Buya Syafii tentang Kader Kemanusiaan
Erik Tauvani Somae Ahad, 11-12-2022 | - Dilihat: 258

Oleh: Erik Tauvani Somae
Berpulangnya Buya Ahmad Syafii Maarif pada Jum’at, 27 Mei 2022 dalam usia ke-87 tahun minus empat hari, meninggalkan duka yang mendalam bagi bangsa. Semasa hidupnya, di tengah gelombang isu sosial, politik, dan agama, sang “muazin” bangsa itu tetap berdiri kokoh di atas prinsip yang diyakininya. Ia tak pernah surut selangkah pun dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kewarasan. Ia ibarat suluh di tengah suramnya perilaku politik berbangsa dan bernegara yang –meminjam istilah Buya– tunamoral.
Tak hanya keluarga besar Muhammadiyah, semua pun turut kehilangan. Namun orang tak boleh larut dalam suasana batin yang pilu. Setiap generasi pasti akan datang dan pergi silih berganti. Harapan akan selalu ada selama mata air keteladanan itu mengalir dan diwariskan turun-temurun sebagai batu pijak dalam menyongsong era yang baru. Masa lampau, kata Buya, memang milik mereka yang menciptakan, sementara milik kita hanyalah yang kita ciptakan, sekalipun orang tak mungkin melompat dari sebuah kekosongan.
Cinta Buya pada bangsa dan negara ini sungguh tulus dan tiada bertepi. Wawasan dan pergaulannya telah melintas batas dan meretas sekat-sekat primordialisme sempit. Baginya, kemanusiaan adalah satu (humanity is one) sebagaimana tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan merupakan kredo yang sering Buya ucapkan dalam berbagai kesempatan.
Di memoarnya, Buya menyatakan bahwa dalam usianya yang telah larut itu, agenda utamanya adalah turut berbuat sesuatu betapa pun kecilnya agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh, tidak terkoyak oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat.
Meneruskan Legacy Buya Syafii
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005 ini dikenal secara luas sebagai guru bangsa. Buya adalah guru bangsa yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Pendidikan 12 tahunnya ditempuh dan ditempa di lembaga milik Muhammadiyah. Dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Balai Tengah, Lintau, dan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Maka, jika di kemudian hari Buya terpilih sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, adalah sudah pada jalurnya. Selain tentu karena kualitas manusianya, ia juga merupakan darah daging Muhammadiyah.
Sebagai seorang kader Muhammadiyah, semesta Buya Syafii adalah kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Hal ini tidak terlepas dari refleksi pemahaman Buya terhadap makna rahmatan lil ‘alamin. Buya merenungkan dan memaknai prinsip rahmatan lil’alamin secara mendalam. Kedalaman itu pun diejawantahkan ke dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam keluarga, lingkungan sekitar, bahkan lintas kultur lintas iman. Buya berusaha membumikan nilai-nilai Islam dengan tanpa membiarkannya hanya menggantung di langit tinggi. Buya tak ingin nilai-nilai luhur itu hanya diagungkan dalam kata, namun dihianati dalam laku.
Buya Syafii telah mewariskan nilai-nilai jiwa merdeka dan inklusif, namun secara bersamaan juga tetap kritis. Nilai-nilai itu ada dalam diri Buya secara otentik, tanpa kepalsuan belaka. Selain dalam ingatan yang barangkali akan semakin terlupakan, legacy itu juga telah terabadikan dalam tulisan, baik tulisan Buya sendiri, maupun tulisan orang lain tentang Buya, yang jumlahnya tidak sedikit itu. Maka memori personal dan kolektif tetang Buya insya Allah akan selalu terjaga dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam lingkup yang luas.
Kader Kemanusiaan, Bangsa, Umat, dan Persyarikatan
Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta pada 18-20 November 2022 bertema “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta.” Sementara tema muktamar Aisyiyah adalah “Perempuan Berkemajuan Mencerahkan Kehidupan Bangsa.” Dua kata kunci dasar dalam tema muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ini adalah maju dan cerah. Sinar kemajuan yang mencerahkan itu menembus sampai pada lingkup kemanusiaan, keindonesiaan, dan keumatan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan bahwa dalam keyakinan Muhammadiyah, Islam adalah agama yang mengandung nilai kemajuan. Dengan keyakinan dan pemahaman ini, Muhammadiyah senantiasa berusaha mengintegrasikan nilai keislaman dan keindonesiaan untuk peradaban yang berkemajuan. Ungkapan ini, tegasnya, bukan hanya klaim dan retorika belaka, melainkan telah dan terus diwujudkan dalam perbuatan nyata (Haedar Nashir, Oktober 2021).
Nasihat Buya yang disampaikan kepada generasi muda Muhammadiyah menjadi sangat relevan, yaitu supaya menjadi kader Muhammadiyah yang memiliki wawasan kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan sekaligus. Wawasan dan pergaulan harus luas. Tanpa itu, ayat rahmatan lil’alamin hanya akan menggantung di langit tinggi, sementara kita hidup di muka bumi. Ketika wawasan dan pergaulan semakin luas, harus tetap rendah hati. Belajar menghargai orang lain yang berbeda pendapat. Jangan mudah marah, menyalahkan, dan merasa benar sendiri.
Mengapa kader kemanusiaan dulu yang disebut? Baru kemudian kader bangsa, umat, dan persyarikatan. Pada kolom Resonansi Republika, Selasa 30 Juli 2013, dalam konteks sekolah kader Mu’allimin-Mu’allimaat, Buya Syafii menekankan agar lulusan kedua madrasah ini tampil lebih dulu menjadi kader Kemanusiaan dari yang lain-lain. Kita kutip:
“...madrasah ini tidak hanya ingin melahirkan para kader penerus Muhammadiyah, tetapi juga diharapkan menjadi kader kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Bahkan, saya sendiri kepada siswa yang akan lulus selalu menekankan untuk tampil sebagai kader kemanusiaan lebih dulu, baru yang lain-lain.”
Buya Syafii dalam memandang dunia, khususnya peran umat Islam, menyeluruh dan dalam radius yang luas di berbagai aspek. Peran yang luas ini akan menjadi faktor penentu arah masa depan umat dalam lingkup global. Dengan pandangan yang jauh ke depan dan luas ke segala penjuru, orang tentu tidak hanya akan merasa berjaya di rumah sendiri, dalam ungkapan yang lain tidak hanya menjadi katak dalam tempurung. Maka harus berani keluar kotak, out of the box.
Buya selalu mengingatkan agar siswa Mu’allimin-Mu’allimaat memiliki cita-cita setinggi-tingginya yang tidak hanya dalam lingkup Muhammadiyah namun juga bangsa bahkan kemanusiaan terlebih dahulu. Dengan menjadi kader kemanusiaan, bangsa, umat, dan persyarikatan sebagai kader Muhammadiyah, diharapkan jangkauan dakwah itu akan lebih luas dan bisa diterima oleh siapapun.
Akhirnya, pesan Buya di atas berlaku bagi semua kader Muhammadiyah, bukan hanya Mu'allimin dan Mu'allimaat. Buya mengharapkan kader Muhammadiyah tampil ke permukaan dengan wawasan kemanusiaan, keindonesiaan, dan keislaman yang matang dan dalam satu tarikan napas. Maka, luas wawasan dan luas pergaulan adalah niscaya.
- Artikel Teropuler -
Buya Syafii tentang Kader Kemanusiaan
Erik Tauvani Somae Ahad, 11-12-2022 | - Dilihat: 258

Oleh: Erik Tauvani Somae
Berpulangnya Buya Ahmad Syafii Maarif pada Jum’at, 27 Mei 2022 dalam usia ke-87 tahun minus empat hari, meninggalkan duka yang mendalam bagi bangsa. Semasa hidupnya, di tengah gelombang isu sosial, politik, dan agama, sang “muazin” bangsa itu tetap berdiri kokoh di atas prinsip yang diyakininya. Ia tak pernah surut selangkah pun dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kewarasan. Ia ibarat suluh di tengah suramnya perilaku politik berbangsa dan bernegara yang –meminjam istilah Buya– tunamoral.
Tak hanya keluarga besar Muhammadiyah, semua pun turut kehilangan. Namun orang tak boleh larut dalam suasana batin yang pilu. Setiap generasi pasti akan datang dan pergi silih berganti. Harapan akan selalu ada selama mata air keteladanan itu mengalir dan diwariskan turun-temurun sebagai batu pijak dalam menyongsong era yang baru. Masa lampau, kata Buya, memang milik mereka yang menciptakan, sementara milik kita hanyalah yang kita ciptakan, sekalipun orang tak mungkin melompat dari sebuah kekosongan.
Cinta Buya pada bangsa dan negara ini sungguh tulus dan tiada bertepi. Wawasan dan pergaulannya telah melintas batas dan meretas sekat-sekat primordialisme sempit. Baginya, kemanusiaan adalah satu (humanity is one) sebagaimana tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan merupakan kredo yang sering Buya ucapkan dalam berbagai kesempatan.
Di memoarnya, Buya menyatakan bahwa dalam usianya yang telah larut itu, agenda utamanya adalah turut berbuat sesuatu betapa pun kecilnya agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh, tidak terkoyak oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat.
Meneruskan Legacy Buya Syafii
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005 ini dikenal secara luas sebagai guru bangsa. Buya adalah guru bangsa yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Pendidikan 12 tahunnya ditempuh dan ditempa di lembaga milik Muhammadiyah. Dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Balai Tengah, Lintau, dan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Maka, jika di kemudian hari Buya terpilih sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, adalah sudah pada jalurnya. Selain tentu karena kualitas manusianya, ia juga merupakan darah daging Muhammadiyah.
Sebagai seorang kader Muhammadiyah, semesta Buya Syafii adalah kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Hal ini tidak terlepas dari refleksi pemahaman Buya terhadap makna rahmatan lil ‘alamin. Buya merenungkan dan memaknai prinsip rahmatan lil’alamin secara mendalam. Kedalaman itu pun diejawantahkan ke dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam keluarga, lingkungan sekitar, bahkan lintas kultur lintas iman. Buya berusaha membumikan nilai-nilai Islam dengan tanpa membiarkannya hanya menggantung di langit tinggi. Buya tak ingin nilai-nilai luhur itu hanya diagungkan dalam kata, namun dihianati dalam laku.
Buya Syafii telah mewariskan nilai-nilai jiwa merdeka dan inklusif, namun secara bersamaan juga tetap kritis. Nilai-nilai itu ada dalam diri Buya secara otentik, tanpa kepalsuan belaka. Selain dalam ingatan yang barangkali akan semakin terlupakan, legacy itu juga telah terabadikan dalam tulisan, baik tulisan Buya sendiri, maupun tulisan orang lain tentang Buya, yang jumlahnya tidak sedikit itu. Maka memori personal dan kolektif tetang Buya insya Allah akan selalu terjaga dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam lingkup yang luas.
Kader Kemanusiaan, Bangsa, Umat, dan Persyarikatan
Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta pada 18-20 November 2022 bertema “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta.” Sementara tema muktamar Aisyiyah adalah “Perempuan Berkemajuan Mencerahkan Kehidupan Bangsa.” Dua kata kunci dasar dalam tema muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ini adalah maju dan cerah. Sinar kemajuan yang mencerahkan itu menembus sampai pada lingkup kemanusiaan, keindonesiaan, dan keumatan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan bahwa dalam keyakinan Muhammadiyah, Islam adalah agama yang mengandung nilai kemajuan. Dengan keyakinan dan pemahaman ini, Muhammadiyah senantiasa berusaha mengintegrasikan nilai keislaman dan keindonesiaan untuk peradaban yang berkemajuan. Ungkapan ini, tegasnya, bukan hanya klaim dan retorika belaka, melainkan telah dan terus diwujudkan dalam perbuatan nyata (Haedar Nashir, Oktober 2021).
Nasihat Buya yang disampaikan kepada generasi muda Muhammadiyah menjadi sangat relevan, yaitu supaya menjadi kader Muhammadiyah yang memiliki wawasan kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan sekaligus. Wawasan dan pergaulan harus luas. Tanpa itu, ayat rahmatan lil’alamin hanya akan menggantung di langit tinggi, sementara kita hidup di muka bumi. Ketika wawasan dan pergaulan semakin luas, harus tetap rendah hati. Belajar menghargai orang lain yang berbeda pendapat. Jangan mudah marah, menyalahkan, dan merasa benar sendiri.
Mengapa kader kemanusiaan dulu yang disebut? Baru kemudian kader bangsa, umat, dan persyarikatan. Pada kolom Resonansi Republika, Selasa 30 Juli 2013, dalam konteks sekolah kader Mu’allimin-Mu’allimaat, Buya Syafii menekankan agar lulusan kedua madrasah ini tampil lebih dulu menjadi kader Kemanusiaan dari yang lain-lain. Kita kutip:
“...madrasah ini tidak hanya ingin melahirkan para kader penerus Muhammadiyah, tetapi juga diharapkan menjadi kader kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Bahkan, saya sendiri kepada siswa yang akan lulus selalu menekankan untuk tampil sebagai kader kemanusiaan lebih dulu, baru yang lain-lain.”
Buya Syafii dalam memandang dunia, khususnya peran umat Islam, menyeluruh dan dalam radius yang luas di berbagai aspek. Peran yang luas ini akan menjadi faktor penentu arah masa depan umat dalam lingkup global. Dengan pandangan yang jauh ke depan dan luas ke segala penjuru, orang tentu tidak hanya akan merasa berjaya di rumah sendiri, dalam ungkapan yang lain tidak hanya menjadi katak dalam tempurung. Maka harus berani keluar kotak, out of the box.
Buya selalu mengingatkan agar siswa Mu’allimin-Mu’allimaat memiliki cita-cita setinggi-tingginya yang tidak hanya dalam lingkup Muhammadiyah namun juga bangsa bahkan kemanusiaan terlebih dahulu. Dengan menjadi kader kemanusiaan, bangsa, umat, dan persyarikatan sebagai kader Muhammadiyah, diharapkan jangkauan dakwah itu akan lebih luas dan bisa diterima oleh siapapun.
Akhirnya, pesan Buya di atas berlaku bagi semua kader Muhammadiyah, bukan hanya Mu'allimin dan Mu'allimaat. Buya mengharapkan kader Muhammadiyah tampil ke permukaan dengan wawasan kemanusiaan, keindonesiaan, dan keislaman yang matang dan dalam satu tarikan napas. Maka, luas wawasan dan luas pergaulan adalah niscaya.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan