Bangun sebelum Subuh: Tanda Hamba yang Terjaga
Abu Lubna Ahad, 29-6-2025 | - Dilihat: 3

Oleh: Abu Lubna
Pernahkah kita merenung: kapan terakhir kali kita benar-benar siap menyambut Subuh—bukan sekadar bangun, tapi hadir dengan jiwa yang terjaga? Ada satu kebiasaan menarik yang bisa kita pelajari dari Haramain, tanah suci Makkah dan Madinah. Di sana jarak antara adzan dan iqamah untuk salat Subuh bisa mencapai 30 hingga 40 menit. Waktu yang panjang ini bukan tanpa alasan—ia diberikan agar umat Islam punya ruang untuk mengejar keutamaan salat sunah fajar, atau salat qobliyah Subuh.
Keutamaannya bukan perkara sepele. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Rakaat salat sunah Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya."
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِّنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
(HR. Muslim no. 725, dari Aisyah r.a.)
Satu hadits yang pendek, tapi mengandung guncangan batin yang besar: dua rakaat ini nilainya lebih mahal dari segala yang bisa dibeli, dimiliki, atau dibanggakan di dunia ini. Maka muncul pertanyaan: sudahkah kita mengejarnya? Atau jangan-jangan kita baru membuka mata ketika iqamah sudah dikumandangkan?
Bagi seorang muslim, terlebih penuntut ilmu dan orang-orang yang berilmu, bangun sebelum Subuh bukan sekadar soal waktu, tapi soal kehormatan. Salat malam dan sunah fajar menjadi cerminan dari kesungguhan dan kedalaman spiritual. Terlambat bangun, kehilangan waktu tahajud dan sunah fajar, bisa menjadi celaan bagi penuntut ilmu dan alim (seseorang yang berilmu).
Dalam dunia psikologi kebiasaan dikenal satu prinsip bahwa untuk membentuk habit atau kebiasaan baru, manusia perlu melakukan pengulangan minimal sebanyak 21 kali (beberapa ada yang mengatakan 40 kali pengulangan). Jika kita mengambil pernyataan paling singkat, maka semestinya setelah melalui bulan Ramadan—yang setiap harinya kita bangun lebih awal untuk sahur—kita sudah memiliki pondasi yang cukup kuat untuk melanjutkan rutinitas bangun sebelum Subuh di luar bulan itu.
Sayangnya, banyak yang hanya mampu mempertahankan disiplin tersebut selama Ramadan. Sementara di luar bulan suci, semuanya kembali ke pola lama. Di sinilah muncul satu nasihat ulama yang patut direnungkan:
"Jadilah hamba Allah, jangan menjadi hamba Ramadan."
كونوا عباد الله ولا تكونوا عباد رمضان
(Dinisbatkan kepada Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Latha’if al-Ma’arif)
Hal ini dikarenakan Ramadan hanyalah satu bulan dari dua belas bulan yang ada. Sedangkan Allah adalah Sesembahan sepanjang masa.
Kebiasaan bangun sebelum Subuh bukan sekadar untuk mengejar salat sunah, ia juga latihan kedisiplinan ruhani, penjagaan terhadap waktu-waktu yang penuh rahmat, dan bentuk kesiapan batin dalam menyambut pagi yang diridai.
Maka dari itu, jangan biarkan keberkahan itu hanya hadir musiman. Teruslah menjadi hamba Allah, bukan sekadar hamba momen belaka.
- Artikel Terpuler -
Bangun sebelum Subuh: Tanda Hamba yang Terjaga
Abu Lubna Ahad, 29-6-2025 | - Dilihat: 3

Oleh: Abu Lubna
Pernahkah kita merenung: kapan terakhir kali kita benar-benar siap menyambut Subuh—bukan sekadar bangun, tapi hadir dengan jiwa yang terjaga? Ada satu kebiasaan menarik yang bisa kita pelajari dari Haramain, tanah suci Makkah dan Madinah. Di sana jarak antara adzan dan iqamah untuk salat Subuh bisa mencapai 30 hingga 40 menit. Waktu yang panjang ini bukan tanpa alasan—ia diberikan agar umat Islam punya ruang untuk mengejar keutamaan salat sunah fajar, atau salat qobliyah Subuh.
Keutamaannya bukan perkara sepele. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Rakaat salat sunah Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya."
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِّنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
(HR. Muslim no. 725, dari Aisyah r.a.)
Satu hadits yang pendek, tapi mengandung guncangan batin yang besar: dua rakaat ini nilainya lebih mahal dari segala yang bisa dibeli, dimiliki, atau dibanggakan di dunia ini. Maka muncul pertanyaan: sudahkah kita mengejarnya? Atau jangan-jangan kita baru membuka mata ketika iqamah sudah dikumandangkan?
Bagi seorang muslim, terlebih penuntut ilmu dan orang-orang yang berilmu, bangun sebelum Subuh bukan sekadar soal waktu, tapi soal kehormatan. Salat malam dan sunah fajar menjadi cerminan dari kesungguhan dan kedalaman spiritual. Terlambat bangun, kehilangan waktu tahajud dan sunah fajar, bisa menjadi celaan bagi penuntut ilmu dan alim (seseorang yang berilmu).
Dalam dunia psikologi kebiasaan dikenal satu prinsip bahwa untuk membentuk habit atau kebiasaan baru, manusia perlu melakukan pengulangan minimal sebanyak 21 kali (beberapa ada yang mengatakan 40 kali pengulangan). Jika kita mengambil pernyataan paling singkat, maka semestinya setelah melalui bulan Ramadan—yang setiap harinya kita bangun lebih awal untuk sahur—kita sudah memiliki pondasi yang cukup kuat untuk melanjutkan rutinitas bangun sebelum Subuh di luar bulan itu.
Sayangnya, banyak yang hanya mampu mempertahankan disiplin tersebut selama Ramadan. Sementara di luar bulan suci, semuanya kembali ke pola lama. Di sinilah muncul satu nasihat ulama yang patut direnungkan:
"Jadilah hamba Allah, jangan menjadi hamba Ramadan."
كونوا عباد الله ولا تكونوا عباد رمضان
(Dinisbatkan kepada Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Latha’if al-Ma’arif)
Hal ini dikarenakan Ramadan hanyalah satu bulan dari dua belas bulan yang ada. Sedangkan Allah adalah Sesembahan sepanjang masa.
Kebiasaan bangun sebelum Subuh bukan sekadar untuk mengejar salat sunah, ia juga latihan kedisiplinan ruhani, penjagaan terhadap waktu-waktu yang penuh rahmat, dan bentuk kesiapan batin dalam menyambut pagi yang diridai.
Maka dari itu, jangan biarkan keberkahan itu hanya hadir musiman. Teruslah menjadi hamba Allah, bukan sekadar hamba momen belaka.
0 Komentar
Tinggalkan Pesan