• Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Berita
  • Pandangan
  • Inspirasi
  • Kajian
  • Perkaderan
  • Sastra
  • Khutbah
  • Resensi
  • Kirim Tulisan
  • Donasi? Klik disini

Belajar Beragama dari Habib Ali Al Jufri

Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc. Jum'at, 26-8-2022 | - Dilihat: 79

banner

Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc.

Sering kita memahami kata beragama hanya beribadah dan mengimplementasikan hukuman (hudud). Pandangan ini dibantah oleh Ulama Yaman Habib Ali Al Jufri dalam buku Al Insaniyah Qabla At Tadayyun, yang berarti kemanusiaan sebelum beragama.

Nama lengkap beliau Habib Ali Zainul Abidin bin Abdurrahman Al Jufri dari Tarim Yaman dan masih keturunan Imam Al Husain RA. Habib Ali Al Jufri mendirikan Tabah Foundation yang bergerak dalam bidang moderasi keberagamaan di Abu Dhabi, ibukota Uni Emirates Arab. Habib Ali Al Jufri juga mendirikan majelis Raudhah An Na’im di sebelah selatan Masjid Imam Al Husain RA di tengah Cairo, ibukota Mesir.

Setiap Sabtu pagi, Habib Ali Al Jufri mengadakan pengajian mengkaji kitab guru beliau, Habib Umar bin Salim, yaitu Iqtibas Nurul Mubin, sebuah ringkasan dari Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali, salah satu kitab inti dalam mempelajari Ilmu Tasawuf.

Ringkasan-ringkasan kitab-kitab turats tersebut merupakan upaya dari para ulama untuk mempermudah Umat Islam mempelajari ilmu-ilmu keislaman yang merupakan kewajiban dalam beragama. Imam Al Ghazali juga memiliki kitab-kitab kecil seperti Ayuhal Walad dan Minhajul ‘Arifin.

Selain kajian kitab-kitab dan hadlrah nasyid, Raudhah An Na’im juga sering membagikan bantuan kepada para penuntut ilmu dan masyarakat sekitar. Pada bulan puasa, tidak jarang diselenggarakan buka bersama.

Saat ramai karikatur pelecehan atas Nabi Muhammad SAW, Habib Ali Al Jufri justru melakukan kunjungan ke Denmark menyampaikan maaf karena belum dapat menyampaikan contoh akhlak Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Denmark dan masyarakat Eropa.

Berbeda dengan kaum penganut Salafi Haroki Irhabi yang menyerukan boikot produk-produk dari Denmark, yaitu salah satu negara yang sebelumnya mendukung Palestina dan menyerukan boikot atas produk-produk Israel.

Dalam karyanya, Al Insaniyah Qabla At Tadayyun, Habib Ali Al Jufri membongkar penipuan kaum penganut Salafi Haroki Irhabi dalam memanipulasi fatwa Ibnu Taimiyah, yang dikenal engan Fatwa Mardin.

Kata “Tu’amalu” yang berarti perintah untuk tetap berinteraksi kepada Umat Islam yang berada di negara non-muslim, diganti menjadi “Tuqatilu” yang berarti perintah untuk memerangi. Fatwa yang dipalsukan ini menjadi landasan bagi gerakan-gerakan berpaham Salafi Haroki Irhabi melancarkan aksi-aksi teror, termasuk atas Umat Islam di Negara Islam.

Maka benar pernyataan Habib Ali Al Jufri bahwa ektrimisme tidak berakar pada pemikiran, akan tetapi berakar pada cacat kejiwaan yang terus mencari pembenaran dari teks-teks agama serta terus berusaha mempertentangkan agama dengan negara. Padahal, kaum penganut Salafi Haroki Irhabi, tidak mampu memahami tata cara beragama karena tidak memiliki pondasi keilmuan keislaman, juga tidak memahami tata cara bernegara.

Salah satu guru Habib Ali Al Jufri, Prof. Ali Jum’ah, menyatakan bahwa sebenarnya hukuman (hudud) dalam Syariat Islam seperti rajam, potong tangan dan qisas masih ada, akan tetapi dibekukan pelaksanannya, karena tidak adanya saksi yang adil dan hakim yang berijtihad. Jika kaum penganut Salafi Haroki Irhabi berkuasa, tidak akan mampu melaksanakan hudud seperti yang mereka bayangkan.

Beberapa pekan ini, Habib Ali Al Jufri mengunjungi Indonesia mengadakan sejumlah seminar dan pertemuan seperti di Masjid Istiqlal Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah dan kantor PBNU. Salah satu pesan penting di era digital, bahkan sebelum era media sosial, adanya berhati-hati dalam mencerna informasi. Banyak fitnah yang kemudian menghancurkan sebuah negara, Suriah dan Libya, adalah contohnya.

Suriah dan Libya masih porak-poranda sampai saat ini. Kaum penganut Salafi Haroki Irhabi berusaha mengambil keuntungan tapi menghasilkan kerugian dan perpecahan di internal mereka sendiri.

Habib Ali Al Jufri menghadirkan narasi-narasi moderasi keislaman agar Umat Islam beragama berdasarkan ilmu, bukan hanya dengan rasa simpati yang mudah digerakkan oleh kepentingan politik. Beragama dengan ilmu-ilmu keislaman akan menjadikan Umat Islam benar-benar memahami Syariat Islam, baik dari akidah, ibadah, mualamah dan etika.

Sebagian kecil Umat Islam memahami Syariat Islam hanya sekedar hudud. Hal ini dikarenakan kajian keislaman tidak dikembangkan dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu-ilmu kesusarteraan Bahasa Arab, ilmu fikih dan ilmu ushul fikih, yang juga disebut sebagai ilmu Filsafat Islam, karena memahamkan Al Qur’an dan As Sunnah An Nabawiyah dengan jelas.

Kaum penganut Salafi Haroki Irhabi hanya memahami proyek peradaban dengan perebutan kekuasaan, bahkan harus mengorbankan rasa kemanusiaan, bahkan mempermainkannya untuk memperkaya diri. Padahal, sejatinya peradaban adalah puncak ketersusunan pemahaman dan pemikiran dalam sejarah manusia berdasarkan rasa kemanusiaan.

Sebagai upaya untuk selamat dari hasutan kaum penganut Salafi Haroki Irhabi, Habib Ali Al Jufri mengajak Umat Islam untuk menggunakan media sosial dan dunia digital dengan bijak. Salah satu di antaranya adalah mencari referensi-referensi otoritatif dan mendengarkan ceramah-ceramah dari para ulama yang benar-benar faham dalam memahami ajaran Agama Islam. Habib Ali Al Jufri juga menekan agar Umat Islam tidak meninggalkan majelis-majelis ilmu agar tetap tersambung keilmuan dan keberkahan ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari.

Maka dari itu, Habib Ali Al Jufri menekankan pentingnya akhlak yang berpondasi pada 3 (tiga) nilai etika yaitu rasa saling cinta, kasih sayang dan rendah hati. Dari ketiga etika tersebut, Habib Ali Al Jufri dalam kunjungan ke Indonesia, justru belajar dari para ulama Indonesia, termasuk mempelajari kitab Adabul ‘Alim wa Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’arie, pendiri Nahdlatul Ulama dan sahabat KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Dari ketiga etika yang ditauladankan oleh Nabi Muhammad SAW akan menciptakan ketentraman dan rasa saling mencintai. Tidak heran jika bertemu dengan anak kecil dalam berbagai kesempatan, Habib Ali Al Jufri justru mencium tangan anak kecil tersebut. Salah satunya adalah anak penulis, Zainab ‘Al Hasyimiyah’ Hamemayu Nagari.

_____

Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc., Alumni Jurusan Sejarah Universitas Al Azhar Cairo Mesir

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

- Artikel Teropuler -

Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Erik Tauvani Somae
Ahad, 29-5-2022
thumb
Saat Mata Buya Berkaca-kaca
Erik Tauvani Somae
Ahad, 19-12-2021
thumb
Kerja Sama Militer Indonesia dan Malaysia
Iqbal Suliansyah
Selasa, 27-12-2022
thumb
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
Sidiq Wahyu Oktavianto
Sabtu, 28-5-2022
thumb
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Erik Tauvani Somae
Senin, 16-5-2022
thumb
Kekerasan Seksual Menjadi Cambuk bagi Semua
Nizar Habibunnizar
Kamis, 6-1-2022
thumb
Pengalaman Seorang Anak Panah
Ahmad Syafii Maarif
Ahad, 21-11-2021
thumb
Cinta, Patah Hati, dan Jalaluddin Rumi
Muhammad Iqbal Kholidin
Ahad, 15-5-2022
thumb
Menjernihkan Kesalahpahaman Terhadap Buya Syafii Maarif
Robby Karman
Senin, 30-5-2022
thumb
Childfree dan Mengatur kelahiran dalam Islam
Nofra Khairon
Selasa, 18-1-2022
thumb
Kemenangan Muhammadiyah di Kandang Nahdlatul Ulama
Achmad Ainul Yaqin
Senin, 14-11-2022
thumb
BNPT dan Perang Melawan Terorisme
Iqbal Suliansyah
Selasa, 29-11-2022
thumb

Belajar Beragama dari Habib Ali Al Jufri

Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc. Jum'at, 26-8-2022 | - Dilihat: 79

banner

Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc.

Sering kita memahami kata beragama hanya beribadah dan mengimplementasikan hukuman (hudud). Pandangan ini dibantah oleh Ulama Yaman Habib Ali Al Jufri dalam buku Al Insaniyah Qabla At Tadayyun, yang berarti kemanusiaan sebelum beragama.

Nama lengkap beliau Habib Ali Zainul Abidin bin Abdurrahman Al Jufri dari Tarim Yaman dan masih keturunan Imam Al Husain RA. Habib Ali Al Jufri mendirikan Tabah Foundation yang bergerak dalam bidang moderasi keberagamaan di Abu Dhabi, ibukota Uni Emirates Arab. Habib Ali Al Jufri juga mendirikan majelis Raudhah An Na’im di sebelah selatan Masjid Imam Al Husain RA di tengah Cairo, ibukota Mesir.

Setiap Sabtu pagi, Habib Ali Al Jufri mengadakan pengajian mengkaji kitab guru beliau, Habib Umar bin Salim, yaitu Iqtibas Nurul Mubin, sebuah ringkasan dari Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali, salah satu kitab inti dalam mempelajari Ilmu Tasawuf.

Ringkasan-ringkasan kitab-kitab turats tersebut merupakan upaya dari para ulama untuk mempermudah Umat Islam mempelajari ilmu-ilmu keislaman yang merupakan kewajiban dalam beragama. Imam Al Ghazali juga memiliki kitab-kitab kecil seperti Ayuhal Walad dan Minhajul ‘Arifin.

Selain kajian kitab-kitab dan hadlrah nasyid, Raudhah An Na’im juga sering membagikan bantuan kepada para penuntut ilmu dan masyarakat sekitar. Pada bulan puasa, tidak jarang diselenggarakan buka bersama.

Saat ramai karikatur pelecehan atas Nabi Muhammad SAW, Habib Ali Al Jufri justru melakukan kunjungan ke Denmark menyampaikan maaf karena belum dapat menyampaikan contoh akhlak Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Denmark dan masyarakat Eropa.

Berbeda dengan kaum penganut Salafi Haroki Irhabi yang menyerukan boikot produk-produk dari Denmark, yaitu salah satu negara yang sebelumnya mendukung Palestina dan menyerukan boikot atas produk-produk Israel.

Dalam karyanya, Al Insaniyah Qabla At Tadayyun, Habib Ali Al Jufri membongkar penipuan kaum penganut Salafi Haroki Irhabi dalam memanipulasi fatwa Ibnu Taimiyah, yang dikenal engan Fatwa Mardin.

Kata “Tu’amalu” yang berarti perintah untuk tetap berinteraksi kepada Umat Islam yang berada di negara non-muslim, diganti menjadi “Tuqatilu” yang berarti perintah untuk memerangi. Fatwa yang dipalsukan ini menjadi landasan bagi gerakan-gerakan berpaham Salafi Haroki Irhabi melancarkan aksi-aksi teror, termasuk atas Umat Islam di Negara Islam.

Maka benar pernyataan Habib Ali Al Jufri bahwa ektrimisme tidak berakar pada pemikiran, akan tetapi berakar pada cacat kejiwaan yang terus mencari pembenaran dari teks-teks agama serta terus berusaha mempertentangkan agama dengan negara. Padahal, kaum penganut Salafi Haroki Irhabi, tidak mampu memahami tata cara beragama karena tidak memiliki pondasi keilmuan keislaman, juga tidak memahami tata cara bernegara.

Salah satu guru Habib Ali Al Jufri, Prof. Ali Jum’ah, menyatakan bahwa sebenarnya hukuman (hudud) dalam Syariat Islam seperti rajam, potong tangan dan qisas masih ada, akan tetapi dibekukan pelaksanannya, karena tidak adanya saksi yang adil dan hakim yang berijtihad. Jika kaum penganut Salafi Haroki Irhabi berkuasa, tidak akan mampu melaksanakan hudud seperti yang mereka bayangkan.

Beberapa pekan ini, Habib Ali Al Jufri mengunjungi Indonesia mengadakan sejumlah seminar dan pertemuan seperti di Masjid Istiqlal Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah dan kantor PBNU. Salah satu pesan penting di era digital, bahkan sebelum era media sosial, adanya berhati-hati dalam mencerna informasi. Banyak fitnah yang kemudian menghancurkan sebuah negara, Suriah dan Libya, adalah contohnya.

Suriah dan Libya masih porak-poranda sampai saat ini. Kaum penganut Salafi Haroki Irhabi berusaha mengambil keuntungan tapi menghasilkan kerugian dan perpecahan di internal mereka sendiri.

Habib Ali Al Jufri menghadirkan narasi-narasi moderasi keislaman agar Umat Islam beragama berdasarkan ilmu, bukan hanya dengan rasa simpati yang mudah digerakkan oleh kepentingan politik. Beragama dengan ilmu-ilmu keislaman akan menjadikan Umat Islam benar-benar memahami Syariat Islam, baik dari akidah, ibadah, mualamah dan etika.

Sebagian kecil Umat Islam memahami Syariat Islam hanya sekedar hudud. Hal ini dikarenakan kajian keislaman tidak dikembangkan dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu-ilmu kesusarteraan Bahasa Arab, ilmu fikih dan ilmu ushul fikih, yang juga disebut sebagai ilmu Filsafat Islam, karena memahamkan Al Qur’an dan As Sunnah An Nabawiyah dengan jelas.

Kaum penganut Salafi Haroki Irhabi hanya memahami proyek peradaban dengan perebutan kekuasaan, bahkan harus mengorbankan rasa kemanusiaan, bahkan mempermainkannya untuk memperkaya diri. Padahal, sejatinya peradaban adalah puncak ketersusunan pemahaman dan pemikiran dalam sejarah manusia berdasarkan rasa kemanusiaan.

Sebagai upaya untuk selamat dari hasutan kaum penganut Salafi Haroki Irhabi, Habib Ali Al Jufri mengajak Umat Islam untuk menggunakan media sosial dan dunia digital dengan bijak. Salah satu di antaranya adalah mencari referensi-referensi otoritatif dan mendengarkan ceramah-ceramah dari para ulama yang benar-benar faham dalam memahami ajaran Agama Islam. Habib Ali Al Jufri juga menekan agar Umat Islam tidak meninggalkan majelis-majelis ilmu agar tetap tersambung keilmuan dan keberkahan ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari.

Maka dari itu, Habib Ali Al Jufri menekankan pentingnya akhlak yang berpondasi pada 3 (tiga) nilai etika yaitu rasa saling cinta, kasih sayang dan rendah hati. Dari ketiga etika tersebut, Habib Ali Al Jufri dalam kunjungan ke Indonesia, justru belajar dari para ulama Indonesia, termasuk mempelajari kitab Adabul ‘Alim wa Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’arie, pendiri Nahdlatul Ulama dan sahabat KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Dari ketiga etika yang ditauladankan oleh Nabi Muhammad SAW akan menciptakan ketentraman dan rasa saling mencintai. Tidak heran jika bertemu dengan anak kecil dalam berbagai kesempatan, Habib Ali Al Jufri justru mencium tangan anak kecil tersebut. Salah satunya adalah anak penulis, Zainab ‘Al Hasyimiyah’ Hamemayu Nagari.

_____

Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc., Alumni Jurusan Sejarah Universitas Al Azhar Cairo Mesir

Tags
0 Komentar

Tinggalkan Pesan

Anakpanah.id adalah portal keislaman yang diresmikan di Yogyakarta pada 8 Agustus 2020 di bawah naungan Jaringan Anak Panah (JAP).
Ingin Donasi? Klik disini

Copyright © AnakPanah.ID All rights reserved.
Develop by KlonTech