakat modern.
Realitas Semu Modernitas dan Kesadaran Palsu Masyarakat Modern
Pada masa kini, yang kemudian sering kita sebut dengan zaman modern. Zaman yang penuh dengan halusinani kemajuan, tekhnologi mutakhir, pembangunan membabi buta, internet yang tidak kenal jarak, transportasi semakin cepat, dan masih banyak lainnya, ternyata telah membawa kita pada suatu realitas yang semu.
Realitas yang semu itu berpadu dengan kesadaran palsu manusia modern. Kesadaran palsu yang akhirnya membuat manusia enyah untuk berfikir jauh tentang apa yang akan dikerjakannya. Ada yang kerjaannya menindas, merampas, menghakimi, bahkan merawat spirit doll.
Ya, begitulah realitas semu masyarakat modern, beberapa ahli ada yang menyebutnya masyarakat pasca-industrialis, masyarakat negara (civic society), dan masyarakat heterogen (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 2006). Realitas semu yang dibalut dengan kesadaran palsu seolah menyuruh kita bertanya, ‘apakah masyarakat modern sudah benar-benar rasional dengan segala tindakannya?”
Benang Merah Paradoks Modernitas dan Konservatisme
Realitas semu dan kesadaran palsu itu telah membuat masyarakat modern berada dalam keterawang-awangan hidup. Maka, diatas keterawang-awangan itulah diperlukan yang namanya budaya konservatif sebagai landasan filosofis kehidupan.
Inilah yang kemudian saya sebut dengan benang merah atau titik temu antara paradoks modernitas dan konservatisme. Budaya konservatif itu dapat berbentuk ideologi, prinsip, agama, dan hal-hal lainnya yang bersifat normatif-reguler.
Budaya konservatif yang ada itu haruslah bersifat adaptif dan juga solutif. Konservatisme dalam tubuh modernitas akan membantu terwujudnya kesadaran autentik dalam melihat realitas masa kini. Sehingga, dalam menjalani kehidupan tidak berada diatas ‘awang-awang’.
Perihal kesadaran autentik itu, yang padanya budaya konservatif akan tetap relevan dan adaptif pada setiap zaman bahkan mampu memberikan solusi ditengah kompleksitas problematika masyarakat modern; dehumanisai, eksploitasi alam, korupsi, neo-kolonialisme, kapitalisme gaya baru, dan lainnya. Setidaknya ada enam kesadaran menurut Prof. Kuntowijoyo.
Enam Kesadaran Menurut Prof. Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (Islam Sebagai Ilmu, 2006) menyebutkan bahwa untuk menjemput perkembangan zaman yang lebih efektif tanpa meninggalkan ‘teks’ (konservatisme) diperlukan perluasan kesadaran selain kesadaran individual klasik.
Profesor Kuntowijoyo adalah intelektual muslim yang mengintrodusir Ilmu Sosial Profetik sebagai upaya pengilmuan islam (demistifikasi agama) yang berangkat dari ‘teks’ menuju ‘konteks’ melalui pendekatan analitik sintetik berdasarkan paradigma islam strukturalisme transendental agar terwujudnya transformasi sosial ke arah yang lebih baik.
Oleh karenanya, kesadaran ini perlu diperhitungkan agar budaya konservatif dapat merawat perkembangan zaman dengan baik tanpa kehilangan identitasnya ditengah keterawang-awangan tadi.
Pertama, kesadaran adanya perubahan. Sudah menjadi keniscayaan bagi kita semua untuk mengakui akan adanya perubahan dalam hidup ini. Seiring dengan berjalannya waktu dan begitu dinamisnya kehidupan dunia, telah menghantarkan kita kepada hal-hal baru yang harus diterima. Sebagai contoh, kita yang hari ini duduk di bangku perkuliahan adalah kita yang tujuh atau delapan tahun lalu di bangku SMP.
Kedua, kesadaran kolektif. Pada dasarnya kita semua sudah punya kesadaran individua. Namun, kesadaran itu perlu diperluas menjadi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang diharapkan tentu bukan hanya kesadaran ‘jamaah’ yang bersifat sektoral belaka. Tapi, adalah kesadaran kolektif yang lebih luas dalam rangka menjemput transformasi sosial tadi.
Ketiga, kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah kesadaran kolektif akan keterlibatannya dalam perkembangan sejarah. Selain itu, manusia juga harus punya sadar akan dirinya sebagai subjek dalam menentukan sejarah itu sendiri.
Keempat, kesadaran adanya fakta sosial. Menjadi suatu kejanggalan jika ditengah-tengah masyarakat pasca-industrial, heterogen, kompetitif, modern, dan serba maju ini kita tidak menemukan adanya sebuah fakta sosial. Fakta sosial sangat perlu disadari dalam kompleksitas masyarakat akan terwujudnya tataran sosial yang lebih baik.
Kelima, kesadaran adanya masyarakat abstrak. Makin modernnya suatu masyarakat makin abstarak juga masyarakatnya. Maka dari pada itu, kesadaran adanya masyarakat abstrak harus dapat dikelola dan dijagaa dengan sebaik mungkin.
Keenam, kesadaran perlunya objektifikasi. Objektifikasi ialah perbuatan objektif setalah adaya upaya subjektifikasi. Sederhananya dalam konteks tulisan ini, objektifikasi adalah menebar nilai-nilai konservatif di dalam tubuh modernitas.
Purna-Kata
Perkembangan dan kemajuan yang kita rasakan pada hari ini haruslah kita pertanyakan lagi, bukan untuk menghentikannya. Tapi untuk mencari tricks and tips menjalani kehidupan di masa kini.
Tidakkah kita melihat makin tersingkirnya peran umat manusia dalam sejarah belakangan ini? Tidakkah kita lihat begitu banyak masyarakat yang merelakan rumahnya digusur untuk pembangunan hotel? Atau masyarakat yang harus rela menjual murah tanahnya untuk pembangunan tol? Atau para sarjana yang pengangguran?
Kita telah lahir dan tidak ada lagi kesempatan untuk kembali serta menolak pedihnya hidup dalam realitas masa kini. Maka, segera selesaikan apa yang ada dihadapan dengan penuh kesadaran. Tetaplah menjadi manusia yang terhormat ditengah-tengah kemajuan yang menguat.
Tabik!!!
_____
Ramadhanur Putra, Anggota Bid. RPK PK IMM FAI UMY, Alumni Sekolah Pemikiran Islam 2021, Anggota Komunal Yogyakarta.
- Artikel Terpuler -
Diagnosis Penyakit Masyarakat Modern
Ramadhanur Putra Rabu, 19-1-2022 | - Dilihat: 164
Oleh: Ramadhanur Putra
Beberapa minggu yang lalu saya berkunjung ke rumah saudara di Tanggerang. Kunjungan ini dalam rangka silaturahmi keluarga. Selama di sana, saya menyempatkan diri berekreasi ke sebuah tempat wisata di Ibu Kota, yaitu Kota Tua.
Di Kota Tua, alih-alih memanjakan mata dan rasa, saya justru mendapatkan banyak hal dari sisi lain Kota Tua itu. Keindahan arsitektur Kota Tua itu kini dikepung oleh megahnya gedung-gedung Ibu Kota.
Pemandangan kontras ini mungkin juga dirasakan oleh pengunjung lainnya. Namun, siapa sangka pada akhirnya setelah beberapa minggu kunjungan itu, unek-unek itu bisa ditulisakan dalam artikel singkat ini. Semoga saja tulisan ini dapat menambah perspektif kita dalam menjalani kehidupan di masa modern ini.
Kejanggalan itu secara sederhananya adalah sebuah paradoks. Kenapa paradoks? Karena di tengah kota metropolitan itu, Ibu Kota Jakarta yang identik dengan kemajuannya, gedung-gedung tinggi, dan segala hiruk-pikuknya, ternyata tetap mempertahankan ha-hal kuno (budaya konservatif) seperti Kota Tua ini.
Paradoks Modernitas: Ibu Kota dan Kota Tua
Konservatisme bukanlah aib dalam tubuh modernitas. Dia perlu untuk dipertahankan sebagai basis epistemologis-fundamental di tengah keterawang-awangan modernitas.
Ketika paradoks disematkan dengan modernitas, maka tidak melulu stigma negatif disematkan pada kata paradoks. Karena, sejatinya bahasa itu bersifat netral dan dia akan bermakna sesuai dengan maksud ataupun konteks yang ditujukan padanya. Dalam artian lain, modernitas dengan segala progresivitasnya harus tetap dirawat dengan nilai-nilai konservatif-normatif yang lebih adaptif.
Kota Tua ini contohnya, keberadaannya dengan segala arsitektur kuno di tengah tingginya gedung-gedung Ibu Kota bukankah sebuah paradoksial? Kota tua dan segala ceritanya adalah simbol-simbol konservatif dalam tubuh modernitas Jakarta.
Namun, apakah Kota Tua hanya akan kita jadikan sebagai simboli-simbol konservatif belaka tanpa ada pemaknaan? Pemaknaan yang pada akhirnya menjadikan Kota Tua ini memiliki use value tersendiri sebagai basis epistemologis-fundamental yang kemudian dapat diobjektifikasikan dalam kehidupan masyarakat modern.
Realitas Semu Modernitas dan Kesadaran Palsu Masyarakat Modern
Pada masa kini, yang kemudian sering kita sebut dengan zaman modern. Zaman yang penuh dengan halusinani kemajuan, tekhnologi mutakhir, pembangunan membabi buta, internet yang tidak kenal jarak, transportasi semakin cepat, dan masih banyak lainnya, ternyata telah membawa kita pada suatu realitas yang semu.
Realitas yang semu itu berpadu dengan kesadaran palsu manusia modern. Kesadaran palsu yang akhirnya membuat manusia enyah untuk berfikir jauh tentang apa yang akan dikerjakannya. Ada yang kerjaannya menindas, merampas, menghakimi, bahkan merawat spirit doll.
Ya, begitulah realitas semu masyarakat modern, beberapa ahli ada yang menyebutnya masyarakat pasca-industrialis, masyarakat negara (civic society), dan masyarakat heterogen (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 2006). Realitas semu yang dibalut dengan kesadaran palsu seolah menyuruh kita bertanya, ‘apakah masyarakat modern sudah benar-benar rasional dengan segala tindakannya?”
Benang Merah Paradoks Modernitas dan Konservatisme
Realitas semu dan kesadaran palsu itu telah membuat masyarakat modern berada dalam keterawang-awangan hidup. Maka, diatas keterawang-awangan itulah diperlukan yang namanya budaya konservatif sebagai landasan filosofis kehidupan.
Inilah yang kemudian saya sebut dengan benang merah atau titik temu antara paradoks modernitas dan konservatisme. Budaya konservatif itu dapat berbentuk ideologi, prinsip, agama, dan hal-hal lainnya yang bersifat normatif-reguler.
Budaya konservatif yang ada itu haruslah bersifat adaptif dan juga solutif. Konservatisme dalam tubuh modernitas akan membantu terwujudnya kesadaran autentik dalam melihat realitas masa kini. Sehingga, dalam menjalani kehidupan tidak berada diatas ‘awang-awang’.
Perihal kesadaran autentik itu, yang padanya budaya konservatif akan tetap relevan dan adaptif pada setiap zaman bahkan mampu memberikan solusi ditengah kompleksitas problematika masyarakat modern; dehumanisai, eksploitasi alam, korupsi, neo-kolonialisme, kapitalisme gaya baru, dan lainnya. Setidaknya ada enam kesadaran menurut Prof. Kuntowijoyo.
Enam Kesadaran Menurut Prof. Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (Islam Sebagai Ilmu, 2006) menyebutkan bahwa untuk menjemput perkembangan zaman yang lebih efektif tanpa meninggalkan ‘teks’ (konservatisme) diperlukan perluasan kesadaran selain kesadaran individual klasik.
Profesor Kuntowijoyo adalah intelektual muslim yang mengintrodusir Ilmu Sosial Profetik sebagai upaya pengilmuan islam (demistifikasi agama) yang berangkat dari ‘teks’ menuju ‘konteks’ melalui pendekatan analitik sintetik berdasarkan paradigma islam strukturalisme transendental agar terwujudnya transformasi sosial ke arah yang lebih baik.
Oleh karenanya, kesadaran ini perlu diperhitungkan agar budaya konservatif dapat merawat perkembangan zaman dengan baik tanpa kehilangan identitasnya ditengah keterawang-awangan tadi.
Pertama, kesadaran adanya perubahan. Sudah menjadi keniscayaan bagi kita semua untuk mengakui akan adanya perubahan dalam hidup ini. Seiring dengan berjalannya waktu dan begitu dinamisnya kehidupan dunia, telah menghantarkan kita kepada hal-hal baru yang harus diterima. Sebagai contoh, kita yang hari ini duduk di bangku perkuliahan adalah kita yang tujuh atau delapan tahun lalu di bangku SMP.
Kedua, kesadaran kolektif. Pada dasarnya kita semua sudah punya kesadaran individua. Namun, kesadaran itu perlu diperluas menjadi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang diharapkan tentu bukan hanya kesadaran ‘jamaah’ yang bersifat sektoral belaka. Tapi, adalah kesadaran kolektif yang lebih luas dalam rangka menjemput transformasi sosial tadi.
Ketiga, kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah kesadaran kolektif akan keterlibatannya dalam perkembangan sejarah. Selain itu, manusia juga harus punya sadar akan dirinya sebagai subjek dalam menentukan sejarah itu sendiri.
Keempat, kesadaran adanya fakta sosial. Menjadi suatu kejanggalan jika ditengah-tengah masyarakat pasca-industrial, heterogen, kompetitif, modern, dan serba maju ini kita tidak menemukan adanya sebuah fakta sosial. Fakta sosial sangat perlu disadari dalam kompleksitas masyarakat akan terwujudnya tataran sosial yang lebih baik.
Kelima, kesadaran adanya masyarakat abstrak. Makin modernnya suatu masyarakat makin abstarak juga masyarakatnya. Maka dari pada itu, kesadaran adanya masyarakat abstrak harus dapat dikelola dan dijagaa dengan sebaik mungkin.
Keenam, kesadaran perlunya objektifikasi. Objektifikasi ialah perbuatan objektif setalah adaya upaya subjektifikasi. Sederhananya dalam konteks tulisan ini, objektifikasi adalah menebar nilai-nilai konservatif di dalam tubuh modernitas.
Purna-Kata
Perkembangan dan kemajuan yang kita rasakan pada hari ini haruslah kita pertanyakan lagi, bukan untuk menghentikannya. Tapi untuk mencari tricks and tips menjalani kehidupan di masa kini.
Tidakkah kita melihat makin tersingkirnya peran umat manusia dalam sejarah belakangan ini? Tidakkah kita lihat begitu banyak masyarakat yang merelakan rumahnya digusur untuk pembangunan hotel? Atau masyarakat yang harus rela menjual murah tanahnya untuk pembangunan tol? Atau para sarjana yang pengangguran?
Kita telah lahir dan tidak ada lagi kesempatan untuk kembali serta menolak pedihnya hidup dalam realitas masa kini. Maka, segera selesaikan apa yang ada dihadapan dengan penuh kesadaran. Tetaplah menjadi manusia yang terhormat ditengah-tengah kemajuan yang menguat.
Tabik!!!
_____
Ramadhanur Putra, Anggota Bid. RPK PK IMM FAI UMY, Alumni Sekolah Pemikiran Islam 2021, Anggota Komunal Yogyakarta.
12 Komentar
2022-01-20 11:03:30
Rama 3
Oleh oleh yang keren banget, sukses terus, Rama 2!????
2022-04-07 14:12:57
Khanifah
Karakter tulisan Rama banget :*
2024-11-29 14:50:09
Hlbgnn
eriacta sir - sildigra armor forzest papa
2024-12-04 20:14:39
Ydskut
valif online stay - secnidazole tablet oral sinemet
2024-12-05 09:04:56
Jzrlwr
indinavir pill - emulgel where to order order voltaren gel online cheap
2024-12-07 13:40:59
Homclm
valif online after - sustiva online buy sinemet without prescription
2024-12-11 19:44:00
Uwjqjb
modafinil 200mg canada - duricef 500mg price lamivudine canada
2024-12-15 02:42:01
Aztopz
phenergan without prescription - purchase phenergan generic order lincomycin sale
2024-12-16 17:35:15
Jklwcu
where can i buy ivermectin - candesartan 16mg tablet buy tegretol 400mg
2024-12-28 14:59:56
Cvlbtp
order prednisone 10mg pills - buy prednisone 10mg online cheap capoten pills
2025-01-01 17:20:49
Imvoyi
deltasone 10mg cheap - buy generic starlix buy capoten pill
2025-01-14 04:27:11
Wbblpr
buy generic accutane 40mg - dexona us linezolid 600mg ca
12 Komentar
2022-01-20 11:03:30
Rama 3
Oleh oleh yang keren banget, sukses terus, Rama 2!????
2022-04-07 14:12:57
Khanifah
Karakter tulisan Rama banget :*
2024-11-29 14:50:09
Hlbgnn
eriacta sir - sildigra armor forzest papa
2024-12-04 20:14:39
Ydskut
valif online stay - secnidazole tablet oral sinemet
2024-12-05 09:04:56
Jzrlwr
indinavir pill - emulgel where to order order voltaren gel online cheap
2024-12-07 13:40:59
Homclm
valif online after - sustiva online buy sinemet without prescription
2024-12-11 19:44:00
Uwjqjb
modafinil 200mg canada - duricef 500mg price lamivudine canada
2024-12-15 02:42:01
Aztopz
phenergan without prescription - purchase phenergan generic order lincomycin sale
2024-12-16 17:35:15
Jklwcu
where can i buy ivermectin - candesartan 16mg tablet buy tegretol 400mg
2024-12-28 14:59:56
Cvlbtp
order prednisone 10mg pills - buy prednisone 10mg online cheap capoten pills
2025-01-01 17:20:49
Imvoyi
deltasone 10mg cheap - buy generic starlix buy capoten pill
2025-01-14 04:27:11
Wbblpr
buy generic accutane 40mg - dexona us linezolid 600mg ca
Tinggalkan Pesan