Andi dan Budi Pergi Berkemah
Muhammad Zaim Musyafiq Qusyairi Rabu, 24-11-2021 | - Dilihat: 90

Oleh: Muhammad Zaim Musyafiq Qusyairi
Semakin jauh Andi berjalan memasuki hutan, semakin dia berpikir tindakannya adalah sebuah kesalahan. Jika dia lebih dewasa, dia akan tahu bahwa kesalahan tindakannya tidak dimulai ketika dia masuk semakin jauh ke dalam hutan, melainkan ketika dia mengiyakan tantangan Budi untuk melempari sarang lebah di tepi hutan. Jika saja dia lebih dewasa. Tapi Andi hanyalah anak kecil. Dan sekarang, dia adalah anak kecil yang ketakutan.
Langkah kakinya yang termasuk panjang untuk usianya itu membawa Andi ke mulut sebuah gua. Dia mungkin masih kecil, tapi tidak bodoh juga. Hampir tidak ada cerita di mana gua adalah sebuah tempat yang indah dan menyenangkan. Meski tidak terlalu besar, tapi mulut gua yang gelap itu memberi kesan seram seperti ketika Andi menonton film-film dulu.
Kegelapan mulai menyelimuti hutan. Matahari sudah tidak tampak walaupun belum sepenuhnya terbenam. Pepohonan yang menghalangi sinarnya menciptakan sebuah pertunjukan cahaya yang menawan, berupa garis-garis kabur kekuningan sebatas pucuk pepohonan. Tepat di atas kepala Andi, awan hitam bergerak cepat dari arah Timur. Sebentar lagi, jika tidak ditelan cakrawala, cahaya matahari akan ditelan oleh mendung.
Andi tak punya pilihan ketika akhirnya tetes air pertama jatuh menimpa wajahnya. Tubuhnya basah kuyup. Anak itu tahu tetesan itu hanya air, tapi rasanya seperti sebuah kerikil kecil. Andi berjalan tertatih menuju gua yang tidak terlalu dalam. Hanya sebuah lubang di gunung berbatu sedalam sepuluh atau dua belas meter.
Hujan turun lebih deras. Kini bukan hanya kerikil kecil, tapi rasanya batu-batu dilemparkan ke sana kemari. Andi sudah tidak takut lagi dengan guntur sejak dia berusia lima, tapi hujan sederas ini, di tempat antah berantah, membuatnya ciut. Sayangnya mulut gua itu sedikit menghadap ke atas, dengan tanah di dalamnya lebih rendah daripada tanah di luar. Sehingga Andi harus masuk lebih dalam lagi untuk menghindari cipratan air.
Berlindung di balik cekungan di dinding gua, Andi memeluk dirinya sendiri dan menggigil. Anak itu takut. Bukan hanya oleh hujan yang mengamuk di luar, tapi juga oleh kenyataan bahwa di luar sana, orang tuanya, orang tua Budi, dan mungkin segerombolan polisi serta anjing-anjing mereka, sedang mencarinya tanpa harapan. Andi tahu bahwa anjing melacak dari bau, dan hujan, terlebih jika sederas ini, bisa mengilangkan bau.
Andi kembali menggigil, meminta maaf pada Budi.
***
“Kalau pengecut, nggak usah dilakuin!”
“Memangnya kamu berani?” Andi menurunkan tangannya yang sudah siap melempar batu.
“Lho aku kan nantangin kamu!” balas Budi.
Andi melihat ke belakang. Seperti kata Budi, keluarga mereka berdua tidak mengikuti. Saat ini Andi dan Budi sama sekali tersembunyi dari pandangan yang lain. Kedua anak itu berdiri di bawah pohon yang tinggi dan berdaun lebat. Karena mata tajam Budi, mereka berdua melihat sebuah sarang lebah yang cukup besar. Kejahilan mereka timbul. Anak-anak kelas tiga sekolah dasar itu sepakat melempari sarang lebah itu. Tapi tak satu batu pun melayang mengenainya.
“Sudah balik saja, yuk,” ajak Andi.
“Iya, iya. Aku tahu kamu nggak akan berani.”
Andi tersulut. Dengan sikap menantang, dia sodorkan kerikil yang agak besar pada Budi. “Justru kamu yang pengecut karena malah nyuruh aku buat ngelempar, padahal kamu yang nggak berani.”
Kata-kata itu tepat sasaran. Budi menyambar kerikil itu, dan dengan tatapan “lihat, nih” dia melemparnya sekuat tenaga. Sarang lebah itu kuat, tapi tetap saja sedikit retak terkena lemparan Budi. Kedua anak itu memekik girang, sebelum suara dengungan yang menyeramkan mengubah raut wajah mereka menjadi ketakutan.
“Lariiii!”
Bahkan sebelum kata itu selesai diteriakkan Budi, kedua anak itu sudah memacu kakinya untuk berlari secepat mungkin. Tapi sayap-sayap kecil para tawon bekerja lebih cepat. Dipacu rasa marah dan insting bertahan, ribuan tawon menyerbu Andi dan Budi. Badan Budi lebih besar, jadi dia berlari lebih lamban dari Andi, dan lebih banyak permukaan kulit untuk disengat.
Tidak sampai satu menit, sekujur tubuhnya lebam dan bengkak. Tawon-tawon yang menyengatnya mati sebagai pahlawan, dan kedua anak itu menjerit penuh penderitaan. Andi tidak disengat sebanyak Budi, hanya satu atau dua kali. Tapi tawon yang ribuan itu mengacaukan pandangannya.
Andi dan Budi berlari kalang kabut, dikerubungi tawon yang sangat banyak. Karena kehilangan arah, mereka berdua melenceng dari arah yang seharusnya, terpeleset di tepian jalan setapak, dan jatuh berguling ke sungai. Andi menahan sakit karena beberapa sengatan, sehingga dia tidak punya tenaga untuk berenang.
Dia biarkan tubuhnya melayang, tidak timbul tidak pula tenggelam ke dasar, hanya bergerak mengikuti arus sungai sambil merasakan sakit. Sementara Budi yang tak bisa berenang, perjuangannya tampak mengerikan. Bergerak ke bawah karena tubuhnya yang berat, dia berjuang agar tidak tenggelam. Menggapai ke atas, wajah dan tangannya menjadi sasaran ratusan sengat tawon yang menunggu sabar.
Terakhir kali Andi melihat sahabatnya itu adalah ketika nyawa Budi melayang pergi dari tubuhnya. Karena racun sengatan tawon, karena tenggelam, atau karena tubuhnya tak kuat menahan sakit, siapa peduli? Anak malang itu tak tertolong, dan tubuhnya yang sudah tidak bernyawa terapung telungkup terbawa arus sungai. Punggungnya masih terus disengat oleh tawon-tawon yang tersisa, sedangkan wajahnya kini nyaris tak bisa dikenali karena bengkak. Andi memejamkan mata, tapi wajah sahabatnya yang mati itu masih menghantui.
***
Tubuh Andi yang basah kuyup semakin menggigil. Bekas sengatan di tubuhnya terasa sakit bukan main, membuat posisi apapun yang diambilnya terasa sangat tidak nyaman. Beruntung, Andi berhasil merangkak keluar dari sungai sebelum terlalu jauh. Tapi kepanikan dan ketakutan mengambil alih akal sehatnya, dan selama setengah jam, Andi hanya berdiri menggigil tanpa tahu harus berjalan ke mana. Dia berpikir, jika dia diam, maka orang tuanya pasti akan menjemput. Pasti.
Ternyata di dalam gua tempat Andi berlindung, pintu masuk itu adalah satu-satunya lubang. Karena hujan turun dengan sangat deras, cekungan itu mulai terisi. Di kaki Andi, air mengalir seperti sungai kecil. Anak itu tak bisa melihatnya, tapi tahu dari suara gemericik yang bergema, bahwa dasar gua itu sudah tergenang air cukup dalam.
Saat itu, waktu adalah konsep abstrak yang sama sekali tidak bisa ditentukan. Kegelapan di luar bukan berarti hari sudah malam. Suara hutan yang tanpa binatang bukan berarti semua kehidupan sudah tidur. Andi tak tahu sudah berapa lama dia menunggu, berapa jam sejak hujan turun, dan berapa lama lagi sampai dia diselamatkan.
Dengan kondisi tubuh dan pikiran kelelahan, Andi kehilangan kontak dengan kenyataan. Semuanya membaur, kabur, seperti gelembung yang terperangkap dalam pusaran air. Timbul-tenggelam. Hidup-mati. Andi tak tahu lagi.
Dengan gerakan tanpa sadar, Andi mendongakkan kepala. Kilatan halilintar menjadi sumber cahaya utama di langit gelap. Meski tanpa melihat, anak itu tahu genangan air di dalam gua sudah mencapai pergelangan kakinya. Mungkin lebih baik pergi keluar dan mencari tempat lain untuk berteduh. Tapi sungguh, kakinya terlalu lelah untuk bergerak.
Dalam pandangannya yang sudah tidak normal itu, Andi melihat permukaan air sungai beriak-riak, bergelombang-gelombang, dan memuntahkan tubuh yang sangat ia kenal. Budi merangkak keluar dari air, mengaduh kesakitan karena sekujur tubuhnya memar dan luka. Terseok-seok, Budi berjalan ke arah gua tempat Andi berteduh. Perjalanan itu terasa begitu lama, tapi Andi menunggu dengan sabar.
Ketika akhirnya Budi sampai di samping Andi, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai gua, dan tertawa.
“Kamu percaya semua ini cuma gara-gara kita minta berkemah?”
Andi terkekeh. Meskipun suara hujan sangat keras, dia bisa mendengar Budi dengan jelas. Bahkan seolah suara Budi bergaung di dalam kepalanya. “Iya. Seru juga awalnya.”
Budi menyadari Andi menahan tangis. Pundaknya mulai bergetar menahan perasaan. “Hei,” ucap Budi lembut. “Aku yang ngajak kamu ngelemparin sarang tawon.”
Andi akhirnya menangis. Air mata mengaliri pipinya yang sudah basah. “Tapi aku harusnya bisa nyelametin kamu,” isaknya.
“Nggak juga. Aku jauh lebih berat dari kamu, dan kita berdua sama-sama terluka. Sumpah, sengatan tawonnya itu sakit banget.”
“Harusnya kita berdua lari lurus.”
“Ya. Harusnya kita nggak ngelemparin sarang tawon itu juga. Tapi mau apa sekarang? Kamu kedinginan, Andi.”
Andi sendiri juga baru sadar. Saking kedinginannya, dia berhenti menggigil. Budi bangkit dan menepuk bahu Andi. “Jangan diam aja di sini. Mereka pasti lagi nyariin kamu.”
Andi mengangguk. “Iya. Aku ingin balik ke rumah sama kamu.”
Budi kembali duduk, “Aku duduk di sini aja. Aku udah nggak dicari lagi, tapi kamu masih.
“Nggak, nggak. Aku nggak mau ninggalin kamu lagi. Dulu, mungkin kamu udah lupa, waktu kita masih kelas 2, aku dikejar dua anjing di deket sekolah. Aku lari sampai mau jatuh, dan tiba-tiba kamu datang nyelametin aku.”
“Nyelametin apaan?” Budi tertawa. “Aku lemparin batu mereka nggak takut. Kita lari sama-sama waktu itu.”
“Iya, terus kamu ajak naik pohon barengan, terus kita lemparin anjing-anjingnya pakai jambu.”
“Pak Bon dating dan ngusir mereka pakai sapu.”
Kedua anak itu tertawa mengenang masa lalu. Semenjak kejadian itu, mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Andi memejamkan mata. Dia tak lagi kedinginan, meskipun air dalam gua sudah menggenang sampai perutnya. Budi yang duduk di sebelahnya sudah tak terlihat lagi, terbenam di bawah air. Tapi Andi bertahan dengan sumpahnya, untuk tak lagi meninggalkan sahabatnya.
***
Bulan bersinar tinggi. Cahayannya memancar walaupun belum purnama penuh. Dengan cahaya bulan, serta lampu-lampu bertenaga tinggi, regu pencari memasuki hutan yang meneteskan sisa-sisa hujan. Seorang petugas berdiri di mulut gua yang condong ke bawah, berteriak memanggil rekan-rekannya. Nadanya mendesak. Bersama-sama, para petugas membaringkan tubuh Andi yang sudah tak bernyawa ke tandu oranye. Orang tua Andi datang tergopoh-gopoh, terisak-isak liar sembari anaknya dibawa ke ambulans yang terparkir agak jauh. Beberapa petugas tinggal di dekat tempat ditemukannya jasad.
“Sepertinya dia keluar dari sungai tepat sebelum hujan turun, lalu langsung berteduh di gua ini.”
“Ya. Padahal memang gua kecil ini pasti penuh dengan air kalau hujannya sederas tadi. Paling aman ke gua yang agak di atas itu.”
“Dia anak-anak, habis dikejar tawon, jatuh ke sungai, dan tiba-tiba hujan badai. Wajar saja dia masuk ke gua terdekat.”
“Tapi kenapa dia tenggelam?”
“Kenapa bilang tenggelam?”
“Aku tahu hasil otopsi belum keluar, tapi sekali lihat juga tahu dia mati tenggelam. Telungkup dan terapung begitu. Bahkan kalau hujannya deras sekali, gua ini terisi air pasti bertahap dan pelan-pelan. Apa anak itu pingsan dan nggak sadar guanya terisi air?”
“Kemungkinan besar memang pingsan, tapi bisa juga kakinya terluka sampai nggak bisa jalan.”
“Masa disengat tawon sampai nggak bisa jalan?”
“Bisa jadi.”
“Gimana keadaan anak satunya?”
“Kalau nggak salah namanya Budi, ya? Paru-parunya terisi air sedikit, jadi harus dipompa. Sengatan tawonnya banyak sekali, tapi karena sudah disuntik, jadi harusnya tidak akan sampai terjadi anafilaksis[1]. Keadaannya parah, tapi dia akan hidup. Seharusnya setelah diinap di Rumah Sakit beberapa hari, atau minggu, dia bisa pulang.”
“Jadi satu korban meninggal dan satu luka-luka. Menyedihkan sekali.”
“Ya, acara kemah keluarga yang menyedihkan.”
Yogyakarta, 15 November 2021
- Artikel Terpuler -
Andi dan Budi Pergi Berkemah
Muhammad Zaim Musyafiq Qusyairi Rabu, 24-11-2021 | - Dilihat: 90

Oleh: Muhammad Zaim Musyafiq Qusyairi
Semakin jauh Andi berjalan memasuki hutan, semakin dia berpikir tindakannya adalah sebuah kesalahan. Jika dia lebih dewasa, dia akan tahu bahwa kesalahan tindakannya tidak dimulai ketika dia masuk semakin jauh ke dalam hutan, melainkan ketika dia mengiyakan tantangan Budi untuk melempari sarang lebah di tepi hutan. Jika saja dia lebih dewasa. Tapi Andi hanyalah anak kecil. Dan sekarang, dia adalah anak kecil yang ketakutan.
Langkah kakinya yang termasuk panjang untuk usianya itu membawa Andi ke mulut sebuah gua. Dia mungkin masih kecil, tapi tidak bodoh juga. Hampir tidak ada cerita di mana gua adalah sebuah tempat yang indah dan menyenangkan. Meski tidak terlalu besar, tapi mulut gua yang gelap itu memberi kesan seram seperti ketika Andi menonton film-film dulu.
Kegelapan mulai menyelimuti hutan. Matahari sudah tidak tampak walaupun belum sepenuhnya terbenam. Pepohonan yang menghalangi sinarnya menciptakan sebuah pertunjukan cahaya yang menawan, berupa garis-garis kabur kekuningan sebatas pucuk pepohonan. Tepat di atas kepala Andi, awan hitam bergerak cepat dari arah Timur. Sebentar lagi, jika tidak ditelan cakrawala, cahaya matahari akan ditelan oleh mendung.
Andi tak punya pilihan ketika akhirnya tetes air pertama jatuh menimpa wajahnya. Tubuhnya basah kuyup. Anak itu tahu tetesan itu hanya air, tapi rasanya seperti sebuah kerikil kecil. Andi berjalan tertatih menuju gua yang tidak terlalu dalam. Hanya sebuah lubang di gunung berbatu sedalam sepuluh atau dua belas meter.
Hujan turun lebih deras. Kini bukan hanya kerikil kecil, tapi rasanya batu-batu dilemparkan ke sana kemari. Andi sudah tidak takut lagi dengan guntur sejak dia berusia lima, tapi hujan sederas ini, di tempat antah berantah, membuatnya ciut. Sayangnya mulut gua itu sedikit menghadap ke atas, dengan tanah di dalamnya lebih rendah daripada tanah di luar. Sehingga Andi harus masuk lebih dalam lagi untuk menghindari cipratan air.
Berlindung di balik cekungan di dinding gua, Andi memeluk dirinya sendiri dan menggigil. Anak itu takut. Bukan hanya oleh hujan yang mengamuk di luar, tapi juga oleh kenyataan bahwa di luar sana, orang tuanya, orang tua Budi, dan mungkin segerombolan polisi serta anjing-anjing mereka, sedang mencarinya tanpa harapan. Andi tahu bahwa anjing melacak dari bau, dan hujan, terlebih jika sederas ini, bisa mengilangkan bau.
Andi kembali menggigil, meminta maaf pada Budi.
***
“Kalau pengecut, nggak usah dilakuin!”
“Memangnya kamu berani?” Andi menurunkan tangannya yang sudah siap melempar batu.
“Lho aku kan nantangin kamu!” balas Budi.
Andi melihat ke belakang. Seperti kata Budi, keluarga mereka berdua tidak mengikuti. Saat ini Andi dan Budi sama sekali tersembunyi dari pandangan yang lain. Kedua anak itu berdiri di bawah pohon yang tinggi dan berdaun lebat. Karena mata tajam Budi, mereka berdua melihat sebuah sarang lebah yang cukup besar. Kejahilan mereka timbul. Anak-anak kelas tiga sekolah dasar itu sepakat melempari sarang lebah itu. Tapi tak satu batu pun melayang mengenainya.
“Sudah balik saja, yuk,” ajak Andi.
“Iya, iya. Aku tahu kamu nggak akan berani.”
Andi tersulut. Dengan sikap menantang, dia sodorkan kerikil yang agak besar pada Budi. “Justru kamu yang pengecut karena malah nyuruh aku buat ngelempar, padahal kamu yang nggak berani.”
Kata-kata itu tepat sasaran. Budi menyambar kerikil itu, dan dengan tatapan “lihat, nih” dia melemparnya sekuat tenaga. Sarang lebah itu kuat, tapi tetap saja sedikit retak terkena lemparan Budi. Kedua anak itu memekik girang, sebelum suara dengungan yang menyeramkan mengubah raut wajah mereka menjadi ketakutan.
“Lariiii!”
Bahkan sebelum kata itu selesai diteriakkan Budi, kedua anak itu sudah memacu kakinya untuk berlari secepat mungkin. Tapi sayap-sayap kecil para tawon bekerja lebih cepat. Dipacu rasa marah dan insting bertahan, ribuan tawon menyerbu Andi dan Budi. Badan Budi lebih besar, jadi dia berlari lebih lamban dari Andi, dan lebih banyak permukaan kulit untuk disengat.
Tidak sampai satu menit, sekujur tubuhnya lebam dan bengkak. Tawon-tawon yang menyengatnya mati sebagai pahlawan, dan kedua anak itu menjerit penuh penderitaan. Andi tidak disengat sebanyak Budi, hanya satu atau dua kali. Tapi tawon yang ribuan itu mengacaukan pandangannya.
Andi dan Budi berlari kalang kabut, dikerubungi tawon yang sangat banyak. Karena kehilangan arah, mereka berdua melenceng dari arah yang seharusnya, terpeleset di tepian jalan setapak, dan jatuh berguling ke sungai. Andi menahan sakit karena beberapa sengatan, sehingga dia tidak punya tenaga untuk berenang.
Dia biarkan tubuhnya melayang, tidak timbul tidak pula tenggelam ke dasar, hanya bergerak mengikuti arus sungai sambil merasakan sakit. Sementara Budi yang tak bisa berenang, perjuangannya tampak mengerikan. Bergerak ke bawah karena tubuhnya yang berat, dia berjuang agar tidak tenggelam. Menggapai ke atas, wajah dan tangannya menjadi sasaran ratusan sengat tawon yang menunggu sabar.
Terakhir kali Andi melihat sahabatnya itu adalah ketika nyawa Budi melayang pergi dari tubuhnya. Karena racun sengatan tawon, karena tenggelam, atau karena tubuhnya tak kuat menahan sakit, siapa peduli? Anak malang itu tak tertolong, dan tubuhnya yang sudah tidak bernyawa terapung telungkup terbawa arus sungai. Punggungnya masih terus disengat oleh tawon-tawon yang tersisa, sedangkan wajahnya kini nyaris tak bisa dikenali karena bengkak. Andi memejamkan mata, tapi wajah sahabatnya yang mati itu masih menghantui.
***
Tubuh Andi yang basah kuyup semakin menggigil. Bekas sengatan di tubuhnya terasa sakit bukan main, membuat posisi apapun yang diambilnya terasa sangat tidak nyaman. Beruntung, Andi berhasil merangkak keluar dari sungai sebelum terlalu jauh. Tapi kepanikan dan ketakutan mengambil alih akal sehatnya, dan selama setengah jam, Andi hanya berdiri menggigil tanpa tahu harus berjalan ke mana. Dia berpikir, jika dia diam, maka orang tuanya pasti akan menjemput. Pasti.
Ternyata di dalam gua tempat Andi berlindung, pintu masuk itu adalah satu-satunya lubang. Karena hujan turun dengan sangat deras, cekungan itu mulai terisi. Di kaki Andi, air mengalir seperti sungai kecil. Anak itu tak bisa melihatnya, tapi tahu dari suara gemericik yang bergema, bahwa dasar gua itu sudah tergenang air cukup dalam.
Saat itu, waktu adalah konsep abstrak yang sama sekali tidak bisa ditentukan. Kegelapan di luar bukan berarti hari sudah malam. Suara hutan yang tanpa binatang bukan berarti semua kehidupan sudah tidur. Andi tak tahu sudah berapa lama dia menunggu, berapa jam sejak hujan turun, dan berapa lama lagi sampai dia diselamatkan.
Dengan kondisi tubuh dan pikiran kelelahan, Andi kehilangan kontak dengan kenyataan. Semuanya membaur, kabur, seperti gelembung yang terperangkap dalam pusaran air. Timbul-tenggelam. Hidup-mati. Andi tak tahu lagi.
Dengan gerakan tanpa sadar, Andi mendongakkan kepala. Kilatan halilintar menjadi sumber cahaya utama di langit gelap. Meski tanpa melihat, anak itu tahu genangan air di dalam gua sudah mencapai pergelangan kakinya. Mungkin lebih baik pergi keluar dan mencari tempat lain untuk berteduh. Tapi sungguh, kakinya terlalu lelah untuk bergerak.
Dalam pandangannya yang sudah tidak normal itu, Andi melihat permukaan air sungai beriak-riak, bergelombang-gelombang, dan memuntahkan tubuh yang sangat ia kenal. Budi merangkak keluar dari air, mengaduh kesakitan karena sekujur tubuhnya memar dan luka. Terseok-seok, Budi berjalan ke arah gua tempat Andi berteduh. Perjalanan itu terasa begitu lama, tapi Andi menunggu dengan sabar.
Ketika akhirnya Budi sampai di samping Andi, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai gua, dan tertawa.
“Kamu percaya semua ini cuma gara-gara kita minta berkemah?”
Andi terkekeh. Meskipun suara hujan sangat keras, dia bisa mendengar Budi dengan jelas. Bahkan seolah suara Budi bergaung di dalam kepalanya. “Iya. Seru juga awalnya.”
Budi menyadari Andi menahan tangis. Pundaknya mulai bergetar menahan perasaan. “Hei,” ucap Budi lembut. “Aku yang ngajak kamu ngelemparin sarang tawon.”
Andi akhirnya menangis. Air mata mengaliri pipinya yang sudah basah. “Tapi aku harusnya bisa nyelametin kamu,” isaknya.
“Nggak juga. Aku jauh lebih berat dari kamu, dan kita berdua sama-sama terluka. Sumpah, sengatan tawonnya itu sakit banget.”
“Harusnya kita berdua lari lurus.”
“Ya. Harusnya kita nggak ngelemparin sarang tawon itu juga. Tapi mau apa sekarang? Kamu kedinginan, Andi.”
Andi sendiri juga baru sadar. Saking kedinginannya, dia berhenti menggigil. Budi bangkit dan menepuk bahu Andi. “Jangan diam aja di sini. Mereka pasti lagi nyariin kamu.”
Andi mengangguk. “Iya. Aku ingin balik ke rumah sama kamu.”
Budi kembali duduk, “Aku duduk di sini aja. Aku udah nggak dicari lagi, tapi kamu masih.
“Nggak, nggak. Aku nggak mau ninggalin kamu lagi. Dulu, mungkin kamu udah lupa, waktu kita masih kelas 2, aku dikejar dua anjing di deket sekolah. Aku lari sampai mau jatuh, dan tiba-tiba kamu datang nyelametin aku.”
“Nyelametin apaan?” Budi tertawa. “Aku lemparin batu mereka nggak takut. Kita lari sama-sama waktu itu.”
“Iya, terus kamu ajak naik pohon barengan, terus kita lemparin anjing-anjingnya pakai jambu.”
“Pak Bon dating dan ngusir mereka pakai sapu.”
Kedua anak itu tertawa mengenang masa lalu. Semenjak kejadian itu, mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Andi memejamkan mata. Dia tak lagi kedinginan, meskipun air dalam gua sudah menggenang sampai perutnya. Budi yang duduk di sebelahnya sudah tak terlihat lagi, terbenam di bawah air. Tapi Andi bertahan dengan sumpahnya, untuk tak lagi meninggalkan sahabatnya.
***
Bulan bersinar tinggi. Cahayannya memancar walaupun belum purnama penuh. Dengan cahaya bulan, serta lampu-lampu bertenaga tinggi, regu pencari memasuki hutan yang meneteskan sisa-sisa hujan. Seorang petugas berdiri di mulut gua yang condong ke bawah, berteriak memanggil rekan-rekannya. Nadanya mendesak. Bersama-sama, para petugas membaringkan tubuh Andi yang sudah tak bernyawa ke tandu oranye. Orang tua Andi datang tergopoh-gopoh, terisak-isak liar sembari anaknya dibawa ke ambulans yang terparkir agak jauh. Beberapa petugas tinggal di dekat tempat ditemukannya jasad.
“Sepertinya dia keluar dari sungai tepat sebelum hujan turun, lalu langsung berteduh di gua ini.”
“Ya. Padahal memang gua kecil ini pasti penuh dengan air kalau hujannya sederas tadi. Paling aman ke gua yang agak di atas itu.”
“Dia anak-anak, habis dikejar tawon, jatuh ke sungai, dan tiba-tiba hujan badai. Wajar saja dia masuk ke gua terdekat.”
“Tapi kenapa dia tenggelam?”
“Kenapa bilang tenggelam?”
“Aku tahu hasil otopsi belum keluar, tapi sekali lihat juga tahu dia mati tenggelam. Telungkup dan terapung begitu. Bahkan kalau hujannya deras sekali, gua ini terisi air pasti bertahap dan pelan-pelan. Apa anak itu pingsan dan nggak sadar guanya terisi air?”
“Kemungkinan besar memang pingsan, tapi bisa juga kakinya terluka sampai nggak bisa jalan.”
“Masa disengat tawon sampai nggak bisa jalan?”
“Bisa jadi.”
“Gimana keadaan anak satunya?”
“Kalau nggak salah namanya Budi, ya? Paru-parunya terisi air sedikit, jadi harus dipompa. Sengatan tawonnya banyak sekali, tapi karena sudah disuntik, jadi harusnya tidak akan sampai terjadi anafilaksis[1]. Keadaannya parah, tapi dia akan hidup. Seharusnya setelah diinap di Rumah Sakit beberapa hari, atau minggu, dia bisa pulang.”
“Jadi satu korban meninggal dan satu luka-luka. Menyedihkan sekali.”
“Ya, acara kemah keluarga yang menyedihkan.”
Yogyakarta, 15 November 2021
0 Komentar
Tinggalkan Pesan