Apakah Modernis Membaca Tradisi?
Muhammad Azzam Al Faruq Rabu, 31-8-2022 | - Dilihat: 81
Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq
Barangkali judul di atas terdengar antogonis dan provokatif. Seakan-akan penulis berupaya membenturkan dua segmen muslimin dewasa ini. Namun, apa yang hendak dikemukakan adalah menepis anggapan sungsang ini. Manakala pernyataan berikut berangkat dari pengalaman dan perenungan penulis beberapa waktu terakhir.
Sekira dua minggu sebelumnya, PCI Muhammadiyah Mesir bekerja sama dengan PPMI dan Darul Fahri menyelenggarakan acara Tarhib Ramadhan 1444 H. Menariknya, acara ini diisi oleh Habib Ali Zaenal Abidin dari Malaysia. Benar saja, acara tersebut -yang saya kira akan menitikberatkan mauizhah, sedari awal dimeriahkan oleh puji-pujian shalawatan. Nuansa yang sebelumnya tidak saya dapatkan di lingkungan Persyarikatan yang telah berumur satu abad lebih 13 tahun menurut perhitungan kalender Hijriah.
Pengalaman tersebut mungkin saja merupakan akumulasi dari rentetan pengalaman pribadi selama tiga tahun ini di Kairo. Sejak awal menginjakkan kaki, saya begitu menikmati dinamika di sini. Pertemuan dua corak keberagamaan ini membuat saya semakin bersikap lebih adil dan bijak dalam memandang Islam.
Namun semakin ke sini, saya pikir pembatas antar dua corak ini lama kelamaan akan semakin memudar. Sudah tidak lagi sekat pemisah, apalagi tendensi persaingan, kecuali di beberapa kesempatan. Jika berbicara soal ilmu budaya, boleh jadi terjadi proses asimilasi antar keduanya. Baik keduanya bisa saling bertemu di satu titik dan menghasilkan corak yang berbeda dari sebelumnya.
Akan tetapi karena hal ini masih bersifat praduga, saya tidak ingin melangkah lebih jauh lagi. Sebaliknya, dalam konteks di Kairo, saya melihat kawan-kawan yang berangkat dari kultur keagamaan modernis dapat menerima corak tradisonal yang dekat dengan budaya di Azhar secara non-formal maupun majelis-majelis yang terafiliasi dengannya. Keadaan positif ini sekaligus akan menjadi keuntungan dalam menjalin relasi ukhuwah antar segmen mahasiswa terlebih dari kalangan tradisonalis, katakan saja NU, NW, dsb.
Meskipun begitu, di sisi lain sering saya mendapati anggapan-anggapan miring mengenai kalangan modernis dan pergumulannya terhadap turats (tradisi intelektual Islam) maupun praktek keagamaan Islam tradisional (selanjutnya ditulis "tradisi"). Ada yang menganggap bahwa modernis mendekonstruksi turats dengan membuat model yang lebih mudah dipahami kekinian. Alhasil, karya klasik ulama seolah-olah tidak lagi memiliki tempat di kalangan tersebut. Dengan kata lain, seperti terputus dari akar tradisi intelektual Islam. Atau pada contoh lain, tidak mengakrabi tradisi seperti shalawatan, maulidan, manaqiban, barzanjian, dsb.
Adanya dua realitas yang saling bertolak belakang inilah yang membuat saya penasaran. Sembari tanda tanya besar ini masih menggantung, ada ikhtiyar semoga dapat mengatasi kesimpangsiuran ini.
Dalam hal ini, saya coba berangkat dari satu sosok terkenal asal Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905). Ia dikenal sebagai figur pembaharu Islam, terutama dalam bidang pendidikan. Meskipun begitu, sosok yang pernah menjabat sebagai Mufti Mesir ini, seringkali disalahpahami. Terlebih karena persinggungannya dengan Jamaluddin Al-Afghani oleh kebanyakan ulama-ulama Syam. Tapi tak sedikit yang masih menilai positif ketokohan beliau (lihat di Muhadrahah Maulana Syeikh Ali Jumah tentang Pribadi Muhammad Abduh: https://youtu.be/nKlFxJAUSCA). Terlepas dari silang pendapat ini, yang jelas penilaian negatif tersebut turut menyeret citra negatif Modernis sebagai kalangan yang direpresentasikan oleh Muhammad Abduh.
Serupa tapi tidak sama, nada kritis juga ikut dituliskan Sayyid Naquib Al-Attas dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin. Pada prenggan 60 (Cet. Ta'dib Internasional, 2019) beliau mengkritisi Jamaluddin Al-Aghani dan Muhammad Abduh yang dinilai telah memasukkan pandangan-pandangan Barat ke dalam pemikiran Islam. Meski di awal, niat baik Al-Afghani dan Abduh adalah mempertahankan keunggulan Islam atas pemikiran Barat, namun karena kurangnya pengetahuan tentang falsafah peradaban Barat, justru ia malah membuka pintu masuk yang membuat Islam terasuki oleh paham Barat. Lebih dalam lagi, menurutnya, amalan inilah yang terus berlaku oleh para kalangan Modernis yang didaku sebagai gerakan pembaharu. Padahal bukanlah hal itu yang dimaksud 'pembaharu' menurut pengertian Islam.
Pembaharu sudah ada pada para ulama-ulama terdahulu dengan karya-karya turats mereka. Oleh mereka yang menyebut sebagai gerakan pembaharu karena keberhasilan mereka menginfiltrasi Islam dengan sentuhan pemikiran-pemikiran 'asing' dari Barat. Selain juga tuduhan kepada para ulama terdahulu karena taklid dan menutup pintu ijtihad. Bahkan dengan nada satir, mereka yang menyebut hal tersebut sebagai 'pembaharu' adalah orang-orang yang jahil akan tradisi intelektual Islam terdahulu.
Apa yang dituliskan Sayyid Al-Attas ini, boleh jadi bentuk protes terhadap realitas kaum Modernis yang memandang sebelah tradisi ulama dan justru memilih mengadopsi pandangan Barat tanpa filter yang memadai. Itu bisa jadi karena berangkat dari kesalahpahaman peranan Muhammad Abduh yang dalam salah satu kontribusinya, begitu mempopulerkan keilmuan-keilmuan modern yang saat itu tersohor di negara-negara Barat. Ditambah seruan reformisme yang digaungkan pada semangat ijtihad yang sayangnya tidak sampai pada level para imam mujtahidin di masa lampau. Itulah Point of View kritik Sayyid Al-Attas di atas.
Tapi apakah benar Muhammad Abduh menafikan signifikasi Tradisi, yang dalam hal ini merupakan turats ? Sengaja pertanyaan tersebut dikeataskan supaya memperjelas inti pembahasan.
Niki Alma Febriana Fauzi, dalam tulisannya pada Majalah Suara Aisyiyah Edisi Maret, 2021 dengan judul, Merawat Khazanah Turats: Warisan Muhammad Abduh yang Terlupakan menyebutkan kebalikannya. Mengutip pendapat Ahmed El Shamsy dalam bukunya, Rediscovering the Islamic Classics (2020) bahwa terdapat peranan Abduh dalam menjaga Turats. Salah satunya adalah merevitalisasi karya ulama-ulama klasik. Karena fokus kompetensinya juga berkisar pada ranah liguistik maka kebanyakan manuskrip kitab-kitab yang di i'tina oleh Abduh masih seputar bahasa dan kesusastraan (balaghah dan adab).
Di antaranya, Maqamat karangan al-Hamadhani (358 H/1008 M) dan Nahj al-Balaghah karya al-Syarif al-Rafdhi (406 H/1016 M). Belum selesai sampai di situ, Abduh juga menggandeng koleganya dahulu yang ia datangkan untuk menjadi pengajar sastra Arab di Azhar, Muhammad Mahmud al-Shinqithi untuk membantunya mengedit beberapa manuskrip lain. Di bawah penyeliannya, al-Shinqithi berhasil menerbitkan ulang beberapa manuskrip seperti al-Mukhashash oleh Ibn Saydah al-Mursiy (398-458 H), Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I'jaz oleh Abd al-Qahir al-Jurjaniy (1009-1078 M), dll.
Pernyataan tersebut benar-benar menampar anggapan miring sebelumnya. Bahkan dalam tulisan Ust. Niki di atas, peranan Abduh selain merevitalisasi turats, juga turut mengajarkannya pada beberapa majelis non-formal maupun institusi formal. Ini menambah dalil kuat bahwa sesungguhnya Abduh begitu menaruh perhatian turats, satu sisi, yang sama dengan judul tulisan Ust. Niki, yang terlupakan, untuk tidak menyebut dilupakan oleh kalangan 'modernis' sendiri
Dan seyogyanyalah, kalangan modernis dapat meniru uswah Abduh ini. Bahwa menjadi seorang modernis bukan berarti anti ke-lama-an. Karena mau dipercaya atau tidak, masa lampau adalah pijakan stabil untuk menatap masa depan. Toh begitu pula masa depan pada nantinya pun akan menjadi masa lampau juga. Maka adalah pas untuk menjadikan masa lalu sebagai pertimbangan dalam menyikapi ihwal di masa depan.
Oleh karenanya, Muhammadiyah yang sering dikategorisasikan sebagai organisasi modernis -bahwa ada yang mengatakan baik kategori modernis dan tradisonalis masih membuka ruang celah diantara keduanya seperti Herman L. Beck yang keluar dari kategorisasi tersebut dan lebih memilih mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan pengaktualisasian Islam sedikit banyak mengikuti langgam Muhammad Abduh dalam berkiprah, sudah seharusnya juga ikut menaruh porsi yang setara juga dalam memperhatikan turats, sama banyaknya dengan memperkaya wawasan dari Barat. Dengan begitu, Muhammadiyah tidak akan gagap menanggapi kebaruan yang umumnya berasal dari Barat. Karena sudah berpatok dengan asas yang kuat yakni turats Islam.
Satu hal lagi yang tak boleh luput dalam pembahasan adalah bagaimana dalam membaca turats itu sendiri. Kadangkala, persoalan ini juga yang menjadi sebab dakwaan konservativisme terhadap kalangan tradionalis atau lulusan Timur Tengah. Padahal dalam hakekatnya, Turats sendiri menyimpan ruh modern (progresif), sebati dengan yang diargumenkan Sayyid Al-Attas sebelumnya.
Namun, apa yang dituduhkan semata menyasar pada aspek luaran saja, tanpa melihat sisi dalamnya. Maksudnya, mereka yang menganggap turats merupakan pangkal konservativisme berpaku pada pembacaan kalangan-kalangan tertentu yang hanya mencukupkan pada model kitab matan, syarah, hasyiyah, maupun taqrirat semata. Padahal ditilik dari subtansi keempat model kitab tersebut, terkandung mode berfikir ulama yang sophisticated.
Sebagaimana tercermin dari ibarah-ibarah yang diungkap, persoalan-persoalan yang ditanyakan sendiri, perdebatan antar khilaf pendapat yang disajikan, keputusan dalam mentarjih antar pendapat yang kuat, dsb. Ta'bir-ta'bir semacam inilah yang berangkat dari ketajaman cara berpikir ulama yang tidak terpisah dengan aspek spiritual. Satu dimensi yang seharusnya tidak dilupakan umat Islam dewasa ini, baik dari kalangan modernis maupun tradionalis.
Muhammadiyah berikut basis potensi keilmuan modern yang sudah teruji oleh masa, sudah seharusnya juga menangkap isyarat ini. Dengan pembacaan subtansialnya, diharapkan persyarikatan ini dapat berkontribusi dalam merawat warisan turats tanpa harus berpaku pada model-model kitab klasik yang kadung dianggap paten. Dengan begitu cibiran sanya Modernis membenci tradisi berhasil dipatahkan. Dan juga sangkaan konservatisme pada pembelajar Turats tidaklah relevan.
Dan alhamdulillahnya, langkah sederhana merevitalisasi tradisi sudah mulai diinisiasi PCIM Mesir dengan serangkaian program kerjanya. Sama halnya dengan beberapa kantong persyarikatan liyan yang tidak malu-malu kucing ikut menyeramaikan tradisi keagamaan tradisional dan perayaan kebudayaan, terutama di akar rumput.
Adalah sebuah tren positif yang bila diteruskan akan mengubah wajah Muhammadiyah secara umum ke depan. Dengan izin Allah, anekdot bila organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini kehabisan stok ulama ketimbang cendekiawan dapat terjawab. Sekaligus dapat merombak dikotomi antar dua jabatan sosial tersebut yang telah mengubah tatanan intelektual Islam sebenarnya (ulama yang intelek).
- Artikel Terpuler -
Apakah Modernis Membaca Tradisi?
Muhammad Azzam Al Faruq Rabu, 31-8-2022 | - Dilihat: 81
Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq
Barangkali judul di atas terdengar antogonis dan provokatif. Seakan-akan penulis berupaya membenturkan dua segmen muslimin dewasa ini. Namun, apa yang hendak dikemukakan adalah menepis anggapan sungsang ini. Manakala pernyataan berikut berangkat dari pengalaman dan perenungan penulis beberapa waktu terakhir.
Sekira dua minggu sebelumnya, PCI Muhammadiyah Mesir bekerja sama dengan PPMI dan Darul Fahri menyelenggarakan acara Tarhib Ramadhan 1444 H. Menariknya, acara ini diisi oleh Habib Ali Zaenal Abidin dari Malaysia. Benar saja, acara tersebut -yang saya kira akan menitikberatkan mauizhah, sedari awal dimeriahkan oleh puji-pujian shalawatan. Nuansa yang sebelumnya tidak saya dapatkan di lingkungan Persyarikatan yang telah berumur satu abad lebih 13 tahun menurut perhitungan kalender Hijriah.
Pengalaman tersebut mungkin saja merupakan akumulasi dari rentetan pengalaman pribadi selama tiga tahun ini di Kairo. Sejak awal menginjakkan kaki, saya begitu menikmati dinamika di sini. Pertemuan dua corak keberagamaan ini membuat saya semakin bersikap lebih adil dan bijak dalam memandang Islam.
Namun semakin ke sini, saya pikir pembatas antar dua corak ini lama kelamaan akan semakin memudar. Sudah tidak lagi sekat pemisah, apalagi tendensi persaingan, kecuali di beberapa kesempatan. Jika berbicara soal ilmu budaya, boleh jadi terjadi proses asimilasi antar keduanya. Baik keduanya bisa saling bertemu di satu titik dan menghasilkan corak yang berbeda dari sebelumnya.
Akan tetapi karena hal ini masih bersifat praduga, saya tidak ingin melangkah lebih jauh lagi. Sebaliknya, dalam konteks di Kairo, saya melihat kawan-kawan yang berangkat dari kultur keagamaan modernis dapat menerima corak tradisonal yang dekat dengan budaya di Azhar secara non-formal maupun majelis-majelis yang terafiliasi dengannya. Keadaan positif ini sekaligus akan menjadi keuntungan dalam menjalin relasi ukhuwah antar segmen mahasiswa terlebih dari kalangan tradisonalis, katakan saja NU, NW, dsb.
Meskipun begitu, di sisi lain sering saya mendapati anggapan-anggapan miring mengenai kalangan modernis dan pergumulannya terhadap turats (tradisi intelektual Islam) maupun praktek keagamaan Islam tradisional (selanjutnya ditulis "tradisi"). Ada yang menganggap bahwa modernis mendekonstruksi turats dengan membuat model yang lebih mudah dipahami kekinian. Alhasil, karya klasik ulama seolah-olah tidak lagi memiliki tempat di kalangan tersebut. Dengan kata lain, seperti terputus dari akar tradisi intelektual Islam. Atau pada contoh lain, tidak mengakrabi tradisi seperti shalawatan, maulidan, manaqiban, barzanjian, dsb.
Adanya dua realitas yang saling bertolak belakang inilah yang membuat saya penasaran. Sembari tanda tanya besar ini masih menggantung, ada ikhtiyar semoga dapat mengatasi kesimpangsiuran ini.
Dalam hal ini, saya coba berangkat dari satu sosok terkenal asal Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905). Ia dikenal sebagai figur pembaharu Islam, terutama dalam bidang pendidikan. Meskipun begitu, sosok yang pernah menjabat sebagai Mufti Mesir ini, seringkali disalahpahami. Terlebih karena persinggungannya dengan Jamaluddin Al-Afghani oleh kebanyakan ulama-ulama Syam. Tapi tak sedikit yang masih menilai positif ketokohan beliau (lihat di Muhadrahah Maulana Syeikh Ali Jumah tentang Pribadi Muhammad Abduh: https://youtu.be/nKlFxJAUSCA). Terlepas dari silang pendapat ini, yang jelas penilaian negatif tersebut turut menyeret citra negatif Modernis sebagai kalangan yang direpresentasikan oleh Muhammad Abduh.
Serupa tapi tidak sama, nada kritis juga ikut dituliskan Sayyid Naquib Al-Attas dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin. Pada prenggan 60 (Cet. Ta'dib Internasional, 2019) beliau mengkritisi Jamaluddin Al-Aghani dan Muhammad Abduh yang dinilai telah memasukkan pandangan-pandangan Barat ke dalam pemikiran Islam. Meski di awal, niat baik Al-Afghani dan Abduh adalah mempertahankan keunggulan Islam atas pemikiran Barat, namun karena kurangnya pengetahuan tentang falsafah peradaban Barat, justru ia malah membuka pintu masuk yang membuat Islam terasuki oleh paham Barat. Lebih dalam lagi, menurutnya, amalan inilah yang terus berlaku oleh para kalangan Modernis yang didaku sebagai gerakan pembaharu. Padahal bukanlah hal itu yang dimaksud 'pembaharu' menurut pengertian Islam.
Pembaharu sudah ada pada para ulama-ulama terdahulu dengan karya-karya turats mereka. Oleh mereka yang menyebut sebagai gerakan pembaharu karena keberhasilan mereka menginfiltrasi Islam dengan sentuhan pemikiran-pemikiran 'asing' dari Barat. Selain juga tuduhan kepada para ulama terdahulu karena taklid dan menutup pintu ijtihad. Bahkan dengan nada satir, mereka yang menyebut hal tersebut sebagai 'pembaharu' adalah orang-orang yang jahil akan tradisi intelektual Islam terdahulu.
Apa yang dituliskan Sayyid Al-Attas ini, boleh jadi bentuk protes terhadap realitas kaum Modernis yang memandang sebelah tradisi ulama dan justru memilih mengadopsi pandangan Barat tanpa filter yang memadai. Itu bisa jadi karena berangkat dari kesalahpahaman peranan Muhammad Abduh yang dalam salah satu kontribusinya, begitu mempopulerkan keilmuan-keilmuan modern yang saat itu tersohor di negara-negara Barat. Ditambah seruan reformisme yang digaungkan pada semangat ijtihad yang sayangnya tidak sampai pada level para imam mujtahidin di masa lampau. Itulah Point of View kritik Sayyid Al-Attas di atas.
Tapi apakah benar Muhammad Abduh menafikan signifikasi Tradisi, yang dalam hal ini merupakan turats ? Sengaja pertanyaan tersebut dikeataskan supaya memperjelas inti pembahasan.
Niki Alma Febriana Fauzi, dalam tulisannya pada Majalah Suara Aisyiyah Edisi Maret, 2021 dengan judul, Merawat Khazanah Turats: Warisan Muhammad Abduh yang Terlupakan menyebutkan kebalikannya. Mengutip pendapat Ahmed El Shamsy dalam bukunya, Rediscovering the Islamic Classics (2020) bahwa terdapat peranan Abduh dalam menjaga Turats. Salah satunya adalah merevitalisasi karya ulama-ulama klasik. Karena fokus kompetensinya juga berkisar pada ranah liguistik maka kebanyakan manuskrip kitab-kitab yang di i'tina oleh Abduh masih seputar bahasa dan kesusastraan (balaghah dan adab).
Di antaranya, Maqamat karangan al-Hamadhani (358 H/1008 M) dan Nahj al-Balaghah karya al-Syarif al-Rafdhi (406 H/1016 M). Belum selesai sampai di situ, Abduh juga menggandeng koleganya dahulu yang ia datangkan untuk menjadi pengajar sastra Arab di Azhar, Muhammad Mahmud al-Shinqithi untuk membantunya mengedit beberapa manuskrip lain. Di bawah penyeliannya, al-Shinqithi berhasil menerbitkan ulang beberapa manuskrip seperti al-Mukhashash oleh Ibn Saydah al-Mursiy (398-458 H), Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I'jaz oleh Abd al-Qahir al-Jurjaniy (1009-1078 M), dll.
Pernyataan tersebut benar-benar menampar anggapan miring sebelumnya. Bahkan dalam tulisan Ust. Niki di atas, peranan Abduh selain merevitalisasi turats, juga turut mengajarkannya pada beberapa majelis non-formal maupun institusi formal. Ini menambah dalil kuat bahwa sesungguhnya Abduh begitu menaruh perhatian turats, satu sisi, yang sama dengan judul tulisan Ust. Niki, yang terlupakan, untuk tidak menyebut dilupakan oleh kalangan 'modernis' sendiri
Dan seyogyanyalah, kalangan modernis dapat meniru uswah Abduh ini. Bahwa menjadi seorang modernis bukan berarti anti ke-lama-an. Karena mau dipercaya atau tidak, masa lampau adalah pijakan stabil untuk menatap masa depan. Toh begitu pula masa depan pada nantinya pun akan menjadi masa lampau juga. Maka adalah pas untuk menjadikan masa lalu sebagai pertimbangan dalam menyikapi ihwal di masa depan.
Oleh karenanya, Muhammadiyah yang sering dikategorisasikan sebagai organisasi modernis -bahwa ada yang mengatakan baik kategori modernis dan tradisonalis masih membuka ruang celah diantara keduanya seperti Herman L. Beck yang keluar dari kategorisasi tersebut dan lebih memilih mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan pengaktualisasian Islam sedikit banyak mengikuti langgam Muhammad Abduh dalam berkiprah, sudah seharusnya juga ikut menaruh porsi yang setara juga dalam memperhatikan turats, sama banyaknya dengan memperkaya wawasan dari Barat. Dengan begitu, Muhammadiyah tidak akan gagap menanggapi kebaruan yang umumnya berasal dari Barat. Karena sudah berpatok dengan asas yang kuat yakni turats Islam.
Satu hal lagi yang tak boleh luput dalam pembahasan adalah bagaimana dalam membaca turats itu sendiri. Kadangkala, persoalan ini juga yang menjadi sebab dakwaan konservativisme terhadap kalangan tradionalis atau lulusan Timur Tengah. Padahal dalam hakekatnya, Turats sendiri menyimpan ruh modern (progresif), sebati dengan yang diargumenkan Sayyid Al-Attas sebelumnya.
Namun, apa yang dituduhkan semata menyasar pada aspek luaran saja, tanpa melihat sisi dalamnya. Maksudnya, mereka yang menganggap turats merupakan pangkal konservativisme berpaku pada pembacaan kalangan-kalangan tertentu yang hanya mencukupkan pada model kitab matan, syarah, hasyiyah, maupun taqrirat semata. Padahal ditilik dari subtansi keempat model kitab tersebut, terkandung mode berfikir ulama yang sophisticated.
Sebagaimana tercermin dari ibarah-ibarah yang diungkap, persoalan-persoalan yang ditanyakan sendiri, perdebatan antar khilaf pendapat yang disajikan, keputusan dalam mentarjih antar pendapat yang kuat, dsb. Ta'bir-ta'bir semacam inilah yang berangkat dari ketajaman cara berpikir ulama yang tidak terpisah dengan aspek spiritual. Satu dimensi yang seharusnya tidak dilupakan umat Islam dewasa ini, baik dari kalangan modernis maupun tradionalis.
Muhammadiyah berikut basis potensi keilmuan modern yang sudah teruji oleh masa, sudah seharusnya juga menangkap isyarat ini. Dengan pembacaan subtansialnya, diharapkan persyarikatan ini dapat berkontribusi dalam merawat warisan turats tanpa harus berpaku pada model-model kitab klasik yang kadung dianggap paten. Dengan begitu cibiran sanya Modernis membenci tradisi berhasil dipatahkan. Dan juga sangkaan konservatisme pada pembelajar Turats tidaklah relevan.
Dan alhamdulillahnya, langkah sederhana merevitalisasi tradisi sudah mulai diinisiasi PCIM Mesir dengan serangkaian program kerjanya. Sama halnya dengan beberapa kantong persyarikatan liyan yang tidak malu-malu kucing ikut menyeramaikan tradisi keagamaan tradisional dan perayaan kebudayaan, terutama di akar rumput.
Adalah sebuah tren positif yang bila diteruskan akan mengubah wajah Muhammadiyah secara umum ke depan. Dengan izin Allah, anekdot bila organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini kehabisan stok ulama ketimbang cendekiawan dapat terjawab. Sekaligus dapat merombak dikotomi antar dua jabatan sosial tersebut yang telah mengubah tatanan intelektual Islam sebenarnya (ulama yang intelek).
3 Komentar
2024-12-02 15:28:25
Ywroub
eriacta passion - zenegra brief forzest artist
2024-12-08 10:41:38
Ehpbzq
buy crixivan without a prescription - how to buy voltaren gel buy voltaren gel online
2024-12-08 11:30:18
Dwfisq
valif online despair - purchase secnidazole sale order sinemet 20mg sale
3 Komentar
2024-12-02 15:28:25
Ywroub
eriacta passion - zenegra brief forzest artist
2024-12-08 10:41:38
Ehpbzq
buy crixivan without a prescription - how to buy voltaren gel buy voltaren gel online
2024-12-08 11:30:18
Dwfisq
valif online despair - purchase secnidazole sale order sinemet 20mg sale
Tinggalkan Pesan